BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Hakikat
Sastra dan Karya Sastra
Sastra secara etimologi diambil dari
bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature
(bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda).
Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang
sebenarnya tercipta dari
terjemahan kata grammatika
(bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan
kata “littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam
bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra
yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam
bahasa Inggris sebagai kata serapan,
sedangkan dalam bahasa
Belanda terdapat istilah
bellettrie untuk merujuk makna
belles-lettres. Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan,
mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra
yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain
yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas
berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan
bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sehingga sastra memiliki
unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat,
kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini
dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai
kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman
yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan
pengomentar kehidupan manusia.
Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati),
tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra
berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi,
kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan
kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh
kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia.
Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan
manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan
tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20). Sastra dapat dipandang sebagai
suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra ditulis
dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma- norma dan adat
itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat
atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Dunia kesastraan juga mengenal karya sastra yang berdasarkan cerita atau realita.
Karya yang demikian menurut Abrams (via Nurgyantoro, 2009: 4) disebut sebagai
fiksi historis (historcal
fiction) jika penulisannya
berdasarkan fakta sejarah, fiksi biografis (biografical fiction) jika
berdasarkan fakta biografis, dan fiksi sains sains (science fiction) jika
penulisannya berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi
nonfiksi (nonfiction fiction).
Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra
merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pengalamannya.
Sebagai media, peran
karya sastra sebagai
media untuk menghubungkan
pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya
sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah
yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks
kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah
terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan
cara yang berbeda. Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan
dan memperkaya wawasan
pembacanya dengan cara yang
unik, yaitu menuliskannya dalam
bentuk naratif. Sehingga
pesan disampaikan kepada pembaca tanpa berkesan mengguruinya.
2.2
Hakikat
Novel Sebagai Suatu Karya Sastra
Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary
(via Tarigan, 1991: 120), kata fiksi dalam bahasa Inggris disebut fiction yang
diturunkan dari bahasa latin fictio, fictum yang berarti membentuk, membuat,
mengadakan, dan menciptakan. Dikatakan oleh Tarigan (1991: 122) bahwa fiksi
juga bersifat realitas, sedangkan nonfiksi bersifat aktualitas. Penulis fiksi
harus dapat menghidupkan tokoh, peristiwa dan cerita agar pembaca menaruh
perhatian serta yakin akan hak yang terjadi itu.
Pembagian fiksi dapat berdasarkan isi maupun
bentuknya. Menurut Lubis (via Tarigan, 1991: 157-162) berdasarkan isinya, fiksi
dapat diklasifikasikan atas romantik,
realisme, sosialis realisme,
naturalisme, ekspresionisme dan simbolisme. Romantik
ialah cara mengarang
yang mengidealisasikan
penghidupan dan pengalaman manusia yang menekankan pada hal yang lebih baik.
Realisme secara umum menulis apa yang dilihat dalam kehidupan dalam segi
jasmani, sehingga mengesampingkan aspek rohani. Sosialis-realis dimaksudkan
untuk menuliskan penghidupan yang materialisme dan dangkal berdasarkan dogma
Marxisme tentang sejarah dan masyarakat. Realisme sebenarnya adalah penulisan
yang berusaha menggambarkan kehidupan yang mencakup segala segi kehidupan baik
dalam manifestasi jasmani, intelek, maupun rohaninya secara utuh. Naturalisme
merupakan penulisan yang memusastkan pada kehidupan manusia dengan hasrat dan
kekurangan-kekurangan kemanusiaannya. Ekspresionisme adalah penulisan yang
menonjolkan luapan-luapan dari jiwa si pengarang sendiri. Jenis terakhir adalah
simbolisme yang diartikan bahwa penulisan
sastra banyak menggunakan
simbol-simbol untuk menggambarkan suatu kehidupan atau perasaan
manusia.
Dalam khazanah kasusastraan, karya fiksi
berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi roman atau sering di sebut juga
novel, novelette dan cerpen. Namun,
pada dasarnya, perbedaan
tersebut terletak pada
kadar panjang- pendeknya isi cerita,
kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita. Unsur-unsur
yang terkandung dalam karya fiksi dan cara pengarang memaparkan isi cerita
memiliki kesamaan meski dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh
karena itu, hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman ataupun ketrampilan
melalui telaah tersebut dapat diterapkan dalam menelaah novel maupun cerpen
(Aminuddin, 1987: 66-67).
Menurut Yassin (dalam Nurgiyantoro, 2009:
15), roman adalah cerita yang
ditulis dalam bahasa
roman yaitu bahasa
rakyat Prancis pada
abad pertengahan. Roman juga dapat diartikan sebagai cerita prosa yang
melukiskan pengalaman lahir dari beberapa orang yang berhubungan satu sama lain
dalam suatu keadaan. Sedangkan Virginia Wolf (dalam Tarigan, 1984: 30)
mengemukakan bahwa novel adalah sebuah eksplorasi atau satu kronik penghidupan,
merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, kehancuran
atas tercapainya gerak-gerik hasrat-hasrat
Menurut Frye dalam Nurgiyantoro (2009: 15),
roman lebih tua daripada novel. Roman tidak berusaha menggambarkan tokoh secara
nyata (realistis). Roman lebih merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang
bersifat introvert dan subjektif. Di
sisi lain, novel lebih mencerminkan gambaran
tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Meskipun novel, cerita
pendek dan roman sering
dibedakan. Namun, pada perkembangan selanjutnya antara novel dan roman sudah
tidak dibedakan lagi. Sedangkan antara novel dan cerita pendek masih dibedakan.
Pembedaan tersebut tidak
hanya terletak pada
panjang pendeknya cerita, melainkan
meliputi aspek-aspek pembentuk
lainnya karena pada dasarnya
novel merupakan bentuk pencitraan yang bebas, lebih rinci, dan lebih banyak
melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiyantoro, 2009:
8-12).
Secara rinci, novel berasal dari bahasa latin
novellus, diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Novel merupakan karya
sastra yang paling baru dibandingkan puisi, drama, dan lainnya. Dalam The
American College Dictionary, novel diartikan sebagai suatu cerita prosa yang
fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau keadaan yang agak
kacau atau kusut. Novel merupakan suatu karangan prosa yang bersifat cerita
yang menceritakan suatu kejadian luar biasa
dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari
kejadian ini terlahir suatu konflik yang mengalihkan jurusan nasib mereka
(Suroto, 1989:19). Dari segi jumlah kata, biasanya suatu novel berkisar antara
35.000 hingga tak terbatas jumlahnya (Tarigan, 1991: 164-165).
Dalam bukunya, Peyroutet (1991: 12)
menyatakan bahwa cerita novel memiliki beberapa jenis, yaitu: 1) le récit
réaliste, adalah novel yang menggambarkan kejadian secara nyata, 2) le récit
historique, adalah novel yang menceritakan fakta pada suatu masa, 3) le récit
d’aventures, novel yang menceritakan tentang petualangan dan kejadian-kejadian
mengejutkan yang dialami tokoh, 4) le récit policier, adalah novel yang
menceritakan tentang pahlawan,
polisi, maupun detektif,
5) le récit
fantastique, novel yang menceritakan kisah aneh dan irrasional,
dan 6) le récit de science-fiction, novel yang menceritakan suatu kisah yang
dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Goldmann via Faruk (1994: 31) membagi novel
menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, romantisme keputusasaan, dan
novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu
dengan dunia. Novel tersebut memperlihatkan suatu idealisme. Novel kedua
menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas, sehingga berdiri sendiri dan
terlepas dari dunia. Sang hero cenderung pasif. Novel ketiga berada di antara
keduanya, yaitu sang hero mempunyai
interioritas dan juga
ingin bersatu dengan
dunia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya interaksinya
dengan dunia, hero itu mengalami kegagalan dan menyadari sebab kegagalan itu.
Dalam menggambar dunia roman (novel) penulis
mau tidak mau melakukan kegiatan kreatif, dimulai dari menyeleksi bahan-bahan
dari seluruh kenyataan yang tak terbatas, kemudian menciptakan struktur naratif
dengan sudut pandang tertentu yang
membatasi kebebasannya selaku penggambar kenyataan. Selanjutnya, Tarigan (1991:
171-172) menegaskan bahwa seorang novelis adalah seorang yang humanis karena
berfungsi memperkenalkan pembaca pada pengetahuan tentang tabiat manusia yang
serba kompleks dalam bahasa
yang terpilih.
2.3
Unsur
Struktural dalam Karya Sastra
Hill (via Pradopo, 1995: 93) menyatakan bahwa
karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahami perlu
adanya analisis, yaitu penguraian terhadap unsur-unsurnya. Penafsiran terhadap
karya sastra bertujuan untuk memperjelas artinya. Selain itu, Pradopo (via
Endraswara, 2008:
10) mengungkapkan bahwa
analisis sastra dilakukan untuk memahami makna karya sastra
sedalam-dalamnya.
Selanjutnya, Endraswara (2008: 10-11)
mengemukakan bahwa penelitian sastra dapat berfungsi bagi kemajuan sastra itu
sendiri dan kepentingan di luar sastra. Kepentingan bagi sastra adalah untuk
meningkatkan kualitas cipta
sastra. Sedangkan kepentingan
di luar sastra berkaitan dengan aspek-aspek di luar
sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagainya yang
sangat dipengaruhi oleh
kandungan sastra sebagai
dokumen zaman. Sehingga penelitian sastra memiliki nilai pragmatik yang
akan bermanfaat bagi ilmu lain yang relevan.
Penelitian sastra tidak hanya sekedar
bertugas ilmiah murni atau bersifat akademis, tetapi juga harus mampu memberi
pencerahan bagi perkembangan,
seleksi, penyebarluasan sastra
dan menjelaskan hal-hal
yang terkait di dalamnya. Jadi fungsi penelitian sastra akan menjadi
medium bagi pembaca untuk memahami isi cerita dan makna dalam teks yang ditulis
penulis.
Menurut Mukarovsky dan Felik Vodicka (via
Ratna, 2004: 93) karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri
atas tanda, struktur, dan nilai seni, sehingga untuk menganalisisnya memerlukan
metode struktural dan semiotik. Strukturalis
pada dasarnya merupakan
cara berpikir tentang
sesuatu yang berhubungan dengan
tanggapan dan deskripsi
struktur-struktur. Teeuw (1984:
135) mengemukakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna yang menyeluruh.
Pembahasan secara struktural adalah langkah
awal penelitian sastra. Penelitian struktural dipandang lebih obyektif karena
hanya berdasarkan sastra itu sendiri
(bersifat otonom). Pemahamannya
harus mengaitkan antarunsur pembangun karya sastra dengan
menekankan aspek intrinsik sastra (Endraswara,
2008: 49-51). Menurut Abrams (via Djoko Pradopo, 1981:
68), pendekatan strukturalis dalam karya sastra merupakan sebuah totalitas yang
dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur pembentuknya. Analisis struktural merupakan prioritas lain
sebelum yang lainnya karena tanpa itu kebulatan makna intrinsik tidak akan
tertangkap (Teeuw, 1983: 61).Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh
unsur-unsur pembangun cerita (unsur-unsur cerita). Unsur-unsur pembangun cerita
dalam sebuah novel yang membentuk
totalitas terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
2.3.1
Unsur
intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah
unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, yaitu
meliputi: cerita, peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2009: 23).
Unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya
sastra. Sebagai unsur yang membangun sebuah karya sastra, kehadiran unsur
intrinsik sangat diperlukan. Untuk mengkaji unsur intrinsik dalam penelitian
ini dibatasi pada unsur alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan tema.
Selanjutnya akan diuraikan
teori-teori tentang unsur-unsur
tersebut sebagai berikut sebagai
batasan pada uraian hasil analisis.
2.3.1.1 Alur (l’intrigue)
Alur sering juga disebut dengan istilah plot
atau jalan cerita. Schmitt dan Viala (1982: 62) menyatakan bahwa alur merupakan
serangkaian dari tindakan, keadaan, situasi, dan kejadian yang dialami oleh
para pelaku dalam suatu cerita. Alur mengandung hubungan antarperistiwa yang
memiliki sebab akibat (logis), tidak
sekedar berurutan secara
kronologis saja. Oleh
karena itu, dalam menentukan alur sebuah novel, hal yang
harus dilakukan pertama kali adalahmencari
unsur terkecilnya, yaitu
sekuen. Sekuen dibentuk
oleh setiap bagian ujaran yang akan membentuk suatu
satuan makna (Zaimar, 1990: 33).
Sekuen adalah suatu cara umum, satu segmen
dari teks yang membentuk semua hubungan logis dalam satu titik pusat perhatian.
Selanjutnya, dinyatakan bahwa sekuen adalah mengemukakan tentang sekuen yang
menbentuk hubungan keterkaitan dengan cerita. Dalam buku Savoir-Lire, Schmitt
dan Viala (1982: 63) menyatakan bahwa:
“Un séquence est d’une façon générale, un
segment de texte qui forme un
tout cohérent autour d’un même centre
d’intérêt. Un séquence narrative correspond à une série de faits représent une
étape dans l’évolution de l’action.”
“Sekuen secara
umum adalah bagian dari teks yang
membentuk hubungan keterkaitan yang berada pada cerita inti. Sekuen sendiri
berasal dari urutan potongan-potongan
cerita yang diwujudkan
melalui tahapan-tahapan dalam
perkembangan cerita.”
Dalam menentukan sekuen, perlu
diperhatikan dua kriteria, yaitu
: (1) harus harus berpusat pada satu titik fokus, yang memiliki
pengamatan terhadap satu atau objek yang sama atau satu pandangan yang sama
terhadap objek yang berbeda-beda dan (2) sekuen harus membentuk koherensi waktu
dan ruang,peristiwa terjadi pada tempat dalam satu periode kehidupan seseorang,
atau kejadian-kejadian yang memiliki kesamaan ide (Schmitt & Viala, 1982:
27).
Berdasarkan hubungan antarsekuen tersebut,
Barthes (1981: 15-16) mengemukakan bahwa ada dua fungsi sekuen, yaitu fonction
cardinale (fungsi utama) dan fonction catalyse (fungsi katalisator).
Satuan-satuan yang memiliki fungsi utama
dihubungkan berdasarkan hubungan sebab-akibat atau hubungan logis.
Fungsi inilah yang memiliki peran utama dalam mengarahkan jalan cerita.
Satuan yang memiliki fungsi katalisator
berfungsi menghubungkan cerita yang lain, mempercepat, memperlambat,
melanjutkan kembali, merangkum, mengantisipasi, dan kadang-kadang membingungkan
pembaca.
Untuk menentukan akhir cerita dari pemahaman
keseluruhan cerita, ada tujuh tipe akhir cerita seperti yang disampaikan oleh
Peyroutet (1991: 8), yaitu:1) Fin
retour à la situation de départ (akhir yang kembali ke situasi awal
cerita).2) Fin heureuse (akhir yang
bahagia/ menyenangkan). 3) Fin comique (akhir cerita yang lucu). 4) Fin tragique
sans espoir (akhir cerita yang tragis tanpa harapan)5) Fin tragique espoir (akhir cerita yang
tragis dan masih ada harapan). 6) Suite possible (akhir cerita yang mungkin
masih berlanjut) 7) Fin réflexive (akhir cerita
yang ditutup dengan
ungkapan narator yang mengambil hikmah dari cerita).
2.3.1.2 Penokohan (les personnages)
Membicarakan sebuah fiksi, tidak dapat
terlepas dari istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau
karakter dan karakterisasi. Istilah tokoh
menunjuk pada orangnya
atau pelaku cerita.
Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas
pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh
tertentu dengan watak- watak
tertentu dalam sebuah
cerita (Nurgyantoro, 2009:
164-165). Telah dijelaskan oleh
Todorov (1981: 132) bahwa tokoh memiliki peran penting dalam suatu cerita,
seperti yang dikutip berikut:
“Dans cette littérature, le personnage nous
semble jouer un rôle de premier
ordre et c’est à partir de lui que
s’organisent les autres éléments du récit.”
“Dalam karya sastra,
tokoh seakan-akan memainkan sebuah peran dari kedudukan utama
dan merupakan awalan
yang mengatur unsur-unsur lainnya dalam cerita.”
Jika dilihat dari peran tokoh dalam pengembangan plot, tokoh dapat
dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
memiliki peranan penting dalam suatu cerita, sedangkan tokoh tambahan adalah
tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya
melengkapi, melayani dan mendukung tokoh utama. Jika dilihat dari fungsi
penampilan tokoh dapat
dibedakan ke dalam
tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh
yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi
kita. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik.
Meskipun konflik tidak hanya
disebabkan oleh tokoh
antagonis, melainkan dapat disebabkan oleh hal lain yang di
luar individualitas seseorang, seperti bencana alam, kecelakaan,
lingkungan alam dan
sosial, aturan-aturan sosial,
dan sebagainya. Menurut Altenbernd
(via Nurgyantoro, 2009: 178-179), penyebab konflik yang tak dilakukan oleh
seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic forcé.
Schmitt dan Viala (1982: 69-70) mengemukakan
bahwa tokoh adalah pelaku dalam cerita yang tidak hanya mengacu pada manusia,
tetapi juga mengacu pada suatu benda, binatang, atau etau entitas seperti
kebenaran, kematian, dan sebagainya yang dapat dipersonifikasikan selayaknya
manusia. Selanjutnya, untuk mengetahui karakter tokoh dapat dilakukan dengan
teknik pelukisan secara langsung yang dapat ditemukan dalam teks (1), melihat
dari sisi psikologis dan lingkungan sosial (2), serta sikap dan tindakan tokoh
(3). Sedangkan gambaran diri tokoh (le potrait du personnage) akan terbentuk
dari pengkombinasian ciri- ciri
tokoh dan cara pengungkapannya. Ciri-ciri
tokoh meliputi ciri-ciri
fisik, psikologis, dan sosial.
2.3.1.3 Latar (l’espace)
Menurut
Abrams (via Nurgyantoro,
2009: 216), fiksi sebagai
sebuah dunia, selain membutuhkan tokoh, cerita, plot, dan tokoh juga
memerlukan latar. Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu mengarah pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Brooks (dalam Tarigan, 1991: 136) mendefinisikan
latar adalah sebagai latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam suatu
cerita.
Nurgyantoro (2009: 217-219) mengemukakan
tahap awal cerita pada umunya berisi penyesuaian, pengenalan terhadap berbagai
hal yang akan diceritakan, misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam,
lingkungan, suasana tempat, mungkin berhubungan dengan waktu, dan lain-lain
yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Latar
merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk memberikan kesan
realistis pada pembaca. Latar tempat
dan waktu dikategorikan
dalam latar fisik
(physical setting). Namun, latar tidak terbatas pada tempat-tempat
tertentu saja, atau yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata
cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang
bersangkutan. Inilah yang disebut
dengan latar spiritual (spiritual setting).
Dengan demikian, latar dapat
dibedakan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1.
Latar
tempat (le lieu)
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar juga harus didukung oleh
kehidupan sosial masyarakat, nilai- nilai, tingkah laku, suasana, dan
sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya
(Nurgyantoro, 2009: 227-228).
2.
Latar
waktu (le temps)
Latar waktu mengacu pada saat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Menurut Genette (via
Nurgyantoro, 2009: 231) latar waktu memiliki makna ganda, yaitu mengacu pada
waktu penulisan cerita dan urutan waktu kejadian yang dikisahkan dalam cerita.
3.
Latar
sosial (l’espace social)
Latar
sosial melukiskan perilaku
kehidupan sosial masyarakat
pada suatu tempat dala karya
fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap yang tercermin dalam kehidupan
masyarakat yang kompleks (Nurgyantoro, 2009:233).
2.3.1.4 Sudut pandang (Le point de vue)
Schmitt
dan Viala (1982:
55-59) menyatakan bahwa
sudut pandang adalah pandangan yang
digunakan pengarang untuk menceritakan tindakan- tindakan dalam sebuah cerita.
Terdapat empat teknik dalam menyampaikan sudut pandang, yaitu:
1.
Le
mode de visión externe (teknik sudut pandang dari luar)
Cerita disajikan dari sudut pandang seorang
pengamat peristiwa di luar tokoh yang terdapat dalam cerita.
2.
Le
mode de visión interne (teknik sudut pandang dari dalam)
Cerita disampaikan dari sudut pandang tokoh
dalam cerita, baik melalui subjek orang pertama maupun orang ketiga.
3.
Le
mode de visión par en-dessus (teknik sudut pandang maha tahu)
Cerita disampaikan melalui sudut pandang
seorang narator yang mengetahui segala tindakan, pikiran, dan perasaan para
tokoh sehingga dapat menceritakan berbagai tindakan dalam waktu dan tempat yang
berbeda dengan bebas.
4.
Les
modes de visión mêlés (teknik sudut pandang campuran)
Teknik ini merupakan teknik sudut pandang
yang menggabungkan teknik le mode de visión externe, le mode de visión interne,
dan le mode de visión par en-dessus.
Selanjutnya Schmitt dan Viala (1982: 59-60)
juga menyatakan bahwa dalam fiksi narator berbeda dengan tokoh. Narator adalah
seseorang yang menceritakan kisah. Narator dapat berada di dalam teks, di luar
teks, atau tidak ada. Narator dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.
Le
narrateur-relais (narator estafet)
Disebut narator estafet karena ia merupakan
pengamat dari luar yang menceritakan suatu kisah yang telah diceritakan
kepadanya.
2.
Le
narrateur effacé (narator tersembunyi)
Narator tersembunyi adalah narator yang tidak
terlihat saat menceritakan kejadian-kejadian, meskipun ceritanya ada. Ia adalah
organisator cerita yang menyusuna cerita dan memaparkan tindakan-tindakan
secara rahasia atau tidak nampak.
3.
Le
narrateur personnage (narator tokoh)
Narator tokoh adalah pencerita yang berasal
dari tokoh dalam cerita, yaitu sebagai orang pertama.
2.3.1.5 Tema (le thème)
2.3.1.6 Stanton (via Nurgyantoro, 2009: 68) menyatakan bahwa setelah diketahui
dan dapat dideskripsikan alur, penokohan, latar, dan sudut pandang, maka akan
didapatkan pemahaman tentang tema sebagai unsur penting yang membangun
keseluruhan cerita. Tarigan (1985: 125)
mengemukakan pendapat Brooks dan
Warren bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Menurut
Schmitt dan Viala (1982: 29 &
39), tema merupakan isotopi kompleks yang disusun dari
beberapa motif dimana motif merupakan isotopi sederhana dalam unsur-unsur
pembentuk cerita. Tema juga diartikan sebagai pandangan hidup tertentu atau
perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang
membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.
Secara sederhana, tema adalah dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah
cerita.
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi bisa
lebih dari satu. Hal tersebut menurut
Nurgiyantoro (2009: 82-83) menyebabkan
sulitnya menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (artinya:
makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya). Makna pokok
cerita tersirat dalam sebagian besar dalam keseluruhan cerita, sedangkan makna
tambahan yang terdapat di dalamnya disebut tema tambahan atau tema minor.
Penafsiran terhadapnya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara
keseluruhan membangun cerita tersebut.
2.3.2
Unsur
Ekstrinsik
Kelemahan penelitian struktural adalah hanya
menekankan pada sastra secara otonom sehingga menghilangkan konteks, fungsinya
dan relevansi sosial, yang justru asal-usulnya
(Ratna, 2004: 332).
Sehingga diperlukan análisis terhadap unsur ekstrinsik agar karya
sastra dapat bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan. Unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara spesifik,
unsur tersebut dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita
sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Seperti
halnya unsur intrinsik,
unsur ekstrinsik juga
terdiri dari sejumlah unsur.
Unsur-unsur tersebut meliputi
latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan, dan
pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi
politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain- lain (Suroto,
1989: 138) yang kesemuanya akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ini
mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang menjadi latar belakang
penyampaian tema dan amanat cerita.
2.4
Keterkaitan
antarunsur Karya Sastra
Suatu cerita merupakan kesatuan yang utuh
dari unsur-unsur pembangunnya. Sebuah novel juga memiliki totalitas yang
mempunyai unsur- unsur yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan antar
unsur tersebut ditunjukkan melalui hubungan antara alur, penokohan, dan latar
yang diikat oleh tema.
Alur merupakan cerminan atau perjalanan
tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap dalam
menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgyantoro, 2009: 114). Latar merupakan
pijakan konkret tentang tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh tokoh. Melalui analisis terhadap alur, latar, tokoh, dan sudut
pandang akan mengungkapkan tema yang mendasari suatu cerita.
2.5
Strukturalisme
Genetik dalam Sastra
Strukturalisme genetik dikembangkan atas
dasar penolakan kepada analisis strukturalisme murni yakni analisis
terhahap unsur intrinsik. Teori ini
ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf
dan sosiolog Rumania-Prancis. Teori ini merupakan analisis struktur yang
memberikan perhatian terhadap asal- usul karya sehingga mencakup kajian unsur
intrinsik dan ekstrinsik (Ratna, 2004:
122-123). Faruk (1994: vi) menyatakan pentingnya
strukturalisme genetik karena merupakan langkah pertama dalam sosiologi sastra
yang mengarah pada usaha memperlakukan
sastra secara lebih
proporsional.
Dalam
buku Pour une Sociologie du Roman, Goldmann (1964:
345) menyatakan bahwa:
“Le structuralisme génetique a représenté un
changement total d’orientation, son hypothèse fondamentale étant précisément
que le caractère collectif de la création littéraire provient du fait que les
structures du l’univers de l’oeuvre sont homologues aux structures mentales
de certains groupes sociaux ou
en relation inteligible
avec elles, alors que sur le plan des contenus, c’est-à-dire de la
création d’univers imaginaires régis par ces structures, l’écrivain a une
liberté
totale.”
“Strukturalisme genetik
menghadirkan kembali perubahan
orientasi secara total, hipótesis dasar yang lebih jelas daripada
karakter kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia
sastra tersebut homologi dari struktur
mental dari kelompok
sosial tertentu atau hubungan dengan keduanya dapat dipahami,
sedangkan pada struktur ini dapat dikatakan berasal dari penciptaan dunia imajinasi
yang ditentukan oleh strukturnya, dan penulis memiliki kebebasan secara total.”
Goldmann (1964: 338) meyakini bahwa
strukturalisme genetik berangkat dari hipótesis bahwa seluruh tingkah laku
manusia adalah hasil merespon secara siginifikan pada situasi khusus dan dari
hal tersebut tercipta keseimbangan antara subjek pelaku dan objek yang dibawa,
yaitu dunia sekitar. Dengan demikian
fakta manusia merupakan representasi dari dua proses yang berlawanan, yaitu:
destrukturasi dari struktur kuno dan strukturi total yang sanggup mencipta
keseimbangan. Dari perspektif tersebut,
fakta manusia dipelajari
berkenaan dengan aktifitas ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Goldmann (1964: 339 & 361) menyatakan bahwa fakta kemanusiaan
terbagi menjadi dua
subjek, yaitu: subjek
individual (tindakan, gejala
sakit, mimpi, penyaluran nafsu pada sesuatu yang bernilai) dan subjek
kolektif (nilai- nilai karya sastra, budaya dan seni). Selanjutnya Goldmann
(1994: 341-342) meyakini bahwa karya kultural yang besar merupakan fakta sosial
yang hanya dapat diciptakan oleh subjek trans-individual, dimana ia berasal
dari suatu kelompok sosial (keluarga, pekerjaan, bangsa, persahabatan, kelas
sosial, dan sebagainya). Hal tersebut menurut Goldmann (via Ratna, 2004: 125)
disebabkan oleh trans-individual yang menampilkan pikiran-pikiran individu
dengan struktur mental kelompok. Trans-individual merupakan
energi untuk membangun pandangan dunia.
Goldmann (1964: 346) mendefinisikan bahwa
pandangan dunia adalah kategori-kategori mental yang tidak hanya terdapat pada
seseorang mengenai kelompok dalam bentuk kecenderungan yang menyatu. Ekspresi
dari pandangan dunia merupakan bagian dari realita imajiner atau konseptual
yang terstrukturasi dan
mengembangkan struktur dalam
dunia global (kesadaran
kelompok diwakilkan melalui pandangan dunia seseorang).
Menurut Goldmann via Faruk (1994: 15-16),
untuk menghubungkan struktur masyarakat dan struktur sastra memerlukan mediasi
yang berupa pandangan dunia (ideologi). Selanjutnya, Karena pandangan dunialah yang memicu subjek
untuk mengarang. Sehingga dapat dikatakan, jika mengetahui pandangan dunia
suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan dan sistem ideologi
yang mendasari perilaku sosial sehari-hari suatu masyarakat (Ratna, 2004: 125-126). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pandangan
dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu.
Goldmann (1964: 52) menyatakan bahwa dalam
roman terdapat hero problematik yang secara nyata melawan pendapat
tradisional. Selanjutnya Goldmann (via
Faruk, 1994: 18-19) juga menyatakan bahwa novel didefinisikan sebagai cerita
mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia
yang terdegradasi. Pencarian itu dilakukan oleh hero yang problematik.
Selanjutnya, novel juga dikatakan sebagai genre sastra yang bercirikan keterpecahan
yang tidak terdamaikan
dalam hubungan sang
hero dengan dunia, sehingga sang hero menjadi problematik. Yang dimaksud
dengan nilai otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel.
Karena memiliki struktur, karya sastra harus
koheren dan mempunyai arti, yaitu berkaitan dengan usaha manusia memecahkan
persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata. Untuk itu, Goldmann
(1964:353) mengembangkan metode dialektik pemahaman-penjelasan yang semula
fakta kemanusiaan dipahami secara menyatu. Selanjutnya, Goldmann (via Faruk,
1994:
21) membedakan antara pemahaman dan penjelasan. Pemahaman
adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan
penjelasan adalah usaha untuk menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih
besar.
Metode dialektik sebenarnya telah dikenal
dengan sebutan metode lingkaran hermeneutika. Menurut Goldmann (via Faruk,
1994: 21), teknik pelaksanaan metode dialektik adalah sebagai berikut:
Pertama, peneliti membangun model yang
dianggap memberikan kemungkinan
tertentu atas dasar
bagian. Kedua, ia
melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan
keseluruhan, dengan cara menentukan: 1) sejauh mana tiap unit yang dianalisis tergabungkan
dalam hipótesis yang menyeluruh, 2) daftar elemen-elemen dan hubungan baru yang
tidak diperlengkapi dengan model
semula, 3) frekuensi
elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam
model yang sudah dicek itu.
Dari berbagai pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa teori
strukturalisme genetik mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat
melalui pandangan dunia yang diungkapkan pengarang. Namun, teori tersebut
memiliki beberapa kelemahan yang ditandai dengan adanya kritik yang mengatakan
bahwa teori strukturalisme genetik masih terlalu sederhana untuk memahami dan
menjelaskan fenomena sosiologi sastra, seperti yang dikatakan oleh Swingewood
dan Wolf (via Faruk, 1994: 43) dalam kutipan berikut:
Swingewood mengisyaratkan perlunya pemahaman
mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani sastra
dengan masyarakat itu. Wolf mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan formasi
sosial yang di luar batas kelas sebagai mediasi dari hubungan antara sastra dan
masyarakat tersebut.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan, teori strukturalisme genetik
telah teruji validitasnya
dan memiliki beberapa
konsep canggih yang
tidak dimiliki teori sosial lain, seperti kelas sosial, subjek
trans-individual, dan pandangan dunia.Pernyataan dari
Goldmann (via Faruk,
1994:12) bahwa sastra
tidak terlepas dari proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan
dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Strukturasi
merupakan proses menciptakan tokoh, objek,
dan relasi secara
imajiner (Faruk, 1994:17).
Sebaliknya, destrukturasi adalah merombak struktur yang sudah terbentuk, agar
jalan cerita sesuai
dengan pandangan dunia
pengarang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pandangan dunia merupakan mediasi antara fakta manusia yang
terjadi dalam subjek kolektif dan karya sastra yang merupakan hasil strukturasi
darinya dengan melalui dialektika pemahaman-penjelasan.
2.6
Angles and Demons
Angels and Demons (Malaikat dan Iblis) adalah novel
misteri best-seller karya novelis Amerika Serikat Dan Brown yang diterbitkan pada
tahun 2000. Novel ini memperkenalkan tokoh Robert Langdon, yang juga kemudian menjadi
tokoh utama pada novel Dan Brown yang lebih dikenal, The Da Vinci Code. Buku ini
juga menggunakan gaya penulisan dan cerita yang sanga tmirip dengan The Da
Vinci Code, misalnya adanya teori konspirasi organisasi rahasia, alur waktu satu
hari, dan Gereja Katolik Roma. Novel ini bercerita tentang konflik antara organisasi
kuno, Illuminati, dengan Gereja Katolik Roma. Novel ini juga membahas kontroversi
"Antimateri", Yang disebut- sebut sebagai energy alternative masa depan,
tetapi dapat menimbulkan efek negatif, yaitu menjadi senjata pemusnah massal.
Comments
Post a Comment