BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pondok Pesantren merupakan
masyarakat yang multilingualis. Lembaga pendidikan ini banyak dikunjungi oleh
santri berbagai etnis dengan membawa bahasa masing-masing sehingga bahasa di
pesantren menjadi lebih banyak dan memiliki fungsi tertentu. Keanekaragaman
penggunaan bahasa jelas tampak saat santri berkomunikasi baik lisan maupun
tulisan di lingkungan pesantren, di luar pesantren, dan di lingkungan rumah atau
di kampung mereka sendiri. Bahasa-bahasa tersebut mereka gunakan saat
berinteraksi dengan lawan bicara dengan memperhatikan situasi dan kondisi
tertentu.
Para santri di pesantren menggunakan
bahasa lisan saat berinteraksi dengan teman, guru, pegawai dan masyarakat sekitar.
Bahasa lisan tersebut mereka gunakan di dalam dan di luar kelas serta pada
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di lingkungan pesantren. Bahasa tulisan dapat
terlihat saat mereka melakukan kegiatan tulis-menulis misalnya majalah dinding,
lomba mengarang, artikel, puisi, mengirim surat dan pengumuman-pengumuman.
Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa
digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk
itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat
dikatakan tidak terbatas, dan antara tataran permainan bahasa satu dengan
lainnya tidak dapat di tentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun
demikian, walaupun terdapat perbedaan ada kalanya terdapat suatu kemiripan, dan
hal ini sulit ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak menge-tahui
secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun manusia mengetahui apa
yang harus diperbuat dalam suatu komunikasi. Oleh karena itu, untuk me-ngungkapkan
hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan
suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehi-dupan manusia yang
digunakan secara berbeda.
Sebagian orang berpendapat bahwa
bahasa sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang
manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang
realitas. Hal tersebut menggacu pada pemikiran bahwa dengan
bahasa mendapat arti jauh lebih tinggi dari pada sistem bunyi atau fonem.
Jika dalam suatu kelompok masyarakat
terdiri dari berbagai daerah-daerah dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda
seperti di pondok pesantren akan menimbulkan bahasa yang unik, apalagi jika
suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan pengguna lebih dari satu bahasa
(multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur kode
dan alih kode.
Dalam sistem pendidikan formal
maupun nonformal bahasa sangat berperan penting dalam penyampaikan ilmu dari
pendidik kepada orang yang mencari ilmu. Bahasa merupakan modal utama agar
terjadi proses pencapaian ilmu untuk difahami dan dimengerti oleh para pencari
ilmu. Dalam proses belajar menggajar dalam instansi resmi,
bahasa yang digunakan
cenderung bahasa formal
nasional atau Internasional,
tetapi dalam proses belajar-mengajar nonformal bahasa yang digunakan sesuai dengan
kebutuhan, tidak harus formal tetapi dapat dimenggerti oleh para penuntut ilmu.
Tetapi dalam menyampaikan ilmu, terutama pengajar berasal dari daerah lain yang
dimungkin penguasaan bahasanya terbatas dengan para penuntut ilmu yang
merupakan asli daerah setempat. Dari hal itu dimungkinkan banyak terjadi
percampuran bahasa yang
dikuasai oleh pengajar
dalam menyampaikan ilmu. Sehingga dalam penelitian bahasa yang
mengkaji tentang sosiolinguistik, terutama meneliti campur kode dan alih kode sangat menarik
untuk dilakukan.
Dari
fenomena-fenomena di atas penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai interaksi
berbahasa di lingkungan pesantren sangat menarik dan perlu untuk dilakukan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana Alih Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
2. Bagaimanakah Campur Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren
Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi
Malang?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memperoleh gambaran berbahasa dalam interaksi antar santri di
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. Bentuk Alih Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
2. Campur Kode yang terjadi dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang?
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian adalah menggambarkan
nilai dan kualitas penelitian. Adapaun penelitian yang dilakukan ini diharapkan
dapat memberikan manfaat baik secara teoretis, maupun secara praktis
1.
Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan mengenai
sosiolinguistik. Terutama memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang penggunaan bahasa dalam interaksi antar santri di Pondok Pesantren Raudlatul Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang dalam komunikasi lisan.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah Wawasan penulis mengenai Penggunaan bahasa dalam
interaksi. Untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam berinteraksi.
b. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu memberi informasi
kebahasaan serta mengetahui penggunaan bahasa oleh santri dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
c. Bagi santri, penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan contoh pemakaian bahasa untuk melaksanakan ta’lim dengan baik dan
benar.
1.5 Penegasan Istilah
1.5.1
Bahasa
Secara
sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang
terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk
beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa
diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer,
produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. (Chaer dan Agustina, 2010:11)
Bahasa
adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang
berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa
lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut
makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan
suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran
bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan
konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’.
1.5.2
Interaksi
Interaksi
adalah suatu peristiwa saling memengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau
lebih hadir bersama, yang kemudian mereka menciptakan suatu hasil satu sama
lain atau berkomoniksi satu sama lain.Jadi, tindakan setiap orang bertujuan
untuk memengaruhi individu lain terjadi dalam setiap kasus interaksi.(Thibaut
dan Kelly)
Bentuk-Bentuk
interaksi adalah 1) Interaksi Verbal merupakan salah satu bentuk interaksi yang
terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan
menggunakan alat-alat artikulasi. Proses tersebut terjadi dalam bentuk
percakapan satu sama lain. 2) Interaksi Fisik ialah salah satu bentuk interaksi
yang terjadi apabila ada dua orang atau lebih melakukan kontak dengan
bahasa-bahasa tubuh. Contoh: posisi tubuh, ekspresi wajah, gerak-gerik tubuh
dan kontak mata. 3) Interaksi emosional adalah salah satu bentuk interaksi jika
individu melakikan kontak satu sama lain dengab melakukan curahan
perasaan.contoh: interaksi ini mengeluarkan air mata sebagai tanda bersedih, haru
atau bahkan terlalu bahagia.
Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti (1) orang
yg mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh
(orang yg saleh); (3)Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama islam dengan
berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya. Karena
ketidak jelasan makna santri berbagai macam asumsi dan opinipun turut
meramaikan jagat pendefinisian santri.
Seperti contoh ada suatu pendapat yang mengatakan makna santri adalah
bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu sun
dan three yang artinya tiga matahari. Matahari adalah titik pusat tata surya
berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang
hari, seperti kita ketahui matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari
pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara
ikhlas oleh matahari. Namun maksud tiga matahari dalam kata Sunthree adalah
tiga keharusan yang dipunyai oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seorang
santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh
kepada aturan islam, serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Namun para ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda tentang pengetian
santri. Ada yang menyebut, santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti
‘guru mengaji’ ini adalah pendapat Prof. Dr. Zamakhsyari Dhofier yang mengutip
pendapat Prof. Johns. Selaras dengan C. C. Berg, Cliford Geertz menduga, bahwa
pengertian santri mungkin berasal dan bahasa sangsekerta ‘shastri’, yang
berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern
memiliki arti yang sempit dan arti yang luas. Dalam arti sempit, ialah seorang
pelajar yang belajar disekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren,
sedang dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk
Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid
pada hari Jumat, dan sebagainya.
Sedangkan Soegarda Poerbakawatja menyatakan bahwa tradisi pesantren itu
bukan berasal dan sistem pendidikan Islam di Makkah, melainkan dari Hindu
dengan melihat seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat
gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dari para murid yang keluar
meminta-minta diluar lingkungan pondok. Juga letak pesantren yang didirikan di
luar kota dapat dijadikan alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari
Hindu dan pendapat serupa dikemukakan juga oleh Van Bruinessen.
Selain itu, Nurkholis Madjid meyakini bahwa kata santri berasal dari kata
‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu
mengikuti guru. Sedang versi yang lainya menganggap kata ‘santri’ sebagai
gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong).
Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki devariasi
yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka
alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri itu apa, yang mana dan
bagaimana?. Sebagai contoh, ada istilah santri profesi, dan ada santri kultur.
‘Santri Profesi’ adalah mereka yang menempuh pendidikan atau setidaknya
memiliki hubungan darah dengan pesantren. Sedangkan ‘Santri Kultur’ adalah
gelar santri yang disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain, bisa saja orang yang sudah mondok di pesantren
tidak disebut santri, karena prilakunya buruk. Dan sebaliknya, orang yang tidak
pernah mondok di pesantren bisa disebut santri karena prilakunya yang baik.
Dari segi metode dan materi pendidikan, kata ‘santri’ pun dapat dibagi
menjadi dua. Ada ‘Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’, Seperti halnya
juga ada pondok modern dan ada juga pondok tradisional. Sedang dari segi
tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri mukim’. Santri
kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang
belajar di pondok pada waktu-waktu tertentu tanpa tinggal diasrama pesantren.
Sedangkan santri mukim ialah santri yang menuntut ilmu di pesantren dan tinggal
di asrama pesantren (kobong).
Adapula yang mendefinisikan santri sebagai sebuah singkatan dari gramatika
arab, Hal itu salah satunya disampaikan oleh KH Daud Hendi Ismail pada saat
mengisi ceramah agama dalam acara Wisuda Angkatan XIV (أَنْصَارُ الْأُمَّةِ) Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami pada hari Ahad, 5 Mei
2013. Beliau menjelaskan bahwa kata Santri jika ditulis dalam bahasa arab
terdiri dari lima huruf (سنتري), yang setiap
hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas.
1.
Sin (س) adalah
kepanjangan dari سَافِقُ
الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor kebaikan.
2.
Nun (ن) adalah
kepanjangan dari نَاسِبُ
العُلَمَاءِ yang memiliki
arti Penerus Ulama.
3.
Ta (ت) adalah
kepanjangan dari تَارِكُ
الْمَعَاصِى yang memiliki
arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan.
4.
Ra(ر)
adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah.
5.
Ya (ي) adalah
kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Keyakinan.
Selain lima filosofi kata santri diatas, beberapa sumber menyebutkan bahwa
kata santri hanya berasa dari empat huruf, yang antara lain terdiri dari sin,
nun, ta, ra. Dan dari segi pemaknaan pun memiliki beberapa perbedaan
sebagaimana berikut:
1.
Sin : Satrul al aurah (menutup aurat)
2.
Nun : Naibul ulama’ (wakil dari ulama’)
3.
Ta’ : Tarku al ma’shi (meninggalkan kemaksiatan)
4.
Ra’ : Raisul ummah (pemimpin ummat)
Bahkan, yang lainnya malah menyebutkan bahwa kata santri sebagai sebuah
singkatan dari bahasa indonesia. Yang kepanjangannya tidak jauh beda dengan apa
yang telah dikemukakan di atas. Yakni:
1.
S : satir al-‘uyub wa al-aurat, Artinya menutup aib dan
aurat. Yakni aib sendiri maupun orang lai
2.
A : aminun fil amanah, Artinya bisa di percaya dalam
megemban amanat.
3.
N : nafi’ al-‘ilmi, Artinya bermanfa’at ilmunya. Dan
inilah yang sangat diidamkan oleh semua santri. Ketika ia telah melalui
masa-masa menimba ilmu, pasti harapan akhirnya adalah mampu mengamalkan ilmu
tersebut.
4.
T : tarik al-maksiat, Artinya meninggalkan maksiat.
5.
R : ridho bi masyiatillah, Artinya Ridho dengan apa yang
diberikan Allah
6.
I : ikhlasun fi jami’ al-af’al, Artinya ikhlas dalam
setiap perbuatan.
1.5.4
Pondok Pesantren
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok
pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa
menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok
pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para
santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau
barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang
disediakan untuk persinggahan.
Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata
santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an
yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg, berpendapat
bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli
kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan. (Yasmadi,2002:62)
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan
pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri atau tempat murid
/ santri mengaji. Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat
penulis kemukakan dari pendapatnya seorang ahli, yaitu M. Dawam Rahardjo
memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran
agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang
setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya,
definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren
tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah
perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali
tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah
sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi. (Dhofier,1994:18)
Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan mengajarkan
mengem-bangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam keadaan semacam ini masih
terpada pada pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan Pulau Madura yang bercorak
tradisional. Namun pesantren yang modern tidak hanya mengajarkan agama saja,
tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, ketrampilan dan sebagainya sebagaimana
yang kita ketahui pada Peranan Pondok Pesantren Gontor, yang sudah menerapkan
sistem dan metode yang menggabungkan antara sistem pengajaran non klasikal
(tradisional) dan sistem klasikal (sekolah).
Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran
Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga
diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar
pada seseorang kyai untuk memperdalam/memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu agama
yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan
di dunia maupun akhirat.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
2.1
Sosiolinguistik
Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa
tidak jauh berbeda, diantaranya adalah menurut Abdul Chaer, sosiolinguistik
merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu
sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial
di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4). Menurut
dalam suatu masyarakat tutur (Kridalaksana, dalam Abdul Chaer 2004:3
197). Kridalaksana,
sosiolingusistik merupakan ilmu
yang mempelajari ciri bahasa, beberapa variasi bahasa dan hubungan antara pengguna bahasa dengan
ciri fungsi variasi bahasa Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan
kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu
bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu
wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan
interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sosiolinguistik
sebagai cabang linguistik memandang atau
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di
dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai
individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia
dalam bertutur akan
selalu dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi
disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi
bahwa (2006:7), Sosiolinguistik
sebagai ilmu interdisipliner yang
menggarap masalah-masalah
kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan
kultural.
2.2
Masyarakat Bahasa
Dalam kamus
linguistik masyarakat bahasa (speech
community) adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang
merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar
yang sama (Harimurti Krida Laksana, 2001:134).
I Dewa Putu Wijana dan muhammad
Rohadadi (2006:46) menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur.
Mereka berpendapat bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup
luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan
dengan kelompok masyarakat yang lain
atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. “Masyarakat Bahasa
(Speech Community) menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968)
Masyarakat bahasa adalah sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi
sekelompok orang dalam pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan
keganjilan bahasa. Dell Hymes (1972/1973) Masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat yang tidak hanya
menggunakan satu aturan yang sama secara
bersama-sama dalam berbicara,
tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu
variasi bahasa. Glyn
Williams (1992) Masyarakat bahasa adalah
sekumpulan individu dalam
interaksi. Bernard Spolski (2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang
yang menggunakan satu bahasa dengan pengucapan dan gramatika yang sama atau
berbeda”. (http://www.sigodang.blogspot.com / 27 / 11 / 2008).
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara
eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya
disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan
komunikatif meliputi kemampuan bahasa
yang dimiliki oleh
penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa
tersebut sesuai dengan
fungsi dan situasi
serta norma pemakaian dalam
konteks sosialnya. Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok
disebut verbal repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu verbal repertoire yang dimiliki
individu dan yang
dimiliki masyarakat. Jika
suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan
memiliki penilaian yang sama
terhadap pemakaian bahasa
yang digunakan dalam
masyarakat disebut masyarakat
bahasa.
Menurut
Ferdinan De Jsarangih, Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh
masyarakat pada umumnya, dibedakan menjadi tiga masyarakat bahasa, antara lain
(1) Masyarakat monolingual (masyarakat penguna satu bahasa), (2) Masyarakat
bilingual (masyarakat penguna dua
bahasa), (3) Masyarakat multilingual
atau masyarakat penguna lebih dari2 bahasa dalam berkomunikasi (di kutip
dalam http://www.sigodang.blogspot.com/27/11/ 2008).
2.3
Kontak Bahasa
Dalam masyarakat sosial, artinya masyarakat yang
angotanya dapat menerima kedatangan anggota
dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat
akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu merupakan
bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada
masyarakat yang mengalami kontak bahasa.
Bahasa
Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena berakar dari tradisi etnik
lokal yang kemudian
dimodifikasi dan diadopsi
menjadi bahasa persatuan yang
berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat
fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia
dialek Betawi, dialek
Banyumas, dialek Surakarta,
dialek Yogyakarta, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang,
dialek Papua dan lain sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal
ini adalah aspek parole dari bahasa. Dari
kontak bahasa tersebut akan
dengan menggunakan
dwibahasa tersebut sehingga menimbulkan alih kode, campur kode,
dan interverensi.
2.3.1
Alih Kode
Menurut Appel dalam Abdul Chaer (2004:114) mendefinisikan
alih kode sebagai gejala peralihan bahasa karena perubahan situasi. Tetapi
menurut Dell Hymes, dalam Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode
bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam
atau gaya-gaya yang berbeda dalam suatu bahasa. Apabila seseorang berkomunikasi
semula menggunakan bahasa Jawa, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia,
atau berubah dari ragam santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka
peralihan pengunaan bahasa seperti itu
disebut alih kode (code
switching) di dalam
sosiolinguistik peristiwa alih kode biasa berwujud alih varian, alih
ragam, alih gaya, atau alih register (Soewito, 1983:68).
Alih kode dapat berupa alih kode tetap dan alih kode
sementara atau tidak tetap. Alih kode tetap merupakan alih kode jika penutur
semula menggunakan bahasa X kemudian tidak lagi menggunakan bahasa X akan
tetapi menggunakan bahasa Y. Untuk alih kode sementara peralihan penggunaan
bahasa X ke dalam bahasa Y yang sifatnya hanya sementara dapat berubah lagi
menggunakan bahasa sebelumnya (bahasa X) hal tersebut karena dipengaruhi
faktor-faktor tertentu. Pendapat Soewito (1983: 69) alih kode terdiri
dari dua, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode
intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, sedangkan alih
kode ekstrn terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
Alih kode
interen nampak misalnya ketika orang semula menggunakan bahasa Jawa kemudian
beralih menggunakan bahasa Indonesia, bisa juga orang semula menggunakan bahasa
Jawa ragam ngoko kemudian mengunakan bahasa Jawa ragam krama, disebabkan
sesuatu hal. Sedangkan alih kode ekstern nampak
jika seorang penutur semula menggunakan bahasa Jawa tetapi atas suatu hal
penutur tersebut beralih menggunakan bahasa Arab.
Menurut Suwito (1983:
72),
wujud alih kode
intern maupun ekstern dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1) Penutur atau orang pertama, dilakukan dengan maksud mengubah situasi dari
situasi resmi ke situasi tak resmi. 2)
Mitra tutur atau orang kedua, pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tutur. 3) Hadirnya orang ketiga, hal tersebut karena ingin
berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. 4) Pokok pembicaraan atau topik,
biasanya berupa pokok pembicaran formal informal. 5) Untuk membangkitkan rasa
humor, agar tidak merasa bosan atau tegang. 6) Untuk sekedar gengsi, bahwa
penutur mampu mengunakan bahasa lain.
2.3.2
Campur Kode
Hampir rancu pengertian alih kode dan campur kode,
kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah orang yang mengunakan
dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat
tutur. Banyak ragam pendapat mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau
dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih
memiliki fungsi otonom masing-masing, dilakukan
dengan sadar, dengan
sengaja dengan sebab-sebab
tertentu. Sedangkan campur kode dilakukan untuk mempermudah menyampaikan
suatu hal dan tidak serta-merta dilakukan dengan sadar, tetapi dilakukan secara
spontanitas.
Menurut
Thender (1976) seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer (2004:115) dalam
membedakan campur kode dengan alih kode apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa
tersebut adalah alih kode. Tetapi di dalam suatu peristiwa tutur baik
klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa
campuran (hybrid clauses, hybrid pharase),
dan masing-masing klausa
atau frasa itu
tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode.
Menurut Kachru dalam Suwito (1983: 76) memberikan batasan
campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan
unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten. Campur
kode dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor yang menjadi sebab terjadinya campur
kode menurut Suwito dalam Mulyani (tesis tahun 2004) berlatar belakang pada
sikap dan kebahasaan. Sehingga atas dasar tersebut, faktor penyebab alih kode
adalah: 1) Identifikasi peranan, yaitu berkenaan dengan sosial, registral, dan
edukasional. (2) identifikasi ragam, dimana seseorang ingin menempatkan dalam
hierarkhi status sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.
Dari hal di atas ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tumpang tindih.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini bisaanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti
latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Bisaanya ciri
menonjolnya berupa keadaan santai atau situasi informal. Namun bisa terjadi
karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak
ada padanannya, sehingga
ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu
fungsi. Campur kode termasuk
juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu; (1) campur kode ke
dalam (innercode-mixing) adalah campur kode
yang bersumber dari bahasa asli dengan segala ragamnya, (2) campur kode ke luar
(outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Ditinjau
wujud lingualnya, sebagian bahasa yang diperoleh dari bahasa lain dapat berupa
kata-kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau unit-unit bahasa yang lebih besar.
Wujud campur kode dapat dibedakan berdasarkan
unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya (Suwito, 1983: 78) yaitu:
1.
Unsur yang berwujud kata yang disisipkan.
A: Nggih pak nderekke
‘ Ya pak mengikuti’
B :
Antum mau ikut?
‘Kamu (laki-laki) mau ikut?’
2.
Frasa yang disisipkan.
Nggih napa naminipun ukuwah ihwah,
saudara bersaudara jenengan niku saudara kula.
‘Ya apa namanya rasa persaudaraan,
saudara bersaudara anda itu saudara saya’
3.
Bentuk baster yang disisipkan.
Dilanjutkan dengan pengaosan
ataupun ta’lim rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat wal’afiah.
‘Dilanjutkan dengan pengkajian
atau pertemuan rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat dan selamat’.
4.
Pengulangan kata yang disisipkan.
Wasilah-wasilah utawi napa namine
niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru,
iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepinda napa mbah?
‘Hal-hal atau
apa namanya itu
perantara-perantara agar keyakinan
kita bertambah, agar keyakinan kita baru, keyakinan kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa
embah?’
5.
Ungkapan atau idiom yang disisipkan.
Kemudian sing nomer tiga niku
nggih punika mencuri, haa. Syirik, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri.
Rasullullah niku bersabda assarikku wasarikoh fatau uadiaadiahuma.
‘Kemudian yang nomor tiga itu ya
itu mencuri, haa. Menyekutukan, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri.
Rosullullahitu bersabda pencuru itu potonglah tanganya.’
6.
Klausa yang disisipkan.
Napa buk kira-kira? Qira’atul e..
dzikrullah fi ayamillah, yaitu dzikir dhumateng Allah
dimanapun kita berada. Dzikir nggih buke. Dzikir ndek mbiyen punika buk napa
namine?
‘Apa buk
kira-kita? Membaca e..
mengingat Allah dimanapun,
yaitu mengingat kepada Allah dimanapun kita berada. Dikir ya buk. Dikir
kala dulu itu buk apa namanya?’
Dari hal tersebut campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa. Artinya penutur yang mempunyai
latar belakang tertentu
ingin menduduki fungsi
tertentu yaitu menunjukkan
status sosial dan identitas pribadi dalam masyarakat, menurut pendapat Suwito
(1983:78).
2.3.3
Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) dalam Abdul Chaer (2004:120) untuk menyebut adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa
tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan
dua bahasa secara
bergantian, dan penutur
multi lingual, masyarakat
pengguna bahasa-bahasa secara bergantian.
Mackey dalam paul ohoiwutun (2007), menyebut gejala
interferensi dapat dilihat dalam 3 (tiga) dimendi kejadian : (1) dimensi
tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. (2) dari
system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. (3) dimensi
pembelajaran bahasa. Dimensi tingkah laku individu penutur dapat disimak dari
berbagai praktek campur kode yang dilalukan penutur yang bersangkutan.
Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu
sendiri yaitu menyampur atau mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa
yang satu untuk dirakit dalam konteks bahasa lainya. Interferensi dapat masuk
dalam masyarakat karena sistem ke-dua bahasa yang kedua bahasa atau lebih
merupakan bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Sehingga
interferensi muncul untuk suatu tujan tertentu oleh individu penguna bahasa.
Interferensi jenis ke-tiga yaitu dalam dimensi
pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran bahasa ke-dua atau Asing,
pembelajar tentu menjumpai unsurunsur yang mirip atau mungkin sama dengan
bahasa pertama (bahasa induk). Kondisi demikian dianggap
dapat mempermudah proses
pembelajaran. Pembelajaran
menyesuaikan unsur-unsur yang
mirip dan sama
itu dalam mengenai
dan menggunakan sistem bahasa yang baru. Proses ‘transfer’ ini
diidentifikasi sebagai transfer positif. Sebaliknya bahasa pertama dengan
bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang
mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis
pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai
transfer (pembelajaran) negative. Transfer positif dapat dapat dijadikan alat
oleh guru untuk
membantu keberhasilan pembelajaran.
Sebaliknya guru dapat berupaya mengurangi sedapat mungkin terjadinya
transfer negatif pada siswa.
Baik transfer positif maupun negatif tergolong
interferensi, karena kedua-duanya
melibatkan pengalihan unsur-unsur
bahasa dari satu
bahasa yang satu kedalam bahasa yang lainnya.
Interferensi terjadi dalam pembelajaran bahasa secara resmi di kelas dan dapat
juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa ke-dua atau bahasa asing di luar
program kelas, misalnya adalah hal pidato, kajian agama atau ta’lim atau dalam
pergaulan kita dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual. Jika
interferensi dalam masyarakat
berlangsug dalam waktu
yang lama sehingga unsure serapan
dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan system bahasa
penyerapnya, sehingga menjadi umun karena tidak lagi terasa asing oleh suwito
disebut dengan integrasi (Suwito, 1983:59).
2.4
Pengertian
Bahasa
Bahasa
memiliki beribu banyak arti. Secara sederhana bahasa dapat di definisikan
sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati atau alat
untuk berinteraksi maupun berkomunikasi, dalam arti untuk mrnyampaikan pikiran,
gagasan, konsep atau perasaan.
Bahasa adalah
sebuah sistem, Artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi,
setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep.
Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau
makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. (dikutip pada
tanggal 26/10/2016 jam 08:00 WIB dari http://dibustom.wordpress.com dan http://erikgundar.wordpress.com)
2.5
Ciri-ciri atau Karakteristik dari
Bahasa
Ciri yang
paling umum dari bahasa adalah bahasa itu berupa bunyi, kemudian bahasa itu
adalah suatu sistem dan bahasa itu bermakna. Ada lagi beberapa ciri ataupun
karakteristik dari bahasa yaitu, abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan
manusiawi.
1.
Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat
abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak
bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang
tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan
‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa
dijelaskan.
Meskipun
bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu
bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia
akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan
‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep
yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.
2.
Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat
produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat
dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya
mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata
tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
3.
Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis
berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan
sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja:
fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu
mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama
yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4.
Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun
bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu
digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan
kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran
fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang
digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga
bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab
Saudi.
5.
Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa
sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai
bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau
gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai
bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar.
Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan
bahwa bahasa itu bersifat manusiawi. (dikutip pada tanggal 26/10/2016 jam
08:00 WIB dari http://dibustom.wordpress.com dan http://erikgundar.wordpress.com)
2.6
Fungsi-fungsi Bahasa
Secara umum
fungsi bahasa yang paling di kenal adalah sebagai alat berinteraksi dan
berkomunikasi sesame manusia. Namun terdapat tambahan beberapa fungsi bahasa,
yaitu seperti:
1.
Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk
memperoleh sesuatu
2.
Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk
mengendalikan prilaku orang lain
3.
Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi
dengan orang lain
4.
Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk
berinteraksi dengan orang lain
5.
Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk
belajar dan menemukan sesuatu
6.
Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk
menciptakan dunia imajinasi
Comments
Post a Comment