Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

ANALISIS ALUR DALAM NOVEL ANGEL AND DEMON BAB 2

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1                   Hakikat Sastra dan Karya Sastra
Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin)  yang  sebenarnya  tercipta  dari  terjemahan  kata   grammatika  (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata “littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan,  sedangkan  dalam  bahasa  Belanda  terdapat  istilah  bellettrie  untuk merujuk makna belles-lettres. Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan  alat  bahasa.  Sehingga  sastra  memiliki  unsur-unsur  berupa  pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.
Menurut Saryono (2009: 16-17)  sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20). Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma- norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Dunia kesastraan juga mengenal karya  sastra yang berdasarkan cerita atau realita. Karya yang demikian menurut Abrams (via Nurgyantoro, 2009: 4) disebut  sebagai  fiksi  historis  (historcal  fiction)  jika  penulisannya  berdasarkan fakta sejarah, fiksi biografis (biografical fiction) jika berdasarkan fakta biografis, dan fiksi sains sains (science fiction) jika penulisannya berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).
Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya.   Sebagai   media,   peran   karya   sastra   sebagai   media   untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah  pengetahuan  dan  memperkaya  wawasan  pembacanya  dengan  cara yang   unik,   yaitu   menuliskannya   dalam   bentuk   naratif.   Sehingga   pesan disampaikan kepada pembaca tanpa berkesan mengguruinya.
2.2                   Hakikat Novel Sebagai Suatu Karya Sastra
Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary (via Tarigan, 1991: 120), kata fiksi dalam bahasa Inggris disebut fiction yang diturunkan dari bahasa latin fictio, fictum yang berarti membentuk, membuat, mengadakan, dan menciptakan. Dikatakan oleh Tarigan (1991: 122) bahwa fiksi juga bersifat realitas, sedangkan nonfiksi bersifat aktualitas. Penulis fiksi harus dapat menghidupkan tokoh, peristiwa dan cerita agar pembaca menaruh perhatian serta yakin akan hak yang terjadi itu.
Pembagian fiksi dapat berdasarkan isi maupun bentuknya. Menurut Lubis (via Tarigan, 1991: 157-162) berdasarkan isinya, fiksi dapat diklasifikasikan atas romantik,  realisme,  sosialis  realisme,  naturalisme,  ekspresionisme  dan simbolisme.  Romantik  ialah  cara  mengarang  yang  mengidealisasikan penghidupan dan pengalaman manusia yang menekankan pada hal yang lebih baik. Realisme secara umum menulis apa yang dilihat dalam kehidupan dalam segi jasmani, sehingga mengesampingkan aspek rohani. Sosialis-realis dimaksudkan untuk menuliskan penghidupan yang materialisme dan dangkal berdasarkan dogma Marxisme tentang sejarah dan masyarakat. Realisme sebenarnya adalah penulisan yang berusaha menggambarkan kehidupan yang mencakup segala segi kehidupan baik dalam manifestasi jasmani, intelek, maupun rohaninya secara utuh. Naturalisme merupakan penulisan yang memusastkan pada kehidupan manusia dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan kemanusiaannya. Ekspresionisme adalah penulisan yang menonjolkan luapan-luapan dari jiwa si pengarang sendiri. Jenis terakhir adalah simbolisme yang diartikan bahwa penulisan  sastra  banyak  menggunakan  simbol-simbol  untuk  menggambarkan suatu kehidupan atau perasaan manusia.
Dalam khazanah kasusastraan, karya fiksi berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi roman atau sering di sebut juga novel, novelette dan cerpen. Namun,   pada   dasarnya,   perbedaan   tersebut   terletak   pada   kadar   panjang- pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita. Unsur-unsur yang terkandung dalam karya fiksi dan cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meski dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itu, hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman ataupun ketrampilan melalui telaah tersebut dapat diterapkan dalam menelaah novel maupun cerpen (Aminuddin, 1987: 66-67).
Menurut Yassin (dalam Nurgiyantoro, 2009: 15), roman adalah cerita yang  ditulis  dalam  bahasa  roman  yaitu  bahasa  rakyat  Prancis  pada  abad pertengahan. Roman juga dapat diartikan sebagai cerita prosa yang melukiskan pengalaman lahir dari beberapa orang yang berhubungan satu sama lain dalam suatu keadaan. Sedangkan Virginia Wolf (dalam Tarigan, 1984: 30) mengemukakan bahwa novel adalah sebuah eksplorasi atau satu kronik penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, kehancuran atas tercapainya gerak-gerik hasrat-hasrat
Menurut Frye dalam Nurgiyantoro (2009: 15), roman lebih tua daripada novel. Roman tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata (realistis). Roman lebih merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang bersifat introvert dan  subjektif.  Di  sisi lain,  novel  lebih mencerminkan  gambaran  tokoh  nyata, tokoh  yang berangkat  dari realitas sosial.  Meskipun novel,  cerita  pendek  dan roman sering dibedakan. Namun, pada perkembangan selanjutnya antara novel dan roman sudah tidak dibedakan lagi. Sedangkan antara novel dan cerita pendek masih   dibedakan.   Pembedaan   tersebut   tidak   hanya   terletak   pada   panjang pendeknya  cerita,  melainkan  meliputi  aspek-aspek  pembentuk  lainnya  karena pada dasarnya novel merupakan bentuk pencitraan yang bebas, lebih rinci, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiyantoro, 2009: 8-12).
Secara rinci, novel berasal dari bahasa latin novellus, diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Novel merupakan karya sastra yang paling baru dibandingkan puisi, drama, dan lainnya. Dalam The American College Dictionary, novel diartikan sebagai suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut. Novel merupakan suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian luar biasa  dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik yang mengalihkan jurusan nasib mereka (Suroto, 1989:19). Dari segi jumlah kata, biasanya suatu novel berkisar antara 35.000 hingga tak terbatas jumlahnya (Tarigan, 1991: 164-165).
Dalam bukunya, Peyroutet (1991: 12) menyatakan bahwa cerita novel memiliki beberapa jenis, yaitu: 1) le récit réaliste, adalah novel yang menggambarkan kejadian secara nyata, 2) le récit historique, adalah novel yang menceritakan fakta pada suatu masa, 3) le récit d’aventures, novel yang menceritakan tentang petualangan dan kejadian-kejadian mengejutkan yang dialami tokoh, 4) le récit policier, adalah novel yang menceritakan tentang pahlawan,   polisi,   maupun   detektif,   5)   le   récit   fantastique,   novel   yang menceritakan kisah aneh dan irrasional, dan 6) le récit de science-fiction, novel yang menceritakan suatu kisah yang dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Goldmann via Faruk (1994: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, romantisme keputusasaan, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu dengan dunia. Novel tersebut memperlihatkan suatu idealisme. Novel kedua menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas, sehingga berdiri sendiri dan terlepas dari dunia. Sang hero cenderung pasif. Novel ketiga berada di antara keduanya, yaitu sang hero mempunyai  interioritas  dan  juga  ingin  bersatu  dengan  dunia.  Hal  tersebut disebabkan oleh adanya interaksinya dengan dunia, hero itu mengalami kegagalan dan menyadari sebab kegagalan itu.
Dalam menggambar dunia roman (novel) penulis mau tidak mau melakukan kegiatan kreatif, dimulai dari menyeleksi bahan-bahan dari seluruh kenyataan yang tak terbatas, kemudian menciptakan struktur naratif dengan sudut pandang  tertentu yang membatasi kebebasannya selaku penggambar kenyataan. Selanjutnya, Tarigan (1991: 171-172) menegaskan bahwa seorang novelis adalah seorang yang humanis karena berfungsi memperkenalkan pembaca pada pengetahuan tentang tabiat manusia yang serba  kompleks dalam  bahasa  yang terpilih.
2.3                   Unsur Struktural dalam Karya Sastra
Hill (via Pradopo, 1995: 93) menyatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahami perlu adanya analisis, yaitu penguraian terhadap unsur-unsurnya. Penafsiran terhadap karya sastra bertujuan untuk memperjelas artinya. Selain itu, Pradopo (via Endraswara, 2008:
10) mengungkapkan bahwa  analisis sastra dilakukan untuk memahami makna karya sastra sedalam-dalamnya.
Selanjutnya, Endraswara (2008: 10-11) mengemukakan bahwa penelitian sastra dapat berfungsi bagi kemajuan sastra itu sendiri dan kepentingan di luar sastra. Kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkatkan  kualitas  cipta   sastra.  Sedangkan   kepentingan   di  luar  sastra berkaitan dengan aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagainya  yang  sangat  dipengaruhi  oleh  kandungan  sastra  sebagai  dokumen zaman. Sehingga penelitian sastra memiliki nilai pragmatik yang akan bermanfaat bagi ilmu lain yang relevan.
Penelitian sastra tidak hanya sekedar bertugas ilmiah murni atau bersifat akademis, tetapi juga harus mampu memberi pencerahan bagi perkembangan,  seleksi,  penyebarluasan  sastra  dan  menjelaskan  hal-hal  yang terkait di dalamnya. Jadi fungsi penelitian sastra akan menjadi medium bagi pembaca untuk memahami isi cerita dan makna dalam teks yang ditulis penulis.
Menurut Mukarovsky dan Felik Vodicka (via Ratna, 2004: 93) karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai seni, sehingga untuk menganalisisnya memerlukan metode struktural  dan semiotik.  Strukturalis  pada  dasarnya  merupakan  cara  berpikir  tentang  sesuatu yang  berhubungan  dengan  tanggapan  dan  deskripsi  struktur-struktur.  Teeuw (1984: 135) mengemukakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.
Pembahasan secara struktural adalah langkah awal penelitian sastra. Penelitian struktural dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri  (bersifat  otonom).  Pemahamannya  harus  mengaitkan  antarunsur pembangun karya sastra dengan menekankan aspek intrinsik sastra (Endraswara,
2008: 49-51). Menurut Abrams (via Djoko Pradopo, 1981: 68), pendekatan strukturalis dalam karya sastra merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur pembentuknya.  Analisis struktural merupakan prioritas lain sebelum yang lainnya karena tanpa itu kebulatan makna intrinsik tidak akan tertangkap (Teeuw, 1983: 61).Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita (unsur-unsur cerita). Unsur-unsur pembangun cerita dalam sebuah novel  yang membentuk totalitas terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
2.3.1             Unsur intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, yaitu meliputi: cerita, peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro,  2009: 23).  Unsur  inilah yang menyebabkan  karya  sastra  hadir sebagai karya sastra. Sebagai unsur yang membangun sebuah karya sastra, kehadiran unsur intrinsik sangat diperlukan. Untuk mengkaji unsur intrinsik dalam penelitian ini dibatasi pada unsur alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan tema. Selanjutnya  akan  diuraikan  teori-teori  tentang  unsur-unsur  tersebut  sebagai berikut sebagai batasan pada uraian hasil analisis.

2.3.1.1       Alur (l’intrigue)
Alur sering juga disebut dengan istilah plot atau jalan cerita. Schmitt dan Viala (1982: 62) menyatakan bahwa alur merupakan serangkaian dari tindakan, keadaan, situasi, dan kejadian yang dialami oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur mengandung hubungan antarperistiwa yang memiliki sebab akibat (logis), tidak   sekedar   berurutan   secara   kronologis   saja.   Oleh   karena   itu,   dalam menentukan alur sebuah novel, hal yang harus dilakukan pertama kali adalahmencari  unsur  terkecilnya,  yaitu  sekuen.  Sekuen  dibentuk  oleh  setiap  bagian ujaran yang akan membentuk suatu satuan makna (Zaimar, 1990: 33).
Sekuen adalah suatu cara umum, satu segmen dari teks yang membentuk semua hubungan logis dalam satu titik pusat perhatian. Selanjutnya, dinyatakan bahwa sekuen adalah mengemukakan tentang sekuen yang menbentuk hubungan keterkaitan dengan cerita. Dalam buku Savoir-Lire, Schmitt dan Viala (1982: 63) menyatakan bahwa:
“Un séquence est d’une façon générale, un segment de texte qui forme un
tout cohérent autour d’un même centre d’intérêt. Un séquence narrative correspond à une série de faits représent une étape dans l’évolution de l’action.”
“Sekuen secara umum  adalah bagian dari teks yang membentuk hubungan keterkaitan yang berada pada cerita inti. Sekuen sendiri berasal dari urutan potongan-potongan   cerita   yang   diwujudkan   melalui   tahapan-tahapan dalam perkembangan cerita.”
Dalam menentukan  sekuen,  perlu  diperhatikan dua  kriteria,  yaitu  : (1) harus harus berpusat pada satu titik fokus, yang memiliki pengamatan terhadap satu atau objek yang sama atau satu pandangan yang sama terhadap objek yang berbeda-beda dan (2) sekuen harus membentuk koherensi waktu dan ruang,peristiwa terjadi pada tempat dalam satu periode kehidupan seseorang, atau kejadian-kejadian yang memiliki kesamaan ide (Schmitt & Viala, 1982: 27).
Berdasarkan hubungan antarsekuen tersebut, Barthes (1981: 15-16) mengemukakan bahwa ada dua fungsi sekuen, yaitu fonction cardinale (fungsi utama) dan fonction catalyse (fungsi katalisator). Satuan-satuan yang memiliki fungsi utama   dihubungkan berdasarkan hubungan sebab-akibat atau hubungan logis. Fungsi inilah yang memiliki peran utama dalam mengarahkan jalan cerita.
Satuan yang memiliki fungsi katalisator berfungsi menghubungkan cerita yang lain, mempercepat, memperlambat, melanjutkan kembali, merangkum, mengantisipasi, dan kadang-kadang membingungkan pembaca.
Untuk menentukan akhir cerita dari pemahaman keseluruhan cerita, ada tujuh tipe akhir cerita seperti yang disampaikan oleh Peyroutet (1991: 8), yaitu:1)   Fin retour à la situation de départ (akhir yang kembali ke situasi awal cerita).2)   Fin heureuse (akhir yang bahagia/ menyenangkan). 3) Fin comique (akhir cerita yang lucu). 4) Fin tragique sans espoir (akhir cerita yang tragis tanpa harapan)5)   Fin tragique espoir (akhir cerita yang tragis dan masih ada harapan). 6) Suite possible (akhir cerita yang mungkin masih berlanjut) 7) Fin  réflexive (akhir  cerita  yang  ditutup  dengan  ungkapan  narator  yang mengambil hikmah dari cerita).
2.3.1.2       Penokohan (les personnages)
Membicarakan sebuah fiksi, tidak dapat terlepas dari istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi. Istilah tokoh  menunjuk  pada  orangnya  atau  pelaku  cerita.  Watak,  perwatakan  dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi   menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak- watak   tertentu   dalam   sebuah   cerita   (Nurgyantoro,   2009:  164-165).   Telah dijelaskan oleh Todorov (1981: 132) bahwa tokoh memiliki peran penting dalam suatu cerita, seperti yang dikutip berikut:
“Dans cette littérature, le personnage nous semble jouer un rôle de premier
ordre et c’est à partir de lui que s’organisent les autres éléments du récit.”
“Dalam karya sastra, tokoh seakan-akan memainkan sebuah peran dari kedudukan  utama  dan  merupakan  awalan  yang  mengatur  unsur-unsur lainnya dalam cerita.”
Jika dilihat dari peran tokoh dalam pengembangan plot, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani dan mendukung tokoh utama. Jika dilihat dari fungsi penampilan  tokoh  dapat  dibedakan  ke  dalam  tokoh  protagonis  dan  tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik. Meskipun konflik   tidak   hanya   disebabkan   oleh   tokoh   antagonis,   melainkan      dapat disebabkan oleh hal lain yang di luar individualitas seseorang, seperti bencana alam,   kecelakaan,   lingkungan   alam   dan   sosial,   aturan-aturan   sosial,   dan sebagainya.  Menurut  Altenbernd  (via  Nurgyantoro,  2009: 178-179),  penyebab konflik yang tak dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic forcé.
Schmitt dan Viala (1982: 69-70) mengemukakan bahwa tokoh adalah pelaku dalam cerita yang tidak hanya mengacu pada manusia, tetapi juga mengacu pada suatu benda, binatang, atau etau entitas seperti kebenaran, kematian, dan sebagainya yang dapat dipersonifikasikan selayaknya manusia. Selanjutnya, untuk mengetahui karakter tokoh dapat dilakukan dengan teknik pelukisan secara langsung yang dapat ditemukan dalam teks (1), melihat dari sisi psikologis dan lingkungan sosial (2), serta sikap dan tindakan tokoh (3). Sedangkan gambaran diri tokoh (le potrait du personnage) akan terbentuk dari pengkombinasian ciri- ciri  tokoh  dan  cara  pengungkapannya.  Ciri-ciri  tokoh  meliputi  ciri-ciri  fisik, psikologis, dan sosial.
2.3.1.3       Latar (l’espace)
Menurut  Abrams  (via  Nurgyantoro,  2009: 216),  fiksi  sebagai  sebuah dunia, selain membutuhkan tokoh, cerita, plot, dan tokoh juga memerlukan latar. Latar  atau  setting yang disebut  juga landas tumpu mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Brooks (dalam Tarigan, 1991: 136) mendefinisikan latar adalah sebagai latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam suatu cerita.
Nurgyantoro (2009: 217-219) mengemukakan tahap awal cerita pada umunya berisi penyesuaian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan, misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin berhubungan dengan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Latar merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk memberikan kesan realistis pada pembaca.  Latar  tempat  dan  waktu  dikategorikan  dalam  latar  fisik  (physical setting). Namun, latar tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu saja, atau yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Inilah yang disebut  dengan  latar  spiritual (spiritual  setting).  Dengan  demikian, latar dapat dibedakan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1.                       Latar tempat (le lieu)
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar juga harus didukung oleh kehidupan sosial masyarakat, nilai- nilai, tingkah laku, suasana, dan sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya (Nurgyantoro, 2009: 227-228).
2.                       Latar waktu (le temps)
Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Menurut Genette (via Nurgyantoro, 2009: 231) latar waktu memiliki makna ganda, yaitu mengacu pada waktu penulisan cerita dan urutan waktu kejadian yang dikisahkan dalam cerita.
3.                       Latar sosial (l’espace social)
Latar  sosial  melukiskan  perilaku  kehidupan  sosial  masyarakat  pada  suatu tempat dala karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap yang tercermin dalam kehidupan masyarakat yang kompleks (Nurgyantoro, 2009:233).
2.3.1.4       Sudut pandang (Le point de vue)
Schmitt  dan  Viala  (1982:  55-59)  menyatakan  bahwa  sudut  pandang adalah pandangan yang digunakan pengarang untuk menceritakan tindakan- tindakan dalam sebuah cerita. Terdapat empat teknik dalam menyampaikan sudut pandang, yaitu:
1.                       Le mode de visión externe (teknik sudut pandang dari luar)
Cerita disajikan dari sudut pandang seorang pengamat peristiwa di luar tokoh yang terdapat dalam cerita.
2.                       Le mode de visión interne (teknik sudut pandang dari dalam)
Cerita disampaikan dari sudut pandang tokoh dalam cerita, baik melalui subjek orang pertama maupun orang ketiga.
3.                       Le mode de visión par en-dessus (teknik sudut pandang maha tahu)
Cerita disampaikan melalui sudut pandang seorang narator yang mengetahui segala tindakan, pikiran, dan perasaan para tokoh sehingga dapat menceritakan berbagai tindakan dalam waktu dan tempat yang berbeda dengan bebas.
4.                       Les modes de visión mêlés (teknik sudut pandang campuran)
Teknik ini merupakan teknik sudut pandang yang menggabungkan teknik le mode de visión externe, le mode de visión interne, dan le mode de visión par en-dessus.
Selanjutnya Schmitt dan Viala (1982: 59-60) juga menyatakan bahwa dalam fiksi narator berbeda dengan tokoh. Narator adalah seseorang yang menceritakan kisah. Narator dapat berada di dalam teks, di luar teks, atau tidak ada. Narator dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.                       Le narrateur-relais (narator estafet)
Disebut narator estafet karena ia merupakan pengamat dari luar yang menceritakan suatu kisah yang telah diceritakan kepadanya.
2.                       Le narrateur effacé (narator tersembunyi)
Narator tersembunyi adalah narator yang tidak terlihat saat menceritakan kejadian-kejadian, meskipun ceritanya ada. Ia adalah organisator cerita yang menyusuna cerita dan memaparkan tindakan-tindakan secara rahasia atau tidak nampak.
3.                       Le narrateur personnage (narator tokoh)
Narator tokoh adalah pencerita yang berasal dari tokoh dalam cerita, yaitu sebagai orang pertama.
2.3.1.5       Tema (le thème)
2.3.1.6       Stanton (via Nurgyantoro, 2009: 68) menyatakan bahwa setelah diketahui dan dapat dideskripsikan alur, penokohan, latar, dan sudut pandang, maka akan didapatkan pemahaman tentang tema sebagai unsur penting yang membangun keseluruhan cerita.  Tarigan  (1985: 125)  mengemukakan  pendapat Brooks dan Warren bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Menurut Schmitt dan  Viala (1982: 29  &  39),  tema  merupakan isotopi kompleks yang disusun dari beberapa motif dimana motif merupakan isotopi sederhana dalam unsur-unsur pembentuk cerita. Tema juga diartikan sebagai pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra. Secara sederhana, tema adalah dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah cerita.
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi bisa lebih dari satu. Hal tersebut menurut  Nurgiyantoro  (2009: 82-83)  menyebabkan  sulitnya  menentukan  tema pokok cerita atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar dalam keseluruhan cerita, sedangkan makna tambahan yang terdapat di dalamnya disebut tema tambahan atau tema minor. Penafsiran terhadapnya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita tersebut.
2.3.2             Unsur Ekstrinsik
Kelemahan penelitian struktural adalah hanya menekankan pada sastra secara otonom sehingga menghilangkan konteks, fungsinya dan relevansi sosial, yang  justru  asal-usulnya  (Ratna,  2004:  332).  Sehingga  diperlukan  análisis terhadap unsur ekstrinsik agar karya sastra dapat bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara spesifik, unsur tersebut dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya.  Seperti  halnya  unsur  intrinsik,  unsur  ekstrinsik  juga  terdiri  dari sejumlah   unsur.   Unsur-unsur   tersebut   meliputi   latar   belakang   kehidupan pengarang, keyakinan, dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain- lain (Suroto, 1989: 138) yang kesemuanya akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita.
2.4                   Keterkaitan antarunsur Karya Sastra
Suatu cerita merupakan kesatuan yang utuh dari unsur-unsur pembangunnya. Sebuah novel juga memiliki totalitas yang mempunyai unsur- unsur yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan antar unsur tersebut ditunjukkan melalui hubungan antara alur, penokohan, dan latar yang diikat oleh tema.
Alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgyantoro, 2009: 114). Latar merupakan pijakan konkret tentang tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh. Melalui analisis terhadap alur, latar, tokoh, dan sudut pandang akan mengungkapkan tema yang mendasari suatu cerita.
2.5                   Strukturalisme Genetik dalam Sastra
Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan kepada analisis strukturalisme murni yakni analisis terhahap  unsur intrinsik. Teori ini ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf  dan sosiolog Rumania-Prancis. Teori ini merupakan analisis struktur yang memberikan perhatian terhadap asal- usul karya sehingga mencakup kajian unsur intrinsik dan ekstrinsik (Ratna, 2004:
122-123). Faruk (1994: vi) menyatakan pentingnya strukturalisme genetik karena merupakan langkah pertama dalam sosiologi sastra yang mengarah pada usaha memperlakukan   sastra   secara   lebih   proporsional.  
Dalam   buku   Pour   une Sociologie du Roman, Goldmann (1964: 345) menyatakan bahwa:
“Le structuralisme génetique a représenté un changement total d’orientation, son hypothèse fondamentale étant précisément que le caractère collectif de la création littéraire provient du fait que les structures du l’univers de l’oeuvre sont homologues aux structures mentales de  certains groupes sociaux  ou  en  relation  inteligible  avec elles, alors que sur le plan des contenus, c’est-à-dire de la création d’univers imaginaires régis par ces structures, l’écrivain a une liberté
totale.”
“Strukturalisme  genetik  menghadirkan  kembali  perubahan  orientasi secara total, hipótesis dasar yang lebih jelas daripada karakter kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia sastra tersebut homologi  dari  struktur  mental  dari  kelompok  sosial  tertentu  atau hubungan dengan keduanya dapat dipahami, sedangkan pada struktur ini dapat dikatakan berasal dari penciptaan dunia imajinasi yang ditentukan oleh strukturnya, dan penulis memiliki kebebasan secara total.”
Goldmann (1964: 338) meyakini bahwa strukturalisme genetik berangkat dari hipótesis bahwa seluruh tingkah laku manusia adalah hasil merespon secara siginifikan pada situasi khusus dan dari hal tersebut tercipta keseimbangan antara subjek pelaku dan objek yang dibawa, yaitu dunia sekitar.  Dengan demikian fakta manusia merupakan representasi dari dua proses yang berlawanan, yaitu: destrukturasi dari struktur kuno dan strukturi total yang sanggup mencipta keseimbangan.  Dari  perspektif  tersebut,  fakta  manusia  dipelajari  berkenaan dengan aktifitas ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Goldmann (1964: 339 & 361)  menyatakan bahwa fakta kemanusiaan terbagi  menjadi  dua  subjek,  yaitu:  subjek  individual  (tindakan,  gejala  sakit, mimpi, penyaluran nafsu pada sesuatu yang bernilai) dan subjek kolektif (nilai- nilai karya sastra, budaya dan seni). Selanjutnya Goldmann (1994: 341-342) meyakini bahwa karya kultural yang besar merupakan fakta sosial yang hanya dapat diciptakan oleh subjek trans-individual, dimana ia berasal dari suatu kelompok sosial (keluarga, pekerjaan, bangsa, persahabatan, kelas sosial, dan sebagainya). Hal tersebut menurut Goldmann (via Ratna, 2004: 125) disebabkan oleh trans-individual yang menampilkan pikiran-pikiran individu dengan struktur mental   kelompok.   Trans-individual   merupakan   energi   untuk   membangun pandangan dunia.
Goldmann (1964: 346) mendefinisikan bahwa pandangan dunia adalah kategori-kategori mental yang tidak hanya terdapat pada seseorang mengenai kelompok dalam bentuk kecenderungan yang menyatu. Ekspresi dari pandangan dunia merupakan bagian dari realita imajiner atau konseptual yang terstrukturasi dan   mengembangkan   struktur   dalam   dunia   global   (kesadaran   kelompok diwakilkan melalui pandangan dunia seseorang).
Menurut Goldmann via Faruk (1994: 15-16), untuk menghubungkan struktur masyarakat dan struktur sastra memerlukan mediasi yang berupa pandangan dunia (ideologi). Selanjutnya,   Karena pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang. Sehingga dapat dikatakan, jika mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan dan sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari suatu masyarakat (Ratna,  2004: 125-126).  Sehingga  dapat disimpulkan  bahwa  pandangan  dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu.
Goldmann (1964: 52) menyatakan bahwa dalam roman terdapat hero problematik yang secara nyata melawan pendapat tradisional.   Selanjutnya Goldmann (via Faruk, 1994: 18-19) juga menyatakan bahwa novel didefinisikan sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi. Pencarian itu dilakukan oleh hero yang problematik. Selanjutnya, novel juga dikatakan sebagai genre sastra yang bercirikan  keterpecahan  yang  tidak  terdamaikan  dalam  hubungan  sang  hero dengan dunia, sehingga sang hero menjadi problematik. Yang dimaksud dengan nilai otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel.
Karena memiliki struktur, karya sastra harus koheren dan mempunyai arti, yaitu berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata. Untuk itu, Goldmann (1964:353) mengembangkan metode dialektik pemahaman-penjelasan yang semula fakta kemanusiaan dipahami secara menyatu. Selanjutnya, Goldmann (via Faruk, 1994:
21) membedakan antara pemahaman dan penjelasan. Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar.
Metode dialektik sebenarnya telah dikenal dengan sebutan metode lingkaran hermeneutika. Menurut Goldmann (via Faruk, 1994: 21), teknik pelaksanaan metode dialektik adalah sebagai berikut:
Pertama, peneliti membangun model yang dianggap memberikan kemungkinan   tertentu   atas   dasar   bagian.   Kedua,   ia   melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan, dengan cara menentukan: 1) sejauh mana tiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam hipótesis yang menyeluruh, 2) daftar elemen-elemen dan hubungan baru yang tidak diperlengkapi dengan model  semula,  3)  frekuensi  elemen-elemen  dan  hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.
Dari berbagai pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa teori strukturalisme genetik mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan dunia yang diungkapkan pengarang. Namun, teori tersebut memiliki beberapa kelemahan yang ditandai dengan adanya kritik yang mengatakan bahwa teori strukturalisme genetik masih terlalu sederhana untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosiologi sastra, seperti yang dikatakan oleh Swingewood dan Wolf (via Faruk, 1994: 43) dalam kutipan berikut:
Swingewood mengisyaratkan perlunya pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani sastra dengan masyarakat itu. Wolf mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan formasi sosial yang di luar batas kelas sebagai mediasi dari hubungan antara sastra dan masyarakat tersebut.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan, teori strukturalisme genetik telah  teruji  validitasnya  dan  memiliki  beberapa  konsep  canggih  yang  tidak dimiliki teori sosial lain, seperti kelas sosial, subjek trans-individual, dan pandangan dunia.Pernyataan  dari  Goldmann  (via  Faruk,  1994:12)  bahwa  sastra  tidak terlepas dari proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Strukturasi merupakan proses menciptakan  tokoh,   objek,   dan   relasi  secara   imajiner   (Faruk, 1994:17). Sebaliknya, destrukturasi adalah merombak struktur yang sudah terbentuk, agar jalan   cerita   sesuai   dengan   pandangan   dunia   pengarang.   Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia merupakan mediasi antara fakta manusia yang terjadi dalam subjek kolektif dan karya sastra yang merupakan hasil strukturasi darinya dengan melalui dialektika pemahaman-penjelasan.
2.6                   Angles and Demons

Angels and Demons (Malaikat dan Iblis) adalah novel misteri best-seller karya novelis Amerika Serikat Dan Brown yang diterbitkan pada tahun 2000. Novel ini memperkenalkan tokoh Robert Langdon, yang juga kemudian menjadi tokoh utama pada novel Dan Brown yang lebih dikenal, The Da Vinci Code. Buku ini juga menggunakan gaya penulisan dan cerita yang sanga tmirip dengan The Da Vinci Code, misalnya adanya teori konspirasi organisasi rahasia, alur waktu satu hari, dan Gereja Katolik Roma. Novel ini bercerita tentang konflik antara organisasi kuno, Illuminati, dengan Gereja Katolik Roma. Novel ini juga membahas kontroversi "Antimateri", Yang disebut- sebut sebagai energy alternative masa depan, tetapi dapat menimbulkan efek negatif, yaitu menjadi senjata pemusnah massal.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA