Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

PERBANDINGAN HUKUM WARIS KHI DAN SYAFI'I (Persamaan dan Perbedaan seta Keunggulan Masing-masing)



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
oleh Ahmad Darik

4.1       Diskriminasi Dalam Hukum Kewarisan KHI
Setidaknya ada tiga indikasi yang dapat dijadikan tolok ukur guna menentukan apakah suatu teori tentang hukum kewarisan itu diskriminasi atau tidak. Indikasi tersebut adalah (1) apakah semua kerabat diberi hak untuk mewaris atau tidak, (2) apakah semua anak atau keturunan dapat menjadi ahli waris pengganti dan bagaimana sifat penggantiannya, dan (3) seberapa jauh hak yang diberikan kepada ahli waris. Untuk itu maka hal pokok yang harus diungkap pada bagian ini adalah pertama tentang ahli waris dan penggolongannya, kedua tentang keutamaan antar sesama ahli waris (hijab), dan ketiga tentang kedudukan bibi selaku kerabat pewaris.

4.1.1    Ahli Waris Dan Penggolongannya
Pasal    174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ada sebelas orang ahli waris. Yang laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami atau duda. Yang perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri atau janda. Jika ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan tersebut semuanya ada, maka menurut Pasal 174 ayat (2) yang berhak mendapat warisan hanya lima orang saja, yaitu :
a.       Anak laki-laki.
b.      Anak perempuan.
c.       Ayah.
d.      Ibu.
e.       Duda atau janda.
Jika ditelaah pasal-pasal dari buku II Kompilasi Hukum Islam mengenai Kewarisan, akan diketahui bahwa hukum kewarisan Kompilasi Hukum Islam mengenal tiga macam ahli waris, yaitu dzawil furudl, asabah dan ahli waris pengganti. Dzawil furudl dapat dijumpai ketentuannya dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 182, asbah Pasal 176 dan 182 alinea kedua, dan waris pengganti Pasal 185. Jadi berbeda dengan teori Syafi'i yang membagi ahli waris atas dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Perbedaannya dengan teori Syafi'i terletak pada perbedaan antara ahli waris pengganti dan dzawil arham.

4.1.1.1 Dzawil Furudl
Dzawil furudl ialah ahli waris yang mendapat bagian tertentu karena telah ditentukan oleh Pasal   176,     177,            178,     179,     180,     181 dan           182 KHI yakni seperdua, seperempat, seperdelapan, duapertiga, sepertiga dan seperenam. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu tersebut adalah:
a.       Anak perempuan
Menurut Pasal 176, bagian anak perempuan adalah   1/2 harta jika hanya seorang saja, 2/3 jika ada dua orang atau lebih, dan bersama-sama menghabisi semua harta atau semua sisa harta jika bersama dengan anak laki-laki, dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
b.      Ayah.
Menurut Pasal 177,  bagian ayah adalah 1/3 harta jika pewaris tidak mempunyai anak, dan 1/6 jika pewaris mempunyai anak.
c.       Ibu
Menurut Pasal 178, bagian ibu adalah 1/3 harta jika pewaris tidak mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih, 1/6 harta jika pewaris mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih, dan 1/3 dari sisa harta sesudah diambil bagian duda atau janda jika bersama dengan ayah.
d.      Duda.
Menurut Pasal 179, bagian duda adalah 1/2  harta jika pewaris tidak mempunyai anak, dan 1/4 harta jika pewaris mempunyai anak.
e.       Janda.
Menurut Pasal 180, bagian janda adalah 1/4 harta jika pewaris tidak mempunyai anak, dan 1/8 harta jika pewaris mempunyai anak.
f.       Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
Menurut Pasal 181, jika pewaris tidak mempunyai anak dan ayah maka bagian saudara seibu (laki-laki atau perempuan) adalah 1/6 harta jika hanya seorang\ saja, dan bersama-sama mendapat 1/3 harta jika ada dua orang atau lebih.
g.      Saudara perempuan sekandung atau seayah.
Menurut Pasal 182, jika pewaris tidak mempunyai anak dan ayalt maka bagian saudara perempuan sekandung atau seayah adalah 1/2 harta jika hanya seorang saja, 2/3 jika ada dua orang atau lebih, dan bersama-sama menghabisi semua harta atau semua sisa harta jika bersama-sama dengan saudara laki-laki sekandung atau seayah, dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan.
h.      Kakek.
Kakek dari pihak ayah atau kakek dari pihak ibu tidak ditentukan oleh Kompilasi Hukum Islam berapa besar bagiannya. Untuk itu, dengan mengacu pada pasal 185 Idris Djakfar dan Taufik Yahya menempatkannya sebagai pengganti ayah atau ibu, sehingga ketentuan 177 dan 178 tentang besarnya bagian ayah atau ibu berlaku baginya. Oleh karena itu maka ia ditempatkan ke dalam kelompok ahli waris dzawil furudl.
i.        Nenek.
Nenek dari ayah atau nenek dari Ibu adalah ahli waris langsung, namun KHI tidak menentukan berapa besar bagiannya. Untuk itu dengan mengacu pada pasal 185 Idris Djakfar dan Taufik Yahya menempatkannya sebagai pengganti ayah atau Ibu, sehingga ketentuan Pasal 177 dan 178 berlaku baginya. Oleh karena itu maka ia ditempatkan ke dalam kelompok ahli waris dzawil furudl.

4.1.1.2 Asabah
Asabah ialah ahli waris yang oleh KHI tidak ditentukan berapa besar bagiannya atas harta warisan, namun keberadaannya sebagai ahli waris dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a. Untuk itu maka berdasarkan Pasal 176 dan Pasal 182, ia berhak menghabisi semua harta jika tidak ada ahli waris yang lain, atau semua sisa harta jika bersarna dengan ahli waris dzawil furudl. Berbeda dengan teori Syafi'i yang mengenal tiga macam asabah, yaitu asabah bin nafsi, asabah bil ghairi dan asabah ma'al ghairi, namun KHI hanya mengenal dua macam asabah saja, yaitu asabah bin nafsi dan asabah bil ghairi. Asabah ma'al ghairi tidak dikenal dalam KHI karena menurut ketentuan Pasal 182 selama pewaris mempunyai anak maka saudara tidak berhak mendapat warisan. Jadi, anak perempuan menutup hak waris bagi saudara.
Adapun yang termasuk dalam kategori asabah bin nafsi adalah        :
a.       Anak laki-laki.
b.      Saudara laki-laki sekandung atau seayah.
c.       Paman.
Sedangkan asabah bil ghairi adalah    :
a.       Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki.
b.      Saudara perempuan sekandung yang mewaris bersama saudara laki-laki sekandung.

c.       Saudara perempuan seayah yang mewaris bersama saudara laki-laki seayah.


4.1.1.3 Ahli Waris Pengganti
Waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga ia tampil menggantikannya. Dalam Pasal 185 dirumuskan bahwa : (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dari bunyi Pasal 185 tersebut maka waris pengganti bisa menjadi ahli waris dzawil furudl jika orang tuanya yang ia gantikan berkedudukan sebagai dzawil furudl, dan bisa menjadi asabah jika orang tuanya yang ia gantikan berkedudukan sebagai asabah, dan akan memperoleh bagian yang tidak boleh melebihi bagian yang diterima oleh orang tuanya jika mereka masih hidup.
Yang termasuk dalam kategori waris pengganti antara lain adalah    :
a.       Cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan, memperoleh status sebagai dzawil furudl karena ia adalah pengganti ibunya (anak perempuan) yang berkedudukan sebagai dzawil furudl.
b.      Cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki, memperoleh status sebagai asabah karena ia adalah pengganti ayahnya (anak laki-laki) yang berkedudukan sebagai asabah.
c.       Anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan sekandung atau seayah, memperoleh status sebagai dzawil furudl karena ia adalah pengganti ibunya (saudara perempuan sekandung atau seayah) yang berkedudukan sebagai dzawil furudl.
d.      Anak laki-laki dan anak perempuan saudara laki-laki sekandung atau seayah, memperoleh status sebagai asabah karena ia adalah pengganti ayahnya (saudara laki-laki sekandung atau seayah) yang berkedudukan   sebagai asabah.
e.       Anak laki-laki dan anak perempuan saudara seibu, memperoleh status sebagai dzawil furudl karena ia adalah pengganti ayah atau ibunya (saudara seibu) yang berkedudukan sebagai dzawil furudl.
f.       Anak laki-laki dan anak perempuan paman, memperoleh status sebagai asabah karena ia adalah pengganti ayahnya (paman pewaris) sebagai asabah.
Kakek dan nenek adalah ahli waris langsung, disebut dalam pasal 174 ayat (1) KHI, namun tidak dijelaskan berapa bagiannya. Untuk itu, oleh Idris Djakfar dan Taufik Yahya diberi bagian sebesar bagian ahli waris pengganti bagi ayah dan atau ibu.[1]

4.1.2    Keutamaan Antar Sesama Ahii Waris
Urutan keutamaan untuk memperoleh warisan antar sesama ahli waris, jika diperluas lingkupnya menjadi lembaga yang dikenal dengan istilah hijab yakni dinding, halangan atau rintangan yang menyebabkan seseorang tidak mendapat warisan atau berkurangnya bagian seorang ahli waris, maka akan diperoleh suatu kenyataan bahwa kewarisan Kompilasi Hukum Islam mengenal tiga macam hijab seperti yang dikenal dalam kewarisan patrilinial Syafi'i yaitu hijab nuqshan, hijab hirman bil washfi, dan hijab hirman bisy syakhshi.
1.      Hijab Nuqshan
Hijab nuqshan ialah hijab yang hanya mengurangi bagian seorang ahli waris, yaitu:
a.       Ayah, bagiannya berkurang dari sepertiga menjadi seperenam karena terhijab oleh anak atau waris penggantinya (Pasal 177 KHI).
b.      Ibu, bagiannya berkurang dari sepertiga menjadi seperenam karena terhijab oleh anak atau waris penggantinya atau dua saudara atau lebih atau waris penggantinya (Pasal 178 jo. Pasal 185 KHI).
c.       Duda, bagiannya berkurang dari seperdua menjadi seperempat karenaterhijab oleh anak atau waris penggantinya (Pasal    179 jo. Pasal 185 KHI).
d.      Janda,  bagiannya berkurang  dari  seperempat menjadi  seperdelapan karena terhijab oleh anak atau waris penggantinya (Pasal 180 jo. pasal  185 KHI).

2.      Hijab Hirman bil washfi
Hijab hirman bil washfi ialah hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapat warisan (terhalang) dikarenakan ada hal-hal ataukeadaan-keadaan tertentu, yaitu           :
a.       Dipersalahkan  telah  membunuh  atau  mencoba  membunuh  atau menganiaya berat pada pewaris (Pasal 173 a KHI).
b.      Dipersalahkan secara mernfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (pasal 173 b KHI).
c.       Berbeda agama dengan pewaris (Pasal 171 b dan c KHI).

 3.        Hijab hirman bisy syakhshi
Hijab hirman bisy syakhshi ialah hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapatkan warisan karena ada ahli waris lain yang lebih berhak (lebih utama) dari padanya dikarenakan lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Contohnya antara lain :

a.       Kakek tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ayah (Pasal 174 ayat2 KHI).
b.      Nenek tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ibu (Pasal 174 ayat 2 KHI).
c.       Saudara sekandung tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ayah,anak laki-laki atau anak perempuan (Pasal   182 KHI jo. Yurisprudensi MA).
d.      Saudara seibu tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ayah, anak laki-laki atau anak perempuan (Pasal 181 KHI).

4.1.3    Bibi Selaku Kerabat Pewaris Diwarisi Namun Tidak Berhak Mewaris.
            Seperti telah dikemukakan pada bagian awal Bab ini, bahwa pasal 174 ayat (1), KHI menyebutkan secara rinci sejumlah orang dari kerabat pewaris yang berhak mendapat warisan menurut keutamannya, yaitu golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, duda, saudara lalci-laki, parnan dan kakek. Dad golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, janda, saudara perempuan, dan nenek. Ini berarti bibi yakni saudara perempuan ibu dan saudara perempuan ayah tidak diberi status sebagai ahli waris, walau is adalah kerabat pewaris.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum kewarisan KHI masih mengandung  sifat  diskriminasi,  balk  secara  horizontal  maupun  vertikal. Diskriminasi horizontal adalah menjadikan paman sebagai ahli waris, sedangkan bibi tidak. Diskriminasi vertikal adalah menjadikan keponakan sebagai ahli waris bagi bibinya namun bibi tidak menjadi ahli waris bagi keponakannya. Kalau saja Pasal          174 KHI tidak merinci atau menyebutkan satu persatu siapa saja dari kerabat pewaris yang menjadi ahli waris, maka dengan berpegang pada keumuman Pasal 171 huruf c, bibi masih berpeluang urituk mendapatkan warisan, paling tidak mendahului hak Baitulmal (representasi dari hak mewaris bagi umat Islam) untuk mewaris berdasarkan Pasal 191 KHI, karena statusnya sebagai kerabat atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris yang secara hukum tentu dapat dianggap sebagai ahli waris. Akan tetapi karena Pasal 174 telah menyebutkan siapa saja dari kerabat pewaris yang menjadi ahli waris, maka kerabat yang tidak disebut jelas bukan ahli waris, sehingga hak Baitulmal untuk mewaris menjadi lebih utama dibanding bibi.
Pasal    185 ayat (1) KHI tentang ahli waris pengganti juga tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan hak waris kepada bibi atas harta warisan keponakannya, hal tersebut karena Pasal 174 ayat (1) huruf a telah dengan tegas mencantumkan paman sebagai ahli waris langsung. Oleh karena paman adalah ahli waris langsung dari keponakannya maka sangat tidak mungkin menjadikan bibi sebagai ahli waris pengganti bagi mendiang kakek atau nenek pewaris, sebab kalau bibi dijadikan ahli waris pengganti sedangkan paman adalah ahli waris langsung akan terjadi kekacauan, karena pada dasarnya bibi dan paman adalah bersaudara. Oleh karena itu, maka dari 41  orang ahli waris laki-laki dan perempuan yang disebut oleh Idris Djakfar dan Taufik Yahya sebagai rincian ahli waris dalam KHI berdasarkan Pasal 174 jo Pasal 185 ayat (1) KHI, bibi (baik saudara perempuan ayah maupun saudara perempuan ibu) tidak tercantum disana. Dengan demikian berarti bibi selaku kerabat pewaris diwarisi namun tidak berhak mewaris. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan hak seperti diamanatkan oleh Al-Qur'an surat an Nisa ayat 7 yang antara lain menyatakan bahwa "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan, ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak nenurut bagian yang telah ditentukan".
Ketidakadilan tersebut mungkin akan dirasakan oleh bibi tatkala keponakannya yang meninggal itu tidak mempunyai kerabat yang lain selain dirinya, sedangkan harta warisan keponakannya diwariskan kepada umat Islam lainnya melalui Baitulmal sesuai ketentuan Pasal 191 jo Pasal 174 KHI, padahal jika berpegang pada al Qur'an surat Al Ahzab ayat 6, Al Anfal ayat 75 seharusnya bibilah yang lebih utama, karena kedua ayat tersebut intinya menegaskan bahwa, "Orang yang mempunyai hubungan kerabat lebih berhak mewarisi kerabatnya daripada orang Islam lainnya".
Mendahulukan Baitulmal dalam perolehan harta berarti menghapus hak bibi selaku kerabat untuk memperoleh warisan. Ini berarti KHI telah berlaku tidak adil karena tidak memberikan apa yang seharusnya menjadi hak orang lain (bibi). KHI baru akan bebas dari ketidakadilan dan sifat diskriminasi jika bibi diberi hak waris. Ini dapat dilakukan dengan cara memberinya status sebagai ahli waris, yakni merubah ketentuan Pasal 174 ayat (1) dan mencantumkan bibi disana, atau dapat pula dilakukan dengan merubah ketentuan pasal 209 tentang wasiat wajibah, yakni tidak hanya diberikan kepada anak dan orang tua angkat tetapi juga kepada kerabat pewaris yang tidak mempunyai hak waris termasuk bibi seperti wasiat wajibah yang diatur dalam UU Wasiat Mesir Nomor 71 tahun 1946 Pasal 76-79, walau tidak sama persis.

4.2       Kedudukan Ahli Waris Pengganti Menurut Pasal 185 KHI dan Polemik Dalam Pemahamannya.
4.2.1    Waris Pengganti Mengurangi Diskriminasi dan Memberi Rasa Adil
Sebelum dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni dan Keputusan Menteri Agama RI tanggal 22 Juli    1991 Nomor 154, Pengadilan Agama di Indonesia dalam memutus dan menyelesaikan perkara kewarisan, berpedoman pada hukum kewarisan madzhab Syafi'i.  Hal  tersebut  sesuai  dengan  surat edaran  Biro  Peradilan Agama Departemen Agama RI tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/1/735.
Dalam hukum kewarisan patrilinial Syafi'i dikenal ada tiga macam ahli waris yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham. Dari ketiga macam ahli waris tersebut yang berhak mendapat warisan hanya dzawil furudl dan asabah saja, sedangkan dzawil arham tidak berhak mendapat warisan.  Akibat  dari  ketentuan  tersebut,  banyak  kasus  kewarisan  yang penyelesaiannya kurang dapat diterima paling tidak oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia, karena dipandang tidak adil dan diskriminatif.
Sebagai contoh, jika dalam suatu kasus kewarisan ahli warisnya terdiri dari cucu yang berasal dari anak laki-laki dan cucu yang berasal dari anak perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya cucu yang berasal dari anak laki-laki saja, cucu yang berasal dari anak perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham. Demikian pula jika ahli warisnya terdiri dari keponakan laki-laki dan keponakan perempuan, maka yang berhak mendapat warisan hanya keponakan laki-laki saja, keponakan perempuan tidak mendapat warisan karena ia adalah dzawil arham.
Cara pembagian yang demikian itu dipandang janggal, tidak adil dan diskriminatif, sehingga sulit diterima. Betapa tidak, karena bagi seorang paman semua anak dari saudara-saudaranya adalah keponakannya sendiri, yaitu darah daging dari saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia, tidak peduli apakah keponakannya itu berasal dari saudaranya yang laki-laki ataupun yang perempuan. Demikian pula bagi seorang kakek, semua anak dari anak-anaknya adalah cucu-cucunya sendiri, yaitu darah daging dari anak-anaknya yang telah meninggal dunia yang berarti pula darah dagingnya sendiri, tidak peduli apakah cucunya itu laki-laki atau perempuan, dan juga tidak perduli apakah cucunya itu berasal dari anaknya yang laki-laki ataupun yang perempuan. Dengan demikian berarti semua keponakan atau semua cucu layaknya akan menempati posisi yang sama atau hak yang sama untuk mendapatkan warisan dari harta peninggalan paman atau kakeknya, betapun kecilnya bagian yang akan mereka terima. Namun dalam hukum kewarisan patrilinial Syafi'i tidaklah demikian. Karena bercorak patrilinial, hukum kewarisan patrilinial Syafi'i menempatkan keponakan perempuan dari saudara laki-laki, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan sebagai dzawil arham, dan akibatnya mereka tidak mendapat bagian apa-apa dari harta warisan paman dan kakeknya.
Kejanggalan, kepincangan dan ketidakadilan menjadi semakin dirasa tatkala mereka berhadapan dengan kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari dzawil arham semuanya seperti cucu laki-laki dan perempuan yang berasal dari anak perempuan dan seterusnya, karena menurut kewarisan patrilinial Syafi'i harta warisan harus diserahkan kepada Baitulmal untuk diwariskan kepada umat Islam lainnya, sementara keluarga pewaris sendiri yang dzawil arham  itu tidak mendapat apa-apa. Memperhatikan ketentuan kewarisan yang dipandang tidak adil dan diskriminatif tersebut, maka dalam Kompilasi Hukum Islam dicantumkan Pasal 185 yang ayat (1) nya menyebutkan bahwa, "ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya". Anak yang menggantikan kedudukan orang tuanya tersebut selanjutnya disebut sebagai ahli waris pengganti.
Dengan waris pengganti yang rumusannya seperti itu maka sanak keluarga yang semula digolongkan sebagai dzawil arham kecuali bibi tidak hanya sekedar dapat lebih diutamakan haknya untuk mendapat warisan dibandingkan dengan baitulmal, akan tetapi  juga dapat tampil sebagai ahli waris yang berhak  mendapat warisan sekalipun ahli waris dzawil furudl dan asabah ada bersama-sama dengan mereka. Dengan demikian, maka kewarisan KHI, dengan waris penggantinya telah mengurangi sifat diskriminasi yang selama ini terjadi dalam pembagian warisan, dan sekaligus telah memberikan rasa adil kepada sanak keluarga dari pewaris, kecuali bibi dan keturunannya.

4.2.2    Waris Pengganti Menurut Pasal 185 KHI
Ahli  waris  pengganti  pada  dasarnya  adalah  ahli  waris  karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak  mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga kedudukan orang tuanya digantikan olehnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti dirumuskan dalam Pasal 185, yang menyebutkan bahwa : (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Jika dipahami secara tekstual redaksi Pasal    185 tersebut, maka makna yang terkandung didalamnya adalah, pertama penggantian dalam Pasal 185 itu mencakup penggantian tempat, derajat dan hak-hak, tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Penggantian tempat artinya, cucu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku anak pewaris, keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya itu selaku saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya. Penggantian derajat artinya, ahli waris pengganti yang menggantikan anak laki-laki memperoleh derajat sama dengan derajat anak laki-laki, ahli waris pengganti yang mengantikan anak perempuan memperoleh derajat sama dengan derajat anak perempuan dan seterusnya. Penggantian hak artinya, jika orang yang digantikan oleh ahli waris pengganti itu mendapat warisan, maka ahli waris pengganti juga berhak mendapat warisan, dan  jika orang yang digantikan itu menghijab ahli waris yang lain maka ahli waris pengganti juga menghijab ahli waris tersebut, dan seterusnya. Tanpa batas artinya, penggantian itu berlaku bagi cucu pewaris meskipun pewaris rnempunyai anak laki-laki lain atau dua orang anak perempuan lainnya yang masih hidup. Tanpa diskriminasi artinya yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah semua keturunan baik laki-laki maupun perempuan, baik keturunan digaris laki-laki maupun keturunan digaris perempuan, kecuali yang tidak disebut dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a. Dengan demikian, maka yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan, anak lakilaki dan anak perempuan saudara laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan paman, dan keturunan dari ahli waris pengganti ahli waris pengganti tersebut.  Kedua, ahli waris pengganti akan mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang is gantikan, artinya jika ahli waris pengganti itu menggantikan kedudukan anak laki-laki maka ia akan mendapatkan bagian sebesar bagian anak laki-laki, jika ia menggantikan kedudukan anak perempuan maka bagiannya adalah sebesar bagian anak perempuan tersebut, dan jika ahli waris pengganti itu ada dua orang atau lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas bagian ahli waris yang mereka gantikan, dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan.
Yang dimaksud dengan sederajat dalam   Pasal         185 ayat (2) adalah sederajat misalnya antara anak laki-laki dan anak laki-laki, bukan antara anak laki-laki dan anak perempuan di mana al Qur'an surat an Nisa ayat 11, KHI Pasal 176 dan 182 membedakannya. Dengan demikian, bagian ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak laki-laki tidak boleh melebihi atau tidak boleh lebih besar dari pada bagian anak laki-laki pewaris yang masih hidup, namun bisa lebih besar dari bagian anak perempuan pewaris, tergantung posisi kasusnya seperti apa.
Mencermati kalimat tidak boleh  melebihi  bagian  ahli  waris  yang sederajat dengan yang diganti dalam Pasal 185 ayat (2), ada ahli hukum yang berpendapat bahwa bagian ahli waris pengganti bisa lebih kecil dari bagian ahli waris yang ia gantikan. Pendapat ini memang ada benarnya, namun jika diikuti akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya, karena tidak ada patokan pasti yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam menentukan berapa besar bagian yang harus diberikan kepada ahli waris pengganti. Oleh karena itu, yang tepat adalah memberikan bagian kepada ahli waris pengganti sebesar bagian ahli waris yang ia gantikan.
Hukum kewarisan patrilinial Syafi'i dalam arti yang sesungguhnya tidak mengenal ahli waris pengganti. Cucu dalam hukum kewarisan patrilinial Syafi'i memang dapat menjadi ahli waris yang berhak memperoleh warisan;-tetapi tidak untuk menggantikan tempat, derajat dan hak-hak orang tuanya yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, melainkan untuk dan atas namanya sendiri dengan menempati tempat, derajat dan hak-hak yang berbeda dengan tempat, derajat dan hak-hak orang tuanya sebagai ahli waris jika masih hidup. Selain itu, sifatnya diskriminatif dan terbatas. Yang dimaksud dengan diskriminatif ialah bahwa, yang dapat menjadi ahli waris hanya terbatas pada cucu yang berasal dari anak laki-laki, cucu yang berasal dari anak perempuan tidak berhak mendapat warisan karena mereka digolongkan sebagai dzawil arham. Dan yang dimaksudkan dengan terbatas ialah cucu laki-laki dari anak laki-laki hanya akan mendapat warisan jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup, dan cucu perempuan dari anak laki-laki baru akan mendapat warisan jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki atau dua orang anak perempuan pewaris yang masih hidup.
Memperhatikan ketentuan yang diskriminatif dan terbatas itu, maka Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 Pasal 76-79, menyediakan lembaga khusus untuk cucu-cucu yang tersingkir atau tersisihkan dari perolehan harta warisan baik karena kedudukannya sebagai dzawil arham maupun karena terhijab oleh anak laki-laki. Lembaga tersebut dikenal dengan nama wasiat wajibah. Dengan wasiat wajibah tersebut maka cucu-cucu tadi akan mendapatkan harta dari warisan kakeknya. Hanya saja, antara wasiat wajibah menurut undang-undang wasiat Mesir dengan ahli waris pengganti selain terdapat persamaan juga terdapat perbedaan yang prinsip. Persamaannya adalah :
1.      Adanya kematian orang yang diganti mendahului kematian pewaris.
2.      Bagian orang yang menggantikan tidak lebih besar dari pada orang yang diganti.
Sedangkan perbedaannya adalah :
1.      Dalam wasiat wajibah yang diganti ialah hak menerima bagian orang tuanya dengan batasan tidak boleh melebihi sepertiga harta, sedangkan dalam ahli waris pengganti yang digantikan adalah tempat, derajat dan hak-hak, serta tidak dibatasi atas sepertiga harta.
2.      Dalam wasiat wajibah yang dapat menggantikan hanya cucu laki-laki maupun perempuan, baik yang berasal dari anak laki-laki maupun yang berasal dari anak perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sedangkan dalam ahli waris pengganti, yang dapat menggantikan adalah:
a.       Cucu dan seterusnya kebawah.
b.      Anak-anak keturunan keluarga di garis ke samping seperti keponakan dan saudara sepupu, dan seterusnya ke bawah.

4.2.5    Implikasi Waris Pengganti Terhadap Ahli Waris Yang Lain
Adanya ahli waris pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 KHI, akan membawa implikasi baik terhadap jumlah ahli waris maupun terhadap keberadaan ahli waris yang lain beserta besarnya bagian yang sedianya mereka terima.
Mengenai jumlah ahli waris, Pasal 174 ayat (1) hanya menyebutkan ada 11 orang ahli waris, yakni yang laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan duda, dan yang perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan janda. Jika ahli waris-ahli waris tersebut ditelaah lebih lanjut, dan dihubungkan dengan keberadaan ahli waris pengganti menurut Pasal 185 KHI, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak. Menurut Idris Djakfar dan Taufik Yahya mencapai 41 orang. Yang laki-laki ada 22 orang, yaitu:[2]
1.      Anak laki-lalci.
2.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
3.      Cucu laki-laki dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
4.      Ayah.
5.      Kakek dari ayah.
6.      Kakek dari ibu.
7.      Saudara laki-Iaki sekandung.
8.      Saudara laki-laki seayah.
9.      Saudara laki-laki seibu.
10.  Anak Iaki-laki saudara laki-laid sekandung.
11.  Anak laki-laki saudara perempuan sekandung.
12.  Anak laki-laki saudara laki-laki.seayah.
13.  Anak laki-laki saudara perempuan seayah.
14.  Anak laki-laki saudara laki-laki seibu.
15.  Anak laki-laki saudara perempuan seibu.
16.  Paman sekandung.
17.  Paman seayah.
18.  Paman seibu.
19.  Anak laki-laki paman sekandung.
20.  Anak laki-laki paman seayah.
21.  Anak laki-laki paman seibu.
22.  Suami atau duda.
Ahli waris perempuan ada 19 orang, terdiri dari :
1.      Anak perempuan.
2.      Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
3.      Cucu perempuan dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
4.      Ibu.
5.      Nenek dari ayah.
6.      Nenek dari ibu.
7.      Saudara perempuan sekandung.
8.      Saudara perempuan seayah.
9.      Saudara perempuan seibu.
10.  Anak perempuan saudara perempuan sekandung.
11.  Anak perempuan saudara laki-laki sekandung.
12.  nak perempuan saudara perempuan seayah.
13.  Anak perempuan saudara laki-laki seayah.
14.  Anak perempuan saudara perempuan seibu.
15.  Anak perempuan saudara laki-laki seibu.
16.  Anak perempuan paman sekandung.
17.  Anak perempuan paman seayah.
18.  Anak perempuan paman seibu.
19.  Isteri atau janda.
Jika ahli waris laki-laki dan perempuan yang 41 orang itu semuanya ada, maka yang mendapat warisan hanya 5 orang saja yaitu ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan dan duda atau janda.
Terhadap ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 ayat (1), kehadiran ahli waris pengganti akan membawa implikasi sebagai berikut :
1.      Terhadap Anak Laki-laki dan Perempuan
Terhadap  anak  laki-laki,  kehadiran  ahli  waris  pengganti  akan mengurangi bagian yang akan is terima, besar kecilnya pengurangan itu tergantung pada kedudukan siapa yang digantikan oleh ahli waris pengganti itu dan berapa jumlah ahli waris yang akan digantikan. Jika yang diganti adalah kedudukan anak perempuan, dan ahli warisnya terdiri dari satu orang anak laki-laki dan ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan satu orang anak perempuan, maka bagian anak laki-laki akan berkurang dari satu bagian penuh menjadi 2/3 bagian, karena 1/3 bagian diberikan kepada ahli waris pengganti. Jika yang digantikan adalah kedudukan anak laki-laki, dan ahli warisnya terdiri satu orang anak laki-laki dan ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan satu orang anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka bagian anak laki-laki akan berkurang dari satu bagian penuh menjadi 2/5 bagian, karena 3/5 bagian diberikan kepada ahli waris pengganti, yaitu 1/5 kepada pengganti anak perempuan dan 2/5 kepada pengganti anak lakilaki. Dan seterusnya.
Terhadap anak perempuan, kehadiran ahli waris pengganti selain mengurangi bagian yang akan dia terima juga dapat merubah statusnya dari dzawil furudl menjadi asabah bil ghairi, tergantung kedudukan siapa yang digantikan oleh ahli waris pengganti tersebut. Jika yang digantikan adalah kedudukan anak perempuan, dan ahli warisnya terdiri dari satu orang anak perempuan dan ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan dua orang anak perempuan, maka bagian anak perempuan berkurang dari satu bagian penuh (1/2 tambah rad) menjadi 3/9 bagian (1/3 x 2/3 + 1/3 x 1/3), karena 6/9 bagian diberikan kepada ahli waris pengganti yang masing-masing mendapat 3/9 bagian. Jika yang digantikan adalah kedudukan anak dan ahli warisnya terdiri dari satu orang anak perempuan dan ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan satu orang anak Iaki-laki, maka kehadiran ahli waris pengganti pertama merubah status anak perempuan tersebut dari dzawil furudl menjadi asabah bil ghairi, dan kedua mengurangi bagiannya dari satu bagian penuh (1/2 tambah rad) menjadi 1/3 bagian, karena 2/3 bagian diberikan kepada ahli waris pengganti. Dan seterusnya.
2.      Terhadap Ayah, ibu, Duda dan Janda
Ayah, ibu, duda dan janda bagiannya sudah ditentukan dalam Pasal 177, 178,179 dan 180 KHI, yaitu
a.       Ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak mempunyai anak, bila ada anak, ayah mendapat 1/6 bagian (Pasal 177).
b.      Ibu mendapat 1/6 bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bilatidak ada anak atau dua saudara atau lebih, maka ibu mendapat            1/3bagian (Pasal 178).
c.       Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,dan bila pewaris meninggalkan anak maka duda mendapat 1/4 bagian(Pasal 179).
d.      Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, danbila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat 1/8 bagian (pasal 180).
Dihubungkan dengan ahli waris pengganti menurut Pasal 185, maka Pasal 177, 178, 179, dan 180 harus dibaca menjadi
a.       Ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak, bila ada anak atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak, ayah mendapat 1/6 bagian (Pasal 177 jo. Pasal 185).
b.      Ibu mendapat 1/6 bagian bila ada anak atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak, atau dua saudara atau lebih atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan dua orang saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak atau dua saudara atau lebih atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan dua orang saudara atau lebih, maka ibu mendapat 1/3 bagian (Pasal 178 jo. Pasal 185).
c.       Duda mendapat 1/2 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak atau ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak, dan bila pewaris   meninggalkan   anak   atau   ahli   waris   pengganti   yang menggantikan kedudukan anak, maka duda mendapat 1/4 bagian (Pasal 179 jo. Pasal 185).
d.      Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak atau ahli waris pengganti yang mengganti kedudukan anak, dan bila pewaris meninggalkan  anak atau  ahli  waris pengganti  yang menggantikan kedudukan anak, maka janda mendapat 1/8 bagian (Pasal 180 jo. Pasal 185).
Dengan demikian, kehadiran ahli waris pengganti menggantikan kedudukan orang tuanya akan mengurangi bagian ayah, ibu, duda atau janda dari 1/3 menjadi 1/6, dari 1/2 menjadi 1/4 dan dari 1/4 menjadi 1/8. Kehadiran cucu dari anak laki-laki sebagai dzawil furudl atau asabah, mengurangi bagian ayah, ibu, duda dan janda, sejak lama teiah diterima sebagai suatu ketentuan hukum. Namun kehadiran cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris pengganti mengurangi bagian ayah, ibu, dtida dan janda, masih  ada  yang  memperdebatkannya.  Demikian  pula  kehadiran anak perempuan saudara laki-laki atau anak laki-laki dan anak  •perempuan saudara perempuan, mengurangi bagian ibu. Namun lepas dari adanya perdebatan tersebut, selama Pasal 185 redaksinya masih seperti itu, maka implikasi dan konsekuensi  yang  demikian  tetap  harus  dapat  diterima  sebagaimana masyarakat Islam menerima KHI sebagai suatu kesepakatan.
3.      Terhadap Saudara
Jika Pasal 185 ayat (1) dihubungkan dengan pasal 181 dan 182 KHI, maka kehadiran cucu sebagai ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan orang tuanya akan menutup hak waris bagi saudara. Kehadiran cucu laki-laki dari anak laki-laki menutup hak waris bagi saudara, sudah sejak lama diterima dan berlaku sebagai suatu ketentuan hukum. Namun kehadiran cucu perempuan dan anak laki-laki, serta cucu laki-laki dan perempuan dari anak  perempuan,  menutup  hak  waris  bagi   saudara  masih  banyak diperdebatkan.
Perdebatan atau perbedaan pendapat mengenai hal ini, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perbedaan pendapat mengenai bisa tidaknya anak perempuan menghijab saudara. Ahli hukum Islam yang berpendapat bahwa anak perempuan tidak bisa menghijab saudara, berpegang pada pendirian bahwa kata "walad" dalam al Qur'an surat an Nisa ayat 12 dan 176, pengertiannya hanya terbatas pada anak laki-laki saja dan tidak mencakup anak perempuan sejalan dengan pendapat mayoritas Ulama. Sebaliknya, ahli hukum Islam yang berpendapat bahwa anak perempuan bisa menghijab saudara seperti dimaksud dalam Pasal 181 KHI, berpegang pada pendirian bahwa kata "walad" pengertiannya tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja, tetapi mencakup pula anak perempuan sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas.
Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, Mahkamah Agung RI melalui 3 keputusannya yaitu keputusan nomor 86KIAG/1994 tanggal 20 Juli 1995, keputusan nomor 184/AG/1995 tanggal 30 September 1996, dan keputusan nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Pebruari 1998 menetapkan bahwa, anak perempuan seperti halnya anak laki-laki dapat menghijab saudara. Dalam keputusannya Nomor 86K/AG/1994 tanggal 10 Juli 1995, Mahkamah Agung berpendapat  bahwa,  "selama masih  ada  anak,  balk laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri menjadi tertutup atau terhijab".
Dengan demikian maka, kehadiran ahli waris pengganti (cucu lakilaki dan perempuan dari anak laki-laki, serta cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan) tidak hanya sekedar untuk mendapatkan warisan, tetapi menggantikan kedudukan orang tuanya menghijab saudara sesuai Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 181 dan 182 KHI, sehingga jika di dalam suatu kasus kewarisan ada ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak pewaris dan ada saudara, maka yang berhak mendapat warisan hanya ahli waris pengganti saja, dan saudara tidak mendapat apa-apa karena terhijab oleh ahli waris pengganti tersebut.
4.3       Persamaan dan Perbedaan Hukum Kewarisan KHI dengan Hukum Kewarisan Syafi'i dan Rinciannya.
Untuk dapat mengungkapkan persamaan dan perbedaan antara teori-teori hukum kewarisan Islam  tersebut secara lebih baik dan akurat, maka selain hukum kewarisan KHI, pokok-pokok hukum kewarisan Syafi'i juga harus diungkap terlebih dahulu.
 4.3.1. Hukum Kewarisan Patrilinial
Hal pokok yang akan diungkapkan pada bagian ini adalah (1) siapa saja yang menjadi ahli waris, (2) bagaimana penggolongan masing-masing ahli waris tersebut, dan (3) pada saat kapan mereka berhak mendapat warisan. Permasalahan (1) dan (2) diungkap dalam sub tentang ahli waris dan penggolongannya, dan permasalahan (3) diungkap dalam sub tentang hijab.
4.3.1.1 Ahli Waris dan Penggolongannya.
Dalam hukum kewarisan Syafi'i, ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dan perkawinan dengan pewaris jumlahnya ada 23 orang, 14 orang lakilaki dan 9 orang perempuan. Ahli waris tersebut yang laki-laki terdiri dari :
1)      Anak laki-laki.
2)      Cucu laki-laki dan anak laki-laki dan seterusnya kebawah.
3)      Ayah.
4)      Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke gas.
5)      Saudara laid-laid sekandung.
6)      Saudara           seayah.
7)      Saudara seibu.
8)      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
9)      9) Anak laki-laki saudara seayah.
10)  Paman yang sekandung dengan ayah. 11) Paman yang seayah dengan ayah.
11)  Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah. 13) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah. 14) Suami atau duda.
Jika ahli waris laki-laki yang empat belas orang itu semuanya ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya tiga orang saja yaitu ayah, anak laki-laki, dan suarni atau duda.
Ahli waris perempuan terdiri dari :
1)      Anak perempuan.
2)      Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah melalui garis laki-laki.
3)      Ibu.
4)      Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
5)      Nenek dari pihak ayah.
6)      Saudara perempuan sekandung.
7)      Saudara perempuan seayah.
8)      Saudara perempuan seibu.
9)      Isteri atau janda.
Jika ahli waris perempuan  yang  sembilan orang itu semuanya ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang saja yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak  laki-laki, ibu, saudara perempuan sekandung, isteri atau janda. Dan jika ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan yang dua puluh tiga orang itu semuanya ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang saja yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, ayah, dan duda atau janda.
Hukum kewarisan patrilinial SyafiL'i selanjutnya membagi ahli waris atas tiga golongan yaitu dzawil furudl, asabah dan dzawil arham.
 4.3.1.1.1         Dzawil Furudl
Dzawil furudl ialah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu yakni seperdua, seperempat, seperdelapan, duapertiga, sepertiga dart seperenam. Adapun ahli waris yang mendapat seperdua terdiri dari :
a)      Anak perempuan tunggal (QS. an Nisa ayat 11).
b)      Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki (Qiyas).
c)      Saudara perempuan tunggal yang sekandung (QS. an Nisa ayat 176).
d)     Saudara perempuan tunggal yang seayah jika yang sekandung tidak ada (QS. an Nisa ayat 176).
e)      Suami atau duda jika isterinya yang meninggal itu tidak mempunyai anak
            atau cucu dari anak laki-laki (QS. an Nisa ayat 12).
Ahli waris yang mendapat seperempat terdiri dari:
a)      Suami atau duda jika isterinya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. an Nisa ayat 12).
b)      Isteri atau janda jika suaminya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. an Nisa ayat 12).
Ahli waris yang mendapat seperdelapan hanya satu orang saja yaitu isteri atau janda jika suaminya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (QS. an Nisa ayat 12).
Ahli waris yang mendapat duapertiga terdiri dari:
a)      Dua orang anak perempuan atau lebih, jika anak laki-laki tidak ada (QS. an Nisa ayat : 11).
b)      Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika anak perempuan tidak ada (Qiyas).
c)      Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (QS. an Nisa ayat176).

d)     Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika yang sekandung tidak ada (QS. an Nisa ayat 176).
Ahli waris yang mendapat sepertiga terdiri dari :
a)      Ibu jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. an Nisa ayat 11).
b)      Dua orang saudara atau lebih yang seibu        (QS. an Nisa ayat 12).
Ahli waris yang mendapat seperenam terdiri dari :
a)      Ibu jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak, atau cucu baik laki-Iaki maupun perempuan dari anak laki-laki, atau saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah atau seibu (QS. an Nisa ayat 11).
b)      Ayah jika anaknya yang meninggal itu ada mempunyai anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki (QS. an Nisa ayat 11);
c)      Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) jika anaknya yang meninggal itu tidak mempunyar ibu (HR. Zak").
d)     Cucu perempuan seorang atau lebih dari anak laki-laki, jika pewaris mempunyai satu orang anak perempuan (HR. Bukhari).
e)      Kakek dari pihak ayah jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki sedangkan ayahnya tidak ada (Ijma' Ulama).
f)       Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan (QS. An Nisa ayat 12).
g)      Seorang atau lebih saudara perempuan seayah jika pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung (ijma' Ulama).
4.3.1.1.2. Asabah
Asabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan berapa besar bagiannya, namun is berhak menghabisi semua harta jika mewaris seorang diri, atau semua sisa harta jika mewaris bersama dengan ahli waris dzawil furudl. Hukum kewarisan patrilinial Syafi'i mengenal tiga macam asabah, yaitu asabah bin nafsi, asabah bilghairi dan asabah ma'al ghairi. Asabah bin nafsi adalah ahli waris (laki-laki) yang sejak semula berkedudukan sebagai asabah. Asabah bin nafsi ini terdiri dari :
a)      Anak laki-laki
b)      Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
c)      Ayah.
d)     Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas.
e)      Saudara laki-laki sekandung.
f)       Saudara laki-laki seayah.
g)      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
h)      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
i)        Paman yang sekandung dengan ayah.
j)        Paman yang seayah dengan ayah.
k)      Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah. 1) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
            Asabah  bil  ghairi  adalah  ahli  waris (perempuan)  yang  semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi asabah karena tertarik oleh saudaranya yang laki-laki, sehingga ahli waris laki-laki dan ahli  waris  perempuan  bersama-sama menjadi  asabah,  dan mereka berhak menghabisi semua harta atau semua sisa harta dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian yang perempuan. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a)      Anak perempuan menjadi asabah karena tertarik oleh anak laki-laki.
b)      Cucu perempuan menjadi asabah kerena tertarik oleh cucu laki-laki.
c)      Saudara perempuan sekandung menjadi asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki yang sekandung.
d)     Saudara perempuan seayah menjadi asabah karena tertarik oleh saudara laki-laki seayah.
Asabah ma'al  ghairi adalah ahli waris            (perempuan)  yang  semula berkedudukan sebagai dzawil furudl, kemudian berubah status menjadi asabah karena mewarisi harta bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pewaris. Ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah :
a)           Saudara perempuan sekandung jika mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris.
b)          Saudara perempuan seayah jika mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan pewaris.
 4.3.1.1.3. Dzawil Arham
Dzawil  arham ialah keluarga pewaris yang tidak termasuk dalam kelompok ahli waris dzawil furudl dan asabah. Menurut Abdullah Siddik[3] dzawil arham itu meliputi semua anggota keluarga laki-laki dan perempuan di garis Ibu dan semua anggota keluarga perempuan di garis bapak. Dengan demikian, ahli waris yang termasuk dalam kategori ini adalah:[4]
a)      Cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan.
b)      Anak lake-lake dan anak perempuan dari cucu perempuan.
c)      Kakek dare pihak ibu.
d)     Nenek dare pihak kakek (ibu dari nenek).
e)      Anak perempuan dare saudara laid-laid yang sekandung, seayah atau seibu.
f)       Anak laki-lake dart saudara laid-lake seibu.
g)      Anak laki-laki dan anak perempuan dare saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
h)      Saudara perempuan ayah dan saudara perempuan kakek.
i)        Saudara laid-laid dan saudara perempuan yang seibu dengan ayah.
j)        Saudara laki-laki dan saudara perempuan yang seibu dengan kakek.
k)      Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu.
l)        Anak perempuan paman dare pihak ibu.
m)     Turunan dari dzawil arham-dzawil arham tersebut.
Hak kewarisan bagi dzawil arham tidak disinggung di dalam al Qur'an surat An Nisa ayat 11, 12, 176. Namun sebagai keluarga mereka berhak mewarisi harta pewaris selama ahli waris yang disebut dalam surat An Nisa ayat 11, 12, dan 176 tidak ada. Hak kewarisan bagi dzawil arham dapat ditemukan dasarnya di dalam Al Qur'an surat an Nisa ayat 7, surat al Anfal ayat 75, Al Ahzab ayat 6, dan diperkuat oleh sejumlah hadits. Dalam al Qur'an surat an Nisa ayat 7 ditegaskan bahwa, "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu ayah dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan  ibu ayah dan kerabatnya,  balk sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan". Ayat ini selain menerangkan tentang hak anak baik laki-laki maupun perempuan terhadap harta peninggalan orang tuanya, juga menerangkan tentang adanya hak bagian untuk kerabat terhadap harta peninggalan kerabatnya. Karena dzawil arham termasuk kerabat, maka dengan predikat ini mereka berhak mendapat bagian dari harta warisan.
Hak dzawil arham untuk mewaris saat di mana ahli waris dzawil furudl dan asabah tidak ada, lebih utama dibandingkan hak umat Islam lainnya yang tidak mempunyai hubungan kelurga dengan pewaris. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Anfal ayat 75 yang terjemahannya adalah "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada) yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Lebih tegas lagi dinyatakan di dalam surat Al Ahzab ayat 6 yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (warts mewaris) di dalam kitab Allah dari pada orang-orang yang mukmin dan orang-orang muhajirin,  kecuali kalau kimu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu lebih tertulis dalam kitab (Allah).”
Kedua ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga lebih utama mewarisi harta keluarganya dibandingkan dengan orang-orang Islam lainnya. Keinginan untuk berbuat baik antar sesama   Islam dapat dilakukan dengan jalan wasiat, bukan melalui pemberian hak untuk saling mewaris.
Kebiasaan untuk saling mewaris antar sesama Islam, yakni antara orangorang Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam telah di hapus oleh at Qur'an surat al Ahzab ayat 6 dan an Nisa ayat 7. M. Ali as Shabuni[5] mengatakan, Ayat ini (an Nisa ayat 7) menghapus hukum kewarisan yang berlaku pada permulaan Islam, dimana kewarisan didasarkan pada hubungan perwalian dan hubungan persaudaraan dalam agama atau disebabkan hijrah dan pertolongan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin. Syari'at telah menetapkan kewarisan kerabat dan menyampingkan orang lain sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat kewarisan. Bahkan oleh ayat ini ditetapkan kewarisan bagi semua kerabat tanpa diskriminasi dan secara gamblang merupakan dalil bagi kewarisan dzawil arham.
Di kalangan ahli faraidl baik golongan sahabat maupun para imam madzhab terdapat perbedaan pendapat. Sebagian menolak kewarisan bagi dzawil arham dan sebagian mengakuinya. Yang menolak kewarisan bagi dzawil arham antara lain Zaid bin Tsabit, Said bin Musayyad, Saad bin Bair, Sufyan as Tsaury, Imam Malik, Imam Syafi'i, al Auza'i, dan Ibnu Hazm. Menurut golongan ini, dzawil arham tidak berhak mendapat warisan. Apabila ahli waris dzawil furudl dan asabah tidak ada maka warisan di wariskan kepada umat Islam melalui Baituimal. Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh golongan ini adalah :[6]
a)        Pada dasarnya kewarisan didasarkan pada nash syara' yang qath'i balk dui Al Qur'an maupun Sunnah Rasul. Dari kedua nash tersebut tidak didapati ketentuan yang menunjukan adanya hak waris bagi dzawil arham. Dengan demikian kewarisan bagi dzawil arham tidak didasarkan pada nash dan dalil, dan hal itu adalah batil.
b)       Nabi Muhammad pernah ditanya tentang kewarisan saudara perempuan ayah yaitu Ammah dan saudara perempuan ibu yaitu Khalah (dzawil arham).  Beliau menjawab, mereka berdua tidak mendapat apa-apa dari warisan. Jika kedua dzawil arham itu tidak mendapat apa-apa dari harta warisan maka dzawil arham selain mereka juga tidak berhak mewaris.
c)        Jika harta warisan diserahkan kepada Baitulmal, manfaat dan faedahnya sangat besar dan menjadi milik bersama seluruh umat Islam. Kalau diberikan kepada dzawil arham manfaat dan faedahnya hanya sedikit, karena hanya dinikmati oleh yang bersangkutan saja, pada hal menurut kaedah fiqih kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan khusus.
Golongan yang mengakui kewarisan bagi dzawil arham antara lain adalah 4 orang khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Muazd bin Jabal, Syuraih al Qadhi, Ibnu Sirin, Atha dan Mujahid, Imam Abu Hanafiah, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf, Muhammad bin Abi Laila, Ishak bin Rahawaih, dan- para fuqaha pengikut setia madzhab Syafi'iyah dan Malikiyah. Golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham berhak mendapat warisan apabila ahli waris dzawil furudl dan asabah tidak ada. Hak waris bagi dzawil arham lebih utama dibandingkan dengan hak umat Islam lainnya. Argumentasi yang dikemukakan oleh golongan ini adalah :[7]

a)            Makna keluarga (ulul arham) dalam al Qur'an surat al Anfal ayat 75 itu pengertiannya bersifat umum, meliputi semua keluarga baik yang tergolong dzawil furudl dan asabah maupun di luar keduanya. Dan setiap keluarga lebih barhak mewarisi warisan keluarganya dari pada orang lain
b)            Rangkaian kalimat yang berbunyi sebagian kerabat itu lebih utama mewarisi harta sebagian kerabatnya yang lain menurut ketetapan Allah, tidak boleh ditafsirkan dengan cara menyingkirkan dzawil arham dari pengertian kerabat secara umum.  Mengambil  suatu ketetapan  dari  suatu nash  hendaklah bersumber dad pengertian umum yang terkandung dalam lafadz nash itu sendiri, bukan dari motif-motif yang .khusus sesuai dengan kaedah ushul fiqih.
c)            Al Qur'an surat an Nisa ayat 7 menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan mendapat bagian dari harta peninggalan keluarga dan kerabat mereka. Maksud ayat ini dengan jelas ditujukan kepada kerabat, dan bagi mereka ada bagian dari harta warisan sedikit atau banyak. Dzawil arham secara ittifaq termasuk kerabat, maka dengan predikat ini mereka berhak memperoleh harta. Disamping itu ayat ini menghapus hukum kewarisan pada permulaan  Islam,  di  mana hak kewarisan didasarkan pada hubungan perwalian dan hubungan persaudaraan antar sesama Islam.
d)           Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi Muhammad SAW perihal harta warisan  dari  Sahl  bin  Hunaif yang  meninggal  dunia  dengan  tidak meninggalkan ahli waris lain kecuali saudara laki-laki ibu yang bernama Khal. Nabi menjawab Khal menjadi ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris dzawil furudl dan asabah. Hadits ini merupakan dalil berhaknya dzawil arham menerima warisan.
e)            Dalam hadits yang lain diceritakan bahwa seorang laki-laki bemama Tsabit bin ad Dandah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan seorangpun ahli waris  dzawil  furudl  dan  asabah,  kecuali  seorang  anak  laki-laki  dari saudaranya yang perempuan yang bemama Abu Lubabah bin Abduf Mundzir. Kepada Qais bin Ashim Nabi Muhammad bersabda, berikan harta warisan kepadanya (kepada Lubabah) : hadits ini merupakan dasar bagi kewarisan dzawil arham.
Dari sudut logika mereka mengemukakan alasan bahwa hubungan dzawil arham dengan pewaris lebih dekat dan lebih utama dibandingkan hubungan Baitulmal dengan pewaris, karena antara dzawil arham dengan pewaris terdapat dua macam  hubungan  yaitu hubungan  keluarga dan hubungan seagama, sedangkan antara Baitulmal dengan pewaris hanya terdapat satu macam hubungan saja yaitu hubungan seagama.
Dari   kedua  pendapat  tersebut  yang  kuat  menurut  Muhammad Abdurrahim al Kisyka ialah pendapat yang mengakui hak kewarisan bagi dzawil arham,  karena  alasan-alasan  yang  mereka  kemukakan  berlandaskan  pada keumuman al Qur'an, dikuatkan oleh sunnah dan praktek khulafaur rasyidin.[8]
Di Indonesia meskipun pengaruh madzhab Syafi'i sangat besar dan kuat, namun para ahli faraidl baik kalangan ulama maupun sarjana mengakui dzawil arham sebagai ahli waris yang berhak mewaris selama tidak ada ahli waris dzawil furudl dan asabah. Itu dapat dibuktikan dari hampir semua buku-buku tentang faraidl baik yang dikarang langsung oleh ahli faraidl Indonesia maupun berupa saduran atau terjemahan dari bahasa Arab yang diterbitkan di Indonesia, semuanya mengakui dzawil arham sebagai ahli waris. Hal tersebut tidaklah mengherankan, karena selain pendapat tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat juga dipandang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang dalam hal kewarisan cenderung kearah sistem kewarisan bilateral.
4.3.1.2 Hijab
Hijab  ialah  dinding,  halangan  atau  rintangan  yang  menyebabkan seseorang tidak mendapat warisan atau berkurangnya bagian dari seorang ahli waris. Hijab ada dua macam, yaitu Hijab Nuqshan dan Hijab Hirman.
4.3.1.2.1. Hijab Nuqshan
Hijab Nuqshan ialah hijab yang hanya mengurangi bagian dari seorang ahli waris. Yang termasuk dalam hijab nuqshan ini adalah :
a)           Ibu, bagiannya berkurang dari sepertiga menjadi seperenam karena terhijab oleh anak, atau cucu, atau dua orang saudara atau lebih.
b)          Duda, bagiannya berkurang dari seperdua menjadi seperempat karena terhijab oleh anak atau cucu dari anak laki-lald pewaris.
c)           Janda, bagiannya berkurang dari seperempat menjadi seperdelapan karena erhijab oleh anak atau cucu dari anak laki-laki pewaris.
4.3.1.2.2. Hijab Hirman
Hijab hirman ialah hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapatkan warisan sama sekali. Hijab hirman selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu :
a)           Hirman bil washfi, yaitu hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapatkan warisan karena ada hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu seperti membunuh, beda agama, dan lain-lain.
b)          Hirman bisy syakhshi, yaitu hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapatkan warisan karena ada ahli waris lain yang lebih berhak dari padanya disebabkan lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Ahli waris yang terhijab dalam hijab hirman ini adalah :[9]
(1)   Kakek, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ayah.
(2)   Nenek, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh ibu.
(3)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak mendapat warisan karena terhijab oleh anak laki-laki.
(4)   Cucu perempuan dari anak laki-laki, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    anak laki-laki, atau;
(b)   dua orang anak perempuan
(5)   Saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(6)   Saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh:
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   Saudara laki-laki sekandung.
(7)   Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh:
(a)    anak laki-laki dan anak perempuan).
(b)    cucu (laki-laki dan cucu perempuan).
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(8)   Anak laki-laki saudara karena terhijab oleh:
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(e)    Saudara laki-laki sekandung.
(f)    Saudara seayah.sekandung, tidak mendapat warisan
(9)   Anak laki-laki seayah tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   kakek.
(e)    Saudara sekandung.
(f)    Saudara laki-laki seayah.
(g)   Anak saudara sekandung.
(10)     Paman sekandung dengan ayah, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(e)    Saudara laki-laki sekandung.
(f)    Saudara laki-laki seayah.
(g)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
(h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
(11)     Paman seayah dengan ayah, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(e)    Saudara laki-laki sekandung.
(f)    Saudara laki-laki seayah.
(g)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
(h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
(i)     Paman yang sekandung dengan ayah.
(12)     Anak laki-laki paman sekandung dengan ayah, tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(e)    Saudara laki-laki sekandung.
(f)    Saudara laki-laki seayah.
(g)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
(h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
(i)     Paman yang sekandung dengan ayah.
(j)     Paman yang seayah dengan ayah.
(13)     Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah tidak mendapat warisan karena terhijab oleh :
(a)    Anak laki-laki.
(b)   Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
(c)    Ayah.
(d)   Kakek.
(e)    Saudara laki-laki sekandung.
(f)    Saudara laki-laki seayah.
(g)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
(h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
(i)     Paman sekandung dengan ayah. Paman seayah dengan ayah.
(j)     Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah.

4.4       Keunggulan dan Kelemahan Kewarisan KHI dan Syafi'i
Keunggulan dan kelemahan kedua teori hukum kewarisan tersebut akan dibahas/dianalisa dalam konteks hubungannya pertama dengan pemberian hak saling mewaris antara para ahli waris, kedua kedudukan dan hak waris ayah, ketiga penafsiran terhadap arti kalalah dalam An Nisa ayat 12. dan 176, keernpat penentuan siapa yang berhak atas sisa bagi (rad) dan gharawain, kelima kemungkinan anak perempuan atau cucu perempuan menghajab saudara pewaris, dan keenam Wasiat dan Hibah.
4.4.1    Hak Saling Mewaris
Adanya hak saling mewaris antara pewaris dan ahli waris ditentukan sendiri oleh Al Qur'an surat An Nisa ayat 7. Di sini ditegaskan tentang hak anak (laki-laki/perempuan) untuk mewarisi harta ibu bapaknya dan hak kerabat untuk mewarisi harta kerabatnya. An Nisa ayat 7 ini harus dibaca dalam konteks hubungannya dengan ayat yang lain, yakni ayat 11, 12 dan 176 dan ketiga ayat ini menunjukkan bahwa hak waris yang diberikan kepada ahli waris tersebut bersifat timbal balik, yakni anak mewarisi ibu bapaknya dan sebaliknya ibu bapak mewarisi anak-anaknya, saudara saling mewarisi satu dengan yang lain, demikian pula kerabat juga saling mewarisi secara timbal balik, dengan tidak mengenal diskriminasi antara kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Hak kerabat untuk mewarisi harta kerabatnya selain didasarkan pada an Nisa ayat 7, juga dapat dipahami dari ayat-ayat kewarisan yang lain, yakni an Nisa ayat 33, al Ahzab ayat 6 dan al Anfal ayat 75. Keunggulan dan kelemahan kedua teori hukum kewarisan Islam tersebut mulai tampak saat menentukan hak waris bagi saudara dan para kerabat.
Tentang kerabat, kelemahan hukum kewarisan Syafi'i ialah penentuan ahli warisnya bersifat diskriminasi dan terbatas. Diskriminasi seperti telah dikemukakan di atas adalah hanya kerabat laki-laki atau kerabat yang berasal dari keturunan la.ki-laki yang berhak mewaris. Padahal jika dibaca redaksi An Nisa ayat 7 dan 33, diskriminasi itu seharusnya tidak ada. Sumber adanya diskriminasi dalam penentuan Ahli Waris dari teori Syafi'i (Ahlussunnah) menurut Amir Syarifuddin berasal dari kata Aulad yang ada dalam ayat 11, merupakan bentuk jamak yang dapat berarti beberapa orang anak dalam garis yang sama (horizontal) dan dapat pula berarti beberapa tingkat anak (garis vertikal). Kata aulad oleh Ulama Ahlussunnah penggunaannya kemudian diperluas kepada walad al aulad (cucu) dalam penempatannya dilakukan secara diskriminatif, sehingga dalam menentukan hak waris kata walad  oleh mereka hanya diperuntukkan bagi anak dari anak laki-laki dan tidak kepada anak dari anak perempuan. Cucu (anak dari anak) perempuan juga mereka akui sebagai orang yang mempunyai hubungan keluarga  dengan  pewaris  seperti  halnya  cucu  dari  anak  laki-laki,  tetapi ditempatkan sebagai dzawil arham sehingga tidak berhak mewaris.[10]
Amir Syarifuddin lebih lanjut mengatakan bahwa:[11] Sulit mencarikan argumen rasional dalam literatur yang ada mengapa ulama Ahli Sunnah membedakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hal penerusan haknya kepada anak-anaknya. Padahal, Allah sendiri tidak membedakan keduanya kecuali dalam kadar penerimaan. Meskipun budaya yang berlaku di Arab waktu itu membedakan dengan jelas laki-laki dan perempuan,  ternyata Allah telah mengubah budaya diskriminatif tersebut dengan menetapkan anak perempuan sebagai ahli waris bersama anak laki-laki. Pendapat Ahlussunnah dalam membedakan keturunan anak laki-laki dari anak perempuan itu jelas menunjukkan sisa adat jahiliyah yang belum terkikis dari pemikiran para ulama Ahli Sunnah. Adat jahiliyah yang dimaksud adalah pengakuan garis kerabat itu hanya dari pihak laki-laki atau patrilinail sebagaimana tergambar dari sepotong syair Arab yang berbunyi: "Anak-anak kita itu adalah anak-anak dari anak laki-laki kita dan anak perempuan kita; sedangkan anak-anak dari anak perempuan kita adalah anak dart laki-laki pihak yang jauh. " Menurut paham mereka yang menganut sistem patrilini anak dari anak perempuan itu adalah anak orang lain yang sudah berada di luar lingkungan kerabat. Karena harta warisan turun kepada kerabat sedangkan anak-anak dart anak perempuan bukan lagi berada dalam lingkaran kerabat maka dia tidak mendapat warisan.
Ulama Syi'ah menurut Amir Syarifuddin, "walau .dari segi adat dan budaya juga bangsa Arab yang asalnya berpaham patrilinial, namun mereka dapat menempatkan pertimbangan syara' di atas pertimbangan adat. Oleh karena itu ulama Syi'ah berpendapat bahwa cucu atau keturunan dart anak perempuan adalah ahli waris yang sah sebagai zulfurudh seperti halnya keturunan dart anak laki-laki". Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa Allah telah menyamakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam mendapatkan hak, lalu mengapa manusia mendiskriminasikan anak keturunan mereka."[12]
Paham  ulama Syi'ah ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas yang dikutip oleh Mahkamah Agung R.I. dalam keputusannya Nomor 86K/AG/1994 tanggal 10 Juli 1995, yang menegaskan bahwa pengertian walad pada ayat 12 dan 176 surat An Nisa mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan."[13]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa diskriminasi dalam penentuan ahli waris tersebut bersumber pada akar budaya masyarakat Arab yang tercermin dart sistem kekeluargaan mereka yang patrilinial, bukan dart al Qur'an. Al Qur'an dengan  ayat-ayat kewarisan tersebut bermaksud hendak menghapus  sistem kekeluargaan patrilinial (suatu sistem yang menunjukkan dominasi kaum laki-laki dalam segala halnya termasuk dalam perolehan hak waris), dan membangun sistem kekeluargaan yang bilateral atau parental. Sistem ini menurut Abdullah Sidik sesuai dengan perkembangan terakhir masyarakat dunia yang teratur.[14]
Indonesia sendiri menurut Ichtijanto SA cenderung menuju kearah sistem kekeluargaan yang bilateral. Hal tersebut terbukti dari yurisprudensi.[15] Tentang kewarisan, dalam Keputusan Badan Perencana Lembaga Pembinaan Hukum Nasional tanggal 20 Mei 1962 Pasal 12 huruf f dikatakan bahwa "hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan dimungkinkan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.[16] Ketentuan ini sejalan dengan apa yang ditetapkan dalam Rancangan Hukum Kewarisan Nasional butir ke-6 yang menegaskan bahwa "Peraturan fara'id untuk orang Islam diakul sebagai variasi di dalam sistem kewarisan parental  individual.[17] Oleh karena itu, hukum kewarisan yang didasarkan pada sistem kekeluargaan yang patrilinial dipandang sudah tidak relevan lagi. Adanya  diskriminasi  tersebut  membawa  konsekuensi  tersingkirnya sebagian kerabat oleh kerabat lainnya, padahal diantara para kerabat tersebut derajat atau posisinya sama yakni sama-sama cucu, atau sama-sama saudara, atau sama-sama keponakan, atau sama-sama saudara dari ayah atau ibu pewaris. Dan yang lebih memprihatinkan ialah ada kalanya orang yang seharusnya menjadi ahli waris karena mempunyai hubungan kerabat (darah) namun tersingkir oleh mereka yang  sama sekali tidak mempunyai hubungan keluarga (dalam hal  harta diwariskan kepada Baitulmal). Ini jelas tidak sejalan dengan amanat dan jiwa al Qur'an surat an Nisa ayat 7, 33, al Ahzab ayat 6 dan al Anfal ayat 75. Namun patut disadari bahwa Syafi'i menetapkan garis hukum seperti itu bukan  tanpa  dasar  dan  argumentasi.  Dasar  dan  argumentasinya  seperti dikemukakan oleh kalangan Ahlussunnah yang menolak hak waris dzawil arham adalah, "pertama kewarisan pada prinsipnya didasarkan pada nash Syara' (Qur'an atau Hadits) yang qath'i, di luar itu adalah batil, kedua Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa saudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu tidak mendapat warisan, dan ketiga jika harta warisan diserahkan kepada Baitulmal, manfaat dan faedahnya sangat besar dan menjadi milik bersama seluruh umat Islam, sejalan dengan kaidah figh yang menyatakan bahwa kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan khusus.[18]
Kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorang atau kelompok orang selaku ahli waris ini dapat dipandang sebagai nilai lebih (keunggulan) teori Syafi'i dibanding Hazairin dan KHI yang sedikit agak individualis. Selain itu, teori Syafi'i ini sangat sesuai dengan sistem kekeluargaan masyarakat Arab yang berlaku saat itu.
Adapun yang dimaksud dengan terbatas adalah, dalam hal pewaris mempunyai anak laki-laki yang masih hidup maka cucu-cucu dari anak laki-laki pewaris yang lain tidak mendapat warisan karena harta atau sisa harta seluruhnya diwariskan kepada anak laki-laki pewaris tersebut. Jadi, hak waris cucu-cucu dibatasi oleh kehadiran anak laki-laki. Tidak diketahui mengapa anak laki-laki harus membatasi/menghilangkan hak waris anak-anak dari anak pewaris yang lain. Padahal cucu-cucu pewaris ini, jika ayahnya yang meninggal itu masih hidup akan memperoleh dalam anti ikut menikmati warisan dari harta peninggalan kakeknya dan kemudian jika orang tuanya itu meninggal kelak hartanya akan jatuh ke tangan atau akan menjadi hak dari cucu-cucu tadi, bukan jatuh ke tangan anak pewaris yang masih hidup. Untuk itu, mestinya anak pewaris yang masih hidup hanya bisa menutup hak waris dari anaknya sendiri terhadap harta warisan kakeknya, yaitu orang tua ayahnya dikarenakan ayah tersebut masih hidup, sedangkan cucu-cucu yang lain ayahnya sudah mati, sehingga tidak ada lagi yang membatasi hubungan antara dia dengan kakeknya tersebut.
Akan tetapi, jika dihubungkan dengan sifatnya yang diskriminatif, yakni hanya anak laki-laki saja yang menutup hak waris cucu-cucu yang berasal dari anak-anak pewaris yang lain, sedangkan anak perempuan tidak, maka dapat diduga bahwa mungkin sekali hal tersebut dikaitkan dengan kewajiban anak laki-laki tersebut terhadap cucu-cucu tadi dalam hal perwalian, dimana is bertanggung jawab terhadap cucu-cucu itu dalam segala halnya sampai mereka telah dewasa (jika laki-laki) atau sudah berkeluarga (jika perempuan). Jika ini yang menjadi alasan,  kelemahannya  adalah  bahwa  masalah  perwalian (paman  terhadap keponakannya) seharusnya tidak sampai menghapus hak waris dari cucu-cucu tersebut. Seyogyanya perwalian hanya diarahkan pada kewajiban untuk mengurus harta warisan yang mereka peroleh dari warisan kakeknya tersebut, agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pemeliharaan dan biaya hidup mereka, jadi bukan untuk menghapus hak waris.
4.4.2    Kedudukan dan Hak Waris Ayah
Mengenai kedudukan dan hak waris ayah dalam hal pewaris tidak mempunyai anak atau saudara, keunggulan KHI di sini ialah ada kepastian tentang kedudukan ayah yakni sebagai dzawil furudl dengan memperoleh bagian 1/3 harta sesuai ketentuan Pasal 177 KHI. Kelemahannya ialah tidak ada uraianlpenjelasan lebih lanjut tentang bagaimana jika ayah hanya mewaris bersama ibu, apakah ia akan berbagi lagi atas 1/3 sisa harta, atau semua sisa harta menjadi miliknya sendiri jika ia diperkenankan juga menempati kedudukan sebagai asabah selain sebagai dzawil faraidl. Dalam teori Syafi'i, di sini ayah akan meenempati kedudukan yang bervariasi, yakni sebagai dzawil furudl dalam hal bagian kewarisan melebihi angka satu (aul), sebagai asabah jika harta warisan mencukupi untuk itu, dan sebagai dzawil faraidl sekaligus asabah jika bersama cucu perempuan dari anak laki-laki. Keunggulan teori Syafi'i di sini ialah ada jaminan kepastian bahwa ayah pasti akan mendapat hak waris, dan kelemahannya adalah bahwa posisi atau kedudukan ayah tidak pasti atau tidak menentu. Sedangkan Hazairin menempatkan ayah sebagai dzawul qarabat. Keunggulannya adalah kedudukan ayah bersifat pasti baik pada keutamaan kedua maupun ketiga. Kelemahannya ialah tidak ada jaminan kepastian tentang hak waris bagi ayah sesuai sifat kedudukannya sebagai dzawul qarabat.
4.4.3    Arti Kalalah
Dalam surat an Nisa ayat 12 dan 176 yang mengatur perolehan hak waris bagi saudara terdapat kata "kalalah". Syafi'i dan kalangan ahlussunnah yang kemudian diikuti oleh KHI, mengartikan kata kalalah tersebut berbeda satu dengan yang lain, baik dart sisi keadaan pewaris maupun dart sisi peruntukannya bagi para ahli waris. Dari sisi keadaan pewaris, ayat 12 diartikan pewaris mati dengan tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai anak namun diwarisi oleh saudara, sedangkan ayat 176 diartikan pewaris mati dengan tidak mempunyai anak (ayah tidak disebut). Dari sisi peruntukannya, ayat 12 diperuntukkan bagi saudara seibu, sedangkan ayat 176 diperuntukkan bagi saudara sekandung atau seayah.
M. Quraish Shihab walau pendiriannya sama dengan mayoritas ulama ahli tafsir, namun ia sendiri mengakui ada pendapat yang berbeda-beda mengenai arti kalalah. Ia mengatakan ada yang memahaminya dalam arti pewaris mati tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, ada yang memahaminya dalam arti pewaris mati tanpa meninggalkan ayah saja, dan ada pula yang memahaminya dalam arti tanpa meninggalkan anak saja. Selain itu ada juga yang memahami ayat tersebut hanya melihat dari sudut pewaris atau keadaan pewaris, dan ada pula yang melihat dari sudut ahli waris.[19] Untuk  dapat  menganalisa dan mengungkap  keunggulan  dan  kelemahan masing-masing teori tersebut, maka terlebih dahulu harus dikemukakan arti hakiki dari kata kalalah pada kedua ayat tersebut, yakni arti yang tidak dipengaruhi oleh faktor atau kondisi lain yang membentuk atau mewarnainya.
Sajuti Thalib menafsirkan an Nisa ayat 12 sebagai berikut:[20]
“Dan bagi kamu (kamu-kamu)           seperdua dari harta peninggalan isteri-isteri kamu (kamu-kamu) kalau mereka tidak mempunyai anak (walad), maka jika ada bagi mereka itu anak (walad) maka bagi kamu (kamu-kamu) seperempat dari harta peninggalan mereka, sesudah pengeluaran wasiat yang diwasiatkannya atau hutang;  dan  bagi mereka seperempat dari harta peninggalan kamu kalau tidak ada bagi kamu anak (walad), maka jika ada bagi  kamu  anak (walad)  maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalan kamu, sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu wasiatkan atau hutang; dan jika ada seorang laki-laki diwarisi secara punah (kalalah) atau seorang perempuan, sedangkan baginya ada seorang saudara atau seorang saudara perempuan, maka setiap mereka itu memperoleh seperenam, maka jika ada mereka itu lebih banyak daripada demiklan maka mereka bersekutu (syurak-aa) untuk sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya  atau  hutang,  pengeluaran  yang  tidak  mendatangkan kemudaratan (kesempitan),  demikianlah ketentuan Allah;  dan Allah itu mengetahui lagi penyantun.”
Sedangkan ayat 176 menurut Sajuti Thalib, tafsir atau terjemahannya adalah sebagai berikut:[21]
“Mereka minta fatwa kepada engkau; katakanlah, hai Muhammad, Allahlah yang member! fatwa kepada kamu mengenai hal kalalah itu, jika seseorang manusia celaka tidak ada baginya walad, dan baginya ada seseorang saudara perempuan   maka   bagi   saudara   perempuan   itu   seperdua   harta peninggalannya, dan saudara laki-lald itulah yang akan mewarisi saudara perempuannya kalau tidak ada bagi saudara perempuan itu walad; maka jika ada saudara perempuan itu dua orang maka bagi keduanya duapertiga harta peninggalan, dan jika ada mereka itu saudara-saudara yang terdiri dari lakilaki dan perempuan maka bagi yang seorang laki-laid sebanyak bagian dua orang perempuan; Allah menerangkan hal tersebut kepada kamu agar kamu jangan tersesat, dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya.”
Tafsir atau terjemahan yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib tersebut pada dasarnya sama atau tidak berbeda dengan tafsir atau terjemahan yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus. Menurut Mahmud Yunus, An Nisa ayat 12 terjemahannya adalah sebagai berikut:[22]
“Jika seorang laki-laki diwarisi sebagai kalalah (orang punah) atau seorang perempuan dan baginya ada saudara laki-laki atau perempuan maka untuk tiap-tiap seorang di antara keduanya, 1/6. Kalau mereka itu (saudara-saudara) lebih banyak daripada itu (seorang), maka mereka berserikat pada 1/3 . . . “
Sedangkan an Nisa ayat 176 menurut Mahmud Yunus terjemahannya adalah sebagai berikut:[23]
“Katakanlah, Allah memfatwakan kepadamu tentang kalalah (orang punah). Kalau seorang manusia telah meninggal, tidak ada baginya anak dan baginya ada saudara perempuan, maka untuknya   dari peninggalan saudara laki-laki juga mewarisi saudara perempuan jika tai ada anak bagi saudara perempuan itu. Kalau saudara perempuan itu dua orang, maka untuknya 2/3 dare peninggalan.  Kalau  ada  beberapa  orang saudara  laid-laid dan perempuan, maka untuk laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. “
Mahmud Yunus lebih lanjut mengatakan bahwa dalam ayat 12 tidak disebut ayah masih hidup atau sudah mati.[24] Jadi sama halnya dengan ayat 176. Dengan demikian maka kata kalalah pada kedua ayat tersebut mempunyai arti yang sama, yaitu pewaris mati dengan tidak meninggalkan anak, tetapi diwarisi oleh saudaranya.
Untuk memahami lebih lanjut arti dan makna kalalah pada kedua ayat tersebut secara lebih jelas, maka harus dipelajari sejarah atau latar belakang historis diturunkannya kedua ayat kalalah itu. Dan kedua ayat tersebut yang pertama kali diturunkan adalah ayat 12, bersamaan dengan ayat 11, yakni pada awal tahun ke-4 atau tepatnya beberapa waktu sesudah terjadinya perang Uhud yakni pada tanggal 15 Syawal tahun ke-3 Hijriah.[25]
Ada dua riwayat yang menceritakan latar belakang turunnya ayat 12, yaitu Hadits Saad bin Rabi dan Hadits Abdurrahman (saudara Hussain bin Tsabit). Dalam Hadits Saad diceritakan bahwa Saad meninggal dunia saat menyertai Nabi Muhammad dalam perang Uhud, meninggalkan janda dan dua orang anak perempuan dan seluruh harta Saad diambil oleh Jabir (saudara laki-laki Saad). Hal tersebut dilaporkan oleh janda Saad kepada Nabi maka turunlah ayat 11 dan 12.[26] Dan dalam Hadist Abdurrahman diceritakan bahwa Abdurrahman meninggal dunia dengan meninggalkan janda (Ummu Kuhhah) dan 5 orang putri, kemudian datanglah keluarga suaminya mengambil harta bendanya, dan hal tersebut oleh Ummu Kuhhah diadukan kepada Nabi, maka turunlah An Nisa ayat11 yang menegaskan hak waris bagi anak-anak perempuan tersebut, dan ayat12 yang menegaskan hak waris untuk isteri.[27]
An Nisa 176 turun pada awal tahun ke-5 Hijrah. [28] Ada beberapa Hadits yang meneeritakan tentang latar belakang sejarah turunnya ayat ini, salah satu diantaranya adalah:[29]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah SAW menengok Jabir yang sedang sakit, berkatalah Jabir: "Ya Rasulullah, Bolehkah saya berwasiat memberikan sepertiga hartaku untuk saudara-saudaraku (yang wanita)". Sabda   Rasulullah:   "Baik".   Ia   berkata   lagi:   "Kalau setengahnya? " Jawab Rasul: "Balk pula". Kemudian Rasulullah pulang. Dan tiada lama kemudian beliau datang lagi ke rumah Jabir lalu bersabda: "Aku kira kau tidak akan mati karena penyakitmu int dan Allah telah menurunkan ayat kepadaku yang menjelaskan pembagian waris bagi saudara-saudara wanita yaitu sebesar dua pertiga (tsulutsain).
Dalam Hadist yang lain diceritakan sebagai berikut:[30]
Diriwayatkan oleh Al Nassa  dart Abi Al Zubair dart Jabir berkata Jabir: Saya mendapat sakit, maka datang Rasulullah SAW kepadaku lalu aku berkata: Ya Rasulullah, saya ingin mewasiatkan sepertiga (hartaku) kepada saudara-saudara perempuanku; berkata Rasulullah: Balk; aku berkata lagi: dengan setengah; berkata Rasulullah: balk; kemudian Rasulullah keluar (sebentar) lalu masuk (kembali) ke tempat Jabir, dan Rasulullah berkata: saya tidak melihat bahwa engkau akan meninggal karena sakitmu ), bahwa sesungguhnya Allah  telah menurunkan (ayat Al Qur'an)  dan menjelaskan   mengenai   harta (warisan)   untuk   saudara-saudara perempuanmu itu, mereka mendapat dua pertiga.
Dari kedua Hadits tersebut dapat dipahami bahwa kata kalalah pertama dimuat dalam ayat 12, dan saat itu kalalah diartikan pewaris mati tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai anak namun diwarisi oleh saudara atau saudara-saudaranya. Satu atau dua tahun kemudian, Allah menurunkan An Nisa ayat 176, dan disitu tercantum lagi kata "kalalah". Namun pada ayat 176 ada kalimat yang berbunyi, "Jika mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang kalalah, katakanlah bahwa Allah memberi fatwa tentang arti kalalah yaitu orang yang mati dengan tidak ada baginya anak namun diwarisi saudaranya".
Dicantumkannya kalimat seperti itu dalam ayat 176 harus diduga bahwa Allah menolak arti kalalah seperti yang dipahami terhadap An Nisa ayat 12 saat itu, dan memberikan arti kallaah yang hakiki melalui ayat 176. Untuk itu, seyogyanya kalalah dalam ayat 12 diartikan sama dengan kalalah dalam ayat 176. Sebab kalau saja kalalah dalam ayat 12 sudah ditafsirkan secara benar, atau dengan kata lain jika Allah menyetujui arti kalalah seperti yang ditafsirkan oleh para ahli terhadap ayat 12, tentu di dalam ayat 176 Allah tidak lagi memberikan fatwaNya tentang arti kalalah.
Oleh karena itu adalah kurang pas jika kata "kalalah" dalam ayat 12 dipahami/diartikan berbeda dengan kalalah dalam ayat 176 baik mengenai keadaan pewaris maupun peruntukannya bagi para ahli waris. Perbedaan antara kedua ayat tersebut memang ada, tetapi bukan terletak pada arti kalalahnya melainkan terletak pada perbedaan bagian (furudl) yang ditetapkan untuk para saudara tersebut sebagai ahli waris. Dalam ayat 12 tidak dibedakan antara saudara laki-laki dan perempuan, dan mereka akan mendapat 1/6 jika hanya seorang dan berbagi dalam  1/3 jika ada 2 orang atau lebih, sedangkan pada ayat176 ada perbedaan bagian yang ditetapkan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan yakni          2:1. Lengkapnya adalah, jika saudara itu perempuan hanya1 orang bagiannya 'A, jika ada 2 orang atau lebih mereka herbagi atas 2/3 bagian, dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan saudara perempuan maka bagian saudara laki-laki 2 kali bagian saudara perempuan.
Dengan demikian berarti kalalah dalam ayat 12 dan kalalah dalam ayat 176  pada dasarnya mempunyai arti yang sama, yaitu pewaris mati tidak mempunyai anak namun diwarisi oleh saudaranya. Akan tetapi substansi atau isinya berbeda seperti apa yang telah dikemukakan di atas. Oleh karena substansinya berbeda maka lingkup penerapan atau peruntukannya juga berbeda, yakni ayat 12 seyogyanya diterapkan pada saat pewaris masih mempunyai ayah (ibu boleh ada dan boleh tidak ada), sedangkan ayat 176 diterapkan saat pewaris sudah tidak mempunyai ayah.
Cara penerapan yang demikian sangat sejalan dengan garis hukum An Nisa ayat 11 yang menetapkan bahwa ibu mendapat 1/6 jika pewaris tidak meninggalkan anak namun mempunyai beberapa saudara. Sebagai contoh, jika pewaris  mempunyai  lebih  dari 2  orang  saudara,  ibu,  dan  ayah,  maka perhitungannya adalah ibu 1/6, 2 saudara atau lebih 1/3, sisanya 3 bagian untuk ayah selaku asabah. Dan bagian ayah juga tidak kurang dari 1/3 jika pewaris hanya mempunyai seorang saudara. Perhitungannya adalah ibu 1/3 (2/6), ayah selaku dzawil furudl mendapat 1/3 (2/6), saudara  1/6, dan sisanya1/6 bagian diberikan lagi kepada ayah selaku asabah. Dengan pembagian ini, bagian yang ditetapkan untuk ayah dan ibu sama sekali tidak terlanggar, dalam arti tidak berkurang dengan hadirnya saudara yang berkunkuren dengan ayah. Dengan demikian ayat 12 cocok diterapkan saat pewaris mempunyai ayah,
Adapun ayat 176 tidak cocok diterapkan saat ayah pewaris masih hidup kecuali dengan menyingkirkan hak waris saudara, karena bagian yang ditetapkan untuk saudara yang sedemikian itu tidak memungkinkan bagi saudara untuk berkunkuren dengan ayah, sebab ada kemungkinan keberadaan saudara akan merugikan ayah, apalagi jika saudara itu perempuan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari ibu, seorang saudara perempuan, dan ayah, perhitungannya adalah ibu mendapat 1/3 atau 2/6, seorang saudara perempuan 3/6, ayah mendapat sisa yaitu 1/6, sehingga lebih kecil dari bagian ibu apalagi saudara, atau jika diselesaikan dengan cara aul akibatnya bagian ayah berkurang dari 2/6 menjadi 2/7, ini jelas merugikan ayah. Demikian pula jika saudara-saudara tersebut laki-laki dan jumlahnya lebih dari seorang, hal ini dapat menimbulkan kekacauan dalam penerapan An Nisa ayat 11 dalam arti apakah bagian ayah disamakan dengan bagian saudara laki-laki. Oleh karena itu An Nisa ayat 176 tidak cocok diterapkan dalam hal ayah masih hidup, dan pewaris mempunyai saudara. Cara untuk memberikan hak waris kepada saudara dalam hal ini hanyalah dengan menerapkan ayat 12 jika ayah masih hidup, sehingga saudara dimungkinkan untuk berkunkuren dengan ayah. Di sini tidak dibedakan apakah saudara itu sekandung, atau seayah, atau seibu saja.
Syafi'i dan KHI yang mengikuti paham Ahlussunah tidak memberikan hak waris kepada saudara jika pewaris mati tidal berketurunan tetapi ayahnya masih hidup. Selanjutnya teori ini membedakan kedua ayat tersebut baik dari sisi keadaan pewaris maupun dari sisi peruntukannya bagi ahli-ahli waris sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kelemahan teori Syafi'i dan KHI ini pertama dari sudut bahasa, yakni, dalam arti hakiki pada kedua ayat tersebut tidak terdapat kata sekandung, seayah, atau seibu, sehingga tidak ada perbedaan jenis hubungan persaudaraan dari kedua ayat tersebut, dan juga tidak terdapat kata atau kalimat yang menerangkan tentang ayah pewaris masih hidup atau.sudah mati. Dengan demikian penafsirannya bersifat majasi (tidak yang sebenarnya). Penafsiran yang majasi tersebut menurut Hazairin[31] berasal dari paham Ali, kemudian menurut al Qurthuby dan Rasjid Rida telah disepakati (Ijma) oleh ulama dan Para sahabat.[32]
Kedua, dari sudut isi (substansi) teori Syafei dan KHI ini mengandung kelemahan baik secara sosiologis, filosofis maupun dari sudut logika yuridisnya karena: (1) tidak relevan dengan sistem kekeluargaan yang berlaku karena masyarakat Arab yang pada waktu itu dikenal sebagai masyarakat dengan sistem keturunan yang patrilinial.  Dalam masyarakat patrilinial  saudara seibu jarang ditemui, yang terbanyak adalah saudara sekandung dan seayah. Di sisi yang lain ayat 12 yang diperuntukkan bagi saudara seibu diturunkan lebih dahulu dari pada ayat 176 yang diperuntukkan bagi saudara sekandung dan seayah. Jadi sangat tidak relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Islam pada saat itu, Paham dari teori ini baru dipandang relevan jika ayat 176 diturunkan lebih dahulu daripada ayat 12, namun ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah atau asbabun nuzulnya; (2) dalam kasus-kasus tertentu bertentangan dengan rasa keadilan, hal ini dapat dilihat pada kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari ibu, duda, 2 saudara seibu dan 2 saudara laki-laki sekandung. Jika dihitung menurut teori ini 2 saudara laki-laki kandung tidak mendapat waris karena harta sudah terbagi habis, sedangkan saudara seibu mendapat 2/6 bagian. Ini jelas sangat janggal dan juga tidak adil, karena betapapun juga saudara kandung lebih dekat hubungannya dengan pewaris daripada saudara seibu. Teori Syafi'i menyadari betul akan hal ini, untuk itu dalam penerapannya dilakukan penyimpangan dengan cara menggabungkan saudara sekandung dan seibu tersebut dan mereka akan berbagi sama rata atas 2/6 bagian. Penyimpangan ini dapat dibenarkan berdasarkan istihsan. Kelemahanya adalah bahwa teori ini dipandang tidak konsisten dengan penafsiran mereka sendiri. Dalam KHI tidak ada satu pasalpun yang menyinggung soal ini, namun dapat diduga mereka akan mengikuti doktrin Syafi'i; (3) adanya fatwa dari Allah tentang arti kalalah dalam ayat 176 dapat merupakan indikasi bahwa ada yang merasa tidak puas dengan arti kalalah pada ayat 12 seperti yang dipahami saat itu, dan bertanya kepada Rasul tentang arti kalalah yang sebenarnya, dari pertanyaan itulah maka diturunkan ayat 176.[33] Jika riwayat ini benar, maka tentu sangat tidak logis arti kalalah dalam ayat 176 dibedakan dengan arti kalalah dalam ayat 12 seperti yang dipahami oleh Syafi'i dan KHI. Ini merupakan sisi lemah yang paling nyata dari teori ini.
4.4.4    Rad dan Gharawain
Tentang sisa kecil harta warisan (rad), kelemahan teori Syafi'i adalah tidak memberikan kepada duda atau janda sisa harta yang dinamakan rad. Ini jelas tidak adil, sebab jika harta warisan tidak cukup karena bagian dari sejumlah ahli waris yang telah ditentukan lebih besar daripada harta warisannya seperti yang terjadi pada kasus aul, hak duda atau janda ikut dikurangi guna mencukupkan bagian ahli waris-ahli waris tersebut, tetapi saat harta warisan lebih besar daripada bagian ahli waris yang ada sehingga ada sisanya, duda atau janda tidak ikut menikmatinya, karena sisa bagi (rad) tersebut hanya diberikan kepada ahli waris dzawil furudl yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Tentang gharawain, kelemahan teori Syafil dan KHI adalah memberikan kepada ibu 1/3 dari sisa harta setelah dikurarigi bagian duda atau janda, ini jelas bertentangan dengan ketentuan umum kewarisan sebagaimana ditentukan dalam An Nisa 11 yang menentukan bahwa bagian ibu adalah 1/3 dari harta, bukan 1/3 dari sisa. Namun kelemahan ini sekaligus dapat dipandang sebagai nilai lebih dari teori  Syafi’i dan KHI karena tetap konsisten mempertahankan prinsip dua berbanding satu dalam perolehan warisan antara ahli waris laki-laki (ayah) dan ahli waris perempuan (ibu). Dalam kasus gharawain, jika ketentuan umum An-Nisa ayat 11 dilaksanakan sesuai ketentuannya, maka akan diperoleh kenyataan bahwa bagian ayah akan lebih kecil daripada bagian ibu.
4.4.5    Anak perempuan atau cucu perempuan menutup hak waris saudara
Berbeda dengan paham Syafi'i yang berpendirian bahwa kata walad dalam surat An Nisa ayat 12 dan 176 pengertiannya hanya terbatas pada anak laki-laki sejalan dengan pendapat mayoritas Ulama, sebaliknya KHI (Pasal 181) berpendapat  bahwa  anak  perempuan  bisa  menghijab  karena berpendapat bahwa kata walad  pengertiannya tidak hanya terbatas pada anak laki-laki, tetapi mencakup pula anak perempuan sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Teori KHI ini sejalan dengan pendirian MA RI yang tampak dari tiga putusannya sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sebagai konsekuensinya maka cucu yang berasal dari anak perempuan dapat pula menutup hak waris bagi saudara (Pasal 185 ayat 11) jis Pasal 181 atau 182 KHI).
Keunggulan teori ini adalah bahwa dengan tertutupnya hak waris saudara maka bagian untuk anak perempuan dan cucu dari anak perempuan menjadi lebih banyak, dan dengan bagian warisan yang banyak itu diasumsikan mereka akan memperoleh bekal hidup yang relatif lebih memadai karena meninggalkan ahli waris dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada kekurangan sejalan dengan HR Saad bin Abi Waqqash. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa teori ini bertentangan dengan HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad tentang janda Saad bin Rabi dan Hadits tentang janda Abdurrahman tersebut di atas, karena pada kedua Hadits itu Nabi memberikan kepada saudara bagian atas harta warisan saudaranya pada hal pewaris mempunyai anak perempuan, namun demikian hal ini masih dapat ditelaah dari dua sisi, yaitu pertama jika memang benar-benar terjadi pertentangan, maka menurut kaedah Fiqh hal tersebut dapat dibenarkan  jika  dilakukan  dalam  rangka  mewujudkan  kepentingan  atau kemaslahatan yang lebih besar, yakni persamaan hak dan menghapus diskriminasi dalam penerapan An Nisa ayat 11 antara anak laki-laki dan anak perempuan, sesuai paham yang dianut selama ini.
Dan bagi kalangan Syiah meninggalkan atau mengesampingkan hadits dalam rangka menerapkan ketentuan kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat-ayat kewarisan, merupakan hal biasa. Amir Syarifuddin mengatakan bahwa Syiah tidak menggunakan hadits yang memerintahkan untuk membagi habis harta warisan dikalangan ahli waris, furudl (bagian) kepada laki-laki yang terdekat dalam garis laki-laki, karena jika hadits ini digunakan akan merugikan cucu.[34] Hadits  dimaksud  adalah  HSR  Bukhari  dari  Ibnu  Abbas  yang terjemahannya adalah: berikanlah bagian-bagian. yang ditentukan itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk          dari keturunan laki-laki yang terdekat.[35]
Kedua hukum Islam dalam menetapkan sesuatu kaedah atau norma lazimnya dilakukan secara bertahap, seperti hal larangan terhadap riba, khamar, dan          Dalam hubungannya dengan warisan, Komaruddin Shaleh et al menyatakan,  bahwa  orang  Jahiliyah  sebelum  turun  ayat  kewarisan  tidak memberikan hak waris kepada wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa,[36] sehingga sudah menjadi kebiasaan bagi seorang saudara mengambil warisan saudaranya jika saudaranya itu coati dengan tidak meninggalkan anak yang telah dewasa. Kebiasaan yang sudah sedemikian kuatnya itu tidak mungkin serta merta dihapus atau diubah secara spontan, melainkan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan ketegangan. Dalam rangka itulah maka Rasul tetap memberikan bagian kepada saudara atas sisa harta sesudah dikurangi bagian anak perempuan menurut an Nisa 11 dan janda menurut an Nisa 12.

4.4.6    Wasiat dan Hibah
Tentang wasiat, nilai Iebih      (keunggulan) KHI dibanding Syafi'i adalah bahwa KHI mengenal wasiat wajibah, yakni wasiat yang adanya karena UU atau karena ketentuan KHI itu sendiri, bukan karena kehendak atau inisiatif dari pewaris semasa hidupnya. Melalui wasiat wajibah ini maka anak dan orang tua angkat yang tidak mempunyai hak waris dapat menikmati harta warisan pewaris. Kelemahan wasiat wajibah dalam teori KHI adalah hanya diperuntukkan kepada anak dan orang tua angkat, tidak kepada kerabat yang tidak mempunyai hak waris seperti bibi dan keturunannya.
Tentang hibah, nilai lebih (keunggulan) KHI dibanding Syafi'i, pertama KHI membatasi besarnya hibah yakni maksimal 1/3 harta, karena pembatasan ini dapat dipandang sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap ahli waris dari tindakan pewaris menghibahkan semua atau sebagian besar hartanya kepada orang-orang yang ia kehendaki dengan maksud agar harta tersebut  kelak  tidak  diwarisi  oleh para ahli waris yang tidak ia sukai, kelemahannya  adalah  lembaga  ini  bertentangan  dengan  otoritas  bertindak seseorang terhadap harta pribadinya. Kedua, hibah orang tua kepada anak-anaknya diperhitungkan sebagai warisan. Ini dapat dipandang sebagai nilai lebih (keunggulan)  KHI,  karena  lembaga  ini  dapat  mewujudkan  keadilan  dan pemerataan antara sesama anak pewaris dalam memperoleh manfaat dari harta warisan orang tuanya. Namun kelemahannya (1) tidak dijelaskan pemberian seperti apakah yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, apakah segala macam pemberian, (2) lembaga ini dapat menimbulkan kesan atau asumsi bahwa seakan-akan kewarisan itu dapat dilakukan saat pewaris masih hidup melalui lembaga ini, jika asumsi ini diterima, hal tersebut jelas dapat dipandang bertentangan dengan azas kewarisan ada karena adanya kematian, (3) jika pemberian orang tua kepada anak diperhitungkan sebagai warisan akan dapat menimbulkan akibat budaya saling memberi antar orang tua dan anak sebagai wujud tolong menolong dan kasih sayang akan menjadi hilang. Sebab seperti diketahui perolehan harta melalui pewarisan bersifat yuridis, sedangkan perolehan hak melalui hibah sifatnya tolong menolong dan kasih sayang antara pemberi dengan yang diberi.

[1] Idris Dhakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal. 64.
[2] Idris Djakfar dan Taufik Yahya, op. cit., hal. 50-60
[3] Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dania Islam, Widjaya, Jakarta, 1984, hal. 121
[4] M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 34.
[5] M. All as Shabuni,hukurn Waris Dalam Syare'at Islam, Diponegoro, Bandung, 1988,hal. 204.
[6] Muhamma Ali as Shabuni, Hukum Waris Daiwa Syare'al Islam, Diponegoro, Bandung, 1988, hal. 203-206.
[7] Ibid
[8] Fatchur Rachman, HIM Waris, Al Ma'arif, Bandung, 1981, hal. 355.
[9] M. Ali Hasan, op. cit., hal. 31.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Ifewarlsan Islam, Predana Media, Jakarta, 2004, hal 67
[11] Ibid, hal, 68
[12] Ibid.
[13] Mimbar Hukum Nomor 44 tahun X 1999 hal. 1.
[14] Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam, Tintamas, Jakarta, 1968, hal. 26.
[15] Ichtijanto SA, op.eit, hal 47.
[16] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1962, hal. 10.
[17] Aid, hal. 16.
[18] M. Ali As Shabuni, Ilukum Waris dalam Syariat Islam, Diponegoro, Bandung, 1988, hal.
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2000, hal. 349.
[20] Sajuti Thalib, Hukurn Kewarlsan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 19
[21] Aid, hal. 32.
[22] Mahmud Yunus, Pembahasan UMUM Seminar Hukum Warts Nasional, BPGH-Dep Keh RI, Jakarta, 1963, hal. 286.
[23] 79 Ibid
[24] 80 Ibid.
[25] Sajuti Thalib, op.cit, hal. 46.
[26] Qornaruddin Sholeh, et al, Asbabun Nuzul, Diponegoro, Bandung, 1984, hal. 124.
[27] 83 Ibid.
[28] Sajuti Thalib, op. cit.
[29] Qomaruddin Saleh, op. cit, hal. 169.
[30] Sajuti Thalib, op. cit, hal. 49.
[31] Hazairin, Seminar Hukum Wares Naslonal, op. cit, hal. 343.
[32] Mahmud Yunus, op. cit, hal. 289.
[33] Sajuti Thalib, op. cit.
[34] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 70-71.
[35] Ibid, hal 11 dan 12
[36] Qomaruddin Shaleh, op. cif, hal. 124.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA