Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i Serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam







PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                : Ahmad Darik
Nim                   : 2122023310005
Fakultas           : Syari’ah
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (AS)
Judul Skripsi   : Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i Serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya buat ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri; bukan pengambilalihan milik orang lain yang saya akui sebagai hasil karya saya sendiri. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya siap menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

                      Malang, 15 Mei 2016
                      Yang menyatakan,


                     AHMAD DARIK
                   NIM. 2122023310005






PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah memeriksa dan menelaah aspek materi dan metode penelitian pada naskah skripsi:
Judul                    :Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i Serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
Nama Peneliti      : Ahmad Darik
NPM                    : 2122023310005
Program Studi     : Ahwal Al-Syakhsiyyah (AS)
Maka saya nyatakan bahwa naskah skripsi tersebut telah memenuhi syarat untuk diujikan dalam siding ujian skripsi (Munaqosah).


Malang,01 Mei 2016.

Mengetahui:
Kaprodi AS                                                                                                               Pembimbing


H. Bahrul Ulum, M.A.                                                                                          H. Bahrul Ulum, M.A.
                                                                








PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul      : Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i Serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
Nama Peneliti      : Ahmad Darik
Nim                     : 2122023310005
Fakultas               : Syari’ah
Program Studi     : Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (AS)
Dinyatakan telah memenuhi syarat untuk disahkan.
                                                                                                                               Malang,
                    Ketua Sidang                                                                             Sekretaris Sidang


                  ………………………….                                                       ………………………
Penguji Utama


…………………………..
Mengesahkan:
Rektor IAI Al-Qolam

Drs. Muhammad Adib, M.Ag.
NIY. 1999.01.024





MOTTO

لَقَدْ خَلَقْنَا الِانْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمِ (التين: 4)
Artinya: Sungguh telah kami ciptakan manusia pada bentuk yang terbaik.(Q.S. Al-Qolam: 4)

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمِ (القلم: 4)
Artinya: Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. Al-Qolam: 4)

مَا مِنْ شَيئٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ العَبْدِ المُؤْمِنِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ, وإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الفَاحِشَ البَذِيِّ. (رواه الترمذي)
Artinya: Tidak ada sesuatu apapun yang lebih memberatkan timbangan kebaikan hamba yang beriman pada hari qiyamat melebihi karakter yang baik. Sungguh Allah membenci orang yang berlaku keji yang suka berkata kotor. (HR. Tirmidzi)






KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan ridha-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan studi dan menulis tugas akhir pada Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Faultas Syari’ah Institut Agama Islam Al-Qolam.
Selama masa studi dan proses penulisan ini, mulai pengumpulan data berupa bahan-bahan kepustakaan serta pengolahan hasil penelitian sampai tersajinya tulisan ini, penulis telah banyak mendapat sumbangan pemikiran dan tenaga yang tidak ternilai harganya Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh keikhlasan menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu.
Mengingat terbatasnya waktu, biaya, serta pengalaman penulis, sudah barang tentu tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian ini adalah hasil maksimal yang dapat penulis upayakan. Untuk itu, selain memohon maaf atas keterbatasan dan kekurangannya, penulis juga memohon masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif dalam rangka penyempurnaannya.
Akhirnya, semoga tulisa ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.


Malang, 03 April 2016

Ahmad Darik









ABSTRAKS
Ahmad Darik, 2122023310005, “Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i Serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam”. Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. Fakultas Syari’ah. IAI Al-Qolam Malang. Dosen Pembimbing : H. Bahrul Ulum, M.A. Mei 2015.
Kata kunci : Hukum, Kewarisan, Syafi’iyyah, Kompilasi Hukum Islam.
Kepastian hukum, keadilan, dan persamaan hak adalah pokok-pokok persoalan penting yang menjadi latar belakang dalam pengkajian terhadap tiga teori   hukum  kewarisan  Islam  di  Indonesia.  Tesis  ini  mengungkapkan permasalahan tersebut secara komparatif. Tujuan utama penelitian ini untuk mengungkapkan   beberapa   masalah   disekitar   kewarisan KHI   dan membandingkannya dengan teori Syafi'i.
Sesuai  metode  pendekatan  yang  digunakan  yaitu  yuridis  normatif didukung oleh yuridis historis dan yuridis komparatif maka datanya disajikan secara kualitatif dengan menggunakan analisa deskriptif dan preskriptif, yang bertitik tolak dari analisa yuridis, sistematis, dan analisa komparatif.
Dari   hasil   penelitian   diperoleh   kenyataan   bahwa   kedua   teori menggolongkan ahli waris atas tiga golongan, mengenal ahli waris pengganti, mengenal rad, mengenal hijab, mempertahankan porsi bagian warisan-2:1. Perbedaannya, teori Syafi'i diskriminasi dalam menentukan ahli waris, dan KHI walau bercorak bilateral namun masih mengandung sifat diskriminasi. Perbedaan lain, KHI dan Syafri membedakan arti kalalah An Nisa ayat 11 dan 12 baik dari segi keadaan pewaris maupun peruntukannya bagi ahli waris. Terhadap rad, waris pengganti, wasiat dan hibah serta beberapa hal yang lain, kedua   teori juga berbeda pendapat. Adapun keunggulan dan kelernahan masing-masing teori terletak pada pebedaan-perbedaan tersebut.
Khusus kewarisan KHI, pengaturannya yang terlalu simpel dan ragu dalam menentukan besarnya bagian ahli waris pengganti, dapat menjadi penghambat upaya memberikan keadilan dan persamaan hak kepada semua kerabat dalam perolehan warisan. Selain itu, hal ini.juga dapat menjadi sumber lahirnya putusan yang sating berdisparitas yang berdampak pada ketidakpastian hukum.













DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... i
ABSTRAK..................................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang................................................................................. 1
1.2         Rumusan Masalah............................................................................
1.3         Tujuan Penelitian..............................................................................
1.4         Manfaat Penelitian...........................................................................
1.5         Sistematika Penulisan.......................................................................
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1         Tijauan Umum Hukum Kewarisan Islam ........................................
2.1.2      Pengertian Hukum Kewarisan Islam................................................
2.1.3      Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.......................
2.2         Sebab-sebab Adanya Hak Waris......................................................
2.3         Unsur (Rukun) dan Syarat-Syarat Kewarisan .................................
2.4         Sumber Hukum Kewarisan Islam ...................................................
2.4.1      Al Qur'an .........................................................................................
2.4.2      Al Hadits atau Sunnah Rasul ..........................................................
2.4.3      Ijtihad...............................................................................................
BAB II METODE PENELITIAN
3.1         Ruang Lingkup................................................................................
3.2         Metode Pendekatan ........................................................................
3.3         Spesifikasi Penelitian ......................................................................
3.4         Jenis dan Sumber Data ....................................................................
3.5         Metode Pengumpulan Data ............................................................
3.6         Penyajian Data dan Analisa.............................................................
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1         Diskriminasi Dalam Hukum Kewarisan KHI .................................
4.1.1      Ahli Waris Dan Penggolongannya ..................................................
4.1.1.1   Dzawil Furudl .................................................................................
4.1.1.2   Asabah ............................................................................................
4.1.1.3   Ahli Waris Pengganti ......................................................................
4.1.2      Keutamaan Antar Sesama Ahii Waris .............................................
4.1.3      Bibi Selaku Kerabat Pewaris Diwarisi Namun Tidak Berhak Mewaris.     
4.2       Kedudukan Ahli Waris Pengganti Menurut Pasal 185 KHI dan Polemik Dalam Pemahamannya   
4.2.1      Waris Pengganti Mengurangi Diskriminasi dan Memberi Rasa Adil
4.2.2      Waris Pengganti Menurut Pasal 185 KHI .......................................
4.2.5      Implikasi Waris Pengganti Terhadap Ahli Waris Yang Lain ..........
4.3       Persamaan dan Perbedaan Hukum Kewarisan KHI dengan Hukum Kewarisan Syafi'i dan Rinciannya.    
4.3.1.     Hukum Kewarisan Patrilinial ..........................................................
4.3.1.1   Ahli Waris dan Penggolongannya....................................................
 4.3.1.1.1Dzawil Furudl ................................................................................
4.3.1.1.2. Asabah ...........................................................................................
 4.3.1.1.3. Dzawil Arham ..............................................................................
4.3.1.2 Hijab ..................................................................................................
4.3.1.2.1. Hijab Nuqshan ...............................................................................
4.3.1.2.2. Hijab Hirman .................................................................................
4.4         Keunggulan dan Kelemahan Kewarisan KHI dan Syafi'i ..............
4.4.1      Hak Saling Mewaris.........................................................................
4.4.2      Kedudukan dan Hak Waris Ayah ................................................... 82
4.4.3      Arti Kalalah...................................................................................... 83
4.4.4      Rad dan Gharawain......................................................................... 91
4.4.5      Anak perempuan atau cucu perempuan menutup hak waris saudara 92
4.4.6      Wasiat dan Hibah............................................................................. 93
BAB V PENUTUP
5.1         Kesimpulan ..................................................................................... 95
5.2         Saran................................................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 102










BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum Islam yang sumbernya diambil dan digali dari Al-Qur'an, Al-Hadits dan Ijtihad para ahli sesuai amanat yang terkandung dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 59 dan Hadits Mu'az bin Jabal. Oleh karena Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, maka para ahli fara'idl dalam menetapkan garis hukum tentang kewarisan pertama akan melihat. pada Al-Qur'an, jika tidak ditemukan ketentuannya akan melihat kepada Hadits, dan jika tidak ditemukan juga maka para ahli akan menentukan sendiri garis hukumnya melalui Ijtihad.
            Al Qur'an sebagai sumber hukum, ayat-ayatnya yang mengatur tentang kewarisan tidak dapat langsung diterapkan, melainkan harus dipelajari dan dipahami secara seksama ayat demi ayat yang terkait satu dengan yang lain, atau harus dipelajari dan dipahami arti dan makna kata-katanya, seperti kata "walad" dalam surat An-Nisa ayat 11, atau kata "kerabat" dalam Surat An-Nisa ayat 7 dan 33, Surat Al-Anfal ayat 75 dan Al-Ahzab ayat 6, atau jenis hubungan persaudaraan yang dimaksud dalam Surat An-Nisa ayat 12 dan 176, atau masalah sisa harta (rad) yang belum ada pengaturannya di dalam al Qur'an dan Hadits, atau masalah kakek dan saudara dan lain-lain agar setiap orang selaku ahli waris dapat memperoleh haknya secara adil dan benar.
            Dalam rangka upaya pemahaman terhadap ayat-ayat kewarisan tersebut, maka muncullah pendapat-pendapat yang berbeda antara para ahli fara'idl dari golongan satu (ahlussunnah) dengan golongan yang lain (Syi'ah atau dhahiri), bahkan antara para ahli fara'idl yang berada dalam satu golongan seperti antara Imam Hanaft, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hambali, dan jugs para murid atau pengikut-pengikutnya. Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang populer (dianut) di Indonesia adalah pendapat Imam Syafi'i sesuai surat edaran kepala Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI tanggal 18 Februari 1958 nomor B/I/735.
            Sejalan dengan upaya untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, Hazairin pada pertengahan tahun 50-an telah memperkenalkan teori hukum kewarisan Islam basil ijtihadnya yang bercorak bilateral. Teori Hazairin ini sudah barang tentu berbeda dengan paham kewarisan syafi'i yang bercorak patrilineal. Ciri dari hukum kewarisan patrilineal Syafi'i adalah pertama ada diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas. Sedangkan ciri dari kewarisan bilateral Hazairin adalah pertama tidak ada diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli waris tidak terbatas.
Ciri atau perbedaan lain antara keduanya adalah penafsiran terhadap QS IV (an Nisa) ayat 12 dan 176 (kalalah). Menurut Syafi'i an Nisa ayat 176 adalah perolehan hak waris untuk saudara sekandung dan seayah, sedangkan an Nisa ayat 12 perolehan hak waris untuk saudara seibu. Hazairin tidak membedakan kedua ayat tersebut menurut jenis hubungan persaudaraan. Ayat 12 untuk semua jenis saudara (seibu, sekandung, dan seayah) dan ayat          176 juga untuk semua jenis saudara. Perbedaan antara kedua ayat ini adalah ayat 12 saat pewaris mempunyai ayah, dan ayat 176 saat pewaris tidak mempunyai ayah, dan lain-lain perbedaan.
Tindak lanjut dari upaya pembaharuan terhadap hukum kewarisan Islam ialah, pada tahun 1988 lahir kompilasi hukum Islam yang buku ke-II nya mengatur tentang kewarisan. Walau hukum kewarisan kompilasi hukum Islam tidak sama persis dengan hukum kewarisan bilateral Hazairin, namun antara keduanya ada kesamaan ciri dasarnya yaitu dalam hal penggantian, pertama tidak ada diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli warisnya tidak terbatas. Sedangkan perbedaannya dengan kewarisan Hazairin ialah tentang penafsiran terhadap kalalah QS IV (an Nisa) ayat 12 dan 176, karena KHI mengikuti paham Syafi'i.
Dengan demikian berarti masyarakat Islam Indonesia telah mengenal atau memiliki 3 macam teori hukum kewarisan Islam, yaitu hukum kewarisan patrilineal Syafi'i, hukum kewarisan bilateral Hazairin dan hukum kewarisan KHI. Diantara ketiganya, yang berlaku atau paling tidak diinstruksikan untuk dijadikan sebagai pedoman oleh instansi pemerintah utamanya para Hakim di lingkungan Pengadilan Agama dan masyarakat Islam yang memerlukannya adalah hukum kewarisan KHI, sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991. Namun demikian, hukum kewarisan Syafi'i disana-sini masih tetap dipergunakan, tidak saja oleh masyarakat Islam, melainkan juga oleh para Hakim di lingkungan Peradilan Agama sendiri. Oleh karena itu, make hukum kewarisan Syafi'i ini masih sangat relevan untuk dipelajari. Sedangkan hukum kewarisan Hazairin, walau tidak diterima oleh sebagian besar kalangan ahli fara'idl di Indonesia, namun ada bagian-bagian dari hukum kewarisan ini yang kebenaran argumentasinya tidak dapat dibantah. O1eh karenanya dalam rangka pengkajian secara akademis teori ini masih sangat perlu dan relevan untuk dipelajari.
Mempelajari dan mengungkapkan ketiga teori hukum kewarisan Islam tersebut secara bersamaan dalam satu pembabasan adalah penting, tidak hanya sekedar usaha untuk membandingkannya satu dengan yang lain serta mencari kelemahan dan keunggulan masing-masing, tetapi juga dalam rangka pemahaman terhadap  hukum  kewarisan  Islam  secara komprehensip  yakni  pemahaman terhadap  konsep  dasar hukum kewarisan Islam beserta teori-teorinya (ins constituendum) dan hukum kewarisan Islam yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia (ius constitutum). Dan dari segi praktis, kewarisan KHI berfungsi sebagai hukum terapan, sedangkan hukum kewarisan Syafi'i dan Hazairin dapat merupakan doktrin-doktrin yang dapat dipilih guna mengisi kekosongan (rectsvacuum) terhadap KHI yang secara normatif belum membahas tuntas semua permasalahan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Hukum   kewarisan   KHI   sebagai   hukum   kewarisan  baru,   ada kecenderungan Pasal-Pasalnya ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran oleh para ahli, pengamat dari kalangan praktik sendiri sesuai sudut pandang masing-masing, terutama Pasal 185 yang intinya menegaskan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukanya dapat digantikan oleh anaknya (ayat 1). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahlli waris yang sederajat dengan yang diganti (ayat 2).
Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai persamaan dan perbedaan hukum kewarisan dalam Syafi’iyah dengan hukum kewarisan Kompilasi Hukum Islam agar tidak terlalu panjang dan meluas.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis memberi judul pada penelitian ini dengan “Hukum Kewarisan dalam Madzhab Syafi’i serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam”.
1.2  Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang penelitian yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah ;
1.      Bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara Hukum Kewarisan Syafi'i dan Hukum Kewarisan KHI?
2.      Dimanakah letak keunggulan dan kelemahan teori Hukum Kewarisan Syafi'i dan Hukum Kewarisan KHI?

1.3  Tujuan Penelitian
           Dengan mengacu pada permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui, dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan antara Hukum Kewarisan Syafi’i,dengan Hukum Kewarisan KHI.
2.      Untuk mengetahui dan mengungkapkan keunggulan dan kelemahan dari Hukum Kewarisan Syafi’i dan Hukum Kewarisan KHI.
1.4  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.        Secara  teoritis,  merupakan  sumbangan  pemikiran (kontribusi) berupa perbendaharaan dalam bentuk konsep-konsep pemikiran, pemahaman, atau teori dalam khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum kewarisan Islam khususnya, terutama sekali menyangkut aspek-aspek hukum yang timbul dari masalah kewarisan dan kekeluargaan akibat kematian pewaris yang secara normatif dasar-dasar atau sumbernya telah ada dalam Al-Qur'an. Hadits dan Ijtihad para ahli, kemudian dikaji dan telah diformat dalam bingkai hukum kewarisan KHI dan Syafi'i, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukan dan kajian informasi yang bersifat ilmiah guna penyempurnaannya.
2.        Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam rangka mewujudkan keinginan atau rencana untuk menjadikan KHI sebagai hukum terapan, dan bagi para praktisi hukum yakni Hakim, pengacara di lingkungan Peradilan  Agama,  serta  masyarakat  Islam  lainnya  yang  memerlukan, diharapkan dapat mengambil manfaat dan menjadi masukan dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah kewarisan, sehingga setiap orang selaku ahli waris dapat memperoleh haknya secara adil dan benar sesuai tuntutan Syari'ah.

1.5  Sistematika Penulisan
            Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaki Bab I Pendahuluan, Bab II Tinjauan Umum Hukum Kewarisan Islam, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Uraian Tentang Hasil Penelitian, dan Bab V Penutup.
            Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
            Bab II merupakan bab Tinjauan Umum Hukum Kewarisan Islam. Bab ini menguraikan dasar-dasar dan teori-teori tentang hukum kewarisan Islam pada umumnya meliputi pengertian hukum kewarisan Islam, unsur dan syarat-syarat kewarisan, sumber hukum kewarisan sebab dan penghalang kewarisan serta azas-azas hukum kewarisan Islam.
            Bab III merupakan penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini, yakni penjelasan tentang ruanglingkup, metode pendekatan, spesipikasi penelitian, jenis dan sumber data, metode atau teknik pengumpulan data, serta penyajian dan analisis data.
            Bab IV merupakan pengungkapan tentang hasil dan pebahasan yang terdiri dari uraian mengenai diskriniinasi dalam hukum kewarisan KHI. Uraian mengenai kedudukan dan hak mewaris bagi ahli waris pengganti menurut Pasal 185 ayat 1 KHI dan perbedaan pendapat dalam penafsirannya. Uraian mengenai istilah dan dasar hukum pemberian porsi sama besar kepada cucu dari anak lakilaki dan anak perempuan pewaris. Uraian mengenai persamaan dan perbedaaan antara hukum kewarisan KHI dan hukum kewarisan Syafi'i serta rinciannya, dan uraian mengenai keunggulan dan kelemahan kedua teori hukum kewarisan tersebut. Dan Bab V merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.










BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Tijauan Umum Hukum Kewarisan Islam
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
2.1.1 Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 15)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Hukum yang mengatur tentang harta warisan tersebut dalam ilmu hukum dinamakan hukum kewarisan, yang di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah faraidl, bentuk jamak dari kata tunggal faridlah. Karena faridlah berarti suatu bagian tertentu maka faraidl dapat berarti beberapa bagian tertentu atau bagianbagian tertentu.  Bagian-bagian tertentu itu diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, dan orang-orang tertentu tadi menerima bagian tertentu untuk kasus atau dalam keadaan tertentu. Dengan demikian, faraidl dapat diartikan bagian-bagian tertentu untuk orang-orang tertentu dalam kasus atau keadaan tertentu pula.
Adapun pengertian hukum kewarisan Islam itu sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat pada Pasal 171a yaitu, hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli warts dan berapa bagiannya masingmasing. Sedangkan menurut Amir Syarifuddin[1]
Hukum kewarisan Islam ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada Wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam istilah Arab disebut Faraidl.
Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang cara-cara peralihan hak milik atas harta warisan dari tangan pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dan pengaturan tersebut dilakukan dengan cara menentukan siapa-siapa yang berhak mendapat warisan, berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya. Orang yang meninggal dunia meninggalkan harta warisan disebut pewaris, harta yang ditinggalkan disebut harta warisan atau harta peninggalan atau tirkah, dan orang-orang yang berhak mendapatkan harta tersebut disebut ahli waris.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa ajaran kewarisan Islam berbeda dengan ajaran kewarisan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), dimana menurut ajaran kewarisan Islam peralihan atau yang dialihkan hanya terbatas pada (peralihan) hak untuk menerima harta warisan, tidak diikuti dengan peralihan beban kewajiban yang ditinggal mati oleh pewaris, sedangkan menurut ajaran kewarisan KUH Perdata, para ahli waris tidak semata-mata diberi hak untuk mewarisi harta tetapi juga berkewajiban memikul beban antara lain berupa hutang yang ditinggal mati oleh pewaris, hal tersebut sejalan dengan pengertian hukum kewarisan yang dirumuskan oleh Wirjono Prodjodikoro, yakni "soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup".[2]
Dalam  hukum  kewarisan  Islam  memang  ada  kewajiban  untuk menyelesaikan  masalah  hutang,  belanja  kematian  dan  lain-lain,  namun penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan harta warisan yang ada, dan kewajiban tersebut pemenuhannya terbatas pada jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Jika beban kewajiban yang ditinggalkan oleh pewaris melebihi jumlah  harta  warisan,  maka  para  ahli  waris  tidak  berkewajiban  untuk mencukupkannya. Namun jika ada ahli waris secara suka rela memenuhi kewajiban  tersebut  secara  penuh,  menurut  Islam  itu hanyalah  merupakan kebajikan, bukan kewajiban.
2.1.2 Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1.      Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2.      Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3.      Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4.      Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
2.2 Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1.      Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.      Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.      Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
2.3 Unsur (Rukun) dan Syarat-Syarat Kewarisan
Pewaris (al Muwarris), ahli waris (al Waris), dan harta warisan (al Maurus) adalah tiga rukun kewarisan dalam Islam. Sedangkan syarat kewarisan adalah syarat-syarat yang ditetapkan untuk semua rukun kewarisan tersebut.
Pewaris adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang telah meninggal dunia.  Syaratnya, pertama orang yang meninggal itu beragama Islam (Pasal 171 huruf b KHI), kedua mempunyai harta yang dapat diwarisi oleh para ahli warisnya, dan ketiga, orang tersebut benar-benar telah meninggal dunia baik dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), secara yuridis (hukmi), atau berdasarkan sangkaan ahli (taqriry). Mati hakiki dapat diartikan sebagai kematian yang terjadi dengan segala sebab, nyata dan tanpa memerlukan proses pembuktian. Mati hukmy  merupakan kematian yang dipersangkakan secara yuridis terhadap seseorang yang tidak diketahui secara pasti tentang mati hidupnya seperti dalam kasus seseorang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadaannya, namun dengan keputusan pengadilan ia dinyatakan telah meninggal dunia. Dan mati taqriry dapat diartikan sebagai kematian seseorang atas persangkaan yang dianggap pasti, misalnya seorang serdadu yang hilang dalam peperangan, penumpang kapal yang tenggelam, penumpang pesawat yang terjatuh dan sebagainya yang tidak diketemukan.
Ahli waris merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sejumlah orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, yakni hubungan kelurga, perkawinan atau hubungan lainnya. Syarat menjadi ahli waris adalah, pertama beragama Islam (Pasal 171 huruf c KHI), kedua ia hidup saat pewaris meninggal dunia atau jika ia meninggal lebih dahulu ada anak atau cucu sebagai penggantinya (lihat Pasal 185 ayat (1) KHI), dan ketiga tidak terhalang untuk mendapatkan warisan.
Harta warisan (al Maurus) adalah segala sesuatu yang ditinggal mati oleh pewaris, baik berupa harta benda maupun hak-hak yang menjadi milik atau kepunyaan pewaris semasa hidupnya, termasuk klaim asuransi. Namun terhadap klaim asuransi berlaku adagium lex spesialis derogat lex generale. Istilah lain yang juga lazim dipergunakan ialah "tirkah". Istilah ini biasanya dipergunakan untuk harta warisan yang belum dimurnikan, yakni belum dikeluarkan hak-hak yang ada hubungannya dengan harta warisan tersebut, dan dalam KHI disebut harta peninggalan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian pewaris, ahli waris dan harta warisan dimuat dalam Pasal 171 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal  berdasarkan  keputusan  pengadilan,   beragama  Islam, meninggalk-an ahli waris dah harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah  digunakan  untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
2.4       Sumber Hukum Kewarisan Islam
Sebagai bagian dari hukum Islam, hukum kewarisan Islam mempunyai sumber yang sama dengan sumber htikum Islam. Untuk itu, dengan mengacu pada Al-Qur'an Surat IV (an Nisa) ayat 59 dan Hadits Mu'as bin Jabal, sumber hukum kewarisan Islam itu ada tiga yaitu Al-Qur'an, Al-Hadits atau Sunnah Rasul dan Ijtihad para ahli. Dari ketiga sumber hukum inilah ketentuan-ketentuan tentang kewarisan itu digali dan dikembangkan.
2.4.1 Al Qur'an
Menurut keyakinan umat Islam sebagaimana diungkapkan oleh Maurice 2Bucaille (1979: 185)[3] Al Qur'an adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman-firman) Allah Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Sebagai sumber hukum, Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaedah hukum fundamental, yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan sesuai keperluan menurut waktu, tempat serta keadaan.
Di bidang kewarisan, ayat-ayat Al-Qur'an ada yang memuat ketentuan yang telah jelas dan terinci mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing seperti tertuang dalam surat an Nisa ayat 11, 12 dan 175, dan ada pula ayat-ayat yang memuat ketentuan kewarisan yang bersifat umum seperti tertuang dalam surat An-Nisa ayat 7 dan 33, Al-Anfal ayat 75, dan Al-Ahzab ayat 5. Ayat-ayat kewarisan yang bersifat umum selain memuat ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar adanya hak saling mewaris antara pewaris dan ahli waris, juga dijadikan sebagai dasar bagi kemungkinan adanya ahli waris lain (yang tidak disebut dalam surat an Nisa ayat 11, 12 dan 175) dari kalangan keluarga yang dalam keadaan tertentu berhak mendapat warisan. Oleh karena itu ayat-ayat tersebut perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.
Adapun ayat-ayat al Qur'an yang mengatur tentang kewarisan secara jelas dan rinci adalah sebagai berikut :
1.      Surat An Nisa ayat 11 :
Ayat ini mengatur perolehan warisan bagi anak, ibu, dan bapak serta soal wasiat dan hutang. Tafsirnya adalah sebagai berikut:[4]
“Allah menyareatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu : bahagian seorang anak lald-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,  maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan,  jika  anak perempuan  itu  seorang  saja,  maka  ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak ; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),  maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)   orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui  siapa  diantara  mereka  yang  lebih  dekat (banyak) manfa 'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Surat An-Nisa ayat 11 ini menetapkan beberapa garis hukum yaitu :
a.       Anak perempuan jika hanya seorang saja bagiannya seperdua harta.
b.      Jika anak perempuan itu ada dua orang atau lebih bagiannya dua pertiga.
c.       Jika anak perempuan itu bersama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan.
d.      Ibu dan bapak bagiannya masing-masing seperenam harta jika pewaris mempuyai anak.
e.       Jika pewaris tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka bagian Ibu sepertiga harta.
f.       Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam harta.
g.      Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah dikeluarkan wasiat dan hutang pewaris.

2.      Surat An Nisa ayat 12
Ayat ini mengatur perolehan warisan bagi duda, janda dan saudarasaudara serta soal wasiat dan hutang. Tafsirnya adalah sebagai berikut :[5]
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isteri itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dia penuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutang. Jika seseorang matt, balk laki-laki maupun  perempuan  yang  tidak  meninggalkan•  ayah   dan   tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laid (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.  Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dart seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member! mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagal) syari'at yang benar-benar  dari  Allah,  dan Allah  Maha Mengetahui lag! Maha Penyantun.
Menurut kalangan Ahlussunnah Wal Jama'ah, Surat an Nisa ayat 12 ini adalah perolehan warisan bagi saudara seibu disamping duda dan janda. Garis Hukumnya adalah :
a.       Duda bagiannya seperdua harta jika pewaris tidak mempunyai anak.
b.      Jika pewaris mempunyai anak maka bagian duda seperempat harta.
c.       Janda bagiannya seperempat harta jika pewaris tidak mempunyai anak.
d.      Jika pewaris mempunyai anak maka bagian janda seperdelapan harta.
e.       Saudara (seibu) bagiannya seperenam harta jika hanya seorang saja.
f.       Jika saudara (seibu) itu ada dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama memperoleh sepertiga harta.
g.      Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah dikeluarkan wasiat dan hutang pewaris.

3.      Surat An Nisa ayat 175
Ayat ini menerangkan tentang arti kalalah  dan mengatur perolehan warisan untuk saudara (sekandung atau sebapak) dalam hal kalalah. Tafsirnya adalah sebagai berikut :[6]
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seseorang meninggal dunia, dan is tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laid mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika is tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dart harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli  waris  itu  terdiri  dari)  saudara-saudara  laki  dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua  orang saudara perempuan.  Allah  menerangkan (hukum  ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Menurut kalangan Ahlussunnah Wal Jama'ah, surat an Nisa ayat 175 ini diperuntukkan bagi saudara sekandung dan seayah, dan garis hukumnya adalah :
a.       Saudara  perempuan jika hanya  seorang saja dan pewaris tidak mempunyai anak, bagiannya seperdua harta.
b.      Jika saudara perempuan itu ada dua orang atau lebih dan pewaris tidak mempunyai anak, bagiannya dua pertiga harta.
c.       Jika saudara perempuan itu mewaris bersama saudara laki-laki dan pewaris   tidak   mempunyai   anak,   maka  mereka  bersama-sama menghabiskan semua harta dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
Ajaran kewarisan patrilinial Syafi'i dan Kompilasi Hukum Islam sama pendiriannya dengan Ahlussunnah Wal Jamaah, menafsirkan surat an Nisa ayat 12 untak saudara seibu dan surat an Nisa ayat 175 untuk saudara sekandung  dan  seayah,  dengan garis hukum  seperti tersebut di atas.
Di samping ayat-ayat yang mengatur kewarisan secara jelas dan rinci, ada pula ayat-ayat al Qur'an yang hanya memuat ketentuan dasar yang bersifat umum. Ayat ini seperti telah dikemukakan di atas selain menjadi dasar bagi adanya hak saling mewarisi antara pewaris dan ahli waris, juga dapat menjadi dasar bagi kemungkinan adanya ahli waris lain dari kalangan keluarga yang tidak disebut di dalam surat an Nisa ayat 11, 12, dan 175, tetapi dalam keadaan tertentu berhak mendapat warisan. Ayat-ayat tersebut adalah :
4.      Surat An Nisa ayat 7
Ayat ini menerangkan tentang adanya hak waris baik bagi laki-laki maupun perempuan terhadap harta warisan ibu, ayah dan kerabatnya, sedikit atau banyak menurut cara yang telah ditentukan. Tafsirnya adalah:[7]
"Bagi orang laki-laid ada hak bagian dare harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan".
5.      Surat An Nisa ayat 33
Ayat ini menerangkan bahwa Allah menjadikan pewaris-pewaris (ahli waris) bagi tiap-tiap harta peninggalan yang ditinggal mati oleh ibu bapak dan kerabat. Tafsirnya adalah :[8]
"Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta ditinggalkan  ibu  Bapak  dan  karib  kerabat,  Kami jadikan pewarispewarisnya. Dan (jika ada) orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,  berilah kepada   mereka  bahagiannya.  Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Ahli waris-ahli waris yang dimaksud dalam surat an Nisa ayat 33 ini menurut kalangan Ahlussunnah dan ajaran patrilinial Syafi'i adalah ahli waris-ahli waris yang disebut dalam surat an Nisa ayat 11, 12 dan 175.
6.      Surat Al Anfal ayat 75
Ayat ini menerangkan bahwa yang menjadi dasar kewarisan (waris zeal  waris)  dalam  Islam  ialah  hubungan  keluarga,  bukan hubungan persaudaraan antara sesama Muslim semata-mata seperti yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam. Tafsirnya adalah sebagai berikut:[9]
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, keniudian berhijrah dan berjihat bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
7.      Surat Al Ahzab ayat 5
Ayat ini menerangkan tentang keutamaan ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dibandingkan dengan hubungan antara sesama Muslim atau hubungan seagama dalam perolehan harta warisan. Keinginan untuk berbuat balk kepada sesama Muslim dapat dilakukan dengan jalan wasiat, bukan melalui pemberian hak untuk saling mewaris. Tafsirnya adalah sebagai berikut :[10]
Orang-Orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewaris) di dalam kitab Allah dari pada orang-orang yang Mukrnin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau  kamu berbuat balk kepada saudara-saudara (seagama). Adalah yang demikian itu lebih tertulis dalam kitab (Allah).
Ayat-ayat  al  Qur'an lain yang ada kaitannya dengan masalah kewarisan langsung atau tidak langsung dapat dibaca dalam surat al Bagarah ayat 180, surat al Bagarah ayat 240, surat an Nisa ayat 8, surat an Nisa ayat 33, dan lain-lain.
Jadi berbeda dengan sistem kewarisan kolektif, karena disini harta warisan diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum, dan kepada para ahli waris hanya diberikan berupa semacam hak  pakai  saja,  seperti  dapat dilihat pada masyarakat matrilinial  di Minangkabau. Dan juga berbeda dengan sistem kewarisan mayorat, karena disini ada hak mayorat yakni hak tunggal anak tertua untuk mewarisi seluruh harta atau sejumlah harta pokok dari suatu keluarga, seperti dapat dilihat pada masyarakat patrilinial beralih-alih di Bali (anak laki-laki tertua) dan di tanah Semendo Sumatra Selatan (anak perempuan tertua).
2.4.2 Al Hadits atau Sunnah Rasul
Hadits atau Sunnah Rasul adalah sumber hukum Islam kedua setelah al Qur'an, berupa perkataan (Sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah filiyah) dan sikap  diam (Sunnah  taqririyah  atau  sukutiyah)  Rasulullah yang  tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al Qur'an." Hadits atau Sunnah Rasul disatu sisi dapat merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri, dan disisi yang lain tidak merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri karena sifat gandulannya terhadap Al-Quran.[11]
Sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri Hadits atau Sunnah Rasul berfungsi sebagai pengisi kekosongan dan membawa hukum bare, contohnya adalah hadits yang memberikan seperenam harta untuk nenek atas warisan cucunya. Ketentuan ini tidak dijumpai didalam al Qur'an. Dan sebagai sumber hukum yang tidak berdiri sendiri hadits atau sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an agar ketentuannya dapat dipahami dan direalisir ke dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketentuan Al-Qur'an tentang kewarisan.
Adapun hadits atau sunnah yang ada hubungannya dengan hukum kewarisan antara lain adalah:
1.      Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, terjemahannya adalah :[12]
"Berikanlah  bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laid-laid yang lebih utama".
2.      Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad dan  Jabir, terjemahannya adalah :[13]
Janda Saad ibn Rabi datang kepada Rasul SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu is berkata : Ya Rasul Allah, ini ada dua orang anak perempuan Saad yang telah gugur dalam peperangan bersama anda di Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta. Nabi berkata: Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian itu. Sesudah  itu  turunlah  ayat-ayat  tentang  kewarisan.  Kemudian  Nabi memanggil si paman dan berkata : Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Saad, seperdelapan untuk jandanya dan yang sisanya adalah untukmu.
3.      Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Surabil, terjemahannya adalah:[14]
Dari Huzail bin Surahbil berkata: Abu Musa ditanya tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laid dan seorang saudara perempuan. Abu Musa berkata: "Untuk anak perempuan setengah,  untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas 'ud dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk sadara perempuan".
4.      Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi dari Usman bin Husin, terjemahannya adalah:[15]
Dari Umran bin Husein bahwa seseorang laid-laid mendatangi Nabi sambil berkata:  "bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia,  apa yang saya dapat dari harta warisannya." Nabi berkata: "Kamu mendapat seperenam".
5.      Hadits Riwayat An Nasa'i, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Qubaishah bin Zueb, terjemahannya adalah:[16]
Dari Qubaishah bin Zueb yang berkata: seseorang nenek mendatangi Abu Bakar yang meminta warisan dari cucunya. Berkata kepadanya Abu Bakar: "Saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam Kitab Allah dan saya tidak mengetahui ada hakmu dalam sunnah Nabi. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mugirah bin Syu'bah berkata:  "Saya pernah menghadiri Nabi yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Berkata Abu Bakar: "Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya. " Muhammad bin Masalah berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah. Maka akhirnya Abu Bakar memberikan hak warisan nenek itu."
6.      Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqas tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat. Terjemahannya adalah sebagai berikut:[17]
Rasulullah SAW datang menjengukku pada tahun haji wada di waktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau. Wahai Rasulullah SAW aku sedang menderita akit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada orang yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua pertiga  hartaku? Jangan jawab Rasul. Aku bertanya: "Sepertiga", Rasul rnenjawab : sepertiga,  sepertiga  adalah  banyak atau  besar,  sungguh  kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih balk dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.
7.      Hadits Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, terjemahannya adalah:[18]
Dari Abu Hurairah Nabi Muhammad bersabda bahwa Pembunuh tidak boleh mewaris.”
8.      Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Usman bin Zaid, terjemahannya adalah: [19]
Dari Usman bin Zaid, Nabi SAW bersabda," Seorang Muslim tidak mewarisi non muslim dan non muslim tidak mewarisi muslim. "
9.      Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Muhammad, terjemahannya adalah: [20]
Seorang bayi tidak berhak menerima warisan  kecuali  ia  lahir  dalam  keadaan  bergerak  dengan jeritan. Gerakannya diketahui dari tangis, teriakan, dan bersin.
10.  Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah dari Ibnu Amir al Husaini, terjemahannya adalah :[21]
"Saudara laki-laki dari ibu adalah ahli waris bagi seseorang yang tidak ada ahli warisnya".
2.4.3                Ijtihad
Ijtihad  adalah  usaha  atau  ikhtiar  yang  sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam al Qur'an dan sunnah Rasu1.[22] Sedangkan menurut Ahmad Hanafi ijtihad ialah mencurahkan tenaga (merneras pikiran) untuk menentukan hukum. Melalui salah satu dalil syara' dengan cara-cara tertentu.[23]
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah suatu upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, untuk menemukan atau menetapkan garis hukum terhadap hal-hal yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam al Qur'am dan Sunnah Rasul, dengan mempergunakan salah satu dalil syara' menurut caracara tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Ijtihad dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau individu yang disebut ijtihad fardy, dan dapat pula dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok yang disebut ijtihad jama'iy. Contoh hukum-hukum hasil ijtihad yang dilakukan secara individual antara lain seperti tertuang dalam kitab fiqih al Umm karangan Imam Syafi'i, dan hukum kewarisan bilateral menurut Al-Qur’an dan Hadits, karangan Hazairin. Oleh karena itu, jika disebut Hukum Kewarisan Syafi'i maka yang dimaksud adalah hukum kewarisan hasil ijtihad Imam Syafi'i yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang terdapat dalam kitab al Umm (Kitab Induk) dan kitab-kitab lain yang dikarang oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya, dan khusus yang dijadikan pedoman resmi di lingkungan Peradilan  Agama Mahkamah  Syar'iyah sejak tahun 1958  terdiri  dari (1) Albajuri, (2) Fatchul Mu'in,      (3) Syarqowi al at tahrir, (4) Qulyubi/Mahali, (5)Fatchul wahhab dengan syarahnya, (5) Tuchfah,        (7) Targhibul Usytaq,            (8) Qowanin Syar'iyah lis Sayyid bin Yahya,  (9) Qowanin Sya'iyah lis sayyid sadaqah Dachlan, (10) Syamsuri flu fara'idl, (11) Buqhyatul Musytarsyidin, (12) Alfiqhu' alaa Madzahibil Arba'ah, dan (13) Mughnil Muchtaj.[24]
Hukum  kewarisan  Syafi'i  pada  dasarnya merupakan  bagian  atau termasuk dalam  kelompok hukum kewarisan madzhab Sunni atau Ahlussunah wal jamaah. Namun penelitian ini dikhususkan pada hukum kewarisan Syafi'i, hal tersebut dikarenakan pertama ada perbedaan mendasar antara teori Syafi'i dengan hukum kewarisan madzhab yang lain terutama dengan teori Imam Hanafi dan Imam Hambali dalam hal kedudukan dzawil ahram, dan kedua diantara keempat imam dari kalangan ahlussunnah tersebut, yang ditetapkan sebagai pedoman baik dalam praktek Pengadilan Agama maupun bagi masyarakat Islam di Indonesia adalah teori kewarisan Syafi'i.
Sedangkan hukum hasil ijtihad yang dilakukan secara berkelompok (kolektif) antara lain adalah KHI yang terdiri dari tiga buku yaitu Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, dan Buku III tentang perwakafan. Hukum hasil ijtihad yang tertuang dalam KHI tersebut telah diterima baik oleh para alim ulama dalam Lokakarya Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1988, sehingga dapat dikategorikan sebagai sumber hukum Islam yang disebut Ijma atau Ijma setempat. Oleh karena itu, jika disebut hukum kewarisan KHI maka yang dimaksud adalah hukum kewarisan hasil ijtihad kolektif ahli hukum Islam Indonesia yang dikoordinir oleh Tim Penyusun KHI yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI Nomor 07/K.MA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985, dengan susunan personalianya adalah: (1) Prof. H. Bustanul Arifm (Ketua Muda Lingkungan Peradilan Agama MA) Ketua Umum, (2)  H.R.  Djoko Soegianto,  SH (Ketua Muda Lingkungan Peradilan Umum Bidang Hukum Perdata tertulis MA) selaku Wakil I, (3) H. Zaini Dahlan, MA (Dirjen Pembinaan Kelernbagaan Agama Islam Departemen Agama) Wakil II, (4) H. Masrani Busran, SH (Hakim Agung MA) Pimpinan Pelaksana Proyek, (5) H. Muchtar Zarkasyi, SH (Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama), Wakil, (5) Lies Sugondo, SH (Direktur Direktorat Hukum dan Peradilan MA RI), Sekretaris,           (7) Drs. Marfuddin Kosasih, SH        (Pejabat Departemen Agama RI),Wakil,          (8) Alex Marbun         (Pejabat MA) dan Drs. Kodi (Pejabat Departemen Agama) Bendahara, (9) Prof. H. Ibrahim Husein (MUI), Prof. H. MD Kholid (Hakim Agung MA), dan Wasit Aulawi, MA (Pejabat Departemen Agama), masing-masing selalu pelaksana bidang kitab-kitab/Yurisprudensi, (10) M. Yahya Harahap,  SH         (Hakim  Agung  MA),  dan  Abdul  Gatti  Abdullah (Pejabat Departemen  Agama),  masing-masing  selaku  bidang  wawancara,  (11) H.Amiroeddin Noer (Hakim Agung MA) dan Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama) masing-masing selaku pelaksana bidang pengumpul dan pengolahan data.[25]
KHI disusun oleh Tim yang bahan/datanya dikumpulkan dengan cara atau melalui 4 (empat) jalur kegiatadpenelitian yaitu:[26] Penelitian terhadap 38 buah kitab kilning yang dilakukan oleh IAIN dalam waktu 3 bulan (7 Maret 21 Juni 1985) yaitu (I) IAIN Arraniri Banda Aceh 5 kitab, yaitu (a) Albajuri, (b) Fathul Mu'in, (c) Syarqawi            `alat Tahrier,    (d) Mughnil Muhtaj, (e) Nihayah al Muhtaj, dan (f) As Syargawi. (2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta   5 kitab, yaitu (a) Panatut Thalibien, (b) Tuhfah, (c) Targhibul Musytaq, (d) Bulghat al Salik, (e) Syamsuri flu Faraid, dan (5) Al0-Mudawwanah. (3) IAIN Antasari Banjarmasin 5   kitab, yaitu (a) Qalyubi/Mahalli, (b) Tahul Wahab dengan syarahnya, (c) Bidayatul Mujtahid, (d) Al Um, (e) Bughyatul Musytarsyidien, dan (f) Aqiedah wa al Syari'ah. (4) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 5 kitab, yaitu (a) Al Muhalla, (b) Al Wajiz, (c) fathul Qadier, (d) Alfiqhu'ala Madzahibil arba'ah, dan Fiqgussunnah. (5) IAIN Sunan Ampel Surabaya 5 kitab, yaitu (a) Kasyaf al Qina, (b) Majmu'atu Fatawi Ibnu Taimiyah, (c) Qowanin Syai'ah lis Sayid Usman bin Yahya, (d) Al Mughni, dan          (e) Al Hidayah Syarah Bidayah al Mubtadi (5) IAIN Alauddin Ujung Pandang 5 kitab, yaitu (a) Qowanin Syar'iyah lis sayid Sudaqah Dahlan, (b) Nawab al Ja (c) Syarah Ibnu Abidin, (d) Al Muwattha, dan (e) Hasyiah Syamsudin Mob. Irfat Dasuki. (7) IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab, yaitu (a) Bada'i al Sanai, (b) Tabyin al Haqaiq, (c) Al Fatawi alHindiyah, (d) Fath al Qadir, dan (e) Nihayah Wawancara, dilakukan di 10 lokasi atau wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama yaitu dengan: (1) 20 orang Ulama Banda Aceh (2) 19 orang Ulama Medan, (5) 15 orang Ulama Bandung, (5) 18 orang Ulama Surakarta, (7) 18 orang Ulama Surabaya, (8) 15 orang Ulama Banjarmasin, (9) 19 orang Ulama Ujung Pandang, dan (10) 20 orang Ulama Mataram.
Penelitian  Yurisprudensi,  dilakukan  oleh  Direktorat  Pembinaan  Badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Pengadilan Agama yang telah dibukukan dalam 15 buku, yaitu (1) Himpunan Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama 4 buku, yang terdiri dari buku terbitan tahun 1975/1977, 1977/1978, 1978/1979 dan 1979/1980,      (2) Himpunan Fatwa 3 buku yang terdiri dari buku terbitan tahun    1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981, (3) Yurisprudensi Pengadilan Agama 5 buku terdiri dari buku terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982,      1982/1983, dan 1983/1984, (4) Law Report 4 buku terdiri dari buku terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984.
Studi Banding, dilakukan oleh Pimpinan dan Wakil Pimpinan Pelaksana Proyek yaitu H. Masrani Busran, SH dan H. Muchtar Zarkasyi, SH ke negaranegara Timur Tengah yaitu (1) Maroko 28-29 Oktober 1985 dengan (a) Direktur Institut Kehakiman Nasional, (b) Sekjen Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, (c) Penasehat Menteri Wakaf dan Urusan Islam, (d) Ketua Supreme Court, (e) Ketua Badan Kerjasama UNESCO-ALESCO, (2) Turki 1 dan 2 Nopember 1985 dengan (a) Ketua Islamic Centre, dan (b) Supreme Court yang diwakili oleh ATTORNEY GENERAL; (3) Mesir 3 dan 4 Nopember 1985 dengan (a) Rektor Al Azhar, (b) Majelis Tinggi Al Azhar, (c) Grand Sheikh Al Azhar, (d) Dekan Fakultas Dakwah Al Azhar, (e) Ketua Supreme Court, (f) Mufli Negeri, dan (d) Menteri Wakaf.
Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara, dan studi perbandingan diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah team yang merupakan tim inti, terdiri dari (1) Prof. H. Bustanul Arifin, SH, (2) Prof. H. MD. Kholid, SH, (3) H. Masrani Busran, SH, (4) H.M. Yahya Harahap, SH, (5) H. Zaini Dahlan, MA, (5) H.A. Wasit Aulawi, MA, (7) H, Muchtar Zarkasy, SH, (8) H.  kmiroeddin Noer, SH, dan (9) Drs. H. Marfuddin Kosasih, SH. Team  Kecil  setelah  mengadakan  rapat  sebanyak 20  kali,  dapat merumuskan 3 (tiga) naskah rancangan KHI yang terdiri dari (a) Hukum Perkawinan, (b) Hukum Waris, dan       (c) Hukum Wakaf. Rancangan KHI ini disusun dalam kurun waktu selama     2 tahun 9 bulan, dan pada tanggal 29 Desember 1987 secara resmi oleh Pimpinan Proyek Pembinaan Hukum Islam diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI.[27]
            Untuk  mendengarkan  pendapat  atau  komentar  akhir  ulama  dan cendekiawan muslim terhadap Rancangan Kill tersebut, maka pada tanggal 2-5 Februari 1988 diselenggarakan Lokakarya Nasional berternpat di Hotel Kartika Chandra dan dihadiri oleh 124 orang wakil-wakil yang merupakan representatip dari daerah-daerah penelitian dan wawancara dengan mempertimbangkan luas jangkauan pengaruhnya dan bidang keahliannya. Lokakarya tersebut dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung H. Ali Said, S.H dan ditutup oleh Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA.[28]
Pembahasan masalah rancangan KHI pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua instansi yaitu Sidang Pleno dan Sidang Komisi. Sidang komisi terdiri dari:
a.       Hukum Perkawinan, yang susunan personelnya (1) H.M. Yahya Harahap, S.H (Pimpinan), (2) Drs. Marfuddin Kosasih, S.H (Sekretaris),            (3) KH. Abdul Halim Muhammad, SH (Nara sumber), (4) Drs. Muchtar Effendi dan H. Farchan Hisjam (Notulen), dan (5) 42 orang peserta.
b.      Hukum Waris, susunan personelnya (1) H.A. Wasid Aulawi, MA (Pimpinan), (2) H. Zainal Abidin Abubakar, MA (Sekretaris), (3) K.H. Ahmad Azhar Basjir, MA (Nara sumber), (4) Drs. Nabhan Maspoetra dan Drs. H. Zufran Sabrie (Notulen), dan 42 orang anggota.
c.       Hukum Wakaf, susunan personelnya (1) H. Masrani Basran, S.H (Pimpinan),  (2) H.A. Gani Abdullah, SH (Sekretaris), (3) Prof. Dr. H. Rahmat Djatmika (Nara sumber), (4) Drs. Wahyu Widana dan Drs. Farid (Notulen), dan (5) 29 orang anggota.[29]
Masing-masing Komisi membentuk tim perumus yang terdiri dari:[30]
1.      Komisi A tentang Hukum Perkawinan, personilnya (1) H.M. Yahya Harahap, SH, (2) Drs. Marfuddin Kosasih, SH, (3) KH. Abdul Halirn Muhammad, SH, (4) H. Muchtar Zarkasyi, SH, (5) KH. Ali Yafie, dan (5) KH. Najib Ahyad.
2.      Komisi B, tentang Hukum Waris, personilnya (1) H.A. Wasid Aulawi, MA, (2) H. Zainal Abidin Abubakar, SH, (3) KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, (4) Prof. KH. MD. Kholid, SH, dan (5) Drs. Ersyad, S.H.
3.      Komisi C, tentang Hukum Wakaf, personilnya (1) H. Masrani Basran, SH, (2) H.A. Gani Abdullah, SH, (3) Prof. Dr. H. Rachrnat Djatmika, (4) Prof. KH. Ibrahim Husain, LML, dan (5) Aziz Masyhuri.
Sidang Pleno yang dihadiri oleh seluruh peserta, melakukan perbaikan umum, dan .mengesahkan hasiI rumusan akhir lokakarya. Kata akhir para ulama dalam sidang pleno tersebut disampaikan oleh (1) KH. Hasan Basri mewakili MUI,            (2) KH Ali Yafie mewakili NU, (3) KH. AR. Fahrudhin mewakili Muhammadiyah  yakni  berupa  pengesahan  rumusan  KHI  buku  I  tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan, dan buku III tentang Perwakafan.[31]
Akhirnya, dengan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, KHI tersebut disebarluaskan untuk dijadikan sebagai pedoman oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.
Peraturan atau kaedah hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang dihimpun oleh tim penyusun naskah tersebut,  kemudian disebarluaskan dengan Inpres Nomor 1 tahun 1991 jo Kep. Men. Agama RI Nomor 154 tahun 1991, dinamakan Kompilasi Hukum Islam. Untuk mempertegas pemahaman terhadapnya maka perlu dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Kompilasi, Kompilasi Hukum Islam dan bagaimana kedudukannya dalam tata hukum di Indonesia.
William Morris mengatakan, kata kompilasi berasal dari bahasa Latin "compilare"  yang  dalam bahasa Inggris berarti "to heap together" atau "menghimpun menjadi satu kesatuan".[32] Dengan demikian menurut M. Tahir Azhari "Kompilasi dapat diartikan sebagai himpunan materi hukum dalam suatu buku".[33] Sedangkan A. Hamid S. Attamimi mengartikan kompilasi sebagai "Suatu produk berbentuk tertulis basil karya orang lain yang disusun secara teratur".[34]
            Adapun yang dimaksud dengan KHI menurut M. Tahir Azhari adalah, "Suatu himpunan bahan-bahan hukum Islam dalam suatu buku atau lebih tepat lagi himpunan kaedah-kaedah hukum Islam yang disusun secara sistematis selengkap-lengkap mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan[35], sedangkan menurut kesepakatan alim ulama Indonesia KHI adalah, "rumusan tertulis Hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia".[36]
            Kedua pengertian Kill tersebut memang terdapat perbedaan, namun keduanya merupakan satu kesatuan,  dimana yang  satu (M.  Tahir Ashari) melihatnya dari sudut prosedur, tata cara dan format penyusunan, sedangkan yang lain (alim ulama) melihatnya dari sudut substansinya.
Tentang kedudukan KHI dalam tata Hukum di Indonesia, para ahli berbeda pendapat. Menurut Abdul Gani Abdullah[37], KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis berisi law dengan potensi political power melalui Inpres Nomor 1 Tabun 199145. Sebaliknya A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa, "KHI meskipun ditulis belum merupakan hukum tertulis, namun karena system hukum nasional Indonesia mengakui hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, maka KHI dapat mengisi hukum umum, khususnya mengisi kekosongan hukum bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam".[38]
Lepas dari perbedaan pendapat tentang apakah KHI itu hukum tertulis atau tidak tertulis, yang pasti adalah bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 1991 jo. Kep Men Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 menegaskan bahwa KHI disebarluaskan untuk dijadikan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah (dalam hal ini Pengadilan  Agama)  dan  masyarakat  Islam  yang  memerlukannya,  guna menyelesaikan   perkara-perkara   di  bidang   perkawinan,   kewarisan,   dan perwakafan, sehingga KHI berfungsi sebagai pengisi kekosongan atau melengkapi peraturan-peraturan tertulis yang telah ada seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Keputusan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1972 tentang perwakafan.
Sehubungan dengan itu, H. Abdullah Kelib dengan menyitir pendapat Ismail Surly, mengatakan bahwa:[39] Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan sebagai pediman, landasan dan pegangan bagi Hakim-Hakim di Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama. Sedang bagi masyarakat yang memerlukan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kesadaran hukumnya untuk melaksanakan baik dalam bidang Perkawinan, pembagian warisan dan kegiatan amal ibadah dan sosial kemasyarakatan dalam perwakafan, di samping peraturan perundangundangan,yang lain, terutama sumber hukum al Qur'an dan Hadits.
Pendirian ini dipertegas oleh M. Tahir Azhari yang mengatakan bahwa:[40] Kompilasi  Hukum  Islam  berfungsi  sebagai  Pedoman  bagi  Instansi Pemerintah yang menurut hemat penulis secara implisit instansi yang dimaksudkan  antara  lain  adalah  lembaga-lembaga  atau  badan-badan peradilan agama yang menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 memiliki kewenangan antara lain dalam bidang perkawinan, kewarisan dan pewakafan itu. Sebagai pedoman, is tidak hanya harus diperhatikan, tetapi juga pada hemat penulis mempunyai  kekuatan mengikat bagi para Hakim peradilan aghama di Indonesia sejak tingkat pertarna, banding sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kompilasi hukum Islam merupakan pula Pedoman yang harus diperhatikan okh dan karena itu mengikat masyarakat yang bersangkutan. Dilihat dart sudut hukum materiil, kecuali  Undang-Undang  Nomor 1  tahun 1974  tentang perkawinan. Kompilasi Hukum Islam ini dapat pula berfungsi sebagai hukum materiil Islam dalam bidang-bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Untuk perwakafan dapat pula disebut PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Dilihat dari segi unifikasi hokum. Kompilasi Hukum Islam dapat pula berfungsi sebagai suatu kitab hukum yang mengakhiri berbagai ragam sumber hukum Islam yang selama ini berasal dart tidak kurang 13 buah kitab Fiqih dart Madzhab Syafi'i. Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam tersebut maka para Hakim peradilan agama dapat dengan mudah dan sangat praktis merujuk pada Kompilasi Hukum Islam. Seperti diketahui membaca kitab kuning tidak semua orang dapat melakukannya. Kecuali itu pendekatan yang digunakan melalui kitab-kitab Fiqih itu mungkin sudah tidak atau kurang relevan dengan keadaan masa kini. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam dilihat dart sudut ini dapat pula dipandang sebagai satu alat rekayasa dalam pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern dalam era Pembangunan Nasional.
Khusus mengenai kewarisan, dalam KHI diatur dalam buku ke II yang terdiri dari 5 bab dengan 44 Pasal, yakni Pasal 171 sampai dengan Pasal 214. Bab I Ketentuan Umum (Pasal 171) memuat penjelasan singkat tentang kata-kata atau istilah penting yang dimuat dalam buku ke II. Bab II tentang Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal 175). Bab III tentang besamya bagian ahli waris (Pasal 125 sampai dengan Pasal 191). Bab IV tentang Aul dan Rad (Pasal 192 dan 193). Bab V tentang Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209). Bab VI tentang Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214).
Ketentuan  kewarisan  yang  dirumuskan  dalam  Pasal-Pasal  KHI, khususnya  yang menyangkut ahli  waris  dan bagian-bagiannya,  ada yang merupakan tiruan langsung dari al Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 175 sepertu tertulis dalam Pasal 174, 175, 178 ayat (1), 179, 180, 181 dan 182, dan ada pula yang merupakan basil pemikiran (ijtihad) walau sumber utamanya juga dari ayat-ayat kewarisan dalam al Qur'an yang bersifat umum ditambah dengan ajaran kewarisan (doktrin) yang telah ada seperti tertulis dalam Pasal 174, 177, 178 ayat (2) dan Pasal 185.
Dari ketiga pasal yang merupakan hasil pemikiran (Ijtihad) tersebut, yang terpenting adalah pasal 185, kareria Pasal ini mewarnai hukum kewarisan secara keseluruhannya. Oleh karena itu Pasal ini paling banyak disoroti oleh para ahli faraidl, dan ditafsirkan dengan .bermacam-macam penafsiran. Diantara ahli faraidl tersebut adalah Roihan A. Rasyid dan Buku Pintar PTA Sulawesi Selatan.
            Roihan A. Rasyid yang nama lengkapnya Dr. Roihan A. Rasyid, S.H. M.A. adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang. Ia juga pernah bekerja di lingkungan Peradilan Agama dan pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan  Tinggi  Agama  Sumatera  Selatan,  Lampung  dan  Bengkulu  di Palembang[41]. Pendapatnya tentang Pasal 185 KHI diungkap dalam makalah yang berjudul "Waris Pengganti dan Wasiat Wajibah", dimuat dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun VI 1998.
Sedangkan yang dimaksud dengan Buku Pintar, lengkapnya Buku Pintar Hakim, Panitera dan Juru Sita Pengadilan Agama adalah sebuah buku yang disusun oleh Tim yang dibentuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan tanggal 21 Maret 1998 yang susunan personilnya tertera dalam Lampiran  peneitian ini. Buku Pintar tersebut memuat hasil seminar yang diselenggarakan oleh Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan tanggal 9 dan 11 Mei 1998 di Hotel Delta Ujung Pandang tentang berbagai macam masalah hukum Islam, termasuk masalah dalam KH1. Di bidang kewarisan, khusus Pasal 185 KM, Tim juga telah menyatakan pendapatnya sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang penelitian di atas.


[1] Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kovarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 3-4.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 13.
[3] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, 1995 halaman 70.
[4] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahan, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur'an, Jakarta, 1979 halaman 115.
[5] Mid, halaman 117.
[6] Ibid, halaman 153.
[7] Departemen Agama RI, foe. cit.
[8] Departemen Agama RI, op. th. halaman 122.
[9] Departemen Agama RI, op. cit. halaman 274.
[10] Mid, halaman 557.
[11] 18 Ahrnad  Hanafi,  Pengantar dan Sejarah  Ilukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, halaman 59.
[12] Idris Djakfar dan Taufik Yahya, op. cit., halaman 22. 
[13] Ibid
[14] Anil' Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 13
[15] Ibid
[16] Ibid, hal 14
[17] Ahmad Rafiq, Figh Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 21
[18] Amir Syarifuddin, op. cit., halaman 15
[19] Mid, hal 14
[20] Ibid, hal 15
[21] Idris Djakfar dan Taufik Yahya, op. di., halaman 23.
[22] Mohammad Daud Ali, op. cit., halaman 104.
[23] Ahmad Hanafi, op. cit., halaman 152.
[24] Tim  Ditbinbapera, Sejarah Pengusunan KHI di Indonesia Berbagai Pandangan terhadap 1011, Al Hikmah, Jakarta, 1993, hal 4.
[25] Tim Ditbinbapera, op.cit, hal 10
[26] Ibid, hal 14
[27] Ibid, hal I 8
[28] Ibid
[29] mid, hal 19
[30] Mid, hal 20
[31] Ibid
[32] H.M. Thahir Azhari, KHI Sebagai Alternailf, Tim Ditbinbapera (Berbagai Pandangan terhadap KHI), Al Hikmah, Jakarta, 1993, hal 135
[33] Ibid
[34] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,..fiukum Perdata Islam di Indonesia, Perdana Media, Jakarta, 2004, hal 33
[35] HM. Tahir Azhari, Loc. cif
[36] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilkasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hal 51-52
[37] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hal 51-52
[38] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Loc. cit 5
[39] Abdullah Kelib,'Beherapa Catalan Efektifitas Kompilasi Ilukum Waris, (Mahfud MD, et al, Pengadilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia), UII Press, Yogyakarta, 1993, hal.131.
[40] M. Tahir Azhari, op. cit, hal 135
[41] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 14
 










BAB III
METODE PENELITIAN
3.1       Ruang Lingkup
Mengingat obyek penelitian ini adalah hukum kewarisan kompilasi Hukum Islam serta persamaan dan perbedaannya dengan hukum kewarisan Syafi'i, maka permasalahan pokok yang diteliti menyangkut :
a.       Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam dengan sub pokok masalahnya :
1)      Para kerabat pewaris yang berhak menjadi ahli waris dalam KHI
2)      Kedudukan dan hak mewaris ahli waris pengganti dalam KHI.
3)      Istilah dan dasar hukum pemberian porsi       (bagian) sama besar kepada cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan pewaris.
b.      Kelemahan dan keunggulan teori Hukum Kewarisan Islam (KHI dan Syafi'i) tersebut.
Pembahasan tentang hukum kewarisan KHI dan Syafi'i ini hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris, penentuan mengenai harta waris dan cara membagi dan menghitung waris. Diluar masalah-masalah tersebut tidak termasuk dalam lingkup pembahasan ini.
3.2       Metode Pendekatan
Karena masalah pokok dalam penelitian ini adalah Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam yang sebagian besar norma atau kaedah-kaedahnya merupakan tiruan langsung dari ayat-ayat kewarisan dalam al Qur'an dan sebagian lagi walau merupakan hasil pemikiran (Ijtihad) tetapi juga bersumber pada  ayat-ayat  kewarisan  dalam  al  Qur'an  yang  bersifat  umum,  serta membandingkan  dengan  hukum  kewarisan  Syafi'i,  maka pendekatannya pertama ditempuh melalui pendekatan yuridis normatif. Namun pendekatan ini juga ditunjang dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif.
Pendekatan  yuridis  normatif  dipergunakan  untuk  mengkaji  dan menganalisa berbagai materi hukum berupa kaedah atau norma-norma hukum kewarisan Islam baik yang tertulis dalam al Qur'an maupun yang telah diformat kedalam suatu bentuk ajaran atau teori (doktrin) hukum kewarisan Islam di Indonesia,  yakni  Hukum  Kewarisan Patrilineal  Syafi'I dan Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam. Adapun pendekatan yuridis historis[1] diperlukan selain untuk memahami mengapa ada diskriminasi dalam menentukan ahli waris, perbedaan porsi bagian kewarisan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana tertuang dalam al Qur'an Surat an Nisa ayat 11, 12 dan 179, juga dimaksudkan untuk memahami sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat tempat di mana ayat-ayat kewarisan terkait diturunkan saat itu sehingga memberi corak warna pada penafsiran terhadap ayat kewarisan tersebut, dan sekaligus menjadi tolok ukur apakah penafsiran yang telah dilakukan terhadap ayat-ayat tersebut sudah pas atau masih perlu diteliti lebih lanjut, lebih cermat dan lebih seksama. Sedangkan pendekatan komparatif dipergunakan untuk membandingkan teori tersebut, mengungkapkan keunggulan  dan  kelemahannya masing-masing dengan mempergunakan Al Qur'an dan Hadits sebagai tolak ukumya, dengan tidak mengabaikan orientasi terhadap kultur masyarakat arab tempat dimana Al Qur'an sebagai sumber utama hukum kewarisan Islam diturunkan dan kultur masyarakat Indonesia yang telah mengkristalisasi ke dalam sistem kekeluargaan masyarakat Islam Indonesia dan sebagian telah diformat kedalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3.3       Spesifikasi Penelitian
Penelitian   ini   bersifat   deskriptif   analisis,   karena   bermaksud mengungkapkan dan menggambarkan secara jelas kaedah atau norma-norma hukum kewarisan Islam baik yang terdapat di dalam al Qur'an maupun yang telah diformat menjadi suatu ajaran dari teori hukum kewarisan Islam yang menjadi obyek atau  pokok permasalahan dalam penelitian ini, mengungkap persamaan dan perbedaan, kelemahan dan keunggulannya masing-masing.
Khusus   terhadap   hukum   kewarisan  KHI,   penelitian  ini  juga mengungkapkan dan  menggambarkan secara jelas pendapat-pendapat yang berbeda-beda tentang ahli waris pengganti Pasal 185 KHI, dan kelemahan-kelemahan   pendapat   tersebut   serta   mengungkap   dan  menggambarkan ketidakpastian hukum, kekacauan dan tidak ada konsistensi sebagai akibatnya. Selain itu, penelitian ini juga bersifat preskriptif dan komparatif analisis, karena bermaksud memberikan alternatif pemecahannya, baik berupa penafsiran yang relatif dapat diterima maupun berupa istilah dan dasar hukum yang dipandang relevan untuk suatu kebijakan yang perlu diambil dalam penerapan norma hukum Pasal 185 ayat (2) KHI tersebut. Komparatif karena bermaksud membandingkan antara teori kewarisan KHI disatu sisi dan Syafi'i disisi yang lain.
3.4       Jenis dan Sumber Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif yakni penelitian kepustakaan  atau  disebut juga penelitian terhadap  data  sekunder  dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis komparatif, maka jenis dan sumber datanya adalah data sekunder. Dalam metode penelitian, data sekunder yang berupa bahan pustaka menurut Soerjono Soekamto dan Srimamuji memiliki ciri-ciri umum antara lain :[2]
a.       Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready made).
b.      Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
c.       Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
Dalam penelitian ini, data sekunder pada kategori a adalah hukum kewarisan Islam yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam, data sekunder pada kategori b adalah hukum kewarisan patrilineal Syafi'i, dan data sekunder pada kategori c adalah norma-norma dasar hukum kewarisan yang tertulis dalam Al Qur'an, Hadits, dan dari karya para ahli lainnya.
Sejalan  dengan  itu,  Ronny  Hanitijo  Soemitro  mengatakan bahwa penelitian  hukum normatif, sebagai penelitian kepustakaan atau penelitian terhadap data sekunder, bahan-bahannya dapat berupa bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.[3]
Dengan mengacu pada pendapat Ronny Hanitijo Soemitro tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier adalah sebagai berikut :
a.      Bahan Hukum Primer, antara lain :
1)      Al Qur'an
2)       Al Hadits
3)      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
4)      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
5)      Intruksi Presiden RI Nomor   1 Tahun 1995 tentang Kompilasi Hukum Islam.
6)      Keputusan  Menteri  Agama  RI Nomor 154  Tahun 1991  tentang Pelaksanaan Kepres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI.
7)      Yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain :
a)      Keputusan Nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995.
b)      Keputusan Nomor 184KJAG/1995 tanggal 30 September 1996. Keputusan Nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998.
b.      Bahan Hukum Sekunder, antara lain :
1)      Al-Uum karangan Imam Syafi'i
2)      Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur'an dan Hadits karangan Hazairin.
3)      Hukum Kekeluargaan Nasional karangan Hazairin.
4)      Buku Pintar Hakim, Panitera dan Jurusita Pengadilan Agama, PTA Sulawesi Selatan, 1998.
5)      Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun IV - 1995 Nomor30 Tahun VII - 1997, Nomor 37 Tahun XI - 1998, Nomor 40 Tahun XI - 1998,  Nomor 44 tahun X - 1999, Nomor 54 Tahun XII - 2001, dan Nomor 58 Tahun XII -2002.
6)      Buku-buku tentang Hukum Kewarisan Islam lainnya yang relevan.

c.       Bahan Hukum Tersier
1)      Kamus Besar Bahasa Indonesia
2)      Kamus Umum Bahasa Indonesia
3)      Kamus Istilah Agama
3.5       Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan datanya diternpuh dengan melakukan penelitian keputusan dan studi dokumentasi.
3.6       Penyajian Data dan Analisa
Data yang diperoleh disajikan secara kualitatif dengan melakukan analisa deskriptif dan prekriptif, yang bertitik tolak dari analisa yuridis - sistematis, dan untuk pendalamannya dikaitkan atau dilengkapi dengan analisa komparatif.[4]




[1] Barda Nawawi Arief, dalam disertasinya yang berjudul Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan  Kejahatan  dengan Pidana Penjara,  Undip,  Semarang, 1994,  hal. 61, menggunakan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif selain yuridis normatif dan yuridis empiris.
[2] Soerjono Soekamto dan Srimamuji, Pelle!Man Hukum Nornzatif Suatu Kajian Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985, halaman 28.
[3] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,   1994, halaman 98.
[4] Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 68










BAB V
PENUTUP

5.1       Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, maka sebagai penutup akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hukum kewarisan KHI yang bercorak bilateral, telah berusaha menghapus atau menghilangkan diskriminasi dalam penentuan ahli waris melalui waris pengganti, namun secara kescluruhan, masih mengandung sifat diskriminasi karena tidak mencantumkan bibi sebagai ahli waris.
2.      Sepanjang tidak ada penghalang kewarisan, ahli waris pengganti Pasal 185 KHI selalu dapat menggantikan kedudukan orang tuanya selaku ahli waris dengan segala hak dan konsekuensinya seperti plaatsvervulling yang diatur dalam KUH Perdata. Dengan demikian maka kedudukannya bersifat pasti. 
3.      Pemberian porsi bagian sama besar kepada cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan pewaris sebagaimana dimaksud dalam Buku Pintar Hakim, Panitera dan Juru Sita Pengadilan Agama PTA Sulawesi Selatan, seyogyanya dipandang sebagai penyimpangan, bukan penerapan garis hukum Pasal 185 ayat (2) KHI. Oleh karenanya, penggunaan istilah "berdasarkan Pasal 185 ayat (2) KHI" dianggap tidak tepat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu, istilah yang seyogyanya dipergunakan adalah "Tidak menyalahi ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI".
4.       Persamaan dan perbedaan antara teori KHI dan Syafi'i, dapat dirinci dalam beberapa hal pokok yaitu:
a.       Penentuan ahli waris, KHI diskriminatif dalam menentukan ahli waris. Teori Syafi'i diskriminasi baik dalam menentukan ahli waris maupun penggantinya. 
b.      Penggolongan ahli waris, kedua teori sama-sama menggolongkan ahli waris atas tiga golongan, yaitu KHI dzawil furudl, asabah dan ahli waris pengganti, Syafi'i Dzawil Furudl, asabah dan Dzawil Arham. Perbedaan antara KHI dan Syafi'i terletak pada perbedaan antara Dzawil Arham dan ahli waris pengganti. Perbedaan lain antara Syafi'i di satu sisi dengan KHI di sisi yang lain adalah Syafi'i mengenal asabah ma'al ghairi, namun tidak dikenal dalam teori KHI.
c.        Besarnya hak waris laki-laki dan perempuan, kedua teori sama-sama mempertahankan porsi bagian kewarisan dua berbanding satu, yakni dua untuk laki-laki dan satu untuk.perempuan.
d.      Arti kalalah Surat An Nisa ayat 12 dan 176, dari segi keadaan pewaris, KHI dan Syafi'i mengartikan ayat 12 pewaris tidak mempunyai ayah dan anak, ayat 176 pewaris mempunyai anak namun ayah tidak disebut.
e.       Hijab, kedua teori sama-sama mengenal hijab. Bedanya, (1) menurut teori Syafi'i anak laki-laki menghijab cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris yang lain, dalam teori KHI itu tidak mungkin karena cucu adalah ahli waris pengganti atau mawali bagi mendiang orang tuanya, (2) menurut teori Syafi'i, dua anak perempuan menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki pewaris, dalam teori KHI itu tidak mungkin karena cucu perempuan tersebut adalah ahli waris pengganti atau mawali bagi mendiang orang tuanya, (3) menurut teori KHI anak perempuan menghijab saudara pewaris, dalam teori Syafi'i itu tidak mungkin, (4) menurut KHI cucu perempuan dari anak laki-Iaki atau cucu Iaki-laki dan perempuan dari anak perempuan selaku ahli waris pengganti atau mawali menghijab saudara pewaris, dalam teori Syafi'i itu tidak mungkin.
f.       Tentang aul, KHI dan Syafi'i tetap memberikan hak waris kepada ayah dengan menggunakan auI sebagai solusi dalam hal terjadi jumlah faraidl melebihi angka satu.
g.      Tentang rad, KHI memberikan rad kepada semua ahli waris dzawil fitrudl, berbeda dengan Syafi'i yang tidak memberikan rad kepada duda atau janda.
h.      Tentang gharawain, KHI dan Syafi'i sama-sama memberikan kepada ibu 1/3 dari sisa harta setelah dikurangi bagian duda atau janda.
i.        Tentang  kakek dan saudara,  Dalam KHI, kakek adalah ahli  waris langsung,  namun  tidak  disebutkan  kedudukan  dan  hak  warisnya, sedangkan Syafi'i memberikan kedudukan yang lebih utama (prioritas) kepada kakek jika mewaris bersama saudara pewaris. 
j.        Nenek, Dalam KHI, nenek adalah ahli waris langsung namun tidak disebutkan kedudukan dan hak warisnya, namun Syafi'i menempatkannya sebagai  dzawil  furudl  memperoleh 1/6  harta.
k.      Bibi, dalam teori Syafi'i bibi tidak berhak mewaris selama ada baitul mal, dalam  KHI tidak disebut.
l.        Paman, KHI dan Syafi'i menempatkannya sebagai asabah.
m.    Wasiat,  oleh kedua teori diperuntukkan kepada kerabat yang tidak mempunyai hak waris, atau mempunyai hak waris tetapi terhijab atau tersisih karena semua harta telah terbagi habis, dan maksirnal 1/3 harta. Perbedaan antara KHI di satu sisi dengan Syafi'i di sisi yang lain terletak pada wasiat wajibah untuk anak dan orang tua angkat yang tidak dikenal oleh Syafi'i.
n.      Hibah,  Syafi'i  tidak membatasi besarnya hibah yang diberikan. Bedanya dengan KHI (1) membatasi besamya hibah maksimal 1/3 harta, dan (2) hibah orang tua kepada anak diperhitungkan sebagai warisan.
5.      Keunggulan dan kelemahan teori KHI dan Syafi'I adalah:
a.       KHI, keunggulannya antara lain adalah:
1)      Khusus dalam hal penggantian,     
(a)    telah sesuai dengan prinsip persamaan dan keadilan menurut An Nisa ayat 7 dan 33, Al Ahzab ayat 6 dan Al Anfal ayat 75,
(b)   sesuai dengan kecenderungan Al Qur'an yang hendak membangun sistem kekeluargaan yang bilateral,
(c)     sesuai dengan logika.
2)      Menetapkan garis hukum yang tegas untuk ayah .dalam hal pewaris tidak mempunyai anak atau saudara yaitu sebagai dzawil furudl dan memperoleh 1/3 harta.
3)      Tentang hijab, anak perempuan dan cucu perempuan sebagai ahli waris pengganti menghijab saudara.
4)       Berlaku adil terhadap duda atau janda dalam pembagian rad.
5)      Dalam gharawain konsisten terhadap ketentuan 2:1 Antara ayah (ahli waris laki-laki) dan ibu (ahli waris perempuan).
6)       Memberikan bagian  kepada anak dan orang tua angkat atas harta warisan.
7)      Tentang hibah,
(a)    adanya pembatasan terhadap besamya hibah sebagai perlindungan terhadap hak para kerabat yang kelak bakal menjadi ahli waris,
(b)    adanya ketentuan tentang hibah orang tua terhadap anak yang diperhitungkan sebagai warisan dalam rangka pemerataan manfaat warisan orang tua terhadap anak-anaknya.
Sedangkan kelemahannya antara lain adalah:
1)      Dalam penentuan ahli waris masih mengandung sifat diskriminasi karena tidak mencantumkan bibi sebagai ahli waris.
2)      Waris pengganti,
(a)    pengaturannya terlalu simpel,
(b)   ragu-ragu atau setengah hati dalam menentukan besarnya bagian ahli waris pengganti,
(c)    ada kemungkinan bagian cucu dari anak laki-lald lebih besar dari bagian anak perempuan pewaris.
3)      Tidak mengatur masalah musyarakah.
4)      Tidak mengatur secara tegas tentang kakek dan nenek.
5)      Wasiat wajibah hanya diperuntukkan kepada anak dan orang tua angkat tidak kepada kerabat yang tidak mempunyai hak waris seperti bibi dan keturunannya.
b. Syafi'i, keunggulannya antara lain:
1)      Dalam penentuan ahli waris
(a)    berorientasi pada sistem kekeluargaan masyarakat Arab yang berlaku saat itu,
(b)    lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan kerabat sejalan dengan kaedah figh yang berlaku.
2)      Tentang  kalalah    
(a)     ada perbedaan  yang  tegas  antara  saudara sekandung, seayah, dan seibu, dan memb.erikan prioritas kepada saudara sekandung di atas saudara seayah,
(b)   lebih mengutamakan ayah daripada saudara,
(c)     sejalan dengan hadits janda Saad bin Rabi. 
3)      Dalam perolehan rad memberikan keadilan dan persamaan hak kepada ibu dan saudara.
4)      Dalam hal gharawain konsisten pada pendirian 2:1 untuk ayah (laki-laki) dan ibu (perempuan).
Sedangkan kelemahannya antara lain adalah:
1)      Dalam  penentuan  ahli waris
(a)    bertentangan  dengan  prinsip persamaan dan keadilan sesuai jiwa Al Qur'an Surat An Nisa ayat 7 dan 33, Al Ahzab ayat 6 dan Al Anfal ayat 75,
(b)    tidak sejalan dengan kecenderungan Al Qur'an  yang   hendak membangun  sistem kekeluargaan yang bilateral, dan
(c)    bertentangan dengan logika.
2)      Tentang kalalah,    
(a)    tidak sesuai dengan arti hakiki kalalah yang dikehendaki oleh Allah dalam Surat an Nisa ayat 176,
(b)   tidak ada kesesuaian antara keperluan masyarakat akan hukum dengan realitas pengaturan hukum yang ada,
(c)     tidak  sejalan dengan asbabun nuzulnya,       
(d)   janggal, pincang dan tidak adil karena saudara seibu dapat menyisihkan saudara sekandung dalam perolehan warisan,
(e)    tidak ada konsistensi antara penafsiran dengan penerapannya.
3)      Dalam hal pewaris tidak mempunyai anak atau saudara, ayah tidak mempunyai kedudukan yang tetap dalam perolehan hak waris.
4)      Tidak berlaku adil terhadap janda atau duda dalam perolehan rad.
5)      Tidak konsisten terhadap ketentuan an Nisa ayat 11 dan 12 dalam hal gharawain.
5.2       Saran
Berdasarkan pada kesimpulan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Untuk menghapus diskriminasi secara keseluruhan, teori KHI seyogyanya mencantumkan bibi sebagai ahli waris. Itu dapat dilakukan dengan cara merubah ketentuan Pasal 174 ayat (1). Jika altematif ini tidak dapat diterima, maka ketentuan Pasal 209 tentang wasiat wajibah sebaiknya diubah dan diperluas, yakni peruntukannya tidak hanya terbatas pada anak dan orang tua angkat tetapi juga kepada kerabat pewaris yang tidak mendapat bagian warisan.
2.      Perlu ada penegasan pengertian tentang ahli waris pengganti Pasal 185 KHI. Itu dapat dilakukan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. agar dapat dijadikan pedoman terutama oleh kalangan praktisi di lingkungan Peradilan Agama, sehingga diperoleh keseragaman pemahaman dan penafsiran, dengan demikian dapat dicegah lahirnya putusan yang saling berdisparitas.
3.      Istilah berdasarkan Pasal 185 ayat (2) KHI yang dipergunakan dalam Buku Pintar Hakim, Panitera, Juru Sita Pengadilan Agama PTA Sulawesi Selatan saat memberikan bagian sama besar (1:1) kepada cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan pewaris seyogyanya diganti dengan istilah "tidak menyalahi ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI", karena tindakan tersebut pada dasarnya merupakan penyimpangan terhadap garis hukum, bukan penerapan Pasal 185 (2) KHI, sehingga tidak menimbulkan akibat berupa kekacauan dan ketidakkonsistenan dalam penerapannya.
4.      Persamaan yang terdapat antara teori KHI dan Syafi'i hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan acuan utama dalam rangka penyusunan Undang-Undang tentang KHI, sedangkan perbedaannya jika tidak dapat dikompromikan, dapat pula dijadikan sebagai bahan pelengkap berupa doktrin-doktrin yang dapat dipilih guna mengisi kekosongan, mengingat KHI tidak mungkin mampu memberikan penyelesaian tuntas dalam arti menyusun secara lengkap terhadap semua masalah hukum kewarisan Islam di Indonesia.
5.      Keunggulan  dari  masing-masing teori  hendaknya  dapat diberi  catatan tersendiri, sehingga oleh kalangan praktisi dapat dijadikan sebagai prioritas dalam menyelesaikan masalah kewarisan untuk hal-hal yang oleh KHI tidak diatur secara khusus. Sedangkan sisi-sisi lemah dari teori- teori tersebut dapat  dijadikan  sebagai  perbendaharaan  guna  memperkaya  wawasan keilmuan bidang hukum kewarisan Islam di Indonesia.


Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA