Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

ANALISIS ALUR NOVEL ANGEL AND DEMON KARYA DAN BROWN

BAB IV
HASIL ANALISIS
Deskripsi Alur dalam Novel “Angel And Demon (Malikat Dan Iblis)” Karya Dan Brown
Alur novel “Angel And Demon” adalah alur lurus atau maju karena cerita dimulai dari pengenalan dan bergerak terus menuju penyelesaian. Pembahasan dari deskripsi alur dari novel tersebut adalah sebagai berikut.
4.1                   Pengenalan
Dalam pengenalan ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita, keadaan para tokoh, keadaan para tokoh dan sebagainya. Pada bagian ini pengarang memperkenalkan tokoh utama dan bawahan serta keadaan dari para tokoh seperti dalam data-data berikut ini.
Data 1.
TINGGI DI ATAS puncak anak tangga Great Pyramid Giza, seorang perempuan muda tertawa dan berseru ke bawah kepada seorang lelaki. ”Robert, cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!” Senyum perempuan itu begitu memesona. Robert  berjuang  untuk mengimbanginya, tapi tungkai  kakinya  seperti terpaku.”Tunggu,” pintanya. ”Kumohon ”Ketika lelaki itu berusaha mendaki, pandangannya mulai mengabur. Dia seperti mendengar suara-suara di telinganya. Aku harus menangkap perempuan itu! Tapi ketika dia mendongak lagi, perempuan itu telah menghilang. Di tempat di mana perempuan itu sebelumnya berada, berdiri seorang lelaki tua dengan gigi yang berwarna kecokelatan. Lelaki tua itu menatap ke bawah, ke arahnya, dan tersenyum penuh kesedihan. Kemudian dia menjerit keras penuh penderitaan sehingga menggema ke seluruh padang pasir. Robert Langdon tersentak bangun dari mimpi buruknya. Telepon di samping tempat tidurnya berdering. Dengan linglung dia mengang-katnya. (Brown, 2002:7-8)
Data 2
”Aku harus bertemu denganmu segera.” ”Siapa ini?”
”Namaku Maximilian Kohler. Aku seorang ahli fisika partikel.”
”Apa?” Pikiran Langdon masih kacau. ”Kamu yakin saya Langdon yang kamu cari?”
”Kamu dosen ikonologi religi di Harvard University. Kamu menulis tiga buku tentang  simbologi dan—”
”Kamu tahu jam berapa sekarang?”
”Maafkan aku. Tapi aku mempunyai sesuatu yang harus kamu lihat. Aku tidak dapat membicarakannya lewat telepon.”
Langdon mendesah maklum. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah satu risiko menjadi penulis buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon dari para penganut sebuah agama yang fanatik yang ingin agar ia membenarkan keyakinan mereka kalau mereka baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan lalu, seorang penari telanjang dari Oklahoma menjanjikan pelayanan seks habishabisan kalau Langdon mau terbang ke
rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara ajaib muncul di atas sprei tempat tidurnya. Kain Kafan dari Tulsa, begitu Langdon menyebutnya (Brown, 2002:8)
Dalam data-data di atas pengarang jelas telah mengenalkan tokoh utama dalam cerita yaitu Robert Langdon dan tokoh bawahan yaitu Maximilian Kohler. Dalam data-data di atas pengarang juga membaritahukan pekerjaan/profesi dari masing-masing tokoh. Robert Langdon selaku tokoh utama berprofesi sebagai dosen di Harvard University dan penulis buku-buku tentang simbologi religi, sedangkan Maximilian Kohler selaku tokoh bawahan berprofesi sebagai peneliti fisika partikel atau seorang ahli fisika partikel.
Data 3
Robert Langdon berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki di rumah bergaya zaman Victoria miliknya yang lengang di Massachusetts dan menikmati ramuan ”sulit tidur” kesukaannya, secangkir besar Nestles Quik panas. Sinar rembulan di bulan April tampak menembus masuk dari jendela rumahnya yang menjorok ke luar dan memberikan sentuhan  tersendiri  pada  permadani  oriental  yang  terhampar  di  lantai.  Rekan-rekan Langdon sering mengoloknya dengan mengatakan rumahnya lebih mirip sebuah museum antropologi daripada sebuah rumah. Rak bukunya dipenuhi oleh berbagai artifak religius dari seluruh penjuru dunia, seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala  dari  Aegean  Selatan,  dan  bahkan  tenunan  langka  bernama  boccus  dari Kalimantan yang merupakan simbol keabadian usia muda milik seorang ksatria.
Ketika Langdon duduk di atas peti kuningan Maharesinya dan menikmati minuman cokelat hangat kesukaannya, kaca jendela yang menjorok itu memantulkan bayangan dirinya. Bayangan itu tampak berubah dan pucat ... seperti hantu. Hantu tua renta, katanya seperti mengejek dirinya sendiri dengan berpikir jiwa mudanya telah berlalu meninggalkannya.
Walaupun tidak terlalu tampan menurut ukuran biasa, Langdon yang berusia empat puluh tahun ini memiliki apa yang disebut rekan kerja perempuannya sebagai daya tarik ”seorang terpelajar”—rambut cokelat tebal yang mulai tampak beruban, mata biru yang tajam menyelidik, suara yang berat sekaligus menawan, dan senyuman menggoda milik seorang atlet kampus.
Sebagai mantan anggota  regu selam di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, Langdon masih memiliki tubuh yang gagah setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang dilakukannya setiap hari sebanyak lima puluh putaran di kolam renang kampus. (Brown, 2002:9)
Data 4
Walau dianggap sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, Langdon juga dipuji sebagai orang yang suka bergembira. Dia sangat menyukai kegiatan rekreasi sehingga diterima di lingkungan mahasiswanya dengan baik. Julukannya di kampus adalah ”si Lumba-lumba” karena sifatnya yang ramah dan karena kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding dalam pertandingan polo air. (Brown, 2002:10)
Dalam data-data di atas pengarang membaritahukan hobi tokoh utama yaitu mengoleksi artifak religius dari seluruh penjuru dunia, seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala  dari  Aegean  Selatan,  dan  bahkan  tenunan  langka  bernama  boccus  dari Kalimantan yang merupakan simbol keabadian usia muda milik seorang ksatria. Selain itu, pengarang juga mendeskripsikan postur tubuh dari tokoh utama yang memiliki tubuh gagah setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang dilakukannya setiap hari dan karakter tokoh utama sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, dan sering dipuji sebagai orang yang suka bergembira, sifatnya yang ramah dan karena kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding dalam pertandingan polo air.
4.2                   Munculnya Konflik
Munculnya konflik ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tokoh novel bergerak dari waktu kewaktu, dari satu adegan ke adegan yang lain, dari suatu peristiwa menuju peristiwa yang lain, dari tempat ke tempat yang lain. Dalam novel “Angel And Demon” munculnya konflik dapat dilihat pada data-data berikut.
Data 1
Gambar yang tertera pada lembaran itu adalah gambar sesosok mayat manusia. Mayat itu ditelanjangi, dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu diberi cap ... hanya satu kata yang tertera di sana. Langdon mengenalinya dengan baik. Sangat baik. Dia menatap huruf ornamen itu dengan rasa tidak percaya.
 






”Illuminati,” dia tergagap, jantungnya berdebar keras.  Tidak mungkin.    
Dengan gerak lambat, karena takut akan apa yang bakal dia lihat, Langdon memutar kertas itu sebesar 180 derajat. Lalu dia menatap huruf yang terbalik itu dan membacanya perlahan-lahan.
Dia langsung terkesiap seolah baru saja dihajar oleh truk. Dia hampir tidak dapat memercayai penglihatannya. Kemudian dia memutar kertas faks itu kembali, membaca huruf itu sekali lagi dalam posisi yang benar, lalu diputar balik lagi. ”Illuminati,” bisiknya.
Merasa sangat terguncang, Langdon jatuh terduduk di atas kursinya. Sesaat dia merasa sangat kebingungan. Dengan perlahan matanya menatap ke arah lampu merah yang berkedip di mesin raksnya. Siapa pun orang yang mengiriminya faks masih berada di sana ... menunggunya untuk berbicara. Langdon menatap lampu di mesin faksnya yang masih terus berkedip-kedip. (Brown, 2002:10-11)
Data 2
”APAKAH KAMU MEMERHATIKANKU sekarang?” suara seorang lelaki berkata ketika akhirnya Langdon mengangkat teleponnya.
”Ya. Saya benar-benar memerhatikan Anda sekarang. Siapa diri Anda sesungguhnya?”
”Aku sudah berusaha untuk mengatakannya kepadamu tadi.” Suara itu terdengar kaku seperti mesin. ”Aku seorang ahli fisika. Aku mengelola sebuah fasilitas penelitian. Salah seorang staf kami dibunuh. Kamu sendiri sudah melihat gambar mayat itu.”
”Bagaimana  Anda  dapat  menemukan  saya?”  Langdon  hampir  tidak  mampu memusatkan perhatiannya. Pikirannya masih tertuju pada gambar yang terpampang di kertas faks.
”Aku sudah mengatakannya padamu. Dari internet. Dari situs bukumu, The Art of The Illuminati.”
Langdon mencoba mengingat-ingat. Bukunya itu sesungguhnya tidak begitu terkenal di lingkungan penerbitan konvensional, tetapi ternyata cukup ngetop juga di dunia maya. Walau demikian, pengakuan orang yang meneleponnya ini sungguh tidak masuk akal.
”Situs itu tidak mencantumkan informasi tentang alamat saya,” tantang Langdon. ”Saya yakin akan hal itu.”
”Staf saya di lab sangat ahli dalam menemukan informasi pengguna internet dari sebuah situs.”
Langdon menjadi ragu. ”Sepertinya lab Anda tahu banyak tentang situs.”
”Memang harus begitu,” sahut lelaki itu ketus. ”Kami yang mencip-takannya.”
Dari suaranya, Langdon tahu lelaki itu tidak bergurau. ”Aku harus bertemu denganmu,” desak lelaki yang meneleponnya itu. ”Ini bukan masalah yang dapat dibicarakan lewat telepon. Labku hanya satu jam penerbangan dari Boston.”
Langdon berdiri di dalam keremangan cahaya di ruang kerjanya dan memeriksa lembaran faks di tangannya. Gambar yang sangat memengaruhinya itu bisa menjadi penemuan terbesar abad ini. Penelitiannya selama berpuluh-puluh tahun kini ditegaskan hanya oleh satu simbol saja.
”Ini mendesak,” suara itu berkata dengan nada memaksa.
Mata Langdon terpaku pada tanda itu. Illuminati, dia membacanya berulang kali. Pekerjaannya selama ini bisa dibilang berdasarkan pada fosil masa lalu seperti dokumendokumen kuno dan kisahkisah sejarah. Tapi gambar yang berada di hadapannya itu diambil pada masa kini. Langdon merasa seperti seorang ahli paleontologi yang bertemu muka dengan seekor dinosaurus hidup. (Brown, 2002:11)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa munculnya konflik ditandai dengan dikirimkannya faks kepada Langdon yang berisi sebuah gambar mayat lelaki yang ditelanjangi dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu diberi cap dengan symbol “Illuminati”. Setelah beberapa saat Langdon ditelpon oleh orang yang mengiriminya gambar tersebut yang tak lain adalah Maximilian Kohler. Tujuan Kohler mengirimkan gambar tersebut untuk meminta bantuan dari Langdon.
Data 3
”Dan ke mana sebenarnya di sana itu?” tanya Langdon ketika sadar dia tidak tahu ke mana tujuan mereka.
Jenewa,”   jawab   sang   pilot   sambil   menambah   daya   mesin   pesawatnya. ”Laboratoriumnya berada di Jenewa.”
”Jenewa,” ulang Langdon. Dia merasa agak lebih baik sekarang. ”Di utara New York? Saya sebenarnya memiliki saudara di dekat Danau Seneca. Saya tidak tahu kalau Jenewa memiliki kboratorium fisika.”
Pilot itu tertawa. ”Bukan Jenewa New York, Pak Langdon. Jenewa di Swiss.”
Langdon membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna kalimat itu. ”Swiss?”
Langdon merasa denyut nadinya menjadi lebih cepat. ”Saya kira tadi Anda mengatakan bahwa perjalanan ini hanya memakan waktu satu jam!”
”Memang, Pak Langdon.” Pilot itu terkekeh. ”Pesawat ini memiliki kecepatan 15 mach.” (Brown, 2002:15)
Data di atas menunjukkan bahwa untuk memenuhi undangan Kohler, membantu Kohler, Langdon harus melakukan penerbangan selama satu jam menuju laboratorium Kohler yang terletak di daerah Jenewa, Swiss.
Data 4
Kohler mengajak Langdon ke ujung koridor. Ada sebuah pintu saja di sana. ”Griya tawang, seperti istilah Anda,” ujar Kohler sambil menyeka keringat yang muncul di dahinya.
Langdon melihat pintu kayu ek di depan mereka. Plakat nama yang terdapat di sana bertuliskan:
Leonardo Vetra ”Leonardo Vetra,” kata Kohler, ”akan genap berusia 58 tahun minggu depan. Dia adalah salah satu ilmuwan terpandai pada masa kini. Kematiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia ilmu pengetahuan.”
Saat itu Langdon melihat luapan perasaan Kohler dari wajahnya yang mengeras. Namun secepat itu terlihat, secepat itu juga perasaan itu menghilang. Kohler merogoh sakunya dan mulai memilah-milah seikat besar kunci. (Brown, 2002:29)
Data 5
MAYAT YANG TERGELETAK di hadapan Langdon tampak mengerikan. Mendiang Leonardo Vetra terbaring terlentang, ditelanjangi, dan kulitnya berwarna kelabu kebiruan. Tulang lehernya mencuat ke luar di tempat yang patah, dan kepalanya di putar ke belakang dengan sempurna, dan mengarah ke arah yang salah. Wajahnya tidak terlihat karena terpelintir mencium lantai. Lelaki itu terbaring di atas genangan urin bekunya, rambut di sekitar kemaluannya yang membeku berserabut karena bunga es.
Untuk melawan perasaan mualnya, Langdon mengalihkan tatapannya ke arah dada korban. Walau Langdon telah melihat luka simetris itu lusinan kali di kertas faks yang diterimanya, luka bakar itu tampak sangat meyakinkan ketika melihatnya dengan mata kepalanya   sendiri.   Daging   yang   terkelupas   dan   terpanggang   itu   betul-betul menggambarkan ... simbol yang terbentuk dengan sempurna.
Jantungnya berdebar ketika dia berjalan mengitari mayat itu sambil membaca tulisan yang tertera di dadanya dari arah atas untuk menegaskan kejeniusan simetris yang dilihatnya. Sekarang, simbol itu terlihat luar biasa ketika dia melihatnya secara langsung.
”Pak Langdon?”
Langdon  tidak  mendengarnya.  Dia  sedang  berada  di  dunia  lain  ...  dunianya, bagiannya. Ini adalah dunia tempat sejarah, mitos dan fakta saling bertabrakan, dan membanjiri benaknya.
”Pak Langdon?” Mata Kohler menyelidik penuh harap.
Langdon tidak mengalihkan pandangannya dari mayat itu. Perhatiannya sekarang semakin dalam dan sangat terfokus. ”Apa saja yang Anda ketahui dari kata ini?” tanyanya kemudian.
”Hanya yang sudah kubaca dari situs Anda. Kata Illuminati berarti ’mereka yang tercerahkan’. Itu adalah nama sebuah persaudaraan kuno.”
Langdon mengangguk. ”Anda pernah mendengar nama itu sebelumnya?”
”Tidak sampai aku melihatnya tercap pada tubuh Pak Vetra.”
”Jadi Anda membuka internet untuk mencari keterangan tentang itu?”
”Ya.”
”Dan kata itu menghasilkan ratusan petunjuk tentunya.”
”Ribuan,” kata Kohler. ”Namun situs Anda berisi informasi dari Harvard, Oxford, sebuah penerbit yang mempunyai reputasi unik dan sebuah daftar dari penerbit lain yang berhubungan. Sebagai seorang ilmuwan, saya tahu mutu informasi yang baik berasal dari sumber yang baik. Informasi Anda tampak meyakinkan.” (Brown, 2002:30-31)
Setelah Langdon sampai di Jenewa, Swiss, Langdon disambut oleh Kohler dan dibawa kedalam laboratoriumnya untuk melihat langsung mayat temannya yaitu Leonardo Vetra yang tewas secara mengenaskan di dalam ruang pribadi Vetra. Tujuan Kohler mengundang Langdon adalah untuk mendapatkan informasi mengenai symbol “Illuminati” yang dicapkan di dada Vetra guna menyelidiki siapa pembunuh Vetra yang sebenarnya.

Data 6
”Vetra adalah ahli fisika partikel kawakan,” kata Kohler. ”Dia mulai mencampur ilmu pengetahuan dan agama ... untuk menunjukkan bahwa kedua hal itu saling melengkapi dengan cara yang sangat tidak terduga. Dia menamakan bidang itu Fisika Baru.” Kohler menarik sebuah buku dari rak buku dan memberikannya kepada Langdon.
Langdon  memerhatikan  judul  yang  tertulis  di  sampul  buku  tersebut.  Tuhan, Keajaiban dan Fisika Baru—oleh Leonardo Vetra.
”Bidang itu memang masih bayi,” kata Kohler, ”tetapi dapat berikan jawaban segar bagi beberapa pertanyaan klasik, seperti pertanyaan tentang asal muasal alam semesta dan kekuatan yang menyatukan kita semua. Leonardo percaya, penelitiannya berpotensi mengundang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual. Tahun lalu ia menemukan bukti keberadaan kekuatan energi yang mempersatukan kita semua. Dia menunjukkan bahwa secara lahiriah kita saling terhubung  ... bahwa semua molekul dalam tubuh saya saling terjalin dengan molekul di tubuh Anda ... bahwa ada satu daya yang bergerak di diri semua umat manusia.”
Langdon merasa bingung. Dan kekuatan Tuhan akan menyatukan kita semua. ”Pak Vetra benar-benar menemukan cara untuk membuktikan kepada kita kalau partikel-partikel tersebut saling berhubungan?” (Brown, 2002:43)
Dalam data di atas pengarang mendeskripsikan profesi Leonardo Vetra si korban pembunuhan sadis. Leonardo Vetra adalah ahli fisika partikel kawakan. Dia mulai mencampur ilmu pengetahuan dan agama untuk menunjukkan bahwa kedua hal itu saling melengkapi dengan cara yang sangat tidak terduga. Bidang itu memang masih bayi, tetapi dapat berikan jawaban segar bagi beberapa pertanyaan klasik, seperti pertanyaan tentang asal muasal alam semesta dan kekuatan yang menyatukan semua manusia. Leonardo percaya, penelitiannya berpotensi mengun-dang jutaan orang untuk menjadi lebih spiritual. Dia menunjukkan bahwa secara lahiriah semua manusia saling terhubung.

4.3                   Konflik Memuncak
Konflik memuncak dimulai dengan ditemukannya bola mata Leonardo Vetra yang di cungkil oleh si pembunuh di depan pintu lab bawah tanah milik Kohler oleh Langdon Kohler dan Vittoria. Bola mata Vetra ditemukan tergeletak di lantai ruangan depan pintu masuk lab. Hal itu bisa dilihat pada data berikut ini:
Data 1
Vittoria mundur. Ada yang salah. Lensa yang biasanya bersih itu ternoda ... dikotori oleh sesuatu yang tampak seperti ... darah? Dengan bingung dia berpaling pada kedua lelaki yang berdiri di belakangnya, tetapi tatapannya hanya bertemu dengan wajah-wajah yang pucat seperti lilin. Baik wajah Kohler maupun wajah Langdon sama-sama terlihat pucat. Mata mereka menatap lekat pada lantai di dekat kaki Vittoria.
Vittoria mengikuti arah tatapan mereka ... di bawah.
”Jangan!” seru Langdon sambil meraih Vittoria. Tetapi terlambat.
Tapi Vittoria sudah keburu melihat benda di atas lantai itu. Benda itu tampak sangat aneh, namun juga sangat akrab baginya.
Dan Vittoria hanya memerlukan waktu sedetik saja.
Kemudian, dengan ketakutan yang amat sangat, dia tahu benda apa itu. Benda yang seperti menatapnya dari bawah, tercampak seperti potongan sampah, adalah sebuah bola mata. Vittoria langsung bisa mengenali bola mata berwarna cokelat yang sudah begitu akrab dengannya selama ini. (Brown, 2002:80)
Data 2
Tabung itu hilang. Mereka mencungkil mata ayahnya untuk mencuri tabung tersebut. Kenyataan itu terlalu bertubi-tubi bagi Vittoria sehingga dia sulit untuk mencernanya. Semua rahasia telah bocor. Spesimen yang seharusnya ditujukan untuk membuktikan bahwa antimateri merupakan sumber energi yang aman dan dapat dibuat, telah dicuri. Tetapi seharusnya tidak ada orang yang mengetahui keberadaan spesimen itu di sini.Walaupun begitu, fakta tersebut tidak dapat disangkal. Seseorang telah mengetahuinya.
Vittoria tidak dapat membayangkan siapa orang itu. Bahkan Kohler yang mereka sebut sebagai orang yang tahu segalanya di CERN, jelas juga tidak tahu apa-apa tentang proyek ini.
Ayahnya meninggal. Dibunuh karena kejeniusannya.
Ketika perasaan duka menyakiti hatinya, sebuah perasaan baru muncul dan menggugah kesadaran Vittoria.  Yang  ini  malah  jauh  lebih buruk. Melumatkan dan menusuk dirinya. Vittoria merasa bersalah. Perasaan bersalah yang luar biasa besar. Vittoria menyadari kalau dirinyalah yang meyakinkan ayahnya untuk membuat spesimen itu dan mengabaikan pertimbangan mulia ayahnya. Kini, ayahnya dibunuh karenanya. (Brown, 2002:81-82)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari pembunuhan Leonardo Vetra adalah untuk mencuri hasil karya ilmiyahnya yang luar biasa. Si pembunuh membunuh Vetra kemudian mencungkil matanya untuk bisa menem-bus keamanan dari lab pribadi Vetra dan putrinya. Lab pribadi Vetra dilengkapi dengan system keamanan yang canggih. Untuk bisa masuk kedalam lab pribadi Verta harus melewati pintu yang dilengkapi dengan system pengenal retina mata, dan system itu hanya mengenal dua jenis retina, yaitu milik Vetra dan putrinya. Karena mengetahui hal itu maka si pembunuh mencungkil mata Vetra untuk memasuki Lab pribadinya.
Data 3
Kohler  menghirup  napas  panjang  dua  kali,  lalu  menyingkirkan  topeng  itu  dari mulutnya. Kemudian dengan masih megap-megap, Kohler menatap Vittoria dan Langdon lalu berkata pendek, ”Roma.”
”Roma?” tanya Vittoria. ”Antimateri itu ada di Roma? Siapa yang menelepon?”
Wajah Kohler berkerut, mata kelabunya berair. ”...Swiss.” Dia tersedak ketika mengucapkan kata-katanya. Paramedis lalu memasang kembali topeng oksigen itu di wajahnya. Ketika  mereka bersiap untuk  membawanya  pergi,  Kohler  mengulurkan tangannya dan meraih lengan Langdon.
Langdon mengangguk. Dia mengerti.
”Pergilah” Kohler bersuara serak di balik topengnya. ”Pergilah ... telepon aku”
Lalu paramedis itu mendorongnya pergi.
Vittoria berdiri terpaku sambil memandang lantai, lalu menatap Kohler yang tengah dibawa pergi. Dia kemudian berpaling memandang Langdon. ”Roma? Tetapi ... apa hubungannya dengan Swiss?”
Langdon meletakkan tangannya di atas bahu Vittoria dan berbisik lembut. ”Garda Swiss. Mereka adalah pengawal tersumpah di Vatikan City.” (Brown, 2002:95)
Data 4
Olivetti berjalan menuju salah satu layar monitor dan menunjuknya. Dia lalu berpaling pada tamunya. ”Gambar ini berasal dari sebuah kamera yang disembunyikan di suatu tempat di dalam Vatican City. Aku menginginkan penjelasan.”
Langdon dan Vittoria melihat layar itu dan sama-sama terkesiap. Gambar itu sangat jelas. Tidak diragukan lagi. Itulah tabung antimateri CERN. Di dalamnya, setetes cairan metalik mengambang di udara diterangi oleh sinar jam digital LED yang berkedipkedip. Yang membuatnya menjadi semakin menakutkan adalah ruangan di sekeliling tabung itu sangat gelap, seolah antimateri itu berada di dalam sebuah lemari atau ruangan gelap. Pada bagian paling atas monitor itu menyala tulisan yang sangat mencolok: TAYANGAN LANGSUNG—KAMERA NOMOR 86.
Vittoria melihat waktu yang masih tersisa pada penunjuk waktu yang menyala di tabung tersebut. ”Kurang dari enam jam,” Vittoria berbisik kepada Langdon, wajahnya tegang.
Langdon memeriksa jam tangannya. ”Berarti waktu kita hingga     ” Dia berhenti,perutnya terasa seperti terpilin.
”Tengah malam,” sahut Vittoria dengan wajah pucat. (Brown, 2002:114-115)
Dari data-data diatas dapat diketahui bahwa sipembunuh Vetra telah mencuri tabung yang berisi “Antimateri” hasil karya Leonardo Vetra dan putrinya Vittoria. “Antimateri adalah zat kimia yang sangat mudah terbakar. Jika zat “Antimateri” bersentuhan dengan “Materi”, maka akan terjadi ledakan.
Data di atas juga menunjukkan bahwa Tabung “Antimateri” yang dicuri itu dipindahkan ke daerah Roma, ke Vatican City. Dipindahkannya tabung yang berisi zat “Antimateri” ke Vatican City memperjelas tujuan dari si pembunuh Vetra yang tak lain adalah anggota kelompok “Illuminati”, yaitu untuk menghancurkan daerah tersebut. Kelompok “Illuminati” bermusuhan dengan Vatican City sejak 400 tahun silam, dan kelompok tersebut ingin balas dendam terghadap Vatican City atas perlakuannya terhadap nenek moyang kelompok “Illuminati”. Tabung itu berisi zat “antimateri” sebesar ¼ gram, dan ¼ gram “antimateri” setara denga 5 kiloton, sedangkan 1 kiloton sama dengan 1000 metrik ton dinamit. Zat “antimateri” sebanyak itu dapat menghancurkan segala sesuatu dalam radius ½ mil.
Data 5
”Mengapa tidak? Karena Garda Swiss kalian begitu tangkasnya? Karena mereka menjaga setiap sudut dunia kecilmu itu? Bagaimana dengan Garda Swiss sendiri? Apakah mereka  bukan  manusia?  Apakah kamu   benar-benar  yakin  kalau  mereka  mau mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk sebuah dongeng tentang seorang lelaki yang dapat berjalan di atas air? Tanyakan pada diri kalian sendiri bagaimana tabung itu bisa memasuki kota kalian. Atau bagaimana empat dari harta kalian yang paling berharga dapat menghilang siang ini?”
”Harta kami?” bentak Olivetti. ”Apa maksudmu?”
”Satu, dua, tiga, empat. Kalian belum kehilangan mereka sekarang?”
”Apa maksud kalian—” Tiba-tiba  Olivetti  berhenti.  Matanya terbelalak  seolah perutnya baru saja ditinju.
”Pada saat matahari menyingsing,” kata penelepon itu. ”Bolehkah aku membacakan nama-nama mereka?”
”Ada apa ini?” tanya sang camerlengo yang tampak bingung.
Penelepon itu tertawa. ”Jadi satuan pengamananmu itu belum mem-berimu penjelasan tentang hal ini? Memalukan sekali. Tidak meng-herankan. Kesombongan yang hebat. Aku membayangkan betapa malunya untuk mengatakan kebenaran ... dia sudah bersumpah untuk menjaga keempat kardinal yang tampaknya telah menghilang            ”
Olivetti meledak. ”Darimana kamu  mendapatkan informasi itu?”
”Sang   camerlengo”   penelepon   itu   berkata   dengan   riang,     ”coba tanyakan komandanmu itu, apakah semua kardinal kalian sudah lengkap berkumpul di Kapel Sistina.” (Brown, 2002:134-135)
Data 6
”Ya. Maka kami akan melakukan hal yang sama. Quid pro quo. Anggap saja sebagai retribusi simbolis bagi saudara-saudara kami yang kalian penggal. Keempat kardinal kalian akan mati, satu orang setiap jam, dan akan dimulai pada pukul delapan. Pada tengah malam seluruh dunia akan terpesona.”
Langdon bergerak mendekati telepon itu. ”Kamu benar-benar bermaksud untuk mencap dan membunuh mereka?”
”Sejarah berulang sendiri, bukan? Tentu saja, cara kami lebih elegan dan lebih terus terang daripada gereja. Mereka membunuh ilmuwan itu satu per satu dan membuang mayat mereka ketika tidak ada orang yang melihat. Pengecut sekali.”
”Apa maksudmu?” Tanya Langdon. ”Kamu akan  mencap  tubuh mereka  dan membunuh mereka di depan umum?”
”Tepat. Walau itu tergantung pada pengertianmu terhadap kata umum itu sendiri. Aku tahu kalau sekarang sudah tidak banyak orang pergi ke gereja.” (Brown, 2002:137)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa kelompok “Illuminati” sudah memulai aksi balas dendamnya. Mereka memulai aksinya dengan menculik empat cardinal unggulan yang dijadikan calon “paus” baru di Vatican City satu jam sebelum rapat pemilihan paus dimulai. Kelompok itu juga mengancam akan membunuh para cardinal itu satu-persatu tiap satu jam secara sadis dan mencap mereka dengan symbol-simbol Illuminati dan akan dimulai pada jam 20:00.
4.4                   Klimaks
Klimaks adalah puncak dari semua konflik atau peristiwa. Pada tahap ini semua peristiwa, semua konflik akan mencapai puncaknya dan akan menuju pada tahap penyelesaian atau ending. Klimaks pada novel ini bisa dilihat dalam data-data berikut.
Data 1
Mata Vittoria penuh dengan kecemasan. ”Kita dalam masalah, Robert. Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai”
”Apanya yang tidak sesuai?”
”Makam Raphael. Dia baru dimakamkan di sini pada tahun 1759. Satu abad setelah Diagramma diterbitkan.”
Langdon menatapnya sambil mencoba mencerna kata-katanya itu. ”Tidak,” sahut Langdon. ”Raphael meninggal pada tahun 1520, lama sebelum Diagramma.”
”Ya, tetapi dia tidak segera dimakamkan di sini, tetapi lama setelah dia meninggal.” Langdon bingung. ”Apa maksudmu?”
”Aku baru saja membacanya. Jenazah Raphael dipindahkan ke Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia.”
Ketika akhirnya Langdon memahami perkataan Vittoria, dia merasa seperti berdiri di atas sebuah permadani yang tiba-tiba ditarik sehingga dia jatuh terjengkang.
”Ketika puisi itu ditulis,” jelas Vittoria, ”makam Raphael berada di suatu tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada hubungannya dengan Raphael!”
Langdon tidak dapat bernapas. ”Tetapi itu ... artinya          ”
”Ya! Itu artinya kita berada di tempat yang salah!” (Brown, 2002:215)
Data 2
Vittoria Vetra mengeluarkan ponselnya ketika dia berlari keluar ke arah Piazza della Rotunda. ”Komandan Olivetti,” katanya. ”Ini kapel yang salah.”
Suara Olivetti terdengar bingung. ”Salah? Apa maksudmu?”
”Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel Chigi!”
”Di mana?” Sekarang Olivetti terdengar marah. ”Tetapi Pak Langdon bilang—”
”Santa Maria del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan orangorangmu ke sana sekarang! Kita hanya punya empat menit!”
”Tetapi mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku tidak mungkin—”
”Cepatlah!” seru Vittoria sambil menutup ponselnya.
Di belakangnya, Langdon berlari keluar dari Pantheon. (Brown, 2002:219-220)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa Langdon dan Vittoria berusaha mencari altar pengetahuan yang pertama milik kelompok “Illuminati” yang akan dijadikan tempat pembunuhan pertama. Menurut Langdon altar pertama adalah di “Pantheon” makam Raphael Santi, namun ketika mereka memulai pencarian di tempat itu, ternyata mereka salah tempat. Tempat altar pertama yang sebenarnya adalah di Kapel Chigi, gereja Santa Maria del Popolo.
Data 3
”Apa yang terjadi?” tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan menggerak-gerakkan obor gasnya.
Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk dapat melihat semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa yang dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat tubuh seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau setidaknya setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam  hingga  sebatas  pinggangnya.  Orang  tua  itu  berdiri  tegak  dengan  separuh badannya  terkubur di  dalam  tanah.  Dia  ditelanjangi. Tangannya  terikat  di belakang punggungnya dengan ikat pinggang kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang seperti karung tinju yang mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah memohon pertolongan dari Tuhan.
”Apakah dia sudah mati?” seru Vittoria bertanya.
Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan orang itu sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata orang itu menengadah ke atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. ”Ya, Tuhan!”
”Apa?”
Langdon hampir saja muntah. ”Dia memang sudah meninggal. Aku baru saja melihat penyebab kematiannya.” Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut lelaki itu dibuka paksa dan tersumbat dengan lumpur padat. ”Seseorang telah mengisi mulutnya dengan segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam tenggorokannya. Dia pasti mati tercekik.”
”Lumpur?” tanya Vittoria. ”Maksudnya ... tanah?”
Langdon heran sekali. Tanah? Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah, Udara, Api, Air.
Pembunuh itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap korbannya.
Cap yang menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen pertama adalah tanah. Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ... Langdon merasa pusing karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri untuk melihat bagian depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan simbologi di dalam Jiwanya berteriak dan menuntut  untuk  melihat  perwujudan  ambigram  yang  mistis  itu.  Tanah?  Bagaimana mungkin mereka visa membuat cap seperti itu? Lalu dengan sekejap, simbol itu sudah ada di depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah berabad-abad itu berputar-putar di dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu gosong dan memperlihatkan ambigram yang simetris Dagingnya terlihat kehitaman. La lingua pura ...
 



Langdon  sedang  menatap  cap  tersebut dan merasa  ruangan itu  seperti mulai berputar. (Brown, 2002:238-239)
Data-data di atas menunjukkan bahwa setelah Langdon dan Vittoria menemukan “Kapel Chigi” di dalam gereja Santa Maria del Popolo, mereka mencari di mana kemungkinan si pembunuh akan melakukan aksinya. Setelah lama mencari akhirnya mereka menemukan sebuah mosaik yang terletak di atas Iempengan batu yang berbentuk bundar, sebuah cupermento sudah diangkat dari lantai seperti tutup got dan meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
Di dalam lubang itu Langdon melihat sesosok tubuh berdiri di dasar lantai. Dengan disinari obor las, Langdon masuk kedalam lubang bawah tanah itu dan dia menemukan sesosok lelaki tua dengan posisi berdiri, tubuhya ditanam sebatas, tangan terikat kebelakang, kepala mendongak ke atas dengan mata melotot. Setelah Langdon mendekatinya ternyata lelaki tua itu sudah tewas. Mulutnya dibuka dengan paksa oleh sipembunuh dan di jejali lumpur hingga memenuhi mulutnya dan dadanya dicap dengan salah satu symbol milik Illuminati Yaitu “Eart”, tanah. Kelompok Illuminati itu benar-benar membuktikan ancamannya. Tepat pada jam delapan malam seorang cardinal dibunuh.
Data 4
Ketika  lonceng  Basilika  Santo  Petrus  berdentang  keras,  Langdon  dan  Vittoria terlonjak. Ini waktunya. Mereka tadi berjalan menjauhi West Ponente untuk menghindari wartawan yang membuntuti mereka, tetapi sekarang mereka bergerak mendekati relief itu lagi.
Walau dentangan lonceng terdengar sangat keras, lapangan itu tampak sangat tenang. Wisatawan masih berlalu-lalang. Seorang gelandangan mabuk, tertidur dengan posisi aneh di dasar obelisk. Seorang gadis kecil memberi makan burung-burung dara.
Langdon bertanya-tanya apakah wartawan itu sudah membuat si pembunuh takut. Tidak mungkin, katanya dalam hati ketika ingat dengan ianii si pembunuh. Aku akan membuat kardinal-kardinal kalian menjadi pencerah media.
Ketika gema yang berasal dari dentangan kesembilan mulai memudar, lapangan itu terasa sangat sunyi dan damai. Hingga kemudian ... gadis kecil itu mulai berteriak.
Langdonlah yang pertama tiba di dekat gadis kecil itu. Anak kecil yang ketakutan itu berdiri seperti membeku sambil menunjuk ke dasar obelisk di mana gelandangan mabuk yang terlihat kumal itu terpuruk di tangga obelisk. Lelaki itu tampak kacau sekali ... kemungkinan dia adalah gelandangan Roma. Rambut kelabunya terurai di sekitar wajahnya, dan tubuhnya terbungkus pakaian kotor. Gadis kecil itu terus berteriak sambil berlari menjauh dan menerobos kerumunan orang.
Perasaan takut yang dirasakan Langdon meningkat ketika mendekati lelaki itu. Terlihat ada noda gelap yang menyebar ke seluruh pakaian rombengnya. Ternyata itu adalah darah segar yang mengalir.
Kemudian, semuanya seperti terjadi bersamaan.
Lelaki tua itu tampak semakin lemas, dan terbungkuk ke depan. Langdon bergerak maju dengan cepat, tetapi terlambat. Lelaki tua itu terguling ke depan, dan menggelinding di tangga, lalu jatuh tersungkur di lantai dengan wajah mencium bumi. Setelah itu dia tidak bergerak lagi.
Langdon berlutut. Vittoria tiba di sampingnya. Kerumunan mulai terbentuk. Vittoria meletakkan jemarinya di tenggorokan orang itu dari belakang kepalanya. ”Masih ada denyutan,” katanya. ”Balikkan tubuhnya.”
Langdon langsung bergerak. Dengan memegang bahu lelaki itu, dia membalikkan tubuhnya. Ketika itu, pakaian kumal longgar yang dikenakannya tampak meluncur dari tubuhnya. Lalu lelaki itu tergeletak terlentang. Di dadanya yang telanjang terlihat luka bakar yang cukup besar.
Vittoria terkesiap dan mundur.
Langdon merasa lumpuh, terpaku di antara perasaan mual dan ngeri. Simbol itu tertulis sederhana namun menakutkan.
 



”Udara,” Vittoria seperti tersedak. ”Itu ... dia.”
Beberapa orang Garda Swiss muncul entah dari mana, sambil meneriakkan perintah, kemudian berlari mengejar si pembunuh yang tidak terlihat.
Di dekat tempat kejadian, seorang wisatawan berkata, sekitar beberapa menit yang lalu, seorang lelaki berkulit gelap berbaik hati dengan menolong gelandangan malang yang sedang mendesahdesah itu untuk menyeberangi lapangan ... lelaki itu bahkan sempat duduk sebentar di tangga dan menemani gelandangan cacat itu sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan.
Vittoria merobek sisa pakaian kumal itu di bagian perutnya. Di sana terdapat dua luka tusukan yang dalam, masing-masing berada di sisi cap itu, tepat di bawah tulang iganya. Vittoria mengangkat kepala lelaki itu dan segera memberikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut. Langdon tidak siap untuk melihat apa yang terjadi setelah itu. Ketika
Vittoria  meniupkan   napasnya,   kedua   luka   di   pinggang   orang   itu   berdesis dan menyemburkan darah ke udara seperti seekor paus menyemburkan udara. Cairan asin itu menyembur ke wajah Langdon.
Vittoria langsung menghentikan usahanya, dan tampak sangat ketakutan. ”Paruparunya ...,” katanya.  ”Kedua paru-parunya ... ditusuk.”
Langdon mengusap matanya dan memandang dua luka yang menganga di tubuh orang itu. Lubang itu mengeluarkan suara menggelegak. Paru-paru kardinal itu hancur. Dia kemudian meninggal. (Brown, 2002:261-262)
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa setelah gagal menye-lamatkan seorang cardinal di altar pengatahuan yang pertama, di Kapel Chigi, Langdon, Vittoria dan Garda Swiss mencari petunjuk untuk menemukan altar yang kedua. Setelah lama mencarinya akhirnya mereka menemukannya yaitu di lapangan Basilika Santo Petrus, di West Ponente.
Tapi, meskipun mereka sudah menemukan tempat altar kedua, mereka gagal menangkap si pembunuh lagi. Tepat pada jam Sembilan malam, sebuah pembunuhan terjadi. Setelah diperiksa ternyata korban pembunuhan itu dicap dengan salah satu symbol Illuminati, yaitu “Air”, udara. Cardinal itu tewas mengenaskan, dia ditusuk di bagian bawah tulang iganya, tepat mengenai kedua paru-parunya, sehingga paru-parunya sobek. Pembunuh itu kembali berhasil membuktikan ancamannya.
Data 5
Langdon merasa merinding dan berpaling ke arah gereja. Ketika dia menatapnya, matanya  menangk  ap  sesuatu  dari  kaca  berwarna  yang  terdapat  di  gereja  itu. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya sangat terkejut.
Tanpa menyadari apa yang terjadi, Vittoria mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol sambungan otomatis. ”Aku akan memperingatkan Olivetti.”
Dengan mulut seperti terkunci, Langdon mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Vittoria. Dengan tangan yang lainnya, Langdon menunjuk ke arah gereja itu.
Vittoria terkesiap.
Di dalam gedung, berkilau seperti mata setan yang terlihat melalui kaca berwarna jendela gereja itu ... kilatan api bersinar semakin besar.
LANGDON DAN VITTORIA berlari ke pintu utama gereja Santa Maria della Vittoria dan mengetahui kalau pintu kayu itu terkunci. Vittoria menembak tiga kali dengan pistol semi-otomatis milik Olivetti ke arah gerendel kuno itu hingga rusak.
Gereja itu tidak memiliki ruang depan, sehingga ruang suci langsung terbentang begitu Langdon dan Vittoria membuka pintu utama. Pemandangan di depan mereka sungguh tidak terduga, begitu aneh sehingga Langdon harus mengedipkan matanya berkali kali agar mampu mencernanya.
Dekorasi gereja itu bergaya barok dan sangat mewah ... dinding dan altarnya disepuh. Tepat di tengah-tengah ruang suci yang berada di bawah kubah utama, bangkubangku kayu ditumpuk tinggi dan sekarang terbakar dengan api yang berkobarkobar seperti tumpukan kayu bakar pemakaman dalam kisah epik. Terlihat api unggun yang membubung tinggi ke arah kubah. Ketika mata Langdon mengikuti arah api itu ke atas, pemandangan mengerikan yang sebenarnya muncul dengan cepat.
Tinggi di atas sana, dari sisi kiri dan kanan langit-langit, tergantung dua kabel pengharum—kabel yang digunakan untuk mengayunkan bejana pengharum dari kayukayuan di atas jemaat. Tapi kabelkabel itu sekarang tidak digunakan untuk menggantung pengharum ruangan. Kabel-kabel itu juga tidak berayun. Kedua kabel tersebut digunakan untuk menggantung benda lain.
Sesosok tubuh tergantung oleh kabel itu. Seorang lelaki tanpa busana. Masing-masing pergelangan tangannya diikat dengan kabel dari dua sisi, kemudian dikerek ke atas hingga bisa membuatnya putus. Kedua lengannya terentang seperti sepasang sayap rajawali, seolah tangannya dipaku pada salib yang tidak terlihat dan tergantung tinggi di rumah Tuhan.
Langdon merasa seperti lumpuh ketika dia menatap ke atas. Sesaat kemudian, dia menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan.
Lelaki tua itu masih hidup. Dia masih bisa mengangkat kepalanya. Sepasang mata itu memandang ke bawah dengan sorot mata ketakutan dan minta pertolongan. Di dadanya terlihat luka bakar. Dia telah dicap. Langdon tidak dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia sudah tahu apa tulisan yang tertera di sana. Ketika api itu menyala lebih tinggi sehingga menjilat kaki lelaki itu. Kardinal yang malang itu menjerit kesakitan, tubuhnya gemetar. (Brown, 2002:313-314)
Data 6
Ke mana Vittoria? Vittoria menghilang. Apakah dia pergi mencari bantuan? Langdonberteriak memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban. Dan di mana Olivetti?
Terdengar teriakan kesakitan dari atas, dan Langdon merasa dirinya sudahterlambat. Ketika matanya memandang lagi ke atas dan melihat korban yang sedangterpanggang perlahan-lahan, Langdon hanya ingat satu hal. Air. Yang banyak. Padamkanapi itu. Setidaknya kurangi jilatan apinya. ”Aku butuh air, sialan!” dia berteriak keras.
”Itu yang berikutnya,” sebuah suara menggeram dari bagian belakang gereja.
Langdon berputar, hampir jatuh dari atas bangku gereja.
Berjalan di antara barisan bangku dan langsung menuju ke arahnya, muncul sesosoklelaki menyeramkan dan berkulit gelap. Bahkan dalam kilatan nyala api yang berkobar-kobarsekalipun, matanya masih terlihat begitu hitam. Langdon mengenali pistol yang adadi tangan lelaki itu sebagai pistol yang tadinya berada di saku jasnya ... pistol yang dibawa
Vittoria ketika mereka masuk ke dalam gereja.
Kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya adalah ketakutan yang luar biasa. Naluri pertamanya adalah keselamatan Vittoria. Apa yang telah dilakukan bajingan ini padanya?
Apakah dia terluka? Atau lebih buruk lagi? Pada saat itu juga, Langdon mendengar orangdi atasnya berteriak dengan lebih keras. Kardinal itu akan mati. Tidak mungkin untukmenolongnya sekarang. Kemudian ketika si Hassassin menodongkan pistolnya ke arahdada Langdon, kepanikannya berubah menjadi kesiagaan. Ketika pistol itu meledak, diabereaksi menurut nalurinya. Langdon menjatuhkan diri, lengannya menimpa bangkubangku.
Dia merasa seperti berenang di lautan bangku-bangku gereja. (Brown, 2002:317)
Data 7
Tinggi di atas lantai kapel, Kardinal Guidera mengalami siksaan terakhirnya dalamkeadaan setengah sadar. Ketika dia melihat ke bawah, ke sekujur tubuhnya yang tanpabusana, dia melihat kulit kakinya melepuh dan mulai terkelupas. Aku di neraka, pikirnya.
Tuhan, mengapa Kau abaikan aku? Dia tahu ini pasti neraka ketika dia melihat cap di atasdadanya dengan posisi terbalik…
 


…entah kenapa, seolah-olah disebabkan oleh kekuatan setan, tulisan itu terlihat sangat masuk akal sekarang. (Brown, 2002:317)
Data 8
Para pompieri, karena sifat pekerjaan mereka, hampir tiap hari menyaksikan tragedi. Tetapi apa yang terjadi pada gereja ini adalah hal yang tidak akan mereka lupakan. Korban itu setengah disalib, setengah digantung, setengah terbakar, sebuahpemandangan yang hanya cocok untuk mimpi buruk zaman Gothic.
Sayangnya pers, seperti biasanya, sudah tiba duluan sebelum petugas pemadam kebakaran sampai di sana. Mereka telah merekam banyak gambar dalam video mereka sebelum para pompieri membersihkan gereja. Ketika para petugas pemadam kebakaran akhirnya menurunkan korban dan meletakkannya di atas lantai, tidak ada keraguan tentang siapa lelaki itu.
”Cardinale Guidera,” seseorang berbisik. ”Di Barcelona.”
Korban itu tanpa busana. Setengah bagian dari tubuhnya hangus, darah menetesdari celah di antara kedua pahanya. Tulang keringnya terbuka. Seorang petugas pemadam kebakaran muntah. Yang satu lagi keluar untuk menghirup udara segar.
Yang paling menakutkan adalah simbol yang tertera di dada sang kardinal. Kepala regu pemadam kebakaran mengelilingi jasad korban itu dengan ketakutan yang luar biasa.
Lavaro del diavolo, katanya pada dirinya sendiri. Pasti setan yang melakukan ini. Lalu dia membuat tanda salib di dadanya sendiri untuk pertama kalinya sejak masa kanak-kanaknya. (Brown, 2002:335)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa setelah dua kali gagal menyelamatkan cardinal yang di culik oleh kelompok Illuminati di altar pertama dan kedua, Langdon, Vittoria dan Garda Swiss tidak putus asa. Mereka mencari tahu keberadaan altar yang ketiga melalui petunjuk yang ada di altar kedua, “Wets Ponente”. Setelah berusaha akhirnya mereka berhasil mengetahui keberadaan altar pengetahuan Illuminati yang ketiga, yaitu di Piazza Barberini, Santa Maria Della Vittoria.
Setelah sampai di lokasi, mereka menyebar kebeberapa titik untuk mengamati situasi di sekitar lokasi, tiba-tiba Vittoria melihat dua orang yang agak mencurigakan, dengan sigap dia mendekati dua orang tersebut. Ketika jarak sudah dekat dengan kedua orang tersebut dia pun tahu bahwa mereka hanya dua perempuan tua yang baru keluar dari gereja sambil mengomel karena gereja akan ditutup lebih awal.
Ketika Vittoria sedang berbicara dengan kedua nenek-nenek tersebut Langdon dikagetkan oleh sebuah pemandangan yang mengerikan di dalam gereja Santa Maria Della. Di dalam gereja itu ada kobaran api yang sangat besar. Seketika itu mereka langsung berlari kearah gereja tersebut dan menerobos masuk kedalamnya dengan membobol pintu depannya. Setelah masuk kedalam gereja tersebut mereka sangat terperanjat atas apa yang mereka lihat. Ada tumpukan kayu yang sedang dibakar dan di atas kobaran api itu ada seseorang yang tergantung dalam keadaan telanjang dengan dada dicap dengan salah satu simbol Illuminati yaitu “Fire”, api. Seorang kardinal yang di panggang hidup-hidup di dalam gereja.
Melihat hal mengerikan itu Langdon dan Vittoria berusaha menolong kardinal yang digantung tersebut namun sia-sia. Mereka tidak menemukan tangga untuk menurunkan kardinal malang itu. Disaat mencoba melakukan pertolongan pada kardinal itu Vittoria menemukan mayat komandan Olivetti, komandan pasukan Garda Swiss yang tewas mengenaskan, kepalanya diputar menghadap kebelakang seperti mayat ayahnya Leonardo Vetra. Sebelum dia sempat beranjak kepalanya dipukul dari belakang oleh sipembunuh dan dia pun tidak sadarkan diri.
Di tengah-tengah kesibukan Langdon untuk menolong cardinal yang dalam bahaya, dia menyadari bahwa Vittoria tidak ada, dia pun mencarinya tapi tidak ditemukan,  malah yang muncul adalah sesosok lelaki hitam kekar memegang sebuah pistol yang dikenali oleh Langdon, pistol milik Oliveti yang berada pada Vittoria. Langdon pun memahami bahwasannya telah terjadi sesuatu pada Vittoria. Tiba-tiba lelaki itu menembak kearah Langdon, spontan Langdon pun menjatuhkan dirinya untuk menghindari tembakan. Akhirnya Langdon dan si pembunuh pun berkejaran, Langdon terus berlari menghindari tembakan dari si pembunuh, hingga akhirnya Langdon terpojok dan terperangkap dibawah peti mati yang terbuat dari batu pualam. Akhirnya si pembunuh meninggalkan Langdon.
Setelah beberapa saat lamanya tim pemadam kebakaran pun datang, mereka menurunkan kardinal yang telah tewas terpanggang hidup-hidup itu. Para pemadam pun tercengang ketika melihat dada si kardinal yang dicap dengan simbol Illuminati. Disaat itu juga tim pemadam menemukan jasad Oliveti yang meengenaskan. Disaat tim pemadam hendak meninggalkan gereja, mereka mendengar suara dari balik peti mati, suara alarm jam tangan Langdon, dan mereka pun menyelamatkan Langdon.
Data 9
Di lantai van itu, terlihat seorang lelaki yang tergolek tanpa busana dan meringkukdengan sengsara. Lelaki itu terbungkus oleh rantai berat yang panjangnya beryard-yard.Dia terikat rapat dengan rantai besi itu. Lelaki itu meronta-ronta, tetapi rantai itu terlaluberat. Salah satu mata rantainya dimasukkan ke dalam mulut lelaki itu seperti kekangkuda sehingga menyumbat teriakan minta tolongnya. Ketika itu Langdon juga melihatsosok kedua bergerak di belakang tawanan itu dari balik kegelapan, seolah sedangmembuat persiapan terakhir.
Langdon tahu, dia hanya mempunyai waktu beberapa detik untuk bertindak.Dia mengambil pistolnya, melepas jasnya dan menjatuhkannya di tanah. Dia tidakmau ada tambahan beban berupa jas wolnya yang tebal. Selain itu, dia juga tidak maumembawa Diagramma Galileo ke dekat air. Dokumen itu harus tetap di sini, di tempatyang aman dan kering.
Langdon bergerak ke sebelah kanannya. Sambil mengelilingi tepian air mancur itu,Langdon menempatkan dirinya tepat di seberang van tersebut. Patung yang terdapat ditengah-tengah air mancur yang besar itu menghalangi pandangannya ke seberang kolam.Dia berharap suara air yang mengelegar dapat menelan suara langkahnya. Ketika diasampai di dekat air mancur, Langdon melompati pinggirannya dan menceburkan dirinyake dalam air yang berbuih itu. (Brown, 2002:350)
Data 10
Sambil terendam sedalam pinggang, Robert Langdon mengangkat pistolnya danmelangkah keluar dari balik kabut sambil merasa seperti koboi yang sedang melakukanaksi terakhirnya. ”Jangan bergerak.” Suaranya lebih teguh daripada genggaman dipistolnya.
Si Hassassin mendongak. Sesaat dia tampak bingung seolah dia sedang melihathantu. Kemudian bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman bengis. Diamengangkat kedua lengannya sebagai tanda menyerah. ”Ternyata begini jadinya.”
”Keluar dari van.”
”Kamu tampak basah kuyup.”
”Kamu datang lebih awal.”
”Aku ingin segera kembali mengambil hadiahku.”
Langdon mengarahkan pistolnya. ”Aku tidak ragu untuk menem-bakmu.”
”Kamu sudahragu-ragu.”Langdon merasa jarinya menegang di pelatuk pistol. Kardinal ituterbaring tidak bergerak sekarang. Dia tampak letih dan sedangsekarat. ”Lepaskan ikatannya.”
”Lupakan dia. Kamu datang untuk mengambilperempuan itu. Jangan berpura-pura kepadaku.”
Langdon menahan diri untuk tidak segera mengakhirinya saat itu juga. ”Di mana dia?”
”Di suatu tempat. Aman. Menungguku kembali.” Vittoria masih hidup. Langdonmerasakan ada harapan. ”Di Gereja Pencerahan?”
Pembunuh itu tersenyum. ”Kamu tidak akan dapat menemukantempat itu.”Langdon merasa tidak percaya. Markas Illuminati masih berdiri. Dia mengarahkan senjatanya. ”Di mana?”
”Tempat itu akan tetap menjadi rahasia selama berabad-abad. Aku saja barumengetahuinya baru-baru ini. Aku lebih baik mati daripada melanggar kepercayaan yang mereka berikan.”
”Aku dapat menemukannya tanpa bantuanmu.”
”Sombong sekali.”
Langdon menunjuk ke arah air mancur. ”Aku sudah tiba hingga sejauh ini.”
”Banyak orang yang tiba sampai di sini. Langkah terakhirlah yang paling sulit.” (Brown, 2002:352)
Data 11
Gerakan itu sangat tidak terduga. Untuk sesaat, Langdon berpikir hukum fisika sudah tidak berlaku lagi. Pembunuh itu tampak bergantung tanpa beban di udara ketika kedua kakinya mencuat keluar dari bawah badannya. Sepatu botnya menendang sisi tubuh sang kardinal sehingga tubuh yang terantai itu menggelinding ke luar van. Tubuh kardinal itu tercebur ke kolam sehingga air kolam memercik tinggi.
Ketika air kolam membasahi wajahnya, Langdon tahu dia sudah terlambat untuk memahami apa yang tengah terjadi. Si pembunuh meraih pegangan di dalam van dan menggunakannya sebagai alat untuk mengayunkan tubuhnya ke depan. Sekarang si Hassassin bergerak mendekatinya, kakinya melangkah melewati percikan air.
Langdon menarik pelatuk pistolnya, dan peredam suaranya langsung beraksi. Pelurunya meledak menembus jari kaki kiri di balik sepatu bot si Hassassin. Tapi sesaat kemudian, Langdon merasa sol sepatu bot si Hassassin menimpa dadanya dan mengirimkan tendangan yang menghancurkan.
Kedua lelaki itu tercebur di antara hujan darah dan air.
Ketika cairan dingin menelan tubuh Langdon, yang pertama dirasakan olehnya adalah rasa sakit. Setelah itu, yang muncul adalah insting untuk bertahan hidup. Dia sadar dia sudah tidak memegang senjatanya lagi. Senjatanya sudah ditendang jatuh. Sekarang dia menyelam dalam air dan meraba-raba dasar kolam yang licin. Tangannya meraih sesuatu dari logam. Segenggam koin. Dia lalu membuangnya. Dia kemudian membuka matanya dan mengamati kolam yang berkilauan itu. Air bergemicik di sekitarnya seperti Jacuzzi yang dingin sekali. (Brown, 2002:353)
Data 12
Tersentak oleh sinar kehidupan di mata lelaki tua itu, Langdon meraih kembali kebawah dan mencengkeram rantai itu sambil mencoba mengangkat lelaki itu kepermukaan. Perlahan-lahan tubuh itu terangkat ... seperti sebuah jangkar. Langdon menarik lebih kuat. Ketika kepala sang kardinal muncul di permukaan air, lelaki tua ituberjuang untuk bernapas dengan putus asa. Tapi tiba tiba tubuh tua itu kembali bergulingdengan hebat, sehingga cengkeraman Langdon terlepas dari rantai yang licin itu. Seperti sebuah batu, Baggia tenggelam dan menghilang ke bawah air yang berbuih.
Langdon menyelam, matanya terbelalak di dalam kegelapan air. Dia kembali menemukan sang kardinal. Kali ini, ketika Langdon meraihnya, rantai yang membungkus tubuh lelaki tua itu bergeser ... terbuka dan memperlihatkan kekejaman berikutnya ... sebuah kata telah dicapkan sehingga menimbulkan luka bakar yang parah. (Brown, 2002:354)
 


Data 13
Walau begitu, Kardinal Baggia yang terbaring lemah di balik kegelapan di atas lereng pualam dalam keadaan setengah tenggelam, mendapatkan suasana yang sangatterhormat. Air beriak dengan lembut di dadanya seperti tampak menyesal ... seolah air itu meminta maaf karena telah menjadi penyebab utama kematian lelaki ini ... seolah mencoba membersihkan luka bakar yang menuliskan namanya. Air.
Dengan perlahan, Langdon mengusapkan tangannya di wajah lelaki itu dan menutupkan matanya yang menatap ke atas. Ketika dia melakukannya, Langdon merasa begitu lelah dan getaran air mata mulai mengalir dari pelupuknya. Perasaan itu membuatnya merasa tidak berdaya. Lalu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak mengalaminya, Langdon menangis. (Brown, 2002:359)
Dari data-data diatas dapat pahami bahwa setelah Langdon terselamatkan oleh tim pemadam kebakaran, dia langsung mencari petunjuk ke tempat altar pengetahuan yang terakhir. Setelah menemukannya dia langsung bergegas kesana dan berhasil sampai kelokasi sebelum si pembunuh sampai disana. Tempat altar terakhir itu adalah di “Piazza Navona”, gereja St. Agnes in Agony. Setelah beberapa saat dia di sana sambil mengamati kedatangan si pembunuh, akhirnya dia melihat sebuah mobil Van datang mengamati lokasi sekitar gereja tersebut. Setelah dua kali putaran berkeliling, mobil itu mendekati tempat Langdon bersembunyi, Air mancur Piazza Novana. Mobil itu berhenti tepat di dekat air mancur itu. Langdon mengamati Van itu, ternyata di dalam mobil itu ada seoarang lelaki tua yang terikat dengan rantai yang sangat panjang. Tepat di belakang lelaki tua itu ada seseorang lagi, yaitu si pembunuh yang sedang melakukan persiapan terakhirnya.
Tepat sebelum si pembunuh melakukan aksinya Langdon muncul dengan menodongkan pistolnya kearah si pembunuh. Tapi, karena Langdon lengah si pembunuh berhasil melemparkan korbannya kedalam kolam air mancur Piazza Novana. Setelah itu si pembunuh menerjang kearah Langdon, sepontan Langdon pun menembakkan pistolnya kearah si pembunuh dan mengenai ujung jari kaki si pembunuh, namun tendangan si pembunuh juga mengenai dada Langdon dan akhirnya keduanya terjatuh kedalam kolam tersebut. Di dalam kolam itu Langdon melihat si kardinal dan berusaha menolongnya, namun sebelum berhasil melakukannya si pembunuh datang menyerang lagi, dan pertarungan dalam air pun terjadi. Meskipun Langdon adalah seorang perenang dan pemain Polo Air yang hebat, tapi dia tidak berdaya melawan ketangkasan si pembunuh, bahkan hampir saja Langdon terbunuh olehnya.
 Dengan pengalamannya sebagai perenang dan pemain Polo Air dia bisa lolos dari kematian, dia mengunakan pipa pembuat gelembung untuk mengalirkan udara kedalam tubuh kemudian dia berpura-pura kehabisan nafas dan mati tenggelam. Melihat Langdon menggelepar dan kaku di dalam air, si pembunuh pun meninggalkannya karena mengira Langdon telah mati. Setelah beberapa saat lamanya dan memastikan kepergian si pembunuh, Langdon pun muncul kepermukaan air untuk menghirup udara segar, kemudian dia mencari keberadaan si kardinal. Setelah menemukannya dia mengangkat tubuh si kardinal kepermukaan, namun si kardinal sudah tidak terselamatkan. Matanya melotot, tubuhnya dipenuhi dengan air kolam. Pertolongan yang diberikan oleh Langdon tidak berguna. Setelah rantai yang melilit tubuh kardinal itu dilepaskan, Langdon melihat dada si kardinal telah di cap dengan simbpl Illuminati yaitu “Water”, air. Sekali lagi si pembunuh telah membuktikan ancamannya, dan sekali lagi Langdon gagal menyelamatkan kardinal dari kematian.
4.5                   Penyelesaian
Pada tahap ini semua peristiwa, konflik dan segala permasalahan mengalami penyusutan atau peleraian. Tahap penyelesaian adalah tahap akhir dalam tahapan-tahapan alur atau plot. Tahap ini akan menentukan akhir dari sebuah cerita, apakah akan berkahir menyenangkan, atau menyedihkan bahkan digantung oleh pengarang agar pembaca berimajinasi menyelesaikan cerita itu sandiri. Cerita dalam novel “Angel And Demon (Malaikat dan Iblis)” karya Dan Brown ini berakhir dengan akhiran yang menyenangkan meskipun menegangkan. Penyelesaian atau ending dalam novel ini dimulai setelah Langdon si tokoh utama gagal menyelamatkan cardinal Baggia di altar ilmu pengetahuan Illuminati yang terakhir yang terletak di Piazza Novana. Utntuk lebih jelasnya mengenai tahap penyelisaian ini bisa dilihat pada data-data di bawah ini.
Data 1
Gereja Pencerahan. Langdon tahu dia sudah dekat. Ketika tangga itu mulai menyempit, Langdon merasa gang itu mengurungnya. Bayangan sejarah mulai berbisik-bisik di dalam gelap, tetapi dia terus bergerak. Ketika dia melihat secercah cahaya berbentuk horizontal di depannya, dia tahu dia sedang berdiri beberapa anak tangga di bawah bordes, tempat sinar obor menyebar dari ambang pintu di depannya. Tanpa menim-bulkan suara, dia naik lagi.
Langdon tidak tahu di bagian kastil yang mana dia sekarang berada, tetapi dia tahu dia telah mendaki cukup jauh untuk berada di dekat puncak. Dia membayangkan patung malaikat berukuran besar yang berdiri di puncak kastil dan dia menduga patung tersebut berada tepat di atasnya.
Lindungi aku malaikat, katanya dalam hati sambil mencengkeram terali besinya. Kemudian, tanpa menimbulkan suara, dia meraih pintu. (Brown, 2002:371-372)
Setelah kekalahan Langdon dari si pembunuh dan kegagalannya menyelamatkan sang cardinal, Langdon langsung mencari petunjuk untuk menuju markas Illuminati di altar terakhir. Setelah menemukannya, Langdon langsung bergegas ke markas Illuminati untuk menyelamatkan Vittoria yang diculik oleh si pembunuh.
Data 2
Si Hassassin membalik pisaunya dan menggoreskan bagian punggung pisaunya di perut Vittoria. Rasa dingin dari pisau itu membuat Vittoria menggigil. Dengan tatapan merendahkan, si Hassassin menyelipkan pisau itu ke pinggang celana pendek Vittoria. Vittoria menahan napasnya. Si Hassassin menggerakkan pisaunya ke depan dan ke belakang dengan perlahan, lebih rendah lagi. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan napasnya yang panas berhembus di telinga Vittoria.
”Pisau ini yang mencungkil mata ayahmu.”
Kemarahan segera meledak dan membuat Vittoria merasa mampu untuk membunuh lelaki itu saat itu juga.
Si Hassassin memutar pisaunya lagi dan mulai memotong ke atas melalui bahan khaki celana pendek Vittoria. Tiba-tiba dia berhenti. Ada seseorang di dalam ruangan ini.
”Lepaskan dia!” suara laki-laki menggeram dari ambang pintu.
Vittoria tidak dapat melihat siapa yang berbicara di sana, tetapi dia mengenali suara itu. Robert! Dia hidup!
Si Hassassin melihat ke arah Langdon seolah dia melihat hantu. ”Ah Langdon, kamu pasti punya malaikat penjaga.” (Brown, 2002:372)
Data 3
Langsung di depannya, dengan latar belakang pintu balkon yang terbuka, berdiri si Hassassin. Dia bertelanjang dada, berdiri di dekat Vittoria yang terbaring terikat tetapi jelas masih hidup. Langdon merasa sangat lega melihatnya. Saat itu juga, mata Langdon bertemu dengan mata Vittoria, dan berbagai perasaan yang campur aduk muncul rasa syukur, putus asa, dan sesal.
”Jadi, kita bertemu lagi,” kata si Hassassin. Dia melihat ke arah terali besi di tangan Langdon dan tertawa keras. ”Dan kali ini kamu datang padaku dengan membawa itu?”
”Bebaskan dia.”
Si Hassassin meletakkan pisaunya di leher Vittoria. ”Aku akan membunuhnya.” Langdon tidak meragukan kemampuan si Hassassin untuk melakukan tindakan semacam itu. Tapi dia berusaha berkata dengan tenang. ”Kukira dia akan lebih senang menerimanya ... daripada menghadapi hal lain yang kamu ingin lakukan terhadapnya.”
Si Hassassin tersenyum pada penghinaan itu. ”Kamu benar. Dia punya banyak hal untuk ditawarkan. Sayang sekali untuk dilewatkan.”
Langdon melangkah ke depan, tangannya mencengkeram terali berkarat itu, dan mengarahkan ujung potongan terali pada si Hassassin. Luka di tangannya terasa sangat sakit. ”Lepaskan dia.”
Untuk sesaat, si Hassassin tampak mempertimbangkannya. Sambil menarik napas, dia melemaskan bahunya. Itu jelas merupakan gerakan menyerah, tapi pada saat itu juga lengan si Hassassin tampak terayun dengan cepat dan tidak terduga. Seperti bayangan, tiba-tiba sebuah pisau datang merobek udara dan melesat ke arah dada Langdon. (Brown, 2002:373)
Data 4
Si Hassassin menyambar ke arah Langdon seperti seekor burung pemangsa. Konsentrasi Langdon terpecah setelah si Hassassin membiarkannya melihat ke isi peti itu sehingga ketika dia berusaha melawannya, dia merasa tonglcat besi yang dibawanya terasa seberat batang pohon. Dia menangkis terlalu lambat. Si Hassassin mengelak.
Ketika Langdon mencoba untuk menarik kembali senjatanya, tangan si Hassassin terulur cepat dan menangkapnya. Cengkeraman si Hassassin kuat, dan lengannya yang terluka sama sekali tidak memengaruhinya. Kedua lelaki itu berkelahi dengan sengit. Langdon merasa besi itu dirampas dengan kasar dari tangannya sehingga membuat telapak tangannya terasa sakit. Sesaat kemudian, Langdon menatap ujung tajam dari tongkat besi yang tadi dipegangnya. Sang pemburu sekarang menjadi buruan.
Langdon merasa seperti baru saja diterjang badai. Si Hassassin mengelilinginya sambil tersenyum dan mendesak Langdon ke dinding. ”Apa pepatah Amerikamu itu?” tanyanya dengan nada menghina. ”Sesuatu tentang rasa penasaran dan kucing?” (Brown, 2002:375)
Data 5
Langdon segera merasakan keberadaan jurang di belakangnya, jurang sedalam ratusan kaki dengan halaman yang terhampar di bawahnya. Dia tadi sudah melihatnya sebelum masuk ke sini. Si Hassassin sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Dengan sebuah dorongan yang kejam, dia menyergap. Tombak di tangannya memotong ke arah pinggang Langdon. Langdon tergelincir ke belakang, da n ujung tombak itu hanya mengenai pakaiannya. Ujung tombak itu mengarah kepadanya lagi. Langdon semakin terdesak ke belakang, dan sudah merasakan pagar balkon di belakangnya. Tidak diragukan lagi, ayunan yang berikutnya akan membunuhnya. Tapi Langdon mencoba sesuatu yang nekad. Dia berputar ke samping dan mengulurkan tangannya untuk meraih tongkat besi itu sehingga dia merasakan sakit di telapak tangannya. Dia menahannya.
Si Hassassin tampak tidak terganggu. Mereka saling tarik sesaat, saling bertatapan. Langdon dapat mencium napas si Hassassin. Terali besi runcing itu mulai terlepas dari genggaman Langdon. Si Hassassin terlalu kuat. Dengan putus asa, Langdon mengulurkan kakinya, walau membahayakan keseimbangannya, dan berusaha menginjakkan kakinya ke kaki si Hassassin yang terluka. Tetapi si pembunuh itu sangat berpengalaman dan segera bergerak melindungi kelemahannya.
Langdon telah memainkan kartu terakhirnya. Dan dia tahu, dia akan kalah.
Kedua tangan si Hassassin terjulur ke depan, mendorong Langdon ke belakang sehingga menghantam pagar balkon. Langdon tidak merasakan apa -apa selain kekosongan di belakangnya ketika merasakan pagar yang ternyata hanya setinggi bokongnya. Si Hassassin memegangi terali besi tersebut secara menyilang dan mendorongkannya ke dada Langdon. Punggung Langdon melengkung di atas jurang.
”Ma’assalamah,” si Hassassin mendesis. ”Selamat tinggal.”
Dengan tatapan tanpa belas kasihan, si Hassassin memberikan dorongan terakhir. Langdon kehilangan keseimbangan dan kakinya terangkat dari lantai. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang melewati pagar. Hanya dengan insting bertahan diri yang masih
tersisa, Langdon berhasil meraih pinggiran pagar agar tidak jatuh ke bawah. Tangan kirinya tergelincir, tapi tangan kanannya masih sempat berpegangan di pagar. Sementara itu, kakinya berusaha menemukan pijakan di bawahnya. Dia akhirnya tergantung gantung dan menahan berat tubuhnya dengan kaki dan satu tangan ... berusaha untuk tetap bertahan. (Brown, 2002:378)
Data6
Si Hassassin mencondongkan tubuhnya dan mengangkat terali besi itu ke atas, bersiap memukulkannya ke tangan Langdon. Ketika tongkat besi itu mulai terayun cepat, Langdon melihat sebuah bayangan. Mungkin itu adalah gambaran kematiannya sendiri atau hanya ketakutan yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga, dia melihat aura di sekitar si Hassassin. Sebuah cahaya tampak membesar dari sesuatu yang tidak terlihat di belakang si pembunuh ... seperti bola api yang mendekat.
Ayunan tongkat besi itu tiba-tiba terhenti di udara. Si Hassassin tiba-tiba menjatuhkan tongkatnya dan berteriak kesakitan. Terali besi itu jatuh melewati tubuh Langdon dan ditelan kegelapan malam. Si Hassassin berputar ke dalam, dan Langdon melihat api menyala di punggung si pembunuh. Langdon mengangkat wajahnya ke atas dan melihat Vittoria. Mata Vittoria menyala ketika menghadapi si Hassassin.
Vittoria mengayunkan obor itu di depannya. Perasaan dendam di wajahnya terlihat jelas di balik nyala api. Bagaimana dia bisa terbebas, Langdon tidak peduli. Langdon mulai berusaha untuk naik melintasi pagar balkon itu. (Brown, 2002:378)
Data 7
Sesaat si Hassassin seperti membeku, punggungnya melengkung kesa-kitan. Dia melepaskan obor yang tadi direbutnya dari musuhnya dan Vittoria menekankan obor itu ke wajah si Hassassin. Ada suara berdesis dari daging yang terbakar ketika mata kiri si Hassassin terpanggang. Dia berteriak lagi, dan mengangkat tangannya ke wajahnya.
”Satu mata untuk satu mata,” desis Vittoria. Kali ini Vittoria mengibas-ngibaskan obor itu seperti sebuah tongkat pemukul. Ketika obor it mengenai tubuh si Hassassin lagi, lelaki besar itu terhuyung-huyung ke arah pagar balkon. Langdon dan Vittoria bersama-sama mengejarnya dan kemudian mendorongnya. Tubuh si Hassassin terdorong ke belakang, melewati pagar itu dan melayang ke kegelapan. Tidak ada jeritan. Satu-satunya suara hanyalah derak tulang punggung yang patah ketika si Hassassin mendarat di atas tumpukan bola peluru meriam di bawah dengan lengan dan kaki terentang seperti sayap elang.
Langdon berpaling pada Vittoria dengan bingung. Tali dengan ikatannya yang longgar masih bergantung di pinggang dan bahunya. Mata Vittoria masih menyala-nyala.
”Ternyata Houdini belajar yoga juga.” (Brown, 2002:379)
Dari data-data di atas dapat dipahami bahwa di dalam markas kelompok Illuminati Langdon mendapati si pembunuh hendak memperkosa Vittoria, namun untungnya Langdon datang tepat waktu sehingga Langdon bisa menghentikan maksud jahat si pembunuh itu. Akibatnya pertarungan antara Langdon dengan si pembunuh tak terhindarkan. Pertarungan sengit antara Langdon dengan si pembunuh berlangsung agak lama, ketika Langdon terpojoky dan hampir terbunuh, Vittoria berhasil melepaskan ikatan di tangannya dan menerang si pembunuh dari belakang dengan obor yang dijadikan penerangan diruangan itu. Dengan bekerja sama Akhirnya Langdon dan Vittoria bisa mengalahkan si pembunuh.
Data 8
”Sang camerlengo dalam bahaya!” teriak Langdon sambil menaikkan lengannya sebagai tanda menyerah ketika dia berhenti berlari. ”Buka pintunya! Max Kohler akan membunuh sang camerlengol” Rocher tampak marah.
”Buka pintunya!” teriak Vittoria. ”Cepat!”
Tetapi mereka terlambat.
Dari dalam Kantor Paus terdengar teriakan yang mengerikan. Itu teriakan sang camerlengo.
Pemandangan di depan mereka membuat mereka terguncang. Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya lilin dan api perapian yang sudah hamper mati. Kohler berada di dekat perapian, berdiri dengan canggung di depan kursi rodanya. Dia mengacungkan sepucuk pistol, membidik ke arah sang camerlengo yang tergeletak di atas lantai di depan kaki Kohler sambil menggeliat kesakitan. Jubah sang camerlengo sobek, dan dada telanjangnya menghitam. Langdon tidak dapat membaca simbol itu dari seberang ruangan, tetapi sebuah cap persegi tergeletak di atas lantai di dekat Kohler. Besi itu masih menyala merah. (Brown, 2002:395)
Setelah mengalahkan si pembunuh Langdon dan Vittoria bergegas menuju ke Vatican City untuk menyelamatkan sang “Camerlanggo” yang sedang dalam bahaya. Selain untuk menyelamatkan sang “Camerlango”, Langdon dan Vittoria juga ingin menemukan tabung “Antimateri” lalu menjauhkannya dari Vatican City.
Data 9
Seperti orang yang terjaga dari mimpi buruk, mata sang camerlengo terbuka dan dia duduk tegak. Karena sangat terkejut, Langdon dan yang lainnya, terguncang oleh perubahan beban di tangan mereka. Bagian depan meja itu turun. Sang camerlengo pun mulai tergelincir. Mereka lalu berusaha menahannya dengan menurunkan meja itu ke lantai, tapi sudah terlambat. Sang camerlengo tergelincir ke depan. Tapi anehnya, dia tidak jatuh. Kakinya menyentuh lantai pualam dan dia segera menegakkan tubuhnya. Dia berdiri untuk beberapa saat, terlihat kebingungan dan kemudian, sebelum orang lain dapat menahannya, sang camerlengo mencondongkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih menuruni tangga ke arah Macri.
”Jangan!” teriak Langdon.
Chartrand bergegas ke depan dan berusaha menghalangi sang camerlengo. Tetapi sang camerlengo menoleh padanya dan menatapnya dengan mata terbelalak marah.
”Tinggalkan aku!” (Brown, 2002:401)
Data 10
Tiba-tiba sang camerlengo seperti menahan diri. Dia mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas bahu Chartrand dengan tenang. ”Terima kasih untuk perhatian dan pelayananmu. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku tidak bisa memintamu untuk mengerti. Tetapi, aku telah mendapatkan wahyu. Aku tahu di mana antimateri itu disembunyikan.
Tabung antimateri itu tergeletak di sana ... tempat di mana benda tersebut berada sepanjang hari ... tersembunyi di dalam kegelapan Necropolis. Berkilap. Sangat berbahaya. Mematikan. Ilham yang diterima sang camerlengo ternyata benar.
Mortati menatap penuh kagum pada silinder tembus pandang itu. Tetesan cairan itu masih melayang-layang di bagian tengah tabung tersebut. Gua di sekitarnya berkedip merah ketika jam digital yang muncul di layar LED menghitung mundur hingga lima menit terakhir hidupnya. (Brown, 2002:408)
Tiba-tiba sang camerlengo berdiri. Dia meraih antimateri itu dalam genggamannya dan berpaling ke arah yang lainnya. Wajahnya memperlihatkan kesungguhannya. Dia berjalan melewati yang lainnya dan mulai menuruni Necropolis ke arah dia datang tadi, lalu berlari menuruni bukit itu. (Brown, 2002:417)
Data 11
”Terbang, Bapa!”
Sang camerlengo menoleh ke ke arah Langdon yang duduk di belakangnya, wajahnya sangat pucat karena takut. ”Apa yang kamu lakukan?” tanyanya keras
”Anda terbang! Saya akan melemparnya!” teriak Langdon. ”Tidak ada waktu lagi!
Terbangkan saja helikopter ini!”
Sang camerlengo tampak lumpuh sesaat. Lampu media yang menyorot menembus kaca kokpit membuat wajahnya yang kuyu menjadi gelap. ”Aku dapat melakukan ini sendiri,” bisiknya. ”Seharusnya ini kukerjakan sendirian.”
Langdon tidak mau mendengarkan. Terbang! Dia mendengar dirinya berteriak. Sekarang! Aku di sini untuk menolongmu! Langdon menatap tabung itu dan merasa napasnya tercekat di tenggorokannya ketika dia melihat angka yang berkedip di jarum digitalnya. ”Tiga menit lagi, Bapa! Tiga!”
Angka itu seolah menyadarkan sang camerlengo sehingga membuatnya kembali tenang. Tanpa ragu lagi, dia mulai mengendalikan helikopter itu. Dengan suara gemuruh, helikopter itu terbang. (Brown, 2002:420)
Data 12
”Tidak,” kata sang camerlengo. ”Itu terlalu berbahaya. Maafkan aku.” Ketika helikopter itu mulai naik lagi, sang camerlengo berpaling kepada Langdon dan tersenyum muram. ”Semestinya kamu tidak ikut, kawan. Kamu telah mengorbankan dirimu.”
Langdon melihat mata letih sang camerlengo dan tiba-tiba dia mengerti. Darahnya menjadi sedingin es. ”Tetapi ... pasti ada tempat yang dapat kita datangi!”
”Ke atas,” jawab sang camerlengo, suaranya terdengar seperti menyerah. ”Itu satusatunya hal yang pasti.”
Langdon hampir tidak dapat berpikir. Dia betul-betul salah mengartikan rencana sang camerlengo. Lihat ke langit!
Langit tempat di mana surga berada. Sekarang Langdon tahu maksud sang camerlengo. Ke sanalah dia benar-benar akan pergi. Sang camerlengo tidak pernah bermaksud menjatuhkan tabung antimateri itu. Dia hanya ingin membawanya sejauh yang dapat dilakukannya dari Vatican City. (Brown, 2002:422)
Data 12
Kemudian sang camerlengo mengambil bungkusan nylon hitam itu dan menyelipkan kedua tangannya di antara kedua pengikat yang terdapat di bungkusan itu. Dia lalu mengencangkan tali berperekat di sekitar perutnya dan mengenakannya seperti tas ransel. Setelah itu dia menoleh ke arah Robert Langdon yang sedang tercengang.
”Maafkan aku,” kata sang camerlengo. ”Seharusnya tidak terjadi seperti ini.” Kemudian dia membuka pintunya dan melemparkan dirinya ke dalam langit malam.
Tidak ada apa-apa! Pasti ada pilihan lain! Tiga puluh lima detik. Dia bergegas menuju pintu helikopter yang sudah terbuka dan membiarkan angina yang bertiup keras menerpa wajahnya ketika dirinya menatap lampu-lampu yang berkedip di kota Roma yang terbentang di bawahnya. Tiga puluh dua detik.
Kemudian dia membuat pilihan.
Sebuah pilihan yang luar biasa ....
Tanpa parasut, Robert Langdon melompat ke luar dari pintu itu. Ketika langit malam menelan tubuhnya yang jatuh berguling guling di udara, helikopter itu tampak terus membubung semakin tinggi di atasnya. Sementara itu suara mesin pesawat tersebut seperti menghilang dan tertelan suara deru angin yang mengiringi terjun bebas yang dilakukan Langdon. (Brown, 2002:428)
Data 13
Penutup kaca depan yang terbuat dari kain terpal itu tadi tergeletak di bangku belakang helikopter. Penutup itu berbentuk persegi cekung dengan ukuran kira-kira empat kali dua yard dan terlihat seperti kain sprei lebar. Perkiraan terkasar untuk parasut yang bisa dibayangkan Langdon. Tidak ada pengikat tubuh, hanya ada lubang yang berada di setiap ujung yang digunakan untuk mengikatkannya ke kaca depan helikopter itu. Langdon menyambarnya, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang-lubang itu, kemudian memegangnya erat-erat dan meloncat ke dalam kehampaan. (Brown, 2002:429)
Kegelapan menyerbu di bawahnya ... naluri loncat indahnya datang lagi ... gerakan refleks untuk menegakkan tulang belakangnya dan meruncingkan jari kakinya ... menarik napas dalam dalam sehingga membuat paru-parunya menggembung untuk melindungi organ-organ vital di tubuhnya ... menegangkan otot otot kakinya hingga menyerupai tongkat pemukul ... dan akhirnya ... untunglah Sungai Tiber sedang bergejolak sehingga membuat airnya deras dan penuh dengan udara ... dan tiga kali lebih lembut daripada air yang mengalir tenang.
Lalu terjadilah tabrakan itu ... kemudian gelap. (Brown, 2002:431)
”Tenanglah, Pak Langdon. Kamu berada di rumah sakit.”
Kabut mulai terangkat dari kepalanya. Langdon merasa lega sekali. Walau dia membenci rumah sakit, tetapi mereka jelas bukan makhluk luar angkasa yang ingin memotong testisnya.
”Namaku Dr. Jacobus,” kata lelaki itu. Dia menjelaskan apa yang baru saja terjadi. ”Kamu beruntung sekali dapat hidup.”
Langdon sendiri tidak merasa beruntung. Dia hampir tidak dapat memercayai ingatannya sendiri ... helikopter itu ... sang camerlengo. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Mereka memberinya air minum, tapi Langdon hanya berkumur. Mereka membalut telapak tangannya dengan perban baru. (Brown, 2002:435)
Hal yang tak disangka-sangka terjadi setelah sang “Camerlango” diselamatkan, sang “Camerlango” seolah-olah mendegar pemberitahuan dari Tuhan mengenai keberadaan tabung tersebut berlari ketempat dimana tabung itu berada. Setelah berhasil membawa tabung itu keluar dari tempatnya disembunyikan yaitu di dasar gereja Santo Petrus , sang “Camerlango” membawanya kedalam helikopter dengan diikuti oleh Langdon.
Sang “Camerlango” menerbangkan helikopter tersebut setinggi-tingginya hingga keluar dari jangkauan ledakan zat “Antimateri” yang dibawanya. Ketika waktu ledakan hampir tiba dan helikopter sudah berada puluhan mil di atas Vatican City, sang “Camerlango” mengambil parasut lalu terjun bebas untuk menyelamatkan diri dari ledakan. Langdon yang salah persepsi atas rencana “Camerlango” kebingungan. Langdon mengira sang “Camerlango” akan melemparkan tabung itu kesuatu tempat yang jauh dari Vatikan City dan Langdon ingin membantunya, ternyata itu tidak terjadi. “Camerlango” malah meledakkan tabung itu di udara. Langdong yang kebingungan untuk menyelamatkan diri dari ledakan tabung itu akhirnya mengambil sebuah terpal penutup helikopter yang berada di dekatnya kemudian melompat.
Beruntung nasib baik masih bersama Langdon. Dengan menggunakan terpal Langdon melayang di udara. Beberapa saat kemudian tabung itu meledak bersama helikopternya dan menghasilkan tekanan udara panas dan cahaya yang sangat menyilaukan. Langdon merasakan hawa panas dari ledakan itu. Untungnya Langdon jatuh di sungai Tiber dan diselamatkan oleh dokter yang berada di rumah sakit yang berada di dekat sungai Tiber.
Data 14
Di bagian belakang Kapel Sistina, Kardinal Mortati berdiri dengan kepala pusing ketika melihat kekacauan yang terjadi di depannya.
”Itu sebuah keajaiban!” teriak salah satu dari kardinal-kardinal itu. ”Itu tindakan Tuhan!”
”Ya!” yang lain berseru. ”Tuhan telah membuat kehendakNya menjadi nyata!”
”Sang camerlengo akan menjadi paus kita!” yang lain berteriak. ”Dia memang belum menjadi kardinal, tetapi Tuhan telah mengirimkan tanda keajaiban kepada kita semua!”
”Ya!” seseorang menyetujuinya. ”Peraturan yang mengatur rapat pemilihan paus adalah peraturan yang dibuat oleh manusia. (Brown, 2002:439)
Data 15
Suara yang memecah kesunyian adalah suara dari satu-satunya perempuan di dalam Kapel Sistina. ”Kamu membunuh ayahku!” katanya sambil melangkah ke depan. Ketika sang camerlengo berpaling ke arah Vittoria, emosi yang terlihat di wajah perempuan itu adalah hal yang tidak mampu dipahaminya. Terluka? Ya, itu masuk akal. Tapi kemarahan? Jelas Vittoria harus memahaminya. Kejeniusan ayahnya sangat berbahaya. Leonardo Vetra harus dihentikan demi kebaikan umat manusia.
”Ayah mengerjakan pekerjaan Tuhan,” kata Vittoria.
”Pekerjaan Tuhan tidak dikerjakan di dalam laboratorium. Tetapi di dalam hati.” (Brown, 2002:452)
”Para preferitP.” kata Mortati mengulangi pertanyaannya.
”Aku juga berbagi rasa sakit yang sama,” kata sang camerlengo membela diri sambil menunjuk dadanya yang terluka. ”Dan aku juga bersedia mati untuk Tuhan, tapi tugasku baru saja dimulai. Orang-orang kini sedang bernyanyi di Lapangan Santo Petrus.”
Sang camerlengo melihat ketakutan di mata Mortati dan sekali lagi dia merasa bingung. Apakah ini karena morfin itu? Mortati menatap anak kesayangan mendiang Paus di hadapannya ini seolah sang camerlengo-lah yang telah membunuh keempat kardinal itu dengan tangannya sendiri. Aku akan melakukan itu demi Tuhan, pikir sang camerlengo. Tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Aksi itu dilakukan oleh si Hassassin—sebuah jiwa panas yang telah diperdayanya sehingga dia merasa dirinya bekerja untuk Illuminati. Aku Janus, sang camerlengo berkata kepadanya. Aku akan membuktikan kekuasaanku. Dan dia sudah melakukannya. Kebencian si Hassassin membuatnya menjadi bidak Tuhan. (Brown, 2002:454)
Data 16
Di dalam Niche of the Palliums, sang camerlengo mengikuti kehendak Tuhan dan melumuri tubuhnya, rambutnya, wajahnya, dan jubah linennya dengan minyak suci. Sekarang dia basah kuyup karena minyak dari lampu suci yang membuat Niche of the Palliums terang benderang. Aromanya wangi seperti ibunya, tetapi mudah terbakar. Ini akan menjadi kenaikan yang penuh kasih. Ajaib dan cepat. Dan dia tidak akan meninggalkan skandal ... tetapi kekuatan baru dan kekaguman.
Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah pemantik emas yang dibawanya dari Pallium incendiario. Dia membisikkan ayat Pengadilan. Dan ketika api menyala ke arah surga, malaikat Tuhan akan naik bersama api itu.
Ibu jarinya tinggal menekan pemantik itu.
Mereka masih bernyanyi di Lapangan Santo Petrus ....
Malam itu, pemandangan yang disaksikan dunia tidak akan pernah mereka lupakan. Tinggi di atas balkon, seperti jiwa yang membebaskan diri dari penjara tubuhnya, cahaya api muncul dari tubuh sang camerlengo. Api itu meluncur ke atas dan dengan cepat membungkus tubuhnya. Dia tidak menjerit. Dia mengangkat tangannya dan menatap ke arah surga. Kobaran api itu menyelimutinya secara keseluruhan sehingga membentuk pilar cahaya. Api itu mengamuk seperti tidak akan pernah padam. Seluruh dunia menyaksikannya. Sinar itu menyala lebih terang lagi. Lalu sedikit demi sedikit, api itu padam. Sang camerlengo menghilang. Apakah dia terjatuh di balik bingkai pintu atau menguap bersama udara tipis di sekkarnya, sulit untuk diketahui. Yang tersisa hanyalah awan asap yang berputar ke angkasa di atas Vatican City. (Brown, 2002:469)
Data 17
Dengan gerakan yang luwes, Vittoria sudah berada di atas Langdon dan menindihnya. ”Kuharap kamu percaya pada kehidupan setelah mati, Robert Langdon.”
Vittoria tertawa ketika dia menduduki Langdon. Tangannya menahan tangan lelaki itu agar tidak bergerak, matanya berkilat-kilat nakal.
”Sesungguhnya,” Langdon mulai tertawa sekarang, ”aku selalu memiliki masalah dalam membayangkan hal-hal yang supranatural seperti itu.”
”Ah, benarkah? Jadi kamu belum pernah mengalami pengalaman religius seperti momen yang agung?”
Langdon menggelengkan kepalanya. ”Tidak, dan aku ragu kalau aku termasuk jenis orang yang bisa mengalami pengalaman religius seperti itu.”
Vittoria menanggalkan jubahnya. ”Kamu pasti belum pernah tidur dengan guru yoga.” (Brown, 2002:480)
Akhirnya Vatican City, para kardinal, dan seluruh penduduknya terselamatkan. Setelah semuanya berakhir rapat pemilihan Paus pun dilanjutkan. Seluruh kardinal hampir menjadikan “Camerlango” sebagai paus baru, namun Langdon datang dengan membawa fakta baru bahwa otak dibalik teror Vatican City, pembunuhan terhadap paus sebelumnya, dan pembunuhan terhadap para kardinal yang sebenarnaya adalah si “Camerlanggo” itu sendiri dengan berkedok Illuminati. Setelah semuanya terbongkar “Camerlango” Carlo Ventresca mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya sendiri. Akhirnya rapat pemilihan paus baru menetapkan kardinal Mortatti sebagai paus yang baru. Langdon dan Vittoria pun juga hidup berbahagia.
silakan klik di sini jika  ingin filenya....!


Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA