BAB IV
HASIL ANALISIS
Deskripsi Alur
dalam Novel “Angel And Demon (Malikat Dan Iblis)” Karya Dan Brown
Alur novel “Angel And Demon” adalah alur lurus atau maju karena
cerita dimulai dari pengenalan dan bergerak terus menuju penyelesaian.
Pembahasan dari deskripsi alur dari novel tersebut adalah sebagai berikut.
4.1
Pengenalan
Dalam pengenalan ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita,
keadaan para tokoh, keadaan para tokoh dan sebagainya. Pada bagian ini
pengarang memperkenalkan tokoh utama dan bawahan serta keadaan dari para tokoh
seperti dalam data-data berikut ini.
Data 1.
TINGGI DI ATAS puncak anak tangga Great Pyramid Giza, seorang
perempuan muda tertawa dan berseru ke bawah kepada seorang lelaki. ”Robert,
cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!”
Senyum perempuan itu begitu memesona. Robert
berjuang untuk mengimbanginya,
tapi tungkai kakinya seperti terpaku.”Tunggu,” pintanya. ”Kumohon ”Ketika lelaki itu berusaha mendaki, pandangannya
mulai mengabur. Dia seperti mendengar suara-suara di telinganya. Aku harus
menangkap perempuan itu! Tapi ketika dia mendongak lagi, perempuan itu telah
menghilang. Di tempat di mana perempuan itu sebelumnya berada, berdiri seorang
lelaki tua dengan gigi yang berwarna kecokelatan. Lelaki tua itu menatap ke
bawah, ke arahnya, dan tersenyum penuh kesedihan. Kemudian dia menjerit keras
penuh penderitaan sehingga menggema ke seluruh padang pasir. Robert Langdon
tersentak bangun dari mimpi buruknya. Telepon di samping tempat tidurnya
berdering. Dengan linglung dia mengang-katnya. (Brown, 2002:7-8)
Data 2
”Aku harus bertemu denganmu segera.” ”Siapa ini?”
”Namaku Maximilian Kohler. Aku seorang ahli fisika partikel.”
”Apa?” Pikiran Langdon masih kacau. ”Kamu yakin saya Langdon yang
kamu cari?”
”Kamu dosen ikonologi religi di Harvard University. Kamu menulis
tiga buku tentang simbologi dan—”
”Kamu tahu jam berapa sekarang?”
”Maafkan aku. Tapi aku mempunyai sesuatu yang harus kamu lihat. Aku
tidak dapat membicarakannya lewat telepon.”
Langdon mendesah maklum. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah
satu risiko menjadi penulis buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon
dari para penganut sebuah agama yang fanatik yang ingin agar ia membenarkan
keyakinan mereka kalau mereka baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan
lalu, seorang penari telanjang dari Oklahoma menjanjikan pelayanan seks
habishabisan kalau Langdon mau terbang ke
rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara
ajaib muncul di atas sprei tempat tidurnya. Kain Kafan dari Tulsa, begitu
Langdon menyebutnya (Brown, 2002:8)
Dalam data-data di atas pengarang jelas telah mengenalkan
tokoh utama dalam cerita yaitu Robert Langdon dan tokoh bawahan yaitu
Maximilian Kohler. Dalam data-data di atas pengarang juga membaritahukan
pekerjaan/profesi dari masing-masing tokoh. Robert Langdon selaku tokoh utama
berprofesi sebagai dosen di Harvard University dan penulis buku-buku tentang
simbologi religi, sedangkan Maximilian Kohler selaku tokoh bawahan berprofesi
sebagai peneliti fisika partikel atau seorang ahli fisika partikel.
Data 3
Robert Langdon berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki di
rumah bergaya zaman Victoria miliknya yang lengang di Massachusetts dan
menikmati ramuan ”sulit tidur” kesukaannya, secangkir besar Nestles Quik panas.
Sinar rembulan di bulan April tampak menembus masuk dari jendela rumahnya yang
menjorok ke luar dan memberikan sentuhan
tersendiri pada permadani
oriental yang terhampar
di lantai. Rekan-rekan Langdon sering mengoloknya dengan
mengatakan rumahnya lebih mirip sebuah museum antropologi daripada sebuah
rumah. Rak bukunya dipenuhi oleh berbagai artifak religius dari seluruh penjuru
dunia, seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala dari
Aegean Selatan, dan
bahkan tenunan langka
bernama boccus dari Kalimantan yang merupakan simbol
keabadian usia muda milik seorang ksatria.
Ketika Langdon duduk di atas peti kuningan Maharesinya dan menikmati
minuman cokelat hangat kesukaannya, kaca jendela yang menjorok itu memantulkan
bayangan dirinya. Bayangan itu tampak berubah dan pucat ... seperti hantu.
Hantu tua renta, katanya seperti mengejek dirinya sendiri dengan berpikir jiwa
mudanya telah berlalu meninggalkannya.
Walaupun tidak terlalu tampan menurut ukuran biasa, Langdon yang
berusia empat puluh tahun ini memiliki apa yang disebut rekan kerja
perempuannya sebagai daya tarik ”seorang terpelajar”—rambut cokelat tebal yang
mulai tampak beruban, mata biru yang tajam menyelidik, suara yang berat
sekaligus menawan, dan senyuman menggoda milik seorang atlet kampus.
Sebagai mantan anggota regu
selam di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, Langdon masih memiliki tubuh
yang gagah setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang
dilakukannya setiap hari sebanyak lima puluh putaran di kolam renang kampus.
(Brown, 2002:9)
Data 4
Walau dianggap sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, Langdon
juga dipuji sebagai orang yang suka bergembira. Dia sangat menyukai kegiatan
rekreasi sehingga diterima di lingkungan mahasiswanya dengan baik. Julukannya
di kampus adalah ”si Lumba-lumba” karena sifatnya yang ramah dan karena
kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding
dalam pertandingan polo air. (Brown, 2002:10)
Dalam data-data di atas pengarang membaritahukan hobi
tokoh utama yaitu mengoleksi artifak religius dari seluruh penjuru dunia,
seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala dari
Aegean Selatan, dan
bahkan tenunan langka
bernama boccus dari Kalimantan yang merupakan simbol
keabadian usia muda milik seorang ksatria. Selain itu, pengarang juga mendeskripsikan
postur tubuh dari tokoh utama yang memiliki tubuh gagah setinggi 180 sentimeter
dan tetap terjaga berkat latihan renang yang dilakukannya setiap hari dan
karakter tokoh utama sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, dan sering
dipuji sebagai orang yang suka bergembira, sifatnya yang ramah dan karena
kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding
dalam pertandingan polo air.
4.2
Munculnya
Konflik
Munculnya konflik ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tokoh
novel bergerak dari waktu kewaktu, dari satu adegan ke adegan yang lain, dari
suatu peristiwa menuju peristiwa yang lain, dari tempat ke tempat yang lain. Dalam
novel “Angel And Demon” munculnya konflik dapat dilihat pada data-data berikut.
Data 1
Gambar yang tertera pada lembaran itu adalah gambar sesosok mayat
manusia. Mayat itu ditelanjangi, dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya
mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu
diberi cap ... hanya satu kata yang tertera di sana. Langdon mengenalinya
dengan baik. Sangat baik. Dia menatap huruf ornamen itu dengan rasa tidak
percaya.
”Illuminati,” dia tergagap, jantungnya berdebar keras. Tidak mungkin.
Dengan gerak lambat, karena takut akan apa yang bakal dia lihat,
Langdon memutar kertas itu sebesar 180 derajat. Lalu dia menatap huruf yang
terbalik itu dan membacanya perlahan-lahan.
Dia langsung terkesiap seolah baru saja dihajar oleh truk. Dia
hampir tidak dapat memercayai penglihatannya. Kemudian dia memutar kertas faks itu
kembali, membaca huruf itu sekali lagi dalam posisi yang benar, lalu diputar
balik lagi. ”Illuminati,” bisiknya.
Merasa sangat terguncang, Langdon jatuh terduduk di atas kursinya.
Sesaat dia merasa sangat kebingungan. Dengan perlahan matanya menatap ke arah
lampu merah yang berkedip di mesin raksnya. Siapa pun orang yang mengiriminya
faks masih berada di sana ... menunggunya untuk berbicara. Langdon menatap
lampu di mesin faksnya yang masih terus berkedip-kedip. (Brown, 2002:10-11)
Data 2
”APAKAH KAMU MEMERHATIKANKU sekarang?” suara seorang lelaki berkata
ketika akhirnya Langdon mengangkat teleponnya.
”Ya. Saya benar-benar memerhatikan Anda sekarang. Siapa diri Anda sesungguhnya?”
”Aku sudah berusaha untuk mengatakannya kepadamu tadi.” Suara itu
terdengar kaku seperti mesin. ”Aku seorang ahli fisika. Aku mengelola sebuah
fasilitas penelitian. Salah seorang staf kami dibunuh. Kamu sendiri sudah
melihat gambar mayat itu.”
”Bagaimana Anda dapat
menemukan saya?” Langdon
hampir tidak mampu memusatkan perhatiannya. Pikirannya
masih tertuju pada gambar yang terpampang di kertas faks.
”Aku sudah mengatakannya padamu. Dari internet. Dari situs bukumu,
The Art of The Illuminati.”
Langdon mencoba mengingat-ingat. Bukunya itu sesungguhnya tidak
begitu terkenal di lingkungan penerbitan konvensional, tetapi ternyata cukup
ngetop juga di dunia maya. Walau demikian, pengakuan orang yang meneleponnya
ini sungguh tidak masuk akal.
”Situs itu tidak mencantumkan informasi tentang alamat saya,”
tantang Langdon. ”Saya yakin akan hal itu.”
”Staf saya di lab sangat ahli dalam menemukan informasi pengguna
internet dari sebuah situs.”
Langdon menjadi ragu. ”Sepertinya lab Anda tahu banyak tentang
situs.”
”Memang harus begitu,” sahut lelaki itu ketus. ”Kami yang mencip-takannya.”
Dari suaranya, Langdon tahu lelaki itu tidak bergurau. ”Aku harus bertemu
denganmu,” desak lelaki yang meneleponnya itu. ”Ini bukan masalah yang dapat dibicarakan
lewat telepon. Labku hanya satu jam penerbangan dari Boston.”
Langdon berdiri di dalam keremangan cahaya di ruang kerjanya dan
memeriksa lembaran faks di tangannya. Gambar yang sangat memengaruhinya itu
bisa menjadi penemuan terbesar abad ini. Penelitiannya selama berpuluh-puluh
tahun kini ditegaskan hanya oleh satu simbol saja.
”Ini mendesak,” suara itu berkata dengan nada memaksa.
Mata Langdon terpaku pada tanda itu. Illuminati, dia membacanya
berulang kali. Pekerjaannya selama ini bisa dibilang berdasarkan pada fosil
masa lalu seperti dokumendokumen kuno dan kisahkisah sejarah. Tapi gambar yang
berada di hadapannya itu diambil pada masa kini. Langdon merasa seperti seorang
ahli paleontologi yang bertemu muka dengan seekor dinosaurus hidup. (Brown,
2002:11)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa munculnya
konflik ditandai dengan dikirimkannya faks kepada Langdon yang berisi sebuah
gambar mayat lelaki yang ditelanjangi dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya
mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu
diberi cap dengan symbol “Illuminati”. Setelah beberapa saat Langdon ditelpon
oleh orang yang mengiriminya gambar tersebut yang tak lain adalah Maximilian
Kohler. Tujuan Kohler mengirimkan gambar tersebut untuk meminta bantuan dari
Langdon.
Data 3
”Dan ke mana sebenarnya di sana itu?” tanya Langdon ketika sadar dia
tidak tahu ke mana tujuan mereka.
Jenewa,” jawab sang
pilot sambil menambah
daya mesin pesawatnya. ”Laboratoriumnya berada di
Jenewa.”
”Jenewa,” ulang Langdon. Dia merasa agak lebih baik sekarang. ”Di
utara New York? Saya sebenarnya memiliki saudara di dekat Danau Seneca. Saya
tidak tahu kalau Jenewa memiliki kboratorium fisika.”
Pilot itu tertawa. ”Bukan Jenewa New York, Pak Langdon. Jenewa di
Swiss.”
Langdon membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna kalimat itu. ”Swiss?”
Langdon merasa denyut nadinya menjadi lebih cepat. ”Saya kira tadi
Anda mengatakan bahwa perjalanan ini hanya memakan waktu satu jam!”
”Memang, Pak Langdon.” Pilot itu terkekeh. ”Pesawat ini memiliki
kecepatan 15 mach.” (Brown, 2002:15)
Data di atas menunjukkan bahwa untuk memenuhi undangan
Kohler, membantu Kohler, Langdon harus melakukan penerbangan selama satu jam
menuju laboratorium Kohler yang terletak di daerah Jenewa, Swiss.
Data 4
Kohler mengajak Langdon ke ujung koridor. Ada sebuah pintu saja di
sana. ”Griya tawang, seperti istilah Anda,” ujar Kohler sambil menyeka keringat
yang muncul di dahinya.
Langdon melihat pintu kayu ek di depan mereka. Plakat nama yang
terdapat di sana bertuliskan:
Leonardo Vetra ”Leonardo Vetra,” kata Kohler, ”akan genap berusia 58
tahun minggu depan. Dia adalah salah satu ilmuwan terpandai pada masa kini.
Kematiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan.”
Saat itu Langdon melihat luapan perasaan Kohler dari wajahnya yang
mengeras. Namun secepat itu terlihat, secepat itu juga perasaan itu menghilang.
Kohler merogoh sakunya dan mulai memilah-milah seikat besar kunci. (Brown,
2002:29)
Data 5
MAYAT YANG TERGELETAK di hadapan Langdon tampak mengerikan. Mendiang
Leonardo Vetra terbaring terlentang, ditelanjangi, dan kulitnya berwarna kelabu
kebiruan. Tulang lehernya mencuat ke luar di tempat yang patah, dan kepalanya
di putar ke belakang dengan sempurna, dan mengarah ke arah yang salah. Wajahnya
tidak terlihat karena terpelintir mencium lantai. Lelaki itu terbaring di atas
genangan urin bekunya, rambut di sekitar kemaluannya yang membeku berserabut
karena bunga es.
Untuk melawan perasaan mualnya, Langdon mengalihkan tatapannya ke
arah dada korban. Walau Langdon telah melihat luka simetris itu lusinan kali di
kertas faks yang diterimanya, luka bakar itu tampak sangat meyakinkan ketika
melihatnya dengan mata kepalanya
sendiri. Daging yang
terkelupas dan terpanggang
itu betul-betul menggambarkan
... simbol yang terbentuk dengan sempurna.
Jantungnya berdebar ketika dia berjalan mengitari mayat itu sambil
membaca tulisan yang tertera di dadanya dari arah atas untuk menegaskan
kejeniusan simetris yang dilihatnya. Sekarang, simbol itu terlihat luar biasa
ketika dia melihatnya secara langsung.
”Pak Langdon?”
Langdon tidak mendengarnya.
Dia sedang berada
di dunia lain
... dunianya, bagiannya. Ini
adalah dunia tempat sejarah, mitos dan fakta saling bertabrakan, dan membanjiri
benaknya.
”Pak Langdon?” Mata Kohler menyelidik penuh harap.
Langdon tidak mengalihkan pandangannya dari mayat itu. Perhatiannya
sekarang semakin dalam dan sangat terfokus. ”Apa saja yang Anda ketahui dari
kata ini?” tanyanya kemudian.
”Hanya yang sudah kubaca dari situs Anda. Kata Illuminati berarti
’mereka yang tercerahkan’. Itu adalah nama sebuah persaudaraan kuno.”
Langdon mengangguk. ”Anda pernah mendengar nama itu sebelumnya?”
”Tidak sampai aku melihatnya tercap pada tubuh Pak Vetra.”
”Jadi Anda membuka internet untuk mencari keterangan tentang itu?”
”Ya.”
”Dan kata itu menghasilkan ratusan petunjuk tentunya.”
”Ribuan,” kata Kohler. ”Namun situs Anda berisi informasi dari
Harvard, Oxford, sebuah penerbit yang mempunyai reputasi unik dan sebuah daftar
dari penerbit lain yang berhubungan. Sebagai seorang ilmuwan, saya tahu mutu
informasi yang baik berasal dari sumber yang baik. Informasi Anda tampak
meyakinkan.” (Brown, 2002:30-31)
Setelah Langdon sampai di Jenewa, Swiss, Langdon
disambut oleh Kohler dan dibawa kedalam laboratoriumnya untuk melihat langsung
mayat temannya yaitu Leonardo Vetra yang tewas secara mengenaskan di dalam
ruang pribadi Vetra. Tujuan Kohler mengundang Langdon adalah untuk mendapatkan
informasi mengenai symbol “Illuminati” yang dicapkan di dada Vetra guna menyelidiki
siapa pembunuh Vetra yang sebenarnya.
Data 6
”Vetra adalah ahli fisika partikel kawakan,” kata Kohler. ”Dia mulai
mencampur ilmu pengetahuan dan agama ... untuk menunjukkan bahwa kedua hal itu
saling melengkapi dengan cara yang sangat tidak terduga. Dia menamakan bidang
itu Fisika Baru.” Kohler menarik sebuah buku dari rak buku dan memberikannya
kepada Langdon.
Langdon memerhatikan judul
yang tertulis di
sampul buku tersebut.
Tuhan, Keajaiban dan Fisika Baru—oleh Leonardo Vetra.
”Bidang itu memang masih bayi,” kata Kohler, ”tetapi dapat berikan
jawaban segar bagi beberapa pertanyaan klasik, seperti pertanyaan tentang asal
muasal alam semesta dan kekuatan yang menyatukan kita semua. Leonardo percaya,
penelitiannya berpotensi mengundang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual.
Tahun lalu ia menemukan bukti keberadaan kekuatan energi yang mempersatukan
kita semua. Dia menunjukkan bahwa secara lahiriah kita saling terhubung ... bahwa semua molekul dalam tubuh saya
saling terjalin dengan molekul di tubuh Anda ... bahwa ada satu daya yang
bergerak di diri semua umat manusia.”
Langdon merasa bingung. Dan kekuatan Tuhan akan menyatukan kita
semua. ”Pak Vetra benar-benar menemukan cara untuk membuktikan kepada kita
kalau partikel-partikel tersebut saling berhubungan?” (Brown, 2002:43)
Dalam data di atas pengarang mendeskripsikan profesi
Leonardo Vetra si korban pembunuhan sadis. Leonardo Vetra adalah ahli fisika
partikel kawakan. Dia mulai mencampur ilmu pengetahuan dan agama untuk
menunjukkan bahwa kedua hal itu saling melengkapi dengan cara yang sangat tidak
terduga. Bidang itu memang masih bayi, tetapi dapat berikan jawaban segar bagi
beberapa pertanyaan klasik, seperti pertanyaan tentang asal muasal alam semesta
dan kekuatan yang menyatukan semua manusia. Leonardo percaya, penelitiannya
berpotensi mengun-dang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual. Dia
menunjukkan bahwa secara lahiriah semua manusia saling terhubung.
4.3
Konflik
Memuncak
Konflik memuncak dimulai dengan ditemukannya bola mata
Leonardo Vetra yang di cungkil oleh si pembunuh di depan pintu lab bawah tanah
milik Kohler oleh Langdon Kohler dan Vittoria. Bola mata Vetra ditemukan
tergeletak di lantai ruangan depan pintu masuk lab. Hal itu bisa dilihat pada
data berikut ini:
Data 1
Vittoria mundur. Ada yang salah. Lensa yang biasanya bersih itu
ternoda ... dikotori oleh sesuatu yang tampak seperti ... darah? Dengan bingung
dia berpaling pada kedua lelaki yang berdiri di belakangnya, tetapi tatapannya
hanya bertemu dengan wajah-wajah yang pucat seperti lilin. Baik wajah Kohler
maupun wajah Langdon sama-sama terlihat pucat. Mata mereka menatap lekat pada
lantai di dekat kaki Vittoria.
Vittoria mengikuti arah tatapan mereka ... di bawah.
”Jangan!” seru Langdon sambil meraih Vittoria. Tetapi terlambat.
Tapi Vittoria sudah keburu melihat benda di atas lantai itu. Benda
itu tampak sangat aneh, namun juga sangat akrab baginya.
Dan Vittoria hanya memerlukan waktu sedetik saja.
Kemudian, dengan ketakutan yang amat sangat, dia tahu benda apa itu.
Benda yang seperti menatapnya dari bawah, tercampak seperti potongan sampah,
adalah sebuah bola mata. Vittoria langsung bisa mengenali bola mata berwarna
cokelat yang sudah begitu akrab dengannya selama ini. (Brown, 2002:80)
Data 2
Tabung itu hilang. Mereka mencungkil mata ayahnya untuk mencuri
tabung tersebut. Kenyataan itu terlalu bertubi-tubi bagi Vittoria sehingga dia
sulit untuk mencernanya. Semua rahasia telah bocor. Spesimen yang seharusnya
ditujukan untuk membuktikan bahwa antimateri merupakan sumber energi yang aman
dan dapat dibuat, telah dicuri. Tetapi seharusnya tidak ada orang yang
mengetahui keberadaan spesimen itu di sini.Walaupun begitu, fakta tersebut
tidak dapat disangkal. Seseorang telah mengetahuinya.
Vittoria tidak dapat membayangkan siapa orang itu. Bahkan Kohler
yang mereka sebut sebagai orang yang tahu segalanya di CERN, jelas juga tidak
tahu apa-apa tentang proyek ini.
Ayahnya meninggal. Dibunuh karena kejeniusannya.
Ketika perasaan duka menyakiti hatinya, sebuah perasaan baru muncul
dan menggugah kesadaran Vittoria.
Yang ini malah
jauh lebih buruk. Melumatkan dan
menusuk dirinya. Vittoria merasa bersalah. Perasaan bersalah yang luar biasa
besar. Vittoria menyadari kalau dirinyalah yang meyakinkan ayahnya untuk
membuat spesimen itu dan mengabaikan pertimbangan mulia ayahnya. Kini, ayahnya
dibunuh karenanya. (Brown, 2002:81-82)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari
pembunuhan Leonardo Vetra adalah untuk mencuri hasil karya ilmiyahnya yang luar
biasa. Si pembunuh membunuh Vetra kemudian mencungkil matanya untuk bisa menem-bus
keamanan dari lab pribadi Vetra dan putrinya. Lab pribadi Vetra dilengkapi
dengan system keamanan yang canggih. Untuk bisa masuk kedalam lab pribadi Verta
harus melewati pintu yang dilengkapi dengan system pengenal retina mata, dan
system itu hanya mengenal dua jenis retina, yaitu milik Vetra dan putrinya.
Karena mengetahui hal itu maka si pembunuh mencungkil mata Vetra untuk memasuki
Lab pribadinya.
Data 3
Kohler menghirup napas
panjang dua kali,
lalu menyingkirkan topeng
itu dari mulutnya. Kemudian
dengan masih megap-megap, Kohler menatap Vittoria dan Langdon lalu berkata
pendek, ”Roma.”
”Roma?” tanya Vittoria. ”Antimateri itu ada di Roma? Siapa yang
menelepon?”
Wajah Kohler berkerut, mata kelabunya berair. ”...Swiss.” Dia
tersedak ketika mengucapkan kata-katanya. Paramedis lalu memasang kembali
topeng oksigen itu di wajahnya. Ketika
mereka bersiap untuk
membawanya pergi, Kohler
mengulurkan tangannya dan meraih lengan Langdon.
Langdon mengangguk. Dia mengerti.
”Pergilah” Kohler bersuara serak di balik topengnya. ”Pergilah ...
telepon aku”
Lalu paramedis itu mendorongnya pergi.
Vittoria berdiri terpaku sambil memandang lantai, lalu menatap
Kohler yang tengah dibawa pergi. Dia kemudian berpaling memandang Langdon.
”Roma? Tetapi ... apa hubungannya dengan Swiss?”
Langdon meletakkan tangannya di atas bahu Vittoria dan berbisik
lembut. ”Garda Swiss. Mereka adalah pengawal tersumpah di Vatikan City.”
(Brown, 2002:95)
Data 4
Olivetti berjalan menuju salah satu layar monitor dan menunjuknya.
Dia lalu berpaling pada tamunya. ”Gambar ini berasal dari sebuah kamera yang
disembunyikan di suatu tempat di dalam Vatican City. Aku menginginkan
penjelasan.”
Langdon dan Vittoria melihat layar itu dan sama-sama terkesiap.
Gambar itu sangat jelas. Tidak diragukan lagi. Itulah tabung antimateri CERN.
Di dalamnya, setetes cairan metalik mengambang di udara diterangi oleh sinar
jam digital LED yang berkedipkedip. Yang membuatnya menjadi semakin menakutkan
adalah ruangan di sekeliling tabung itu sangat gelap, seolah antimateri itu
berada di dalam sebuah lemari atau ruangan gelap. Pada bagian paling atas
monitor itu menyala tulisan yang sangat mencolok: TAYANGAN LANGSUNG—KAMERA
NOMOR 86.
Vittoria melihat waktu yang masih tersisa pada penunjuk waktu yang
menyala di tabung tersebut. ”Kurang dari enam jam,” Vittoria berbisik kepada
Langdon, wajahnya tegang.
Langdon memeriksa jam tangannya. ”Berarti waktu kita hingga ” Dia berhenti,perutnya terasa seperti
terpilin.
”Tengah malam,” sahut Vittoria dengan wajah pucat. (Brown,
2002:114-115)
Dari data-data diatas dapat diketahui bahwa sipembunuh
Vetra telah mencuri tabung yang berisi “Antimateri” hasil karya Leonardo Vetra
dan putrinya Vittoria. “Antimateri adalah zat kimia yang sangat mudah terbakar.
Jika zat “Antimateri” bersentuhan dengan “Materi”, maka akan terjadi ledakan.
Data di atas juga menunjukkan bahwa Tabung “Antimateri”
yang dicuri itu dipindahkan ke daerah Roma, ke Vatican City. Dipindahkannya
tabung yang berisi zat “Antimateri” ke Vatican City memperjelas tujuan dari si
pembunuh Vetra yang tak lain adalah anggota kelompok “Illuminati”, yaitu untuk
menghancurkan daerah tersebut. Kelompok “Illuminati” bermusuhan dengan Vatican
City sejak 400 tahun silam, dan kelompok tersebut ingin balas dendam terghadap
Vatican City atas perlakuannya terhadap nenek moyang kelompok “Illuminati”.
Tabung itu berisi zat “antimateri” sebesar ¼ gram, dan ¼ gram “antimateri”
setara denga 5 kiloton, sedangkan 1 kiloton sama dengan 1000 metrik ton
dinamit. Zat “antimateri” sebanyak itu dapat menghancurkan segala sesuatu dalam
radius ½ mil.
Data 5
”Mengapa tidak? Karena Garda Swiss kalian begitu tangkasnya? Karena
mereka menjaga setiap sudut dunia kecilmu itu? Bagaimana dengan Garda Swiss
sendiri? Apakah mereka bukan manusia?
Apakah kamu benar-benar yakin
kalau mereka mau mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk
sebuah dongeng tentang seorang lelaki yang dapat berjalan di atas air? Tanyakan
pada diri kalian sendiri bagaimana tabung itu bisa memasuki kota kalian. Atau
bagaimana empat dari harta kalian yang paling berharga dapat menghilang siang
ini?”
”Harta kami?” bentak Olivetti. ”Apa maksudmu?”
”Satu, dua, tiga, empat. Kalian belum kehilangan mereka sekarang?”
”Apa maksud kalian—” Tiba-tiba
Olivetti berhenti. Matanya terbelalak seolah perutnya baru saja ditinju.
”Pada saat matahari menyingsing,” kata penelepon itu. ”Bolehkah aku
membacakan nama-nama mereka?”
”Ada apa ini?” tanya sang camerlengo yang tampak bingung.
Penelepon itu tertawa. ”Jadi satuan pengamananmu itu belum
mem-berimu penjelasan tentang hal ini? Memalukan sekali. Tidak meng-herankan.
Kesombongan yang hebat. Aku membayangkan betapa malunya untuk mengatakan
kebenaran ... dia sudah bersumpah untuk menjaga keempat kardinal yang tampaknya
telah menghilang ”
Olivetti meledak. ”Darimana kamu
mendapatkan informasi itu?”
”Sang camerlengo” penelepon
itu berkata dengan
riang, ”coba tanyakan
komandanmu itu, apakah semua kardinal kalian sudah lengkap berkumpul di Kapel
Sistina.” (Brown, 2002:134-135)
Data 6
”Ya. Maka kami akan melakukan hal yang sama. Quid pro quo. Anggap
saja sebagai retribusi simbolis bagi saudara-saudara kami yang kalian penggal.
Keempat kardinal kalian akan mati, satu orang setiap jam, dan akan dimulai pada
pukul delapan. Pada tengah malam seluruh dunia akan terpesona.”
Langdon bergerak mendekati telepon itu. ”Kamu benar-benar bermaksud
untuk mencap dan membunuh mereka?”
”Sejarah berulang sendiri, bukan? Tentu saja, cara kami lebih elegan
dan lebih terus terang daripada gereja. Mereka membunuh ilmuwan itu satu per
satu dan membuang mayat mereka ketika tidak ada orang yang melihat. Pengecut
sekali.”
”Apa maksudmu?” Tanya Langdon. ”Kamu akan mencap
tubuh mereka dan membunuh mereka
di depan umum?”
”Tepat. Walau itu tergantung pada pengertianmu terhadap kata umum
itu sendiri. Aku tahu kalau sekarang sudah tidak banyak orang pergi ke gereja.”
(Brown, 2002:137)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa kelompok
“Illuminati” sudah memulai aksi balas dendamnya. Mereka memulai aksinya dengan
menculik empat cardinal unggulan yang dijadikan calon “paus” baru di Vatican
City satu jam sebelum rapat pemilihan paus dimulai. Kelompok itu juga mengancam
akan membunuh para cardinal itu satu-persatu tiap satu jam secara sadis dan
mencap mereka dengan symbol-simbol Illuminati dan akan dimulai pada jam 20:00.
4.4
Klimaks
Klimaks adalah puncak dari semua konflik atau peristiwa. Pada tahap
ini semua peristiwa, semua konflik akan mencapai puncaknya dan akan menuju pada
tahap penyelesaian atau ending. Klimaks pada novel ini bisa dilihat dalam
data-data berikut.
Data 1
Mata Vittoria penuh dengan kecemasan. ”Kita dalam masalah, Robert.
Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai”
”Apanya yang tidak sesuai?”
”Makam Raphael. Dia baru dimakamkan di sini pada tahun 1759. Satu
abad setelah Diagramma diterbitkan.”
Langdon menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu.
”Tidak,” sahut Langdon. ”Raphael meninggal pada tahun 1520, lama sebelum
Diagramma.”
”Ya, tetapi dia tidak segera dimakamkan di sini, tetapi lama setelah
dia meninggal.” Langdon bingung. ”Apa maksudmu?”
”Aku baru saja membacanya. Jenazah Raphael dipindahkan ke Pantheon
pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa penghormatan bersejarah bagi seorang
besar Italia.”
Ketika akhirnya Langdon memahami perkataan Vittoria, dia merasa
seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba ditarik sehingga dia
jatuh terjengkang.
”Ketika puisi itu ditulis,” jelas Vittoria, ”makam Raphael berada di
suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Raphael!”
Langdon tidak dapat bernapas. ”Tetapi itu ... artinya ”
”Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!” (Brown, 2002:215)
Data 2
Vittoria Vetra mengeluarkan ponselnya ketika dia berlari keluar ke
arah Piazza della Rotunda. ”Komandan Olivetti,” katanya. ”Ini kapel yang
salah.”
Suara Olivetti terdengar bingung. ”Salah? Apa maksudmu?”
”Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!”
”Di mana?” Sekarang Olivetti terdengar marah. ”Tetapi Pak Langdon
bilang—”
”Santa Maria del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan orangorangmu
ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!”
”Tetapi mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku tidak
mungkin—”
”Cepatlah!” seru Vittoria sambil menutup ponselnya.
Di belakangnya,
Langdon berlari keluar dari Pantheon. (Brown, 2002:219-220)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa Langdon dan
Vittoria berusaha mencari altar pengetahuan yang pertama milik kelompok
“Illuminati” yang akan dijadikan tempat pembunuhan pertama. Menurut Langdon
altar pertama adalah di “Pantheon” makam Raphael Santi, namun ketika mereka
memulai pencarian di tempat itu, ternyata mereka salah tempat. Tempat altar
pertama yang sebenarnya adalah di Kapel Chigi, gereja Santa Maria del Popolo.
Data 3
”Apa yang terjadi?” tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan
menggerak-gerakkan obor gasnya.
Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk
dapat melihat semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa
yang dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat
tubuh seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau
setidaknya setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam hingga
sebatas pinggangnya. Orang
tua itu berdiri
tegak dengan separuh badannya terkubur di
dalam tanah. Dia
ditelanjangi. Tangannya terikat di belakang punggungnya dengan ikat pinggang
kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas
dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang seperti karung tinju yang
mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah
memohon pertolongan dari Tuhan.
”Apakah dia sudah mati?” seru Vittoria bertanya.
Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan
orang itu sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata orang itu menengadah
ke atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak
kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih
bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. ”Ya, Tuhan!”
”Apa?”
Langdon hampir saja muntah. ”Dia memang sudah meninggal. Aku baru
saja melihat penyebab kematiannya.” Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut
lelaki itu dibuka paksa dan tersumbat dengan lumpur padat. ”Seseorang telah
mengisi mulutnya dengan segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam
tenggorokannya. Dia pasti mati tercekik.”
”Lumpur?” tanya Vittoria. ”Maksudnya ... tanah?”
Langdon heran sekali. Tanah? Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah,
Udara, Api, Air.
Pembunuh itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap
korbannya.
Cap yang menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen
pertama adalah tanah. Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ...
Langdon merasa pusing karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri
untuk melihat bagian depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan
simbologi di dalam Jiwanya berteriak dan menuntut untuk
melihat perwujudan ambigram
yang mistis itu.
Tanah? Bagaimana mungkin mereka
visa membuat cap seperti itu? Lalu dengan sekejap, simbol itu sudah ada di
depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah berabad-abad itu berputar-putar di
dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu gosong dan memperlihatkan ambigram yang
simetris Dagingnya terlihat kehitaman. La lingua pura ...
Langdon sedang menatap
cap tersebut dan merasa ruangan itu
seperti mulai berputar. (Brown, 2002:238-239)
Data-data di atas menunjukkan bahwa setelah Langdon dan
Vittoria menemukan “Kapel Chigi” di dalam gereja Santa Maria del Popolo, mereka
mencari di mana kemungkinan si pembunuh akan melakukan aksinya. Setelah lama
mencari akhirnya mereka menemukan sebuah mosaik yang terletak di atas Iempengan
batu yang berbentuk bundar, sebuah cupermento sudah diangkat dari lantai
seperti tutup got dan meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
Di dalam lubang itu Langdon melihat sesosok tubuh berdiri di dasar
lantai. Dengan disinari obor las, Langdon masuk kedalam lubang bawah tanah itu
dan dia menemukan sesosok lelaki tua dengan posisi berdiri, tubuhya ditanam
sebatas, tangan terikat kebelakang, kepala mendongak ke atas dengan mata
melotot. Setelah Langdon mendekatinya ternyata lelaki tua itu sudah tewas.
Mulutnya dibuka dengan paksa oleh sipembunuh dan di jejali lumpur hingga
memenuhi mulutnya dan dadanya dicap dengan salah satu symbol milik Illuminati
Yaitu “Eart”, tanah. Kelompok Illuminati itu benar-benar membuktikan ancamannya.
Tepat pada jam delapan malam seorang cardinal dibunuh.
Data 4
Ketika lonceng Basilika
Santo Petrus berdentang
keras, Langdon dan
Vittoria terlonjak. Ini waktunya. Mereka tadi berjalan menjauhi West
Ponente untuk menghindari wartawan yang membuntuti mereka, tetapi sekarang
mereka bergerak mendekati relief itu lagi.
Walau dentangan lonceng terdengar sangat keras, lapangan itu tampak
sangat tenang. Wisatawan masih berlalu-lalang. Seorang gelandangan mabuk,
tertidur dengan posisi aneh di dasar obelisk. Seorang gadis kecil memberi makan
burung-burung dara.
Langdon bertanya-tanya apakah wartawan itu sudah membuat si pembunuh
takut. Tidak mungkin, katanya dalam hati ketika ingat dengan ianii si pembunuh.
Aku akan membuat kardinal-kardinal kalian menjadi pencerah media.
Ketika gema yang berasal dari dentangan kesembilan mulai memudar,
lapangan itu terasa sangat sunyi dan damai. Hingga kemudian ... gadis kecil itu
mulai berteriak.
Langdonlah yang pertama tiba di dekat gadis kecil itu. Anak kecil
yang ketakutan itu berdiri seperti membeku sambil menunjuk ke dasar obelisk di
mana gelandangan mabuk yang terlihat kumal itu terpuruk di tangga obelisk. Lelaki
itu tampak kacau sekali ... kemungkinan dia adalah gelandangan Roma. Rambut
kelabunya terurai di sekitar wajahnya, dan tubuhnya terbungkus pakaian kotor.
Gadis kecil itu terus berteriak sambil berlari menjauh dan menerobos kerumunan
orang.
Perasaan takut yang dirasakan Langdon meningkat ketika mendekati
lelaki itu. Terlihat ada noda gelap yang menyebar ke seluruh pakaian
rombengnya. Ternyata itu adalah darah segar yang mengalir.
Kemudian, semuanya seperti terjadi bersamaan.
Lelaki tua itu tampak semakin lemas, dan terbungkuk ke depan.
Langdon bergerak maju dengan cepat, tetapi terlambat. Lelaki tua itu terguling
ke depan, dan menggelinding di tangga, lalu jatuh tersungkur di lantai dengan
wajah mencium bumi. Setelah itu dia tidak bergerak lagi.
Langdon berlutut. Vittoria tiba di sampingnya. Kerumunan mulai
terbentuk. Vittoria meletakkan jemarinya di tenggorokan orang itu dari belakang
kepalanya. ”Masih ada denyutan,” katanya. ”Balikkan tubuhnya.”
Langdon langsung bergerak. Dengan memegang bahu lelaki itu, dia
membalikkan tubuhnya. Ketika itu, pakaian kumal longgar yang dikenakannya
tampak meluncur dari tubuhnya. Lalu lelaki itu tergeletak terlentang. Di
dadanya yang telanjang terlihat luka bakar yang cukup besar.
Vittoria terkesiap dan mundur.
Langdon merasa lumpuh, terpaku di antara perasaan mual dan ngeri.
Simbol itu tertulis sederhana namun menakutkan.
”Udara,” Vittoria seperti tersedak. ”Itu ... dia.”
Beberapa orang Garda Swiss muncul entah dari mana, sambil
meneriakkan perintah, kemudian berlari mengejar si pembunuh yang tidak
terlihat.
Di dekat tempat kejadian, seorang wisatawan berkata, sekitar
beberapa menit yang lalu, seorang lelaki berkulit gelap berbaik hati dengan
menolong gelandangan malang yang sedang mendesahdesah itu untuk menyeberangi
lapangan ... lelaki itu bahkan sempat duduk sebentar di tangga dan menemani
gelandangan cacat itu sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan.
Vittoria merobek sisa pakaian kumal itu di bagian perutnya. Di sana
terdapat dua luka tusukan yang dalam, masing-masing berada di sisi cap itu,
tepat di bawah tulang iganya. Vittoria mengangkat kepala lelaki itu dan segera
memberikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut. Langdon tidak siap untuk
melihat apa yang terjadi setelah itu. Ketika
Vittoria meniupkan napasnya,
kedua luka di
pinggang orang itu
berdesis dan menyemburkan darah ke udara seperti seekor paus
menyemburkan udara. Cairan asin itu menyembur ke wajah Langdon.
Vittoria langsung menghentikan usahanya, dan tampak sangat ketakutan.
”Paruparunya ...,” katanya. ”Kedua
paru-parunya ... ditusuk.”
Langdon mengusap matanya dan memandang dua luka yang menganga di
tubuh orang itu. Lubang itu mengeluarkan suara menggelegak. Paru-paru kardinal
itu hancur. Dia kemudian meninggal. (Brown, 2002:261-262)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa setelah
gagal menye-lamatkan seorang cardinal di altar pengatahuan yang pertama, di
Kapel Chigi, Langdon, Vittoria dan Garda Swiss mencari petunjuk untuk menemukan
altar yang kedua. Setelah lama mencarinya akhirnya mereka menemukannya yaitu di
lapangan Basilika Santo Petrus, di West Ponente.
Tapi, meskipun mereka sudah menemukan tempat altar kedua, mereka
gagal menangkap si pembunuh lagi. Tepat pada jam Sembilan malam, sebuah pembunuhan
terjadi. Setelah diperiksa ternyata korban pembunuhan itu dicap dengan salah
satu symbol Illuminati, yaitu “Air”, udara. Cardinal itu tewas mengenaskan, dia
ditusuk di bagian bawah tulang iganya, tepat mengenai kedua paru-parunya,
sehingga paru-parunya sobek. Pembunuh itu kembali berhasil membuktikan
ancamannya.
Data 5
Langdon merasa merinding dan berpaling ke arah gereja. Ketika dia
menatapnya, matanya menangk ap
sesuatu dari kaca
berwarna yang terdapat
di gereja itu. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya
sangat terkejut.
Tanpa menyadari apa yang terjadi, Vittoria mengeluarkan ponselnya
dan menekan tombol sambungan otomatis. ”Aku akan memperingatkan Olivetti.”
Dengan mulut seperti terkunci, Langdon mengulurkan tangannya dan
menyentuh lengan Vittoria. Dengan tangan yang lainnya, Langdon menunjuk ke arah
gereja itu.
Vittoria terkesiap.
Di dalam gedung, berkilau seperti mata setan yang terlihat melalui
kaca berwarna jendela gereja itu ... kilatan api bersinar semakin besar.
LANGDON DAN VITTORIA berlari ke pintu utama gereja Santa Maria della
Vittoria dan mengetahui kalau pintu kayu itu terkunci. Vittoria menembak tiga
kali dengan pistol semi-otomatis milik Olivetti ke arah gerendel kuno itu
hingga rusak.
Gereja itu tidak memiliki ruang depan, sehingga ruang suci langsung
terbentang begitu Langdon dan Vittoria membuka pintu utama. Pemandangan di
depan mereka sungguh tidak terduga, begitu aneh sehingga Langdon harus
mengedipkan matanya berkali kali agar mampu mencernanya.
Dekorasi gereja itu bergaya barok dan sangat mewah ... dinding dan
altarnya disepuh. Tepat di tengah-tengah ruang suci yang berada di bawah kubah
utama, bangkubangku kayu ditumpuk tinggi dan sekarang terbakar dengan api yang
berkobarkobar seperti tumpukan kayu bakar pemakaman dalam kisah epik. Terlihat
api unggun yang membubung tinggi ke arah kubah. Ketika mata Langdon mengikuti
arah api itu ke atas, pemandangan mengerikan yang sebenarnya muncul dengan
cepat.
Tinggi di atas sana, dari sisi kiri dan kanan langit-langit, tergantung
dua kabel pengharum—kabel yang digunakan untuk mengayunkan bejana pengharum
dari kayukayuan di atas jemaat. Tapi kabelkabel itu sekarang tidak digunakan
untuk menggantung pengharum ruangan. Kabel-kabel itu juga tidak berayun. Kedua
kabel tersebut digunakan untuk menggantung benda lain.
Sesosok tubuh tergantung oleh kabel itu. Seorang lelaki tanpa
busana. Masing-masing pergelangan tangannya diikat dengan kabel dari dua sisi,
kemudian dikerek ke atas hingga bisa membuatnya putus. Kedua lengannya terentang
seperti sepasang sayap rajawali, seolah tangannya dipaku pada salib yang tidak
terlihat dan tergantung tinggi di rumah Tuhan.
Langdon merasa seperti lumpuh ketika dia menatap ke atas. Sesaat
kemudian, dia menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan.
Lelaki tua itu masih hidup. Dia masih bisa mengangkat kepalanya.
Sepasang mata itu memandang ke bawah dengan sorot mata ketakutan dan minta
pertolongan. Di dadanya terlihat luka bakar. Dia telah dicap. Langdon tidak
dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia sudah tahu apa tulisan yang tertera di
sana. Ketika api itu menyala lebih tinggi sehingga menjilat kaki lelaki itu.
Kardinal yang malang itu menjerit kesakitan, tubuhnya gemetar. (Brown, 2002:313-314)
Data 6
Ke mana Vittoria? Vittoria menghilang. Apakah dia pergi mencari
bantuan? Langdonberteriak memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban. Dan di mana
Olivetti?
Terdengar teriakan kesakitan dari atas, dan Langdon merasa dirinya
sudahterlambat. Ketika matanya memandang lagi ke atas dan melihat korban yang
sedangterpanggang perlahan-lahan, Langdon hanya ingat satu hal. Air. Yang
banyak. Padamkanapi itu. Setidaknya kurangi jilatan apinya. ”Aku butuh air,
sialan!” dia berteriak keras.
”Itu yang berikutnya,” sebuah suara menggeram dari bagian belakang
gereja.
Langdon berputar, hampir jatuh dari atas bangku gereja.
Berjalan di antara barisan bangku dan langsung menuju ke arahnya,
muncul sesosoklelaki menyeramkan dan berkulit gelap. Bahkan dalam kilatan nyala
api yang berkobar-kobarsekalipun, matanya masih terlihat begitu hitam. Langdon
mengenali pistol yang adadi tangan lelaki itu sebagai pistol yang tadinya
berada di saku jasnya ... pistol yang dibawa
Vittoria ketika mereka masuk ke dalam gereja.
Kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya adalah ketakutan yang luar
biasa. Naluri pertamanya adalah keselamatan Vittoria. Apa yang telah dilakukan
bajingan ini padanya?
Apakah dia terluka? Atau lebih buruk lagi? Pada saat itu juga,
Langdon mendengar orangdi atasnya berteriak dengan lebih keras. Kardinal itu
akan mati. Tidak mungkin untukmenolongnya sekarang. Kemudian ketika si
Hassassin menodongkan pistolnya ke arahdada Langdon, kepanikannya berubah
menjadi kesiagaan. Ketika pistol itu meledak, diabereaksi menurut nalurinya.
Langdon menjatuhkan diri, lengannya menimpa bangkubangku.
Dia merasa seperti berenang di lautan bangku-bangku gereja. (Brown,
2002:317)
Data 7
Tinggi di atas lantai kapel, Kardinal Guidera mengalami siksaan
terakhirnya dalamkeadaan setengah sadar. Ketika dia melihat ke bawah, ke
sekujur tubuhnya yang tanpabusana, dia melihat kulit kakinya melepuh dan mulai
terkelupas. Aku di neraka, pikirnya.
Tuhan, mengapa Kau abaikan aku? Dia tahu ini pasti neraka ketika dia
melihat cap di atasdadanya dengan posisi terbalik…
…entah kenapa, seolah-olah disebabkan oleh kekuatan setan, tulisan
itu terlihat sangat masuk akal sekarang. (Brown, 2002:317)
Data 8
Para pompieri, karena sifat pekerjaan mereka, hampir tiap hari
menyaksikan tragedi. Tetapi apa yang terjadi pada gereja ini adalah hal yang
tidak akan mereka lupakan. Korban itu setengah disalib, setengah digantung,
setengah terbakar, sebuahpemandangan yang hanya cocok untuk mimpi buruk zaman
Gothic.
Sayangnya pers, seperti biasanya, sudah tiba duluan sebelum petugas
pemadam kebakaran sampai di sana. Mereka telah merekam banyak gambar dalam
video mereka sebelum para pompieri membersihkan gereja. Ketika para petugas
pemadam kebakaran akhirnya menurunkan korban dan meletakkannya di atas lantai,
tidak ada keraguan tentang siapa lelaki itu.
”Cardinale Guidera,” seseorang berbisik. ”Di Barcelona.”
Korban itu tanpa busana. Setengah bagian dari tubuhnya hangus, darah
menetesdari celah di antara kedua pahanya. Tulang keringnya terbuka. Seorang
petugas pemadam kebakaran muntah. Yang satu lagi keluar untuk menghirup udara
segar.
Yang paling menakutkan adalah simbol yang tertera di dada sang
kardinal. Kepala regu pemadam kebakaran mengelilingi jasad korban itu dengan
ketakutan yang luar biasa.
Lavaro del diavolo, katanya pada dirinya sendiri. Pasti setan yang
melakukan ini. Lalu dia membuat tanda salib di dadanya sendiri untuk pertama
kalinya sejak masa kanak-kanaknya. (Brown, 2002:335)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa setelah dua
kali gagal menyelamatkan cardinal yang di culik oleh kelompok Illuminati di
altar pertama dan kedua, Langdon, Vittoria dan Garda Swiss tidak putus asa.
Mereka mencari tahu keberadaan altar yang ketiga melalui petunjuk yang ada di
altar kedua, “Wets Ponente”. Setelah berusaha akhirnya mereka berhasil
mengetahui keberadaan altar pengetahuan Illuminati yang ketiga, yaitu di Piazza
Barberini, Santa Maria Della Vittoria.
Setelah sampai di lokasi, mereka menyebar kebeberapa titik untuk
mengamati situasi di sekitar lokasi, tiba-tiba Vittoria melihat dua orang yang
agak mencurigakan, dengan sigap dia mendekati dua orang tersebut. Ketika jarak
sudah dekat dengan kedua orang tersebut dia pun tahu bahwa mereka hanya dua
perempuan tua yang baru keluar dari gereja sambil mengomel karena gereja akan
ditutup lebih awal.
Ketika Vittoria sedang berbicara dengan kedua nenek-nenek tersebut
Langdon dikagetkan oleh sebuah pemandangan yang mengerikan di dalam gereja
Santa Maria Della. Di dalam gereja itu ada kobaran api yang sangat besar.
Seketika itu mereka langsung berlari kearah gereja tersebut dan menerobos masuk
kedalamnya dengan membobol pintu depannya. Setelah masuk kedalam gereja
tersebut mereka sangat terperanjat atas apa yang mereka lihat. Ada tumpukan
kayu yang sedang dibakar dan di atas kobaran api itu ada seseorang yang
tergantung dalam keadaan telanjang dengan dada dicap dengan salah satu simbol Illuminati yaitu “Fire”, api. Seorang kardinal
yang di panggang hidup-hidup di dalam gereja.
Melihat hal mengerikan itu Langdon dan Vittoria
berusaha menolong kardinal yang digantung tersebut namun sia-sia. Mereka tidak
menemukan tangga untuk menurunkan kardinal malang itu. Disaat mencoba melakukan
pertolongan pada kardinal itu Vittoria menemukan mayat komandan Olivetti,
komandan pasukan Garda Swiss yang tewas mengenaskan, kepalanya diputar
menghadap kebelakang seperti mayat ayahnya Leonardo Vetra. Sebelum dia sempat beranjak kepalanya dipukul dari belakang oleh
sipembunuh dan dia pun tidak sadarkan diri.
Di tengah-tengah kesibukan Langdon untuk menolong cardinal yang dalam bahaya, dia menyadari bahwa Vittoria
tidak ada, dia pun mencarinya tapi tidak ditemukan, malah yang muncul adalah sesosok lelaki hitam
kekar memegang sebuah pistol yang dikenali oleh Langdon, pistol milik Oliveti
yang berada pada Vittoria. Langdon pun memahami bahwasannya telah terjadi
sesuatu pada Vittoria. Tiba-tiba lelaki itu menembak kearah Langdon, spontan
Langdon pun menjatuhkan dirinya untuk menghindari tembakan. Akhirnya Langdon dan
si pembunuh pun berkejaran, Langdon terus berlari menghindari tembakan dari si
pembunuh, hingga akhirnya Langdon terpojok dan terperangkap dibawah peti mati
yang terbuat dari batu pualam. Akhirnya si pembunuh meninggalkan Langdon.
Setelah beberapa saat lamanya tim pemadam
kebakaran pun datang, mereka menurunkan kardinal yang telah tewas terpanggang
hidup-hidup itu. Para pemadam pun tercengang ketika melihat dada si kardinal
yang dicap dengan simbol Illuminati. Disaat itu juga tim pemadam menemukan
jasad Oliveti yang meengenaskan. Disaat tim pemadam hendak meninggalkan gereja,
mereka mendengar suara dari balik peti mati, suara alarm jam tangan Langdon,
dan mereka pun menyelamatkan Langdon.
Data 9
Di lantai van itu, terlihat seorang lelaki yang
tergolek tanpa busana dan meringkukdengan sengsara. Lelaki itu terbungkus oleh
rantai berat yang panjangnya beryard-yard.Dia terikat rapat dengan rantai besi
itu. Lelaki itu meronta-ronta, tetapi rantai itu terlaluberat. Salah satu mata
rantainya dimasukkan ke dalam mulut lelaki itu seperti kekangkuda sehingga
menyumbat teriakan minta tolongnya. Ketika itu Langdon juga melihatsosok kedua
bergerak di belakang tawanan itu dari balik kegelapan, seolah sedangmembuat
persiapan terakhir.
Langdon tahu, dia hanya mempunyai waktu beberapa
detik untuk bertindak.Dia mengambil pistolnya, melepas jasnya dan
menjatuhkannya di tanah. Dia tidakmau ada tambahan beban berupa jas wolnya yang
tebal. Selain itu, dia juga tidak maumembawa Diagramma Galileo ke dekat air.
Dokumen itu harus tetap di sini, di tempatyang aman dan kering.
Langdon bergerak ke sebelah kanannya. Sambil
mengelilingi tepian air mancur itu,Langdon menempatkan dirinya tepat di
seberang van tersebut. Patung yang terdapat ditengah-tengah air mancur yang
besar itu menghalangi pandangannya ke seberang kolam.Dia berharap suara air
yang mengelegar dapat menelan suara langkahnya. Ketika diasampai di dekat air
mancur, Langdon melompati pinggirannya dan menceburkan dirinyake dalam air yang
berbuih itu. (Brown, 2002:350)
Data 10
Sambil terendam sedalam pinggang, Robert Langdon
mengangkat pistolnya danmelangkah keluar dari balik kabut sambil merasa seperti
koboi yang sedang melakukanaksi terakhirnya. ”Jangan bergerak.” Suaranya lebih
teguh daripada genggaman dipistolnya.
Si Hassassin mendongak. Sesaat dia tampak bingung
seolah dia sedang melihathantu. Kemudian bibirnya melengkung membentuk sebuah
senyuman bengis. Diamengangkat kedua lengannya sebagai tanda menyerah.
”Ternyata begini jadinya.”
”Keluar dari van.”
”Kamu tampak basah kuyup.”
”Kamu datang lebih awal.”
”Aku ingin segera kembali mengambil hadiahku.”
Langdon mengarahkan pistolnya. ”Aku tidak ragu
untuk menem-bakmu.”
”Kamu sudahragu-ragu.”Langdon merasa jarinya
menegang di pelatuk pistol. Kardinal ituterbaring tidak bergerak sekarang. Dia
tampak letih dan sedangsekarat. ”Lepaskan ikatannya.”
”Lupakan dia. Kamu datang untuk mengambilperempuan
itu. Jangan berpura-pura kepadaku.”
Langdon menahan diri untuk tidak segera
mengakhirinya saat itu juga. ”Di mana dia?”
”Di suatu tempat. Aman. Menungguku kembali.” Vittoria
masih hidup. Langdonmerasakan ada harapan. ”Di Gereja Pencerahan?”
Pembunuh itu tersenyum. ”Kamu tidak akan dapat
menemukantempat itu.”Langdon merasa tidak percaya. Markas Illuminati masih
berdiri. Dia mengarahkan senjatanya. ”Di mana?”
”Tempat itu akan tetap menjadi rahasia selama
berabad-abad. Aku saja barumengetahuinya baru-baru ini. Aku lebih baik mati
daripada melanggar kepercayaan yang mereka berikan.”
”Aku dapat menemukannya tanpa bantuanmu.”
”Sombong sekali.”
Langdon menunjuk ke arah air mancur. ”Aku sudah
tiba hingga sejauh ini.”
”Banyak orang yang tiba sampai di sini. Langkah
terakhirlah yang paling sulit.” (Brown, 2002:352)
Data 11
Gerakan itu sangat tidak terduga. Untuk sesaat,
Langdon berpikir hukum fisika sudah tidak berlaku lagi. Pembunuh itu tampak
bergantung tanpa beban di udara ketika kedua kakinya mencuat keluar dari bawah
badannya. Sepatu botnya menendang sisi tubuh sang kardinal sehingga tubuh yang
terantai itu menggelinding ke luar van. Tubuh kardinal itu tercebur ke kolam
sehingga air kolam memercik tinggi.
Ketika air kolam membasahi wajahnya, Langdon tahu
dia sudah terlambat untuk memahami apa yang tengah terjadi. Si pembunuh meraih
pegangan di dalam van dan menggunakannya sebagai alat untuk mengayunkan
tubuhnya ke depan. Sekarang si Hassassin bergerak mendekatinya, kakinya
melangkah melewati percikan air.
Langdon menarik pelatuk pistolnya, dan peredam
suaranya langsung beraksi. Pelurunya meledak menembus jari kaki kiri di balik
sepatu bot si Hassassin. Tapi sesaat kemudian, Langdon merasa sol sepatu bot si
Hassassin menimpa dadanya dan mengirimkan tendangan yang menghancurkan.
Kedua lelaki itu tercebur di antara hujan darah
dan air.
Ketika cairan dingin menelan tubuh Langdon, yang
pertama dirasakan olehnya adalah rasa sakit. Setelah itu, yang muncul adalah
insting untuk bertahan hidup. Dia sadar dia sudah tidak memegang senjatanya
lagi. Senjatanya sudah ditendang jatuh. Sekarang dia menyelam dalam air dan
meraba-raba dasar kolam yang licin. Tangannya meraih sesuatu dari logam.
Segenggam koin. Dia lalu membuangnya. Dia kemudian membuka matanya dan
mengamati kolam yang berkilauan itu. Air bergemicik di sekitarnya seperti Jacuzzi
yang dingin sekali. (Brown, 2002:353)
Data 12
Tersentak oleh sinar kehidupan di mata lelaki tua
itu, Langdon meraih kembali kebawah dan mencengkeram rantai itu sambil mencoba
mengangkat lelaki itu kepermukaan. Perlahan-lahan tubuh itu terangkat ...
seperti sebuah jangkar. Langdon menarik lebih kuat. Ketika kepala sang kardinal
muncul di permukaan air, lelaki tua ituberjuang untuk bernapas dengan putus
asa. Tapi tiba tiba tubuh tua itu kembali bergulingdengan hebat, sehingga
cengkeraman Langdon terlepas dari rantai yang licin itu. Seperti sebuah batu,
Baggia tenggelam dan menghilang ke bawah air yang berbuih.
Langdon menyelam, matanya terbelalak di dalam
kegelapan air. Dia kembali menemukan sang kardinal. Kali ini, ketika Langdon
meraihnya, rantai yang membungkus tubuh lelaki tua itu bergeser ... terbuka dan
memperlihatkan kekejaman berikutnya ... sebuah kata telah dicapkan sehingga
menimbulkan luka bakar yang parah. (Brown, 2002:354)
Data 13
Walau begitu, Kardinal Baggia yang terbaring lemah
di balik kegelapan di atas lereng pualam dalam keadaan setengah tenggelam,
mendapatkan suasana yang sangatterhormat. Air beriak dengan lembut di dadanya
seperti tampak menyesal ... seolah air itu meminta maaf karena telah menjadi
penyebab utama kematian lelaki ini ... seolah mencoba membersihkan luka bakar
yang menuliskan namanya. Air.
Dengan perlahan, Langdon mengusapkan tangannya di
wajah lelaki itu dan menutupkan matanya yang menatap ke atas. Ketika dia
melakukannya, Langdon merasa begitu lelah dan getaran air mata mulai mengalir
dari pelupuknya. Perasaan itu membuatnya merasa tidak berdaya. Lalu, untuk
pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak mengalaminya, Langdon menangis.
(Brown, 2002:359)
Dari data-data diatas dapat pahami
bahwa setelah Langdon terselamatkan oleh tim pemadam kebakaran, dia langsung
mencari petunjuk ke tempat altar pengetahuan yang terakhir. Setelah
menemukannya dia langsung bergegas kesana dan berhasil sampai kelokasi sebelum
si pembunuh sampai disana. Tempat altar terakhir itu adalah di “Piazza Navona”,
gereja St. Agnes in Agony. Setelah beberapa saat dia di sana sambil mengamati
kedatangan si pembunuh, akhirnya dia melihat sebuah mobil Van datang mengamati
lokasi sekitar gereja tersebut. Setelah dua kali putaran berkeliling, mobil itu
mendekati tempat Langdon bersembunyi, Air mancur Piazza Novana. Mobil itu berhenti
tepat di dekat air mancur itu. Langdon mengamati Van itu, ternyata di dalam
mobil itu ada seoarang lelaki tua yang terikat dengan rantai yang sangat
panjang. Tepat di belakang lelaki tua itu ada seseorang lagi, yaitu si pembunuh
yang sedang melakukan persiapan terakhirnya.
Tepat sebelum si pembunuh melakukan aksinya
Langdon muncul dengan menodongkan pistolnya kearah si pembunuh. Tapi, karena
Langdon lengah si pembunuh berhasil melemparkan korbannya kedalam kolam air
mancur Piazza Novana. Setelah itu si pembunuh menerjang kearah Langdon,
sepontan Langdon pun menembakkan pistolnya kearah si pembunuh dan mengenai
ujung jari kaki si pembunuh, namun tendangan si pembunuh juga mengenai dada
Langdon dan akhirnya keduanya terjatuh kedalam kolam tersebut. Di dalam kolam
itu Langdon melihat si kardinal dan berusaha menolongnya, namun sebelum
berhasil melakukannya si pembunuh datang menyerang lagi, dan pertarungan dalam
air pun terjadi. Meskipun Langdon adalah seorang perenang dan pemain Polo Air
yang hebat, tapi dia tidak berdaya melawan ketangkasan si pembunuh, bahkan
hampir saja Langdon terbunuh olehnya.
Dengan
pengalamannya sebagai perenang dan pemain Polo Air dia bisa lolos dari
kematian, dia mengunakan pipa pembuat gelembung untuk mengalirkan udara kedalam
tubuh kemudian dia berpura-pura kehabisan nafas dan mati tenggelam. Melihat
Langdon menggelepar dan kaku di dalam air, si pembunuh pun meninggalkannya
karena mengira Langdon telah mati. Setelah beberapa saat lamanya dan memastikan
kepergian si pembunuh, Langdon pun muncul kepermukaan air untuk menghirup udara
segar, kemudian dia mencari keberadaan si kardinal. Setelah menemukannya dia
mengangkat tubuh si kardinal kepermukaan, namun si kardinal sudah tidak
terselamatkan. Matanya melotot, tubuhnya dipenuhi dengan air kolam. Pertolongan
yang diberikan oleh Langdon tidak berguna. Setelah rantai yang melilit tubuh
kardinal itu dilepaskan, Langdon melihat dada si kardinal telah di cap dengan
simbpl Illuminati yaitu “Water”, air. Sekali lagi si pembunuh telah membuktikan
ancamannya, dan sekali lagi Langdon gagal menyelamatkan kardinal dari kematian.
4.5
Penyelesaian
Pada tahap ini semua peristiwa, konflik dan segala
permasalahan mengalami penyusutan atau peleraian. Tahap penyelesaian
adalah tahap akhir dalam tahapan-tahapan alur atau plot. Tahap ini akan
menentukan akhir dari sebuah cerita, apakah akan berkahir menyenangkan, atau
menyedihkan bahkan digantung oleh pengarang agar pembaca berimajinasi
menyelesaikan cerita itu sandiri. Cerita dalam novel “Angel And Demon (Malaikat
dan Iblis)” karya Dan Brown ini berakhir dengan akhiran yang menyenangkan
meskipun menegangkan. Penyelesaian atau ending dalam novel ini dimulai setelah
Langdon si tokoh utama gagal menyelamatkan cardinal Baggia di altar ilmu
pengetahuan Illuminati yang terakhir yang terletak di Piazza Novana. Utntuk lebih jelasnya mengenai tahap penyelisaian
ini bisa dilihat pada data-data di bawah ini.
Data 1
Gereja Pencerahan. Langdon tahu dia sudah dekat. Ketika tangga itu
mulai menyempit, Langdon merasa gang itu mengurungnya. Bayangan sejarah mulai
berbisik-bisik di dalam gelap, tetapi dia terus bergerak. Ketika dia melihat
secercah cahaya berbentuk horizontal di depannya, dia tahu dia sedang berdiri
beberapa anak tangga di bawah bordes, tempat sinar obor menyebar dari ambang
pintu di depannya. Tanpa menim-bulkan suara, dia naik lagi.
Langdon tidak tahu di bagian kastil yang mana dia sekarang berada,
tetapi dia tahu dia telah mendaki cukup jauh untuk berada di dekat puncak. Dia
membayangkan patung malaikat berukuran besar yang berdiri di puncak kastil dan
dia menduga patung tersebut berada tepat di atasnya.
Lindungi aku
malaikat, katanya dalam hati sambil mencengkeram terali besinya. Kemudian,
tanpa menimbulkan suara, dia meraih pintu. (Brown,
2002:371-372)
Setelah kekalahan Langdon dari si pembunuh dan
kegagalannya menyelamatkan sang cardinal, Langdon langsung mencari petunjuk
untuk menuju markas Illuminati di altar terakhir. Setelah menemukannya, Langdon
langsung bergegas ke markas Illuminati untuk menyelamatkan Vittoria yang
diculik oleh si pembunuh.
Data 2
Si Hassassin membalik pisaunya dan menggoreskan bagian punggung
pisaunya di perut Vittoria. Rasa dingin dari pisau itu membuat Vittoria
menggigil. Dengan tatapan merendahkan, si Hassassin menyelipkan pisau itu ke
pinggang celana pendek Vittoria. Vittoria menahan napasnya. Si Hassassin
menggerakkan pisaunya ke depan dan ke belakang dengan perlahan, lebih rendah
lagi. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan napasnya yang panas berhembus di
telinga Vittoria.
”Pisau ini yang mencungkil mata ayahmu.”
Kemarahan segera meledak dan membuat Vittoria merasa mampu untuk
membunuh lelaki itu saat itu juga.
Si Hassassin memutar pisaunya lagi dan mulai memotong ke atas
melalui bahan khaki celana pendek Vittoria. Tiba-tiba dia berhenti. Ada
seseorang di dalam ruangan ini.
”Lepaskan dia!” suara laki-laki menggeram dari ambang pintu.
Vittoria tidak dapat melihat siapa yang berbicara di sana, tetapi
dia mengenali suara itu. Robert! Dia hidup!
Si Hassassin
melihat ke arah Langdon seolah dia melihat hantu. ”Ah Langdon, kamu pasti punya
malaikat penjaga.” (Brown, 2002:372)
Data 3
Langsung di
depannya, dengan latar belakang pintu balkon yang terbuka, berdiri si
Hassassin. Dia bertelanjang dada, berdiri di dekat Vittoria yang terbaring
terikat tetapi jelas masih hidup. Langdon merasa sangat lega melihatnya. Saat
itu juga, mata Langdon bertemu dengan mata Vittoria, dan berbagai perasaan yang
campur aduk muncul rasa syukur, putus asa, dan sesal.
”Jadi, kita
bertemu lagi,” kata si Hassassin. Dia melihat ke arah terali besi di tangan
Langdon dan tertawa keras. ”Dan kali ini kamu datang padaku dengan membawa
itu?”
”Bebaskan dia.”
Si Hassassin
meletakkan pisaunya di leher Vittoria. ”Aku akan membunuhnya.” Langdon tidak
meragukan kemampuan si Hassassin untuk melakukan tindakan semacam itu. Tapi dia
berusaha berkata dengan tenang. ”Kukira dia akan lebih senang menerimanya ...
daripada menghadapi hal lain yang kamu ingin lakukan terhadapnya.”
Si Hassassin
tersenyum pada penghinaan itu. ”Kamu benar. Dia punya banyak hal untuk
ditawarkan. Sayang sekali untuk dilewatkan.”
Langdon
melangkah ke depan, tangannya mencengkeram terali berkarat itu, dan mengarahkan
ujung potongan terali pada si Hassassin. Luka di tangannya terasa sangat sakit.
”Lepaskan dia.”
Untuk sesaat,
si Hassassin tampak mempertimbangkannya. Sambil menarik napas, dia melemaskan
bahunya. Itu jelas merupakan gerakan menyerah, tapi pada saat itu juga lengan
si Hassassin tampak terayun dengan cepat dan tidak terduga. Seperti bayangan,
tiba-tiba sebuah pisau datang merobek udara dan melesat ke arah dada Langdon. (Brown, 2002:373)
Data 4
Si Hassassin
menyambar ke arah Langdon seperti seekor burung pemangsa. Konsentrasi Langdon
terpecah setelah si Hassassin membiarkannya melihat ke isi peti itu sehingga
ketika dia berusaha melawannya, dia merasa tonglcat besi yang dibawanya terasa
seberat batang pohon. Dia menangkis terlalu lambat. Si Hassassin mengelak.
Ketika Langdon
mencoba untuk menarik kembali senjatanya, tangan si Hassassin terulur cepat dan
menangkapnya. Cengkeraman si Hassassin kuat, dan lengannya yang terluka sama
sekali tidak memengaruhinya. Kedua lelaki itu berkelahi dengan sengit. Langdon
merasa besi itu dirampas dengan kasar dari tangannya sehingga membuat telapak
tangannya terasa sakit. Sesaat kemudian, Langdon menatap ujung tajam dari
tongkat besi yang tadi dipegangnya. Sang pemburu sekarang menjadi buruan.
Langdon merasa
seperti baru saja diterjang badai. Si Hassassin mengelilinginya sambil tersenyum
dan mendesak Langdon ke dinding. ”Apa pepatah Amerikamu itu?” tanyanya dengan
nada menghina. ”Sesuatu tentang rasa penasaran dan kucing?” (Brown, 2002:375)
Data 5
Langdon segera
merasakan keberadaan jurang di belakangnya, jurang sedalam ratusan kaki dengan
halaman yang terhampar di bawahnya. Dia tadi sudah melihatnya sebelum masuk ke
sini. Si Hassassin sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dengan sebuah
dorongan yang kejam, dia menyergap. Tombak di tangannya memotong ke arah
pinggang Langdon. Langdon tergelincir ke belakang, da n ujung tombak itu hanya
mengenai pakaiannya. Ujung tombak itu mengarah kepadanya lagi. Langdon semakin
terdesak ke belakang, dan sudah merasakan pagar balkon di belakangnya. Tidak
diragukan lagi, ayunan yang berikutnya akan membunuhnya. Tapi Langdon mencoba
sesuatu yang nekad. Dia berputar ke samping dan mengulurkan tangannya untuk
meraih tongkat besi itu sehingga dia merasakan sakit di telapak tangannya. Dia
menahannya.
Si Hassassin
tampak tidak terganggu. Mereka saling tarik sesaat, saling bertatapan. Langdon
dapat mencium napas si Hassassin. Terali besi runcing itu mulai terlepas dari
genggaman Langdon. Si Hassassin terlalu kuat. Dengan putus asa, Langdon
mengulurkan kakinya, walau membahayakan keseimbangannya, dan berusaha menginjakkan
kakinya ke kaki si Hassassin yang terluka. Tetapi si pembunuh itu sangat
berpengalaman dan segera bergerak melindungi kelemahannya.
Langdon telah
memainkan kartu terakhirnya. Dan dia tahu, dia akan kalah.
Kedua tangan si
Hassassin terjulur ke depan, mendorong Langdon ke belakang sehingga menghantam
pagar balkon. Langdon tidak merasakan apa -apa selain kekosongan di belakangnya
ketika merasakan pagar yang ternyata hanya setinggi bokongnya. Si Hassassin
memegangi terali besi tersebut secara menyilang dan mendorongkannya ke dada
Langdon. Punggung Langdon melengkung di atas jurang.
”Ma’assalamah,”
si Hassassin mendesis. ”Selamat tinggal.”
Dengan tatapan
tanpa belas kasihan, si Hassassin memberikan dorongan terakhir. Langdon
kehilangan keseimbangan dan kakinya terangkat dari lantai. Tak lama kemudian,
tubuhnya melayang melewati pagar. Hanya dengan insting bertahan diri yang masih
tersisa,
Langdon berhasil meraih pinggiran pagar agar tidak jatuh ke bawah. Tangan
kirinya tergelincir, tapi tangan kanannya masih sempat berpegangan di pagar.
Sementara itu, kakinya berusaha menemukan pijakan di bawahnya. Dia akhirnya
tergantung gantung dan menahan berat tubuhnya dengan kaki dan satu tangan ...
berusaha untuk tetap bertahan. (Brown,
2002:378)
Data6
Si Hassassin
mencondongkan tubuhnya dan mengangkat terali besi itu ke atas, bersiap
memukulkannya ke tangan Langdon. Ketika tongkat besi itu mulai terayun cepat,
Langdon melihat sebuah bayangan. Mungkin itu adalah gambaran kematiannya
sendiri atau hanya ketakutan yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga, dia
melihat aura di sekitar si Hassassin. Sebuah cahaya tampak membesar dari
sesuatu yang tidak terlihat di belakang si pembunuh ... seperti bola api yang
mendekat.
Ayunan tongkat
besi itu tiba-tiba terhenti di udara. Si Hassassin tiba-tiba menjatuhkan
tongkatnya dan berteriak kesakitan. Terali besi itu jatuh melewati tubuh
Langdon dan ditelan kegelapan malam. Si Hassassin berputar ke dalam, dan
Langdon melihat api menyala di punggung si pembunuh. Langdon mengangkat
wajahnya ke atas dan melihat Vittoria. Mata Vittoria menyala ketika menghadapi
si Hassassin.
Vittoria
mengayunkan obor itu di depannya. Perasaan dendam di wajahnya terlihat jelas di
balik nyala api. Bagaimana dia bisa terbebas, Langdon tidak peduli. Langdon
mulai berusaha untuk naik melintasi pagar balkon itu. (Brown,
2002:378)
Data 7
Sesaat si
Hassassin seperti membeku, punggungnya melengkung kesa-kitan. Dia melepaskan
obor yang tadi direbutnya dari musuhnya dan Vittoria menekankan obor itu ke
wajah si Hassassin. Ada suara berdesis dari daging yang terbakar ketika mata
kiri si Hassassin terpanggang. Dia berteriak lagi, dan mengangkat tangannya ke
wajahnya.
”Satu mata
untuk satu mata,” desis Vittoria. Kali ini Vittoria mengibas-ngibaskan obor itu
seperti sebuah tongkat pemukul. Ketika obor it mengenai tubuh si Hassassin
lagi, lelaki besar itu terhuyung-huyung ke arah pagar balkon. Langdon dan
Vittoria bersama-sama mengejarnya dan kemudian mendorongnya. Tubuh si Hassassin
terdorong ke belakang, melewati pagar itu dan melayang ke kegelapan. Tidak ada
jeritan. Satu-satunya suara hanyalah derak tulang punggung yang patah ketika si
Hassassin mendarat di atas tumpukan bola peluru meriam di bawah dengan lengan
dan kaki terentang seperti sayap elang.
Langdon berpaling
pada Vittoria dengan bingung. Tali dengan ikatannya yang longgar masih bergantung
di pinggang dan bahunya. Mata Vittoria masih menyala-nyala.
”Ternyata Houdini
belajar yoga juga.” (Brown, 2002:379)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa di dalam
markas kelompok Illuminati Langdon mendapati si pembunuh hendak memperkosa
Vittoria, namun untungnya Langdon datang tepat waktu sehingga Langdon bisa
menghentikan maksud jahat si pembunuh itu. Akibatnya pertarungan antara Langdon
dengan si pembunuh tak terhindarkan. Pertarungan sengit antara Langdon dengan
si pembunuh berlangsung agak lama, ketika Langdon terpojoky dan hampir
terbunuh, Vittoria berhasil melepaskan ikatan di tangannya dan menerang si
pembunuh dari belakang dengan obor yang dijadikan penerangan diruangan itu.
Dengan bekerja sama Akhirnya Langdon dan Vittoria bisa mengalahkan si pembunuh.
Data 8
”Sang camerlengo dalam bahaya!” teriak Langdon sambil menaikkan
lengannya sebagai tanda menyerah ketika dia berhenti berlari. ”Buka pintunya!
Max Kohler akan membunuh sang camerlengol” Rocher tampak marah.
”Buka pintunya!” teriak Vittoria. ”Cepat!”
Tetapi mereka terlambat.
Dari dalam Kantor Paus terdengar teriakan yang mengerikan. Itu
teriakan sang camerlengo.
Pemandangan di
depan mereka membuat mereka terguncang. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya
lilin dan api perapian yang sudah hamper mati. Kohler berada di dekat perapian,
berdiri dengan canggung di depan kursi rodanya. Dia mengacungkan sepucuk
pistol, membidik ke arah sang camerlengo yang tergeletak di atas lantai di
depan kaki Kohler sambil menggeliat kesakitan. Jubah sang camerlengo sobek, dan
dada telanjangnya menghitam. Langdon tidak dapat membaca simbol itu dari
seberang ruangan, tetapi sebuah cap persegi tergeletak di atas lantai di dekat
Kohler. Besi itu masih menyala merah. (Brown, 2002:395)
Setelah mengalahkan si pembunuh
Langdon dan Vittoria bergegas menuju ke Vatican City untuk menyelamatkan sang
“Camerlanggo” yang sedang dalam bahaya. Selain untuk menyelamatkan sang
“Camerlango”, Langdon dan Vittoria juga ingin menemukan tabung “Antimateri”
lalu menjauhkannya dari Vatican City.
Data
9
Seperti orang yang terjaga dari mimpi buruk, mata sang camerlengo
terbuka dan dia duduk tegak. Karena sangat terkejut, Langdon dan yang lainnya,
terguncang oleh perubahan beban di tangan mereka. Bagian depan meja itu turun.
Sang camerlengo pun mulai tergelincir. Mereka lalu berusaha menahannya dengan
menurunkan meja itu ke lantai, tapi sudah terlambat. Sang camerlengo tergelincir
ke depan. Tapi anehnya, dia tidak jatuh. Kakinya menyentuh lantai pualam dan
dia segera menegakkan tubuhnya. Dia berdiri untuk beberapa saat, terlihat
kebingungan dan kemudian, sebelum orang lain dapat menahannya, sang camerlengo
mencondongkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih menuruni tangga ke arah
Macri.
”Jangan!” teriak Langdon.
Chartrand bergegas ke depan dan berusaha menghalangi sang
camerlengo. Tetapi sang camerlengo menoleh padanya dan menatapnya dengan mata
terbelalak marah.
”Tinggalkan
aku!” (Brown, 2002:401)
Data 10
Tiba-tiba sang
camerlengo seperti menahan diri. Dia mengulurkan tangannya dan meletakkannya di
atas bahu Chartrand dengan tenang. ”Terima kasih untuk perhatian dan
pelayananmu. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku tidak bisa memintamu
untuk mengerti. Tetapi, aku telah mendapatkan wahyu. Aku tahu di mana
antimateri itu disembunyikan.
Tabung
antimateri itu tergeletak di sana ... tempat di mana benda tersebut berada
sepanjang hari ... tersembunyi di dalam kegelapan Necropolis. Berkilap. Sangat
berbahaya. Mematikan. Ilham yang diterima sang camerlengo ternyata benar.
Mortati menatap
penuh kagum pada silinder tembus pandang itu. Tetesan cairan itu masih
melayang-layang di bagian tengah tabung tersebut. Gua di sekitarnya berkedip
merah ketika jam digital yang muncul di layar LED menghitung mundur hingga lima
menit terakhir hidupnya. (Brown, 2002:408)
Tiba-tiba sang
camerlengo berdiri. Dia meraih antimateri itu dalam genggamannya dan berpaling
ke arah yang lainnya. Wajahnya memperlihatkan kesungguhannya. Dia berjalan
melewati yang lainnya dan mulai menuruni Necropolis ke arah dia datang tadi, lalu
berlari menuruni bukit itu. (Brown, 2002:417)
Data 11
”Terbang,
Bapa!”
Sang camerlengo
menoleh ke ke arah Langdon yang duduk di belakangnya, wajahnya sangat pucat
karena takut. ”Apa yang kamu lakukan?” tanyanya keras
”Anda terbang!
Saya akan melemparnya!” teriak Langdon. ”Tidak ada waktu lagi!
Terbangkan saja
helikopter ini!”
Sang camerlengo
tampak lumpuh sesaat. Lampu media yang menyorot menembus kaca kokpit membuat
wajahnya yang kuyu menjadi gelap. ”Aku dapat melakukan ini sendiri,” bisiknya.
”Seharusnya ini kukerjakan sendirian.”
Langdon tidak
mau mendengarkan. Terbang! Dia mendengar dirinya berteriak. Sekarang! Aku di
sini untuk menolongmu! Langdon menatap tabung itu dan merasa napasnya tercekat
di tenggorokannya ketika dia melihat angka yang berkedip di jarum digitalnya.
”Tiga menit lagi, Bapa! Tiga!”
Angka itu
seolah menyadarkan sang camerlengo sehingga membuatnya kembali tenang. Tanpa
ragu lagi, dia mulai mengendalikan helikopter itu. Dengan suara gemuruh,
helikopter itu terbang. (Brown, 2002:420)
Data 12
”Tidak,” kata
sang camerlengo. ”Itu terlalu berbahaya. Maafkan aku.” Ketika helikopter itu
mulai naik lagi, sang camerlengo berpaling kepada Langdon dan tersenyum muram.
”Semestinya kamu tidak ikut, kawan. Kamu telah mengorbankan dirimu.”
Langdon melihat
mata letih sang camerlengo dan tiba-tiba dia mengerti. Darahnya menjadi
sedingin es. ”Tetapi ... pasti ada tempat yang dapat kita datangi!”
”Ke atas,”
jawab sang camerlengo, suaranya terdengar seperti menyerah. ”Itu satusatunya
hal yang pasti.”
Langdon hampir
tidak dapat berpikir. Dia betul-betul salah mengartikan rencana sang
camerlengo. Lihat ke langit!
Langit tempat
di mana surga berada. Sekarang Langdon tahu maksud sang camerlengo. Ke sanalah
dia benar-benar akan pergi. Sang camerlengo tidak pernah bermaksud menjatuhkan
tabung antimateri itu. Dia hanya ingin membawanya sejauh yang dapat
dilakukannya dari Vatican City. (Brown, 2002:422)
Data 12
Kemudian sang
camerlengo mengambil bungkusan nylon hitam itu dan menyelipkan kedua tangannya
di antara kedua pengikat yang terdapat di bungkusan itu. Dia lalu mengencangkan
tali berperekat di sekitar perutnya dan mengenakannya seperti tas ransel.
Setelah itu dia menoleh ke arah Robert Langdon yang sedang tercengang.
”Maafkan aku,”
kata sang camerlengo. ”Seharusnya tidak terjadi seperti ini.” Kemudian dia
membuka pintunya dan melemparkan dirinya ke dalam langit malam.
Tidak ada
apa-apa! Pasti ada pilihan lain! Tiga puluh lima detik. Dia bergegas menuju
pintu helikopter yang sudah terbuka dan membiarkan angina yang bertiup keras
menerpa wajahnya ketika dirinya menatap lampu-lampu yang berkedip di kota Roma
yang terbentang di bawahnya. Tiga puluh dua detik.
Kemudian dia
membuat pilihan.
Sebuah pilihan
yang luar biasa ....
Tanpa parasut,
Robert Langdon melompat ke luar dari pintu itu. Ketika langit malam menelan
tubuhnya yang jatuh berguling guling di udara, helikopter itu tampak terus membubung
semakin tinggi di atasnya. Sementara itu suara mesin pesawat tersebut seperti
menghilang dan tertelan suara deru angin yang mengiringi terjun bebas yang dilakukan
Langdon. (Brown, 2002:428)
Data 13
Penutup kaca
depan yang terbuat dari kain terpal itu tadi tergeletak di bangku belakang
helikopter. Penutup itu berbentuk persegi cekung dengan ukuran kira-kira empat
kali dua yard dan terlihat seperti kain sprei lebar. Perkiraan terkasar untuk
parasut yang bisa dibayangkan Langdon. Tidak ada pengikat tubuh, hanya ada
lubang yang berada di setiap ujung yang digunakan untuk mengikatkannya ke kaca
depan helikopter itu. Langdon menyambarnya, lalu memasukkan kedua tangannya ke
dalam lubang-lubang itu, kemudian memegangnya erat-erat dan meloncat ke dalam
kehampaan. (Brown, 2002:429)
Kegelapan
menyerbu di bawahnya ... naluri loncat indahnya datang lagi ... gerakan refleks
untuk menegakkan tulang belakangnya dan meruncingkan jari kakinya ... menarik
napas dalam dalam sehingga membuat paru-parunya menggembung untuk melindungi
organ-organ vital di tubuhnya ... menegangkan otot otot kakinya hingga
menyerupai tongkat pemukul ... dan akhirnya ... untunglah Sungai Tiber sedang
bergejolak sehingga membuat airnya deras dan penuh dengan udara ... dan tiga kali
lebih lembut daripada air yang mengalir tenang.
Lalu terjadilah
tabrakan itu ... kemudian gelap. (Brown, 2002:431)
”Tenanglah, Pak
Langdon. Kamu berada di rumah sakit.”
Kabut mulai
terangkat dari kepalanya. Langdon merasa lega sekali. Walau dia membenci rumah
sakit, tetapi mereka jelas bukan makhluk luar angkasa yang ingin memotong
testisnya.
”Namaku Dr.
Jacobus,” kata lelaki itu. Dia menjelaskan apa yang baru saja terjadi. ”Kamu
beruntung sekali dapat hidup.”
Langdon sendiri
tidak merasa beruntung. Dia hampir tidak dapat memercayai ingatannya sendiri
... helikopter itu ... sang camerlengo. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Mereka
memberinya air minum, tapi Langdon hanya berkumur. Mereka membalut telapak
tangannya dengan perban baru. (Brown, 2002:435)
Hal yang tak disangka-sangka terjadi
setelah sang “Camerlango” diselamatkan, sang “Camerlango” seolah-olah mendegar
pemberitahuan dari Tuhan mengenai keberadaan tabung tersebut berlari ketempat
dimana tabung itu berada. Setelah berhasil membawa tabung itu keluar dari
tempatnya disembunyikan yaitu di dasar gereja Santo Petrus , sang “Camerlango”
membawanya kedalam helikopter dengan diikuti oleh Langdon.
Sang “Camerlango” menerbangkan helikopter tersebut
setinggi-tingginya hingga keluar dari jangkauan ledakan zat “Antimateri” yang
dibawanya. Ketika waktu ledakan hampir tiba dan helikopter sudah berada puluhan
mil di atas Vatican City, sang “Camerlango” mengambil parasut lalu terjun bebas
untuk menyelamatkan diri dari ledakan. Langdon yang salah persepsi atas rencana
“Camerlango” kebingungan. Langdon mengira sang “Camerlango” akan melemparkan
tabung itu kesuatu tempat yang jauh dari Vatikan City dan Langdon ingin
membantunya, ternyata itu tidak terjadi. “Camerlango” malah meledakkan tabung
itu di udara. Langdong yang kebingungan untuk menyelamatkan diri dari ledakan
tabung itu akhirnya mengambil sebuah terpal penutup helikopter yang berada di
dekatnya kemudian melompat.
Beruntung nasib baik masih bersama Langdon. Dengan
menggunakan terpal Langdon melayang di udara. Beberapa saat kemudian tabung itu
meledak bersama helikopternya dan menghasilkan tekanan udara panas dan cahaya
yang sangat menyilaukan. Langdon merasakan hawa panas dari ledakan itu.
Untungnya Langdon jatuh di sungai Tiber dan diselamatkan oleh dokter yang
berada di rumah sakit yang berada di dekat sungai Tiber.
Data 14
Di bagian belakang Kapel Sistina, Kardinal Mortati berdiri dengan
kepala pusing ketika melihat kekacauan yang terjadi di depannya.
”Itu sebuah
keajaiban!” teriak salah satu dari kardinal-kardinal itu. ”Itu tindakan Tuhan!”
”Ya!” yang lain
berseru. ”Tuhan telah membuat kehendakNya menjadi nyata!”
”Sang
camerlengo akan menjadi paus kita!” yang lain berteriak. ”Dia memang belum
menjadi kardinal, tetapi Tuhan telah mengirimkan tanda keajaiban kepada kita
semua!”
”Ya!” seseorang
menyetujuinya. ”Peraturan yang mengatur rapat pemilihan paus adalah peraturan
yang dibuat oleh manusia. (Brown, 2002:439)
Data 15
Suara yang
memecah kesunyian adalah suara dari satu-satunya perempuan di dalam Kapel Sistina.
”Kamu membunuh ayahku!” katanya sambil melangkah ke depan. Ketika sang
camerlengo berpaling ke arah Vittoria, emosi yang terlihat di wajah perempuan
itu adalah hal yang tidak mampu dipahaminya. Terluka? Ya, itu masuk akal. Tapi
kemarahan? Jelas Vittoria harus memahaminya. Kejeniusan ayahnya sangat
berbahaya. Leonardo Vetra harus dihentikan demi kebaikan umat manusia.
”Ayah
mengerjakan pekerjaan Tuhan,” kata Vittoria.
”Pekerjaan
Tuhan tidak dikerjakan di dalam laboratorium. Tetapi di dalam hati.” (Brown,
2002:452)
”Para
preferitP.” kata Mortati mengulangi pertanyaannya.
”Aku juga
berbagi rasa sakit yang sama,” kata sang camerlengo membela diri sambil
menunjuk dadanya yang terluka. ”Dan aku juga bersedia mati untuk Tuhan, tapi
tugasku baru saja dimulai. Orang-orang kini sedang bernyanyi di Lapangan Santo
Petrus.”
Sang camerlengo
melihat ketakutan di mata Mortati dan sekali lagi dia merasa bingung. Apakah
ini karena morfin itu? Mortati menatap anak kesayangan mendiang Paus di
hadapannya ini seolah sang camerlengo-lah yang telah membunuh keempat kardinal
itu dengan tangannya sendiri. Aku akan melakukan itu demi Tuhan, pikir sang
camerlengo. Tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Aksi itu dilakukan oleh si
Hassassin—sebuah jiwa panas yang telah diperdayanya sehingga dia merasa dirinya
bekerja untuk Illuminati. Aku Janus, sang camerlengo berkata kepadanya. Aku
akan membuktikan kekuasaanku. Dan dia sudah melakukannya. Kebencian si
Hassassin membuatnya menjadi bidak Tuhan. (Brown, 2002:454)
Data 16
Di dalam Niche
of the Palliums, sang camerlengo mengikuti kehendak Tuhan dan melumuri
tubuhnya, rambutnya, wajahnya, dan jubah linennya dengan minyak suci. Sekarang
dia basah kuyup karena minyak dari lampu suci yang membuat Niche of the Palliums
terang benderang. Aromanya wangi seperti ibunya, tetapi mudah terbakar. Ini akan
menjadi kenaikan yang penuh kasih. Ajaib dan cepat. Dan dia tidak akan meninggalkan
skandal ... tetapi kekuatan baru dan kekaguman.
Dia memasukkan
tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah pemantik emas yang
dibawanya dari Pallium incendiario. Dia membisikkan ayat Pengadilan. Dan ketika
api menyala ke arah surga, malaikat Tuhan akan naik bersama api itu.
Ibu jarinya
tinggal menekan pemantik itu.
Mereka masih
bernyanyi di Lapangan Santo Petrus ....
Malam itu,
pemandangan yang disaksikan dunia tidak akan pernah mereka lupakan. Tinggi di
atas balkon, seperti jiwa yang membebaskan diri dari penjara tubuhnya, cahaya
api muncul dari tubuh sang camerlengo. Api itu meluncur ke atas dan dengan cepat
membungkus tubuhnya. Dia tidak menjerit. Dia mengangkat tangannya dan menatap
ke arah surga. Kobaran api itu menyelimutinya secara keseluruhan sehingga membentuk
pilar cahaya. Api itu mengamuk seperti tidak akan pernah padam. Seluruh dunia
menyaksikannya. Sinar itu menyala lebih terang lagi. Lalu sedikit demi sedikit,
api itu padam. Sang camerlengo menghilang. Apakah dia terjatuh di balik bingkai
pintu atau menguap bersama udara tipis di sekkarnya, sulit untuk diketahui.
Yang tersisa hanyalah awan asap yang berputar ke angkasa di atas Vatican City.
(Brown, 2002:469)
Data 17
Dengan gerakan
yang luwes, Vittoria sudah berada di atas Langdon dan menindihnya. ”Kuharap
kamu percaya pada kehidupan setelah mati, Robert Langdon.”
Vittoria tertawa
ketika dia menduduki Langdon. Tangannya menahan tangan lelaki itu agar tidak
bergerak, matanya berkilat-kilat nakal.
”Sesungguhnya,”
Langdon mulai tertawa sekarang, ”aku selalu memiliki masalah dalam membayangkan
hal-hal yang supranatural seperti itu.”
”Ah, benarkah?
Jadi kamu belum pernah mengalami pengalaman religius seperti momen yang agung?”
Langdon
menggelengkan kepalanya. ”Tidak, dan aku ragu kalau aku termasuk jenis orang
yang bisa mengalami pengalaman religius seperti itu.”
Vittoria
menanggalkan jubahnya. ”Kamu pasti belum pernah tidur dengan guru yoga.”
(Brown, 2002:480)
Akhirnya Vatican City, para kardinal, dan seluruh
penduduknya terselamatkan. Setelah semuanya berakhir rapat pemilihan Paus pun
dilanjutkan. Seluruh kardinal hampir menjadikan “Camerlango” sebagai paus baru,
namun Langdon datang dengan membawa fakta baru bahwa otak dibalik teror Vatican
City, pembunuhan terhadap paus sebelumnya, dan pembunuhan terhadap para
kardinal yang sebenarnaya adalah si “Camerlanggo” itu sendiri dengan berkedok
Illuminati. Setelah semuanya terbongkar “Camerlango” Carlo Ventresca mengakhiri
hidupnya dengan membakar dirinya sendiri. Akhirnya rapat pemilihan paus baru
menetapkan kardinal Mortatti sebagai paus yang baru. Langdon dan Vittoria pun
juga hidup berbahagia.
Comments
Post a Comment