Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1                   Bentuk-bentuk Alih Kode
Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita.
4.1.1        Alih Kode Kalimat Berita
Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini:
(4.1.1/ Ak.1)
Santri          : Untuk pembacaan.
Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentang apa pembelajaran yang sudah di baca... E kakeh jiah lanyala nyamanah. Tanangngah zammil eanu ya nyoret la. (Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentang apa pembelajaran yang sudah di baca... eh kamu tu mengganggu namanya. Tangannya Zammil diusik lah, dicoretlah)
Santri          : Ndak, Ustad. (tidak ustad)
Kalimat di atas termasuk jenis kalimat aktif yang dilakukan  oleh seorang  petugas  penjaga  jam  belajar pada  waktu  jam  belajar.  Sedangkan kalimat pasif dapat diamati pada contoh berikut ini:
(4.1.1/Ak.2)
Ustadzah  : Ella jak theng matettheng! (jangan membantah!)
Santri          : Hiii...
Ustadzah    : Ariya esoro ajellasagin pas agelle’en. Deggi’ e pamanjeng bi’ engkok. (kamu ini disuruh menjelaskan malah tertawa. Nanti kusuruh berdiri kau)
Santri          : Hu...
Selanjutnya ditemukan struktur kalimat verbal. Kalimat verbal adalah kalimat yang memiliki distribusi  yang sama dengan verba (Sukini, 2010:30). Alih kode struktur kalimat berita yang berupa struktur  kalimat  verbal   juga ditemukan pada penelitian ini, namun frekuensinya tidak perlu terlalu banyak. Struktur tersebut dapat diamati pada data berikut:
(4.1.1/ Ak.3)
Santri          : Ini sudah dibersihkan Tad!
Ustadzah    :Semua santri diharap untuk kerja  bakti.  Siti,  kakeh  alanduk  e budinah ponduk. (semua santri diharap bekerja bakti. Siti, kamu mencangkul di belakang pondok!)
Santri   :Hu...
Bentuk alih kode selanjutnya berupa struktur kalimat  adjektival. Kalimat adjektifal adalah kalimat yang memiliki distribusi yang sama dengan adjektif (Sukini, 2010:31). Alih kode struktur kalimat adjektival juga ditemukan dalam penelitian ini, namun frekuensinya tidak terlalu banyak. Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada data dibawah ini.
(4.1.1/ Ak.4)
Siti           : Santri yang dari Pontianak tidak boleh pulang. (santri yang dari Pontianak tidak boleh pulang)
Linda       : Tros... tiket se mareh melleh de’ remmah? (trus... tiket yang telah dibeli bagaimana?)
Siti           : Kiai marah, neser ka wali santri takut menghabiskan uang banyak untuk biaya tiketnya. Dan tiket yang sudah dibeli, uangnya akan diganti oleh kiai. (kiai marah, kesihan pada wali santri, takut menghabiskan banyak uang untuk biaya tiketnya. Dan tiket yang telah dibeli akan diganti uangnya oleh kiai)
Kalimat di atas termasuk kalimat berita yang merupakan struktur adjektival. Selanjutnya ditemukan juga struktur kalimat susun balik (inversi). Selain  jenis   struktur   diatas, pada penelitian ini juga ditemukan jenis alih kode struktur kalimat susun balik, seperti contoh,
(4.1.1/ Ak.5)
Santri          : Zakat fitrah, Tad?
Ustadz        : Zekat petra jiah kewejibennah oreng islam neng bulen Romadon sewejib e pakaluar untuk dirinya sendiri. (zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap orang islam untuk mengeluarkannya pada bulan Ramadhan)
Santri          : Oh, begitu Ustad
4.1.2        Alih Kode Kalimat Perintah
Alih kode struktur kalimat yang berbentuk kalimat perintah juga banyak ditemui pada     penelitian ini. Pertama, ditemukan kalimat perintah yang predi-katnya  berbentuk kata kerja. Jenis struktur ini dapat diamati pada data di bawah ini.
(4.1.2/ Ak.1)
Imam          : Nyuci mobil mayuh! (ayo nyuci mobil!)
Anas           : Mayuh... (ayo...)
Imam          : Selangngah tadek, Nas, ngalak sellang e yade’eng ponduk. (selangnya tidak ada, Nas, ambilkan selang di depan pondok!)
Anas           : Siap bos
Struktur kalimat tersebut digunakan ketika Imam meminta anas mengambilkan selang untuk mencuci mobilnya Kiai. Dalam data ditemukan  juga struktur kalimat imperative yang tidak diketahui pelakunya. Bentuk kalimat seperti ini juga banyak ditemukan dalam penelitian ini.
(4.1.2/ Ak.2)
Santri          : Sudah Tad,
Ustadz        : Sudah kan? Baca dalam ateh jek amunyi!  Mun  mare  terosagin  ka  bab loberreh! (sudahkan? Baca dalam hati saja jangan bersuara! Jika sudah selesai lanjutkan pada bab selanjutnya!)
Santri          : Hu...
Kalimat tersebut termasuk pada kalimat Imperatif yang tidak ketahui pelakunya.
4.1.3        Alih Kode Kalimat Tanya
Selain  data-data  di  atas  pada penelitian ini juga dikemukakan struktur alih kode berbentuk kalimat tanya. Pertama, ditemukan struktur kalimat Tanya tanpa  kata tanya. Frekuensi jenis struktur ini memang agak banyak. Adapun  data-data  jenis struktur ini dapat diamati pada contoh berikut.
(4.1.3/ Ak.1)
Santri          : Ini sudah dibersihkan Tad!
Ustadz        : engkok atanya apah? Terus lanjutkan! Terus bersihkan semua sampah yang ada di selokan itu, cepat! Abbe, ariah pas ngalak karebbeh dibik. (tanya apa? Lanjutkan saja! Terus bersihkan semua sampah yang ada di selokan itu cepat! Kalian ini seenaknya sendiri terus).
Santri          : Apah tad? (apa tad?)
Kedua,   ditemukan   struktur kalimat tanya dengan kata tanya.
(4.1.3/ Ak.2)
Santri          : yang itu, Ustad?
Ustadz         : Ya itu juga harus dibersihkan, setelah itu didepan kantor, kantin dan kamar mandi. Depan pondok  sudah? Depan perpustakaan? Masak Cuma abersian e lakdiyeh gilok mareh, dari gellek? (masak cuma bersih-bersih di situ saja tidak selesai-selesai dari tadi?
4.1.4        Alih Kode Kalimat Seru
Alih kode struktur kalimat seru pada penelitian  ini  memang tidak   terlalu banyak ditemukan. Hanya yang berbentuk kalimat berita yang di inversikan seperti pada  contoh di bawah ini.
(4.1.4/ Ak.1)
Santri          : Tedung, Tad! (tidur tad)
Ustadzah    : Be pas tedung maloloh! Siapa lagi yang belum datang ke madrasah? (hah, tidur terus! Siapa lagi yang belum datang ke sekolah?)
Santri          : Siti, Linda dan Fatmah.
Ustadzah    : Ajiah noleh terlambat! (mereka sering terlambat)
4.2                   Faktor Penyebab Alih Kode
Bertolak dari analisis data, dapat ditemukan  beberapa    penyebab  atau alasan mengapa Santri di pondok pesantren Salafi Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi  melakukan alih  kode  bahasa  Madura  ke  dalam Bahasa Indonesia baik dalam kegiatan sehari-hari ataupun dalam proses pembelajaran berlangsung. Untuk lebih spesifiknya pemaparan data penelitian ini, maka peneliti akan mengemukakan latar belakang atau alasan-alasan santri melakukan alih kode dalam  kegiatan sehari-hari.
4.2.1        Untuk Memperlancar Pembicaraan
Penutur merasa lancar berbicara dalam  melakukan  aktivitas  sehari-hari jika  beralih  kode  ke  dalam  bahasa Madura atau Bahasa daerah lainnya. Ini dapat diamati pada data-data berikut ini.
(4.2.1/ F.Ak.1)
de’remmah hasil  rapat pengurus tentang liburan pesantren?”
(4.2.1/ F.Ak.2)
“Engkok lapar, melleagin Nasek” (saya lapar, belikan nasi)
(4.2.1/ F.Ak.3)
“Molean ponduk lambe’ ce’ ramminah neng embong nyates” (dulu pulangan pondok sangat ramai di jalan Banyuates)
Jika  diterjemahkan  tiga  data  tersebut adalah
(4.2.1/ F.Ak.4)
“De’ remmah hasellah rapat pengurus se abahas molean ponduk?”
(4.2.1/ F.Ak.5)
“Saya lapar, melleagin Nasek”
(4.2.1/ F.Ak.6)
“Pulangan pesantren lambe’ di jalan raya Banyuates rame skali”
Dari ketiga data di atas jelaslah bahwa santri lebih nyaman melakukan alih kode ke dalam bahasa Madura atau Bahasa Indonesia ketika mereka melakukan obrolan dengan santri yang lain.
4.2.2        Agar Santri yang Lain Bisa Lebih Jelas dan Mengerti
Sebagian besar santri yang diteliti mempunyai alasan yang sama tentang alasan yang kedua ini. Mereka para santri lebih senang beralih kode ke Bahasa Madura ketika berbicara atau berinteraksi tentang hasil rapat liburan pesantren, dibandingkan secara terus menerus menggunakan bahasa Indonesia. Perhatikan data-data berikut,
(4.2.2/ F.Ak.1)
“Mudi  taoh  derih  Fatma kabar molean ponduk” (Mudi tahu dari Fatma tentang kabar pilangan pondok)
“paleng tanggal 13 Juni, cang Fatma
Dari kedua data tersebut dapat diamati, penggunaan alih kode ke dalam bahasa Madura dalam sebuah percakapan santri yang membahas liburan pesantren. Alih kode dilakukan karena dianggap lebih memudahkan  santri  dalam  memahami maksud dari percakapan tersebut.
4.2.3        Untuk Menyegarkan Suasana
Alasan ketiga ini juga banyak didapati pada data-data penelitian ini, antara lain:
(4.2.3/ F.Ak.1)
“Zekat petra jiah kawejibennah oreng Islam e bulen romadon se wejib e pakaluar untuk dirinya sendiri”
(4.2.3/ F.Ak.2)
"Selangnya tidak ada’. Nas selang kala’ e yade’eng ponduk”
Dari data diatas, terdapat klausa Zekat petra jiah kawejibennah oreng Islam e bulen romadon se wejib e pakaluar dan Nas  selang    kala’  e  yade’eng pondukmerupakan bentuk alih kode yang memang sengaja dilakukan agar percakapan   tersebut   menjadi   segar suasananya.
4.3                   Wujud Campur Kode
Wujud campur kode yang digunakan dalam komunikasi santri di   pondok pesantren “Raudlatul Ulum I” dibagi menjadi berbagai macam   menurut struktur kebahasaan yang  terlibat  di  dalamnya,  yaitu (1) wujud campur kode bahasa Jawa-Arab, (2) wujud campur kode  bahasa Indonesia-Jawa, dan (3) wujud campur kode bahasa Jawa-Indonesia. Wujuda campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa arab yang terjadi di dalam komunikai santri di pondok pesantren “Raudlatul Ulum I” seperti terdapat pada cuplikan percakapan sebagai berikut.
Santri 1       :  “Esih galak gak Pak Zahid?” (Masih galak tidak Pak Zahid)
Santri 2       : “Yo ora paham aku wong nembe masuk 2x. Emang galak to?” (Belum paham aku baru masuk 2 kali. Emang galak ya?)
Santri 1       : “Pak Zahid iku mustahiq paling galak sepondok” (Pak Zahid itu mustahiq tergalak se-pondok)
Data di atas ditinjau dari segi tipe campur kode, wujud campur kode  pada cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode ke  luar (outer  code-mixing). Dikatakan  campur  kode  ke  luar  atau ekstern  karena  antara  bahasa  sumber dengan  bahasa  sasaran  secara  politis berbeda (Suwito, 1983:76).  Pada cuplikan percakapan di atas bahasa sumber yang digunakan adalah bahasa Jawa.  Sedang-kan  bahasa  sasarannya yang menyisip adalah bahasa Arab yang ditandai dengan masuknya kata “mustahiq”. Campur kode ektern ini terjadi karena kemampuan sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik secara politis atau geografis. Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.
Wujud campur kode antara bahasa Indonesia dengan  bahasa Jawa  dalam komunikasi santri di asrama pondok pesantren “Raudlatul Ulum I” seperti terdapat pada  cuplikan percakapan berikut.
Santri 1       : “Udah mandi belum? udah jam setengah tujuh, engko telat.” (Sudah mandi belum? Sudah jam setengah tujuh, nanti telat)
Santri 2       : “Iya mbak, bentar lagi, lagi nembel pelajaran belum selesai.” (Iya sebentar lagi, masih menambal pelajaran belum selesai)
Santri 1       : “Yowes buruan diselesaikan, terus mandi.” (Ya sudah cepat diselesaikan, terus mandi)
Data di ata dilihat dari segi tipe campur kode, wujud campur  kode   pada   cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode  ke dalam (inner code-mixing). Dikatakan campur kode ke dalam atau intern karena antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran secara politis maupun geografis masih mempunyai hubungan kekerabatan, bahasa satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal (Suwito, 1983:76).
Pada cuplikan percakapan di atas yang menjadi bahasa sumber adalah bahasa Indonesia ragam nonformal. Sedangkan bahasa sasarannya  yang menyisip   adalah bahasa Jawa yang ditandai dengan masuknya kata “yowes” dan  kata “engko”. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Wujud campur kode antara bahasa Jawa  dengan  bahasa  Indonesia  dapat dilihat  pada  cuplikan  percakapan  di bawah ini.
Santri 1       : “Engko mbengi jadwal pelajarane opo iki?” (Nanti malam jadwal pelajarannya apa?)
Santri 2       :  “Ah...  dasar  koe!  Wes sekolah setengah tahun nggak hapal jadwal pelajaran.” (Ah...   Kamu!   sudah   setengah tahun  sekolah  masih  tidak  hapal jadwal pelajaran)
Santri 1       : “Yo bioso lah... jenenge juga santri teladan hahaha”. (Ya biasalah... namanya juga santri teladan)
Santri 2       : “Nahwu coy... apalan. Wes apal durung koe?” (Nahwu.  Hapalan.  Kamu  sudah hapal belum?)
Santri  1      :  “Waduh...  durung  apal Aku”. (Waduh... Aku belum hapal)
Data di atas dilihat dari segi tipe campur kode, wujud campur  kode  pada  cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode ke dalam (inner code-mixing). Dikatakan campur kode ke dalam atau intern karena antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran secara politis maupun geografis masih  mempunyai hunungan kekerabatan, bahasa satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal (Suwito, 1983:76).
Pada cuplikan percakapan di atas yang menjadi bahasa sumber adalah bahasa  Jawa. Sedangkan  bahasa sasarannya yang menyisip adalah bahasa Indonesia  ragam nornformal yang ditandai         dengan  masuknya  kata “tauladan”.
4.4                   Bentuk Campur Kode
Bentuk campur kode yang  terjadi yang   digunakan   oleh   santri   dalam berkomunikasi di asrama Darussalam dibagi menjadi berbagai macam bentuk menurut  struktur  kebahasaan  yang terlibat   di dalamnya yaitu, (1) penyisipan kata, (2) penyisipan bentuk frasa, (3) penyisipan bentuk idiom atau ungkapan,  dan (4)  penysipan  bentuk baster.
4.4.1        Penyisipan Kata
Muhajir : “Pak Zahid iku mustahiq paling galak sepondok (Lirboyo).” (Pak Zahid itu mustahiq tergalak se-pondok)
Secara leksikal, kata mustahiq berarti “yang memiliki hak” (Munawwir, 1997:284). Secara konteks, Mustahiq adalah sebutan bagi seorang guru/ustadz  yang  menjadi  wali  kelas. Mustahiq biasanya membawahi sekitar 20 santri dalam satu kelas. Mustahiq di sini berbeda dengan wali kelas seperti pada sekolah formal. Mustahiq bertugas mengajarkan semua mata pelajaran yang ada dalam kelas tersebut dengan dibantu oleh munawwib. Selain bertugas mengajar, mustahiq juga bertugas memantau setiap perkembangan sikap dan perilaku (akhlak) para santri yang menjadi haknya/santri asuhnya. Mustahiq  mempunyai   otoritas penuh atas setiap keputusan yang diambilnya tanpa harus meminta persetujuan dari atasan. Otoritas seorang  mustahiq misalnya  dalam  hal  kenaikan  kelas. Seorang mustahiq mempunyai  hak penuh  untuk  menaikkan  atau  tidak menaikkan seorang santri berdasarkan nilai, sikap, dan perilaku seorang santri tanpa harus meminta persetujuan/pertimbangan kepada atasannya (kepala madrasah) mengenai keputusan yang akan diambilnya.
4.4.2        Penyisipian Bentuk Frasa
Santri 1       :  “Haflah  akhirussanah sesok sing ngisi sopo?” (Haflah akhirussanah besok yang mengisi siapa)
Santri 2       : “Habib   Umar   teko Semarang.”(Habib Umar dari Semarang)
Frase Haflah akhirussanah artinya adalah “perayaan akhir tahun”. Frase Haflah akhirussanah terdiri dari haflah yang berarti “perayaan”, akhir  yangberarti “akhir”, dan as-sanah yang berarti “tahun”. Haflah akhirussanah merupakan   perayaan yang dilakukan pada setiap akhir tahun pelajaran  di pondok  pesantren.  Perayaan tersebut biasanya diisi berbagai macam kegiatan lomba-lomba antar   santri, dan pada akhir kegiatan biasanya diisi dengan pelaksanaan pengajian akbar.
4.4.3        Penyisipan Bentuk Baster
Santri 1       : “Eh... Pengen ndelok bocah dita’zir nggak?” (Mau lihat anak dita’zir tidak?)
Santri 2       : “Sopo sing dita’zir? Emang melanggar perarutan opo?” (Siapa  yang  dita’zir?  Melanggar peraturan apa?)
Santri 1       : “Bocahe gowo HP neng pondok” (Anaknya bawa HP di pondok)
Pada data terdapat unsur baster yaitu, di-ta’zir yang berarti “dihukum”. Bentuk baster di-ta’zir terdiri atas dua unsur bahasa yaitu  awalan  di  yang berasal dari bahasa Indonesia dan kata ta’zir  yang berasal dari bahasa Arab. Dita’zir berasal dari bentuk dasar ta’zir yang dalam bahasa Arab merupakan kata/bentuk  masdar (predikat)  lalu bergabung  dengan awalan di menjadi dita’zir.  Makna dari kata ta’zir adalah “hukuman”, (Munawwir, 1997: 925).
Kata ta’zir digunakan untuk menyebut istilah   hukuman.   hukuman   di   sini berfungsi sebagai suatu tindakan untuk memberikan  efek  jera  kepada  santri yang   melanggar   peraturan   pondok pesantren.
4.4.4        Penyisipan    Bentuk    Idiom    atau Ungkapan
Santri 1       : “Jumat muda sesok sido mlaku-mlaku neng kota nggak?” (Jumat muda besok jadi jalan-jalan ke kota tidak?
Santri 2       : “Sido nuw, dhewe mlaku-mlaku neng SR (Sri Ratu/Swalayan) ndelok-ndelok baju sopo ngerti enek sing cocok”. (Iya jadi, kita jalan-jalan ke SR lihat-lihat baju siapa tahu ada yang cocok.”
Santri 1       : “Nggaya koe, koyok ndue duit ae. Hahaha” (gayamu, kayak punya uang saja...)
Jumat muda merupakan ungkapan yang digunakan  oleh  santri  untuk menjelaskan tentang waktu/hari di mana semua santri diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan pondok pesantren. Jumat  muda  adalah  isitilah  untuk menyebut   hari Jumat pertama pada setiap bulan pada hitungan bulan Hijriyah. Pada hari Jumat muda tersebut para santri diperbolehkan keluar dari lingkungan pondok pesantren. Biasanya para santri keluar untuk jala-jalan, sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu atau berbelanja.
4.5                   Fungsi Campur Kode
Seseorang melakukan campur kode dalam berkomunikasi tentunya mempunyai fungsi tertentu. Beberapa fungsi campur kode yang ditemukan dalam  komunikasi santri di pondok pesantren “Raudlatul Ulum I” adalah sebagai berikut. (1) Ketepatan rasa (makna), (2) lebih argumentatif, (3) lebih persuasif, (4) lebih singkat dan mudah diucapkan, (5) lebih prestise atau bergengsi, (6)bertindak  lebih  sopan, (7)  bertindak melucu,  dan (8) lebih komunikatif.



Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA