Disore yang
indah setelah selesai mengaji di masjid kami pulang bersama sama ke rumah kami.
Aku sangat bahagia waktu itu karena salah satu sahabat karibku telah lulus UAN.
Dia telah menyelesaikan pendidikannya di
MI. Pada sore itu dia mengundang aku dan Nisa kerumahnya karena dia mengadakan
tasyakkuran atas kelulusannya. Pada malam harinya dia berkata pada kami.
kak Ahmad, mbak Nisa, besok aku akan pergi kepasar
bersama ayah, aku mau beli sepatu baru.
“Kira kira kamu mau beli sepatu apa
Wi?” Tanyaku,
“aku mau beli sepatu Newera warna hitam”.
Jawab Dewi.
“Kenapa warna hitam?” tanya Nisa.
“Karena kalau hitam gak mudah kotor”.
Setelah berbicara
panjang lebar aku dan Nisa pamit pulang karena waktu sudah larut malam.
Pada pagi
yang sangat cerah, sebelum pergi Dewi masih sempat pamit padaku. Dia berkata
padaku “ aku pergi ya kak, jaga diri kakak baik baik dan aku titip ibu ya kak”!
Aku pun menjawab dengan tenang,” iya sayang! Tanpa kamu minta pun aku akan jaga
diriku dan juga bibik, kamu juga jaga diri jangan ngebut”. Ternyata itu adalah
kata kata dan hari terakhirnya denganku. Dua jam kemudian aku mendapat telpon dari
ayahnya, “Ahmad, tolong bilang pada bibik Rahmah kalau kami kecelakaan, dan sekarang
kami berada di R.S Yarsi, keadaan Dewi sangat parah, dia kritis”. aku pun
langsung panik mendengar kabar itu, apalagi setelah aku tahu kalau keadaan Dewi
sangat parah. Setelah aku memberi tahu bibik Rahmah aku langsung berangkat ke R.S
Yarsi. Setelah aku sampai disana, aku langsung ke UGD tempat Dewi dirawat. Tangis
pun tak dapat ditahan ketika aku melihat Dewi, seluruh kepalanya dililit dengan
perban. Kurang lebih satu jam aku disana akhirnya Dewi siuman. “Kak Ahamad”!
kata pertama yang diucapkan Dewi ketika dia siuman. “ada apa Wi?” tanyaku.
Dengan terbata bata dia berkata,
“dimana ayah kak?”
“Ayah disini nak”. Jawab ayahnya dari
depan pintu.
Dengan suara yang terputus putus Dewi
berkata,
“ ayah maafkan Dewi ya! Kalau selama
ini Dewi banyak salah”.
“Iya nak sebelum kamu minta maaf
ayah sudah memaafkan kamu”, jawab ayahnya.
“Kak Ahmad maafkan Dewi ya kak! Selama ini Dewi sudah sering bikin kakak susah
dan kesal”.
“Sebelum kamu minta maaf aku sudah memaafkan
kamu”.
Sesaat Dewi diam, dia melihat kesekelilingnya
dan dia bicara lagi,
“dimana mbak Nisa kak? Kok aku ngak
melihatnya?”
“Dia sedang ada lomba di sekolahnya”.
Jawab ku.
“Dan aku sengaja tidak memberi tahunya
kalau kamu kecelakaan biar dia ngak kaget dan akhirnya dia tidak bisa konsentrasi
pada lomba yang diikutinya dan kakak juga tidak sempat untuk memberi tahu dia”.
Dewi berkata lagi.” Tolong sampaikan
permintaan maafku pada dia ya kak!”
“Kenapa tidak kamu saja yang minta maaf
sendiri pada dia?” Timpalku.
“Karena mungkin aku tidak akan lama
lagi hidup di dunia ini”. Kata Dewi.
“Kamu ini bicara apa Wi? Kamu akan sembuh,
kamu akan berkumpul lagi bersama kami. Bukankah kamu pernah berjanji padaku kalau
kamu akan menemaniku sampai kita tua?”
“Maafkan aku kak, aku tidak bisa
memenuhi janji ku. Kak! Aku titip salam pada semua temanku ya kak! Sampaikan permintaan
maafku pada mereka kalau selama ini aku banyak salah pada mereka”.
Tangis pun tak dapat ditahan. Semua
yang ada di ruangan itu ikut menangis. Beberapa saat kemudian dengan nafas tersendat
sendat Dewi berkata padaku, “kak tolong tuntun aku mengucapkan dua kalimat syahadat,
aku sudah tidak kuat lagi”. Dengan beruraian air mata aku menuntunnya mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Ikuti kata kataku ya! “ASYHADU
ALLAA ILAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADURRASULULLAH”.
Seteleh dia mengucapkan dua kalimat
syahadat dia pun langsung menghembuskan nafas terakhir nya.
Setelah kau tiada barulah ku rasakan betapa berharganya hadirmu
Sungguh berat kurasakan hidup tanpa dirimu
Sungguh berat kurasakan kehilangan dirimu
Andaikan aku bisa mengulang waktu
Tak kan kusia siakan dirimu, Tak kan kubiarkan sesuatupan menyantuh
apalagi menyakitimu
Akan ku jaga dan ku rawat dirimu setiap waktuku.
Tapi apalah
dayaku? aku tak bisa lakukan itu, aku hanya insan biasa yang tak sanggup
memutar waktu
Sesal hanya tinggal sesal, tangis hanya tinggal tangis
kau telah pergi tinggalkan aku dan takkan kembali lagi padaku.
Hancur lebur rasanya hidupku tatkala kau pegi dariku, Ingin aku menemuimu
ingin aku mengunjungimu
ingin aku menjemputmu.
Tapi apalah daya? aku tak sanggup lakukan itu, aku hanya bisa pasrah pada
takdirku
aku hanya
bisa berdoa untukmu
semoga
Tuhan meridloimu
semoga Tuhan mengampunimu
dan mempersatukan aku disurga denganmu.
Dua bulan
sudah berlalu setelah kepergian Dewi. Aku dan Nisa tetap melakukan kegiatan
sehari hari kami dangan penuh canda tawa. Meski demikian dalam hatiku masih ada
rasa rindu dan sedih atas kepergian Dewi. Tapi semua itu aku tepis, karena aku
tidak sendirian masih ada Nisa di sisiku yang setia menemaniku. Kami selalu
bermain bersama, berangkat sekolah bersama, dan mengaji bersama di masjid.
Pada
suatu ketika Nisa bilang padaku kalau dia ditembak oleh seseorang, tapi dia
tolak, aku pun tidak ambil pusing dengan
masalah itu, karena aku yakin kalau dia tidak akan berpaling dariku. Aku dan
Nisa sudah bersama sejak dia masih balita dan diantara kami sudah muncul rasa
saling mengasihi sejak kami masih kanak kanak. Tapi siapa sangka kalau hal itu
menjadi awal dari petaka baru yang akan menimpa kami. Satu minggu setelah
kejadian itu Nisa jatuh sakit, badannya sangat panas dan kalau malam dia
menggigil bahkan kadang kadang dia merintih kesakitan dibagian kepalanya. Sudah
berbagai macam obat yang diberikan mulai dari obat tradisional sampai obat dari
apotek bahkan sudah dibawa kedokter,
namun hasilnya tidak ada bahkan sakitnya makin parah.
Mawarku! Kenapa kau layu?
Sudah kubilang aku takmau kehilangan mawar lagi
Sudah kubilang cukup satu saja mawar yang
terpendam
Cukup mawar kecil yang tak tahu apa apa
Jangan hukum lagi mawar mawar lain
yang ingin tumbuh
Tuhanku
Jika di jiwanya mengalir darah mawar,
maka jangan hilamgkan, jangan
lenyapkan
Tumbuhlah dengan cantik sesuai dengan harapan
Pada
suatu ketika kakek ku datang bertamu kerumahku dalam rangka shilaturrahim. Aku
pun tidak menyia nyiakan kesempatan, aku langsung menemui kakek dan minta
bantuan padanya. Aku berkata pada kakek, “Nisa sakit keras kek! Sudah berbagai
macam obat diberikan bahkan sudah dibawa ke dokter tapi tetap saja tidak ada
hasilnya malah sakitnya makin parah. Jadi aku minta bantuan pada kakek untuk
mengobatinya mungkin kalau kakek yang mengobatinya dia diberi kesembuhan oleh
Allah”. Kakek pun bersedia mengobati Nisa. Setelah beberapa saat kakek mencoba
mengobatinya hasilnya sama saja, bahkan kakek berkata padaku, “temanmu ini
terkena guna guna tingkat tinggi, kakek tidak sanggup melawannya. Dia bisa
sembuh kalau dibacakan surah Yasin oleh 51 kiyai sepuh secara bersamaan.
Mendengar kata kata itu aku dan keluarga Nisa jadi sangat panik, karena tidak
mungkin mengumpulkan kiyai sepuh sebanyak 51 orang yang ada hanya kiyai muda
yang masih diragukan keilmuanya.
Satu
bulan telah berlalu Nisa tetap saja tidak ada perubahan yang mengembirakan.
Malahan dia semakin hari semakin lemah saja kondisinya. Meski pundemikian, dia
tetap aktif menjalan kan shalat lima waktu tepat pada waktunya, tidak pernah
dikodok bahkan dia sering mengingatkan aku untuk shalat.
Pada suatu
ketika aku jadi sangat malas untuk pergi kesekolah, aku ingin sekali menemani
Nisa, tapi Nisa menyuruhku untuk sekolah walaupun aku menolak dia tetap memaksaku
untuk berangkat sekolah, tapi aku tetap enggan untuk berangkat sekolah karena
aku tidak mau terjadi apa apa pada Nisa sedangkan aku tidak bersamanya.
“percayalah kak! Tidak akan terjadi apa apa padaku” kata Nisa. Dengan berat
hati akhirnya aku berangkat sekolah agar aku bisa menjadi orang yang pandai dan
bisa menggapai cita citaku.
Pada
siang itu setelah mengerjakan shalat zhuhur Nisa berbaring di tempat tidurnya.
Tiba tiba dia merintih kesakitan sehingga seluruh keluarganya panik. Tidak lama
kemudian dia berhenti merintih namun dari mulutnya terucap dua kalimat syahadat
secara terus menerus sampai pada akhirnya dia tersenyum dan menghembuskan nafas
terakhirnya.
Sesampainya
di sekolah aku selalu teringat pada Nisa, aku tidak bisa konsentrasi pada
pelaajaranku, aku takut terjadi apa apa pada Nisa. Untungnya guru yang akan
mengajar di jam kedua dan ketiga tidak hadir. Aku tidak menyia nyiakan
kesempatan. Aku langsung pulang setelah jam pertama selesai. Alangkah terkejutnya
aku ketika aku sampai di depan rumah Nisa. Disana banyak orang berlalu lalang
dan ada diantara mereka yang membaca yasin dan tahlil. Karena penasaran, aku
bertanya pada salah seorang yang ada disana.
“ada apa ya pak? Kok disini banyak
orang? Ada yang baca yasin dan tahlil”.
“Nisa pergi jawab orang itu”.
“Pergi kemana pak? Diakan sedang
sakit”, tanyaku
“Nisa pergi ketempat yang sangat
jauh dia pergi untuk selamanya”. Setelah
mendengar jawaban dari orang itu yang tak lain adalah ketua Rt disana, tubuhku
langsung gemetar. Aku langsung berlutut didekat jasad Nisa sambil kupandangi
wajahnya yang pucat dan penuh senyuman, kemudian aku menyentuh wajahnya yang
dingin sambil berkata, “kenapa kau tinggalkan aku Nisa? Kenapa kau ingkari
janjimu untuk menemaniku sampai kita tua? Nisa istirahatlah dengan tenang di
alam sana. Semoga Allah mengampunimu.
Segala sesuatu selain Allah pasti akan rusak
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati
Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan
Tapi dimana ada perpisahan belum tentu ada pertemuan
lagi
Itulah rumus kehidupan dunia
Setelah
kepergian Nisa aku selalu menyendiri. Aku jadi pendiam walau sebenarnya aku
bukan pendiam. Hari hari kulalui dengan penuh kesedihan, aku merasa gairah
hidupku sudah pupus. Tak ada artinya lagi aku hidup tanpa kehadiran Dewi dan
Nisa.
Sepuluh
bulan telah berlalu semenjak kepergian Nisa. Aku tetap saja tidak bisa
menghilangkan kesedihanku. Aku selalu menyendiri mengenang kembali masa masa
indahku bersama mereka. Aku selalu pergi ziarah ke makam mereka setiap hari dan
setiap aku selesai mengerjakan shalat lima waktu aku selalu menghadiahkan
fatihah pada keduanya. Setiap aku menyendiri aku selalu menyanyikan lagu lagu
kesukaan mereka dan setelah lagu Peterpan yang berjudul “kisah cintaku” muncul
aku selalu menyanyikan lagu tersebut.
Dimalam yang sesunyi ini, aku
sendiri, tiada yang menemani.
Akhirnya kini kusadari dia telah
pergi, tinggalkan diriku
Akankah semua kan terulang? Kisah
cintaku, yang seperti dulu?
Hanya dirimu yang kucinta dan ku
kenang, didalam hatiku, tak kan pernah hilang
Bayangan dirimu, untuk selamanya.
“Ahmad”! tiba tiba abah memanggilku. “Labbaika
ya abiy”, jawabku. “Abah ingin memondokkanmu ke Jawa agar kamu bisa menimba
ilmu agama lebih dalam dan kamu bisa melupakan kesedihanmu atas kepergian Dewi
dan Nisa. “na’am abiy” jawabku. Aku tidak menolak keinginan abah, mungkin
beliau faham akan kesedihanku. Aku pun berfikir mungkin dengan cara ini aku
bisa melupakan kesedihanku dan aku bisa mencari ilmu kesaktian di jawa agar aku
bisa membalas dendam atas kematian Nisa pada orang yang telah mengguna gunanya.
Aku bulatkan niatku untuk mondok ke Jawa Timur agar aku bisa menjadi orang yang
berguna bagi bangsa dan agama.
Comments
Post a Comment