Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

PENGGUNAAN BAHASA DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI DI PONPES RAUDLATUL ULUM I Bab I-II (Analisis Alih Kode dan Campur Kode)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                   Latar Belakang
Pondok Pesantren merupakan masyarakat yang multilingualis. Lembaga pendidikan ini banyak dikunjungi oleh santri berbagai etnis dengan membawa bahasa masing-masing sehingga bahasa di pesantren menjadi lebih banyak dan memiliki fungsi tertentu. Keanekaragaman penggunaan bahasa jelas tampak saat santri berkomunikasi baik lisan maupun tulisan di lingkungan pesantren, di luar pesantren, dan di lingkungan rumah atau di kampung mereka sendiri. Bahasa-bahasa tersebut mereka gunakan saat berinteraksi dengan lawan bicara dengan memperhatikan situasi dan kondisi tertentu.
Para santri di pesantren menggunakan bahasa lisan saat berinteraksi dengan teman, guru, pegawai dan masyarakat sekitar. Bahasa lisan tersebut mereka gunakan di dalam dan di luar kelas serta pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di lingkungan pesantren. Bahasa tulisan dapat terlihat saat mereka melakukan kegiatan tulis-menulis misalnya majalah dinding, lomba mengarang, artikel, puisi, mengirim surat dan pengumuman-pengumuman.
 Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan antara tataran permainan bahasa satu dengan lainnya tidak dapat di tentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan ada kalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak menge-tahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun manusia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu komunikasi. Oleh karena itu, untuk me-ngungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehi-dupan manusia yang digunakan secara berbeda.
Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas. Hal tersebut menggacu pada pemikiran bahwa dengan bahasa mendapat arti jauh lebih tinggi dari pada sistem bunyi atau fonem.
Jika dalam suatu kelompok masyarakat terdiri dari berbagai daerah-daerah dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda seperti di pondok pesantren akan menimbulkan bahasa yang unik, apalagi jika suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan pengguna lebih dari satu bahasa (multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur kode dan alih kode.
Dalam sistem pendidikan formal maupun nonformal bahasa sangat berperan penting dalam penyampaikan ilmu dari pendidik kepada orang yang mencari ilmu. Bahasa merupakan modal utama agar terjadi proses pencapaian ilmu untuk difahami dan dimengerti oleh para pencari ilmu. Dalam proses belajar menggajar dalam instansi  resmi,  bahasa  yang  digunakan  cenderung  bahasa  formal  nasional  atau Internasional, tetapi dalam proses belajar-mengajar nonformal bahasa yang digunakan sesuai dengan kebutuhan, tidak harus formal tetapi dapat dimenggerti oleh para penuntut ilmu. Tetapi dalam menyampaikan ilmu, terutama pengajar berasal dari daerah lain yang dimungkin penguasaan bahasanya terbatas dengan para penuntut ilmu yang merupakan asli daerah setempat. Dari hal itu dimungkinkan banyak terjadi percampuran  bahasa  yang  dikuasai  oleh  pengajar  dalam  menyampaikan  ilmu. Sehingga dalam penelitian bahasa yang mengkaji tentang sosiolinguistik, terutama meneliti campur kode dan alih kode sangat menarik untuk dilakukan.
            Dari fenomena-fenomena di atas penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai interaksi berbahasa di lingkungan pesantren sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1.2                   Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.            Bagaimana Alih Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul  Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
2.        Bagaimanakah Campur Kode yang terjadi dalam  interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul   Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
1.3                   Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh gambaran berbahasa dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul  Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang.
1.3.2        Tujuan Khusus                                    
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1.      Bentuk  Alih Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul  Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
2.     Campur Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul  Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
1.4                   Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian adalah menggambarkan nilai dan kualitas penelitian. Adapaun penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis, maupun secara praktis
1.                  Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan mengenai sosiolinguistik. Terutama memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang penggunaan bahasa dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul Raudlatul  Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang dalam komunikasi lisan.
2.              Manfaat Praktis
a.    Menambah Wawasan penulis mengenai Penggunaan bahasa dalam interaksi. Untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam berinteraksi.
b. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu memberi informasi kebahasaan serta mengetahui penggunaan bahasa oleh santri dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
c. Bagi santri, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh pemakaian bahasa untuk melaksanakan ta’lim dengan baik dan benar.
1.5                Penegasan Istilah
1.5.1        Bahasa
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. (Chaer dan Agustina, 2010:11)
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’.
1.5.2        Interaksi
Interaksi adalah suatu peristiwa saling memengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, yang kemudian mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomoniksi satu sama lain.Jadi, tindakan setiap orang bertujuan untuk memengaruhi individu lain terjadi dalam setiap kasus interaksi.(Thibaut dan Kelly)
Bentuk-Bentuk interaksi adalah 1) Interaksi Verbal merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi. Proses tersebut terjadi dalam bentuk percakapan satu sama lain. 2) Interaksi Fisik ialah salah satu bentuk interaksi yang terjadi apabila ada dua orang atau lebih melakukan kontak dengan bahasa-bahasa tubuh. Contoh: posisi tubuh, ekspresi wajah, gerak-gerik tubuh dan kontak mata. 3) Interaksi emosional adalah salah satu bentuk interaksi jika individu melakikan kontak satu sama lain dengab melakukan curahan perasaan.contoh: interaksi ini mengeluarkan air mata sebagai tanda bersedih, haru atau bahkan terlalu bahagia.
1.5.3        Santri[1]
Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti (1) orang yg mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yg saleh); (3)Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya. Karena ketidak jelasan makna santri berbagai macam asumsi dan opinipun turut meramaikan jagat pendefinisian santri.
Seperti contoh ada suatu pendapat yang mengatakan makna santri adalah bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu sun dan three yang artinya tiga matahari. Matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang hari, seperti kita ketahui matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas oleh matahari. Namun maksud tiga matahari dalam kata Sunthree adalah tiga keharusan yang dipunyai oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam, serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Namun para ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda tentang pengetian santri. Ada yang menyebut, santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’ ini adalah pendapat Prof. Dr. Zamakhsyari Dhofier yang mengutip pendapat Prof. Johns. Selaras dengan C. C. Berg, Cliford Geertz menduga, bahwa pengertian santri mungkin berasal dan bahasa sangsekerta ‘shastri’, yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang luas. Dalam arti sempit, ialah seorang pelajar yang belajar disekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren, sedang dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid pada hari Jumat, dan sebagainya.
Sedangkan Soegarda Poerbakawatja menyatakan bahwa tradisi pesantren itu bukan berasal dan sistem pendidikan Islam di Makkah, melainkan dari Hindu dengan melihat seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dari para murid yang keluar meminta-minta diluar lingkungan pondok. Juga letak pesantren yang didirikan di luar kota dapat dijadikan alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari Hindu dan pendapat serupa dikemukakan juga oleh Van Bruinessen.
Selain itu, Nurkholis Madjid meyakini bahwa kata santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lainya menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki devariasi yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri itu apa, yang mana dan bagaimana?. Sebagai contoh, ada istilah santri profesi, dan ada santri kultur. ‘Santri Profesi’ adalah mereka yang menempuh pendidikan atau setidaknya memiliki hubungan darah dengan pesantren. Sedangkan ‘Santri Kultur’ adalah gelar santri yang disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, bisa saja orang yang sudah mondok di pesantren tidak disebut santri, karena prilakunya buruk. Dan sebaliknya, orang yang tidak pernah mondok di pesantren bisa disebut santri karena prilakunya yang baik.
Dari segi metode dan materi pendidikan, kata ‘santri’ pun dapat dibagi menjadi dua. Ada ‘Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’, Seperti halnya juga ada pondok modern dan ada juga pondok tradisional. Sedang dari segi tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri mukim’. Santri kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pondok pada waktu-waktu tertentu tanpa tinggal diasrama pesantren. Sedangkan santri mukim ialah santri yang menuntut ilmu di pesantren dan tinggal di asrama pesantren (kobong).
Adapula yang mendefinisikan santri sebagai sebuah singkatan dari gramatika arab, Hal itu salah satunya disampaikan oleh KH Daud Hendi Ismail pada saat mengisi ceramah agama dalam acara Wisuda Angkatan XIV (أَنْصَارُ الْأُمَّةِ) Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami pada hari Ahad, 5 Mei 2013. Beliau menjelaskan bahwa kata Santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf  (سنتري), yang setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas.
1.                       Sin (س) adalah kepanjangan dari سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor kebaikan.
2.                       Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti Penerus Ulama.
3.                       Ta (ت) adalah kepanjangan dari تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan.
4.                       Ra(ر)  adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah.
5.                       Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Keyakinan.
Selain lima filosofi kata santri diatas, beberapa sumber menyebutkan bahwa kata santri hanya berasa dari empat huruf, yang antara lain terdiri dari sin, nun, ta, ra. Dan dari segi pemaknaan pun memiliki beberapa perbedaan sebagaimana berikut:
1.                       Sin : Satrul al aurah (menutup aurat)
2.                       Nun : Naibul ulama’ (wakil dari ulama’)
3.                       Ta’ : Tarku al ma’shi (meninggalkan kemaksiatan)
4.                       Ra’ : Raisul ummah (pemimpin ummat)
Bahkan, yang lainnya malah menyebutkan bahwa kata santri sebagai sebuah singkatan dari bahasa indonesia. Yang kepanjangannya tidak jauh beda dengan apa yang telah dikemukakan di atas. Yakni:
1.                       S : satir al-‘uyub wa al-aurat, Artinya menutup aib dan aurat. Yakni aib sendiri maupun orang lai
2.                       A : aminun fil amanah, Artinya bisa di percaya dalam megemban amanat.
3.                       N : nafi’ al-‘ilmi, Artinya bermanfa’at ilmunya. Dan inilah yang sangat diidamkan oleh semua santri. Ketika ia telah melalui masa-masa menimba ilmu, pasti harapan akhirnya adalah mampu mengamalkan ilmu tersebut.
4.                       T : tarik al-maksiat, Artinya meninggalkan maksiat.
5.                       R : ridho bi masyiatillah, Artinya Ridho dengan apa yang diberikan Allah
6.                       I : ikhlasun fi jami’ al-af’al, Artinya ikhlas dalam setiap perbuatan.
1.5.4        Pondok Pesantren
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg, berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. (Yasmadi,2002:62)
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti),  yakni asrama tempat santri atau tempat murid / santri mengaji. Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya seorang ahli, yaitu M. Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi. (Dhofier,1994:18)
Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan mengajarkan mengem-bangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam keadaan semacam ini masih terpada pada pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan Pulau Madura yang bercorak tradisional. Namun pesantren yang modern tidak hanya mengajarkan agama saja, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, ketrampilan dan sebagainya sebagaimana yang kita ketahui pada Peranan Pondok Pesantren Gontor, yang sudah menerapkan sistem dan metode yang menggabungkan antara sistem pengajaran non klasikal (tradisional) dan sistem klasikal (sekolah).
Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar pada seseorang kyai untuk memperdalam/memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat.




                                                             BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1                   Sosiolinguistik
Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh berbeda, diantaranya adalah menurut Abdul Chaer, sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4).  Menurut  dalam suatu masyarakat tutur (Kridalaksana, dalam Abdul Chaer 2004:3 197). Kridalaksana,  sosiolingusistik  merupakan  ilmu  yang mempelajari ciri bahasa, beberapa variasi bahasa  dan hubungan antara pengguna bahasa dengan ciri fungsi variasi bahasa Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau  menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam  bertutur  akan  selalu  dipengaruhi  oleh  situasi  dan  kondisi  disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi bahwa (2006:7), Sosiolinguistik  sebagai  ilmu  interdisipliner  yang  menggarap  masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.

2.2                   Masyarakat Bahasa
Dalam  kamus  linguistik  masyarakat  bahasa           (speech community) adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama (Harimurti Krida Laksana, 2001:134).  I Dewa Putu Wijana dan muhammad Rohadadi (2006:46) menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur. Mereka berpendapat bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat  yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. “Masyarakat Bahasa (Speech Community) menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968) Masyarakat bahasa adalah sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi sekelompok orang dalam pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan keganjilan bahasa. Dell Hymes (1972/1973) Masyarakat bahasa adalah  semua anggota masyarakat yang tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara  bersama-sama  dalam  berbicara,  tetapi  juga  menggunakan setidak-tidaknya   satu   variasi   bahasa.   Glyn   Williams (1992) Masyarakat  bahasa  adalah  sekumpulan  individu  dalam  interaksi. Bernard Spolski (2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan satu bahasa dengan pengucapan dan gramatika yang sama atau berbeda”. (http://www.sigodang.blogspot.com / 27 / 11 / 2008).
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi  kemampuan  bahasa  yang  dimiliki  oleh  penutur  beserta  keterampilan mengungkapkan  bahasa  tersebut  sesuai  dengan  fungsi  dan  situasi  serta  norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire  yang  dimiliki  individu  dan  yang  dimiliki  masyarakat.  Jika  suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama  terhadap  pemakaian  bahasa  yang  digunakan  dalam  masyarakat  disebut masyarakat bahasa.
Menurut Ferdinan De Jsarangih, Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, dibedakan menjadi tiga masyarakat bahasa, antara lain (1) Masyarakat monolingual (masyarakat penguna satu bahasa), (2) Masyarakat bilingual (masyarakat  penguna  dua  bahasa), (3)  Masyarakat  multilingual  atau masyarakat penguna lebih dari2 bahasa dalam berkomunikasi (di kutip dalam http://www.sigodang.blogspot.com/27/11/ 2008).
2.3                   Kontak Bahasa
Dalam masyarakat sosial, artinya masyarakat yang angotanya dapat menerima kedatangan anggota  dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu merupakan bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada masyarakat yang mengalami kontak bahasa.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena berakar dari tradisi  etnik  lokal  yang  kemudian    dimodifikasi  dan  diadopsi  menjadi  bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek  Betawi,  dialek  Banyumas,  dialek  Surakarta,  dialek  Yogyakarta,  dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dan lain sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Dari kontak bahasa   tersebut   akan   dengan menggunakan   dwibahasa   tersebut   sehingga menimbulkan alih kode, campur kode, dan interverensi.
2.3.1        Alih Kode
Menurut Appel dalam Abdul Chaer (2004:114) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan bahasa karena perubahan situasi. Tetapi menurut Dell Hymes, dalam Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang berbeda dalam suatu bahasa. Apabila seseorang berkomunikasi semula menggunakan bahasa Jawa, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, atau berubah dari ragam santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka peralihan pengunaan bahasa  seperti  itu  disebut  alih  kode (code  switching)  di  dalam  sosiolinguistik peristiwa alih kode biasa berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register (Soewito, 1983:68).
Alih kode dapat berupa alih kode tetap dan alih kode sementara atau tidak tetap. Alih kode tetap merupakan alih kode jika penutur semula menggunakan bahasa X kemudian tidak lagi menggunakan bahasa X akan tetapi menggunakan bahasa Y. Untuk alih kode sementara peralihan penggunaan bahasa X ke dalam bahasa Y yang sifatnya hanya sementara dapat berubah lagi menggunakan bahasa sebelumnya (bahasa X) hal tersebut karena dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Pendapat Soewito (1983: 69) alih kode terdiri dari dua, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, sedangkan alih kode ekstrn terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
Alih kode interen nampak misalnya ketika orang semula menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, bisa juga orang semula menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kemudian mengunakan bahasa Jawa ragam krama, disebabkan sesuatu hal. Sedangkan alih kode ekstern nampak jika seorang penutur semula menggunakan bahasa Jawa tetapi atas suatu hal penutur tersebut beralih menggunakan bahasa Arab.
Menurut  Suwito        (1983: 72),  wujud  alih  kode  intern  maupun  ekstern dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 1) Penutur atau orang pertama, dilakukan dengan maksud mengubah situasi dari situasi resmi ke situasi tak resmi. 2) Mitra tutur atau orang kedua, pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. 3) Hadirnya orang ketiga, hal tersebut karena ingin berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. 4) Pokok pembicaraan atau topik, biasanya berupa pokok pembicaran formal informal. 5) Untuk membangkitkan rasa humor, agar tidak merasa bosan atau tegang. 6) Untuk sekedar gengsi, bahwa penutur mampu mengunakan bahasa lain.
2.3.2        Campur Kode
Hampir rancu pengertian alih kode dan campur kode, kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah orang yang mengunakan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom masing-masing,  dilakukan  dengan  sadar,  dengan  sengaja  dengan  sebab-sebab  tertentu. Sedangkan campur kode dilakukan untuk mempermudah menyampaikan suatu hal dan tidak serta-merta dilakukan dengan sadar, tetapi dilakukan secara spontanitas.
Menurut Thender (1976) seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer (2004:115) dalam membedakan campur kode dengan alih kode apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode. Tetapi di dalam suatu peristiwa tutur baik klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa campuran (hybrid clauses,  hybrid  pharase),  dan  masing-masing  klausa  atau  frasa  itu  tidak  lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode.
Menurut Kachru dalam Suwito (1983: 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten. Campur kode dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor yang menjadi sebab terjadinya campur kode menurut Suwito dalam Mulyani (tesis tahun 2004) berlatar belakang pada sikap dan kebahasaan. Sehingga atas dasar tersebut, faktor penyebab alih kode adalah: 1) Identifikasi peranan, yaitu berkenaan dengan sosial, registral, dan edukasional. (2) identifikasi ragam, dimana seseorang ingin menempatkan dalam hierarkhi status sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dari hal di atas ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tumpang tindih. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini bisaanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Bisaanya ciri menonjolnya berupa keadaan santai atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa,  ungkapan  dalam  bahasa  tersebut  tidak  ada  padanannya,  sehingga  ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur  kode  termasuk  juga  konvergense  kebahasaan (linguistic  convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu; (1) campur kode ke dalam (innercode-mixing) adalah  campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala ragamnya, (2) campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Ditinjau wujud lingualnya, sebagian bahasa yang diperoleh dari bahasa lain dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau unit-unit bahasa yang lebih besar. Wujud campur kode dapat dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya (Suwito, 1983: 78) yaitu:
1.             Unsur yang berwujud kata yang disisipkan.
A: Nggih pak nderekke
‘ Ya pak mengikuti’
B       : Antum mau ikut?
‘Kamu (laki-laki) mau ikut?’
2.             Frasa yang disisipkan.
Nggih napa naminipun ukuwah ihwah, saudara bersaudara jenengan niku saudara kula.
‘Ya apa namanya rasa persaudaraan, saudara bersaudara anda itu saudara saya’
3.             Bentuk baster yang disisipkan.
Dilanjutkan dengan pengaosan ataupun ta’lim rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat wal’afiah.
‘Dilanjutkan dengan pengkajian atau pertemuan rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat dan selamat’.
4.             Pengulangan kata yang disisipkan.
Wasilah-wasilah utawi napa namine niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru, iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepinda napa mbah?
‘Hal-hal  atau  apa  namanya  itu  perantara-perantara  agar  keyakinan  kita bertambah, agar keyakinan kita baru, keyakinan  kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah?’
5.             Ungkapan atau idiom yang disisipkan.
Kemudian sing nomer tiga niku nggih punika mencuri, haa. Syirik, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rasullullah niku bersabda assarikku wasarikoh fatau uadiaadiahuma.
‘Kemudian yang nomor tiga itu ya itu mencuri, haa. Menyekutukan, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rosullullahitu bersabda pencuru itu potonglah tanganya.’
6.                       Klausa yang disisipkan.
Napa buk kira-kira? Qira’atul  e..  dzikrullah  fi  ayamillah, yaitu dzikir dhumateng Allah dimanapun kita berada. Dzikir nggih buke. Dzikir ndek mbiyen punika buk napa namine?
‘Apa  buk  kira-kita?  Membaca  e..  mengingat  Allah  dimanapun,  yaitu mengingat kepada Allah dimanapun kita berada. Dikir ya buk. Dikir kala dulu itu buk apa namanya?’
Dari hal tersebut campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai   latar   belakang   tertentu   ingin   menduduki   fungsi   tertentu   yaitu menunjukkan status sosial dan identitas pribadi dalam masyarakat, menurut pendapat Suwito (1983:78).
2.3.3        Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich   (1953) dalam Abdul Chaer (2004:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang  menggunakan  dua  bahasa  secara  bergantian,  dan  penutur  multi  lingual, masyarakat pengguna bahasa-bahasa secara bergantian.
Mackey dalam paul ohoiwutun (2007), menyebut gejala interferensi dapat dilihat dalam 3 (tiga) dimendi kejadian : (1) dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. (2) dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. (3) dimensi pembelajaran bahasa. Dimensi tingkah laku individu penutur dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilalukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri yaitu menyampur atau mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dalam konteks bahasa lainya. Interferensi dapat masuk dalam masyarakat karena sistem ke-dua bahasa yang kedua bahasa atau lebih merupakan bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Sehingga interferensi muncul untuk suatu tujan tertentu oleh individu penguna bahasa.
Interferensi jenis ke-tiga yaitu dalam dimensi pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran bahasa ke-dua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsurunsur yang mirip atau mungkin sama dengan bahasa pertama (bahasa induk). Kondisi demikian   dianggap   dapat   mempermudah   proses   pembelajaran.   Pembelajaran menyesuaikan   unsur-unsur   yang   mirip   dan   sama   itu   dalam   mengenai   dan menggunakan sistem bahasa yang baru. Proses ‘transfer’ ini diidentifikasi sebagai transfer positif. Sebaliknya bahasa pertama dengan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negative. Transfer positif dapat dapat dijadikan alat oleh  guru  untuk  membantu  keberhasilan  pembelajaran.  Sebaliknya  guru  dapat berupaya mengurangi sedapat mungkin terjadinya transfer negatif pada siswa.
Baik transfer positif maupun negatif tergolong interferensi, karena kedua-duanya  melibatkan  pengalihan  unsur-unsur  bahasa  dari  satu  bahasa  yang  satu kedalam bahasa yang lainnya. Interferensi terjadi dalam pembelajaran bahasa secara resmi di kelas dan dapat juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa ke-dua atau bahasa asing di luar program kelas, misalnya adalah hal pidato, kajian agama atau ta’lim atau dalam pergaulan kita dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual. Jika  interferensi  dalam  masyarakat  berlangsug  dalam  waktu  yang  lama sehingga unsure serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan system bahasa penyerapnya, sehingga menjadi umun karena tidak lagi terasa asing oleh suwito disebut dengan integrasi (Suwito, 1983:59).
2.4                   Pengertian Bahasa
Bahasa memiliki beribu banyak arti. Secara sederhana bahasa dapat di definisikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati atau alat untuk berinteraksi maupun berkomunikasi, dalam arti untuk mrnyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
Bahasa adalah sebuah sistem, Artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. (dikutip pada tanggal 26/10/2016 jam 08:00 WIB dari http://dibustom.wordpress.com dan http://erikgundar.wordpress.com)
2.5                   Ciri-ciri atau Karakteristik dari Bahasa
Ciri yang paling umum dari bahasa adalah bahasa itu berupa bunyi, kemudian bahasa itu adalah suatu sistem dan bahasa itu bermakna. Ada lagi beberapa ciri ataupun karakteristik dari bahasa yaitu, abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.

1.             Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.
Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.
2.             Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
3.             Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4.             Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
5.             Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi. (dikutip pada tanggal 26/10/2016 jam 08:00 WIB dari http://dibustom.wordpress.com dan http://erikgundar.wordpress.com)
2.6                   Fungsi-fungsi Bahasa
Secara umum fungsi bahasa yang paling di kenal adalah sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi sesame manusia. Namun terdapat tambahan beberapa fungsi bahasa, yaitu seperti:
1.             Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu
2.             Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan prilaku orang lain
3.             Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
4.             Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
5.             Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
6.             Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi

7.            Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi. (dikutip pada tanggal 26/10/2016 jam 08:00 WIB dari http://dibustom.wordpress.com dan http://erikgundar.wordpress.com)





[1]Dikutip dari https// hafizhuddin30. Wordpress.com/23/10/2016/definisi-dan-makna-santri-sebuah-pengantar

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA