Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

CERPEN KENANGAN 3

SANG INSPIRATOR PENJARA SUCI TELAH PERGI  TUK SELAMANYA
(Ahmad Romansyah)
Malam itu adalah malam minggu (Malming) yang hening bagi kami Semua selaku anak pesantren. Malam minggu yang takkan pernah terlupakan dalam benak masing-masing Santri Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin (PPRM). Keheningan malam yang sontak menjadi kelam berkelabu namun bergemuruh. Ya,,,,,,,!!! Tiada lain hal itu karena kami ditinggalkan oleh kiyai (pengasuh; istilah bapak dalam pesantren) kami untuk selamanya. Beliau menghadap Kehadirah Allah Rabbil izzati.
Jarum jam Berputar lelah mengelilingi angka-angka dan menunjukkan pada kami sudah jam 22.30 WIB. Saat itu Abdul tengah berada di depan kamar dalam keadaan sesendenan leyeh-leyeh pada dinding seraya membaca Burdah (semacam rangkaian kata yang berisi pujian untuk baginda Rasulullah). Salah satu santri[1] muncul tiba-tiba dan mengagetkan Abdul dengan teriakannya.
Pak,,,!!!” begitulah dia memanggil Abdul dengan nada serius dan muka tegang.
Yeh, Bedeh Apah ( ada apa) bang?” Jawab Abdul, kaget.
Sampean e panggil (anda di panggil) kiyai pak”. Dia menjawab pertanyaan Abdul.
Setiah tah (sekarang)?” Abdul lanjut bertanya sembari memperjelas.
enggi (ya) pak” Dia berusaha meyakinkan Abdul.
iye engko’ dessa’ah marenah, engko’ gi’ asalennah (  ya saya kesana setelah ini, saya masih mau pakai sarung dulu)”. Jawab Abdul tuk memenuhi panggilan sang romo kiyai
Tanpa pikir panjang, Abdul langsung bergegas menuju ndalemb (istilah untuk rumah Guru). Meskipun pikiran Abdul berkecamuk dan diliputi pertanyaan serius “ ada apa ini? Tak biasanya kiyai memanggilku larut malam seperti ini” hati Abdul gundah dan terus bertanya-tanya. Tak terasa langkah kaki Abdul telah mengantarkan sampai di hadapan beliau. Rasa kaget tiba-tiba mendekap saat Abdul bersuan dengan beliau, Maha Guru di pesantren.
Dennak dul, pecet agi engko’ (kesini dul, tolong pijatkan tubuhku)” begitulah kiyai memanggil nama Abdul seraya menyuruhnya.
enggi (ya)” jawab Abdul patuh sambil menundukkan kepala.
            Seperti biasa, kiyai memanggil Abdul untuk memijat beliau. Meskipun pada malam itu dia sempat heran. Satu pemandangan aneh dan langka bagi kedua bola matanya, Abdul melihat kaos yang dipakai oleh beliau basah kuyup oleh keringat yang terus menerus keluar dari pori-pori kulit beliau. Bak sumber mata air yang terus memaksa agar air tetap keluar dari dalam dirinya. Sementara beliau tetap terdiam kaku dan lesu tanpa bersedia ngobrol dengannya.
            Waktu terus bergulir, jam dinding pun tertawa dan memberi isyarat bahwa jarum jam telah menusuk angka 11. Akhirnya beliau besedia angkat bicara juga.
            “Tang tenga cek sake’eh loh setiah (punggungku sakit sekali malam ini)” seru kyai pada Abdul dengan nada datar dan wajah tanpa ekspresi. Sementara keringat beliau masih bersikukuh untuk tetap mengalir deras dari wajah, tubuh dan kaki beliau. Lantas kiyai melanjutkan seruannya. “pola sengko’ ken keraconan loh?, tang pello agili teros (apa mungkin saya keracunan ya? Keringatku mengalir terus), ya Alloh,,,,,,,,!”. Mendengar seruannya itu, hati Abdul serasa terpukul oleh gada yang terbuat dari baja. Dia yakin bukan hanya dia, santri lain pun akan merasakan hal yang sama saat mengetahui kalau guru atau kiyainya merintih  mengalami rasa sakit yang luar biasa.
            Tak mampu membendung rasa sakit yang luar biasa, kiyai pun membangunkan nyai (istilah ibu dalam pesantren/isti kiyai) yang saat itu tertidur lelap dalam kamarnya. Maksud beliau membangunkan nyai hanya agar nyai memberikannya semangko’ air kelapa. Hal ini karena kyai meyakini bahwa sakit yang beliau derita karena keracunan. Konon katanya air kelapa itu dapat menghempaskan racun yang masuk dan bersemayam dalam tubuh. Sementara nyai menyediakan semangkok air kelapa bersama Gus Shofiyulloh[2] di dapur, kyai menyuruh Abdul untuk menyudahi pijatannya. Lantas kiyai berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ruangan terbuka di depan pondok putri. Sungguh tak di sangka kiyai yang tadinya berseru menyatakan rasa sakit yang beliau rasakan, sekarang beliau lari-lari kecil mengelilingi ruangan terbuka itu.
            Berselang sekitar lima menit, semangkok air kelapa pun siap dihidangkan. Dengan lahap dan tergesa-gesa beliau meminumya. Maklum mungkin beliau ingin segera menyegarkan tubuhnya yang tadinya terlihat letih-lesu tak berdaya. Setelah itu kiyai memerintahkan Abdul dan nyai untuk memijat beliau kembali. Semboyongan, kami pun berjalan menuju ruang tengah. Meski suasana agak kacau balau menurutnya, karena kondisi kiyai yang tak kunjung membaik. Sesekali nyai masih mengajak bercanda mesra dengan kiyai. Maklum, karena beliau berdua saling mencintai. Laksana bulan dan bintang yang saling melengkapi.
            “heeeh paleng ken sakek tabuk terro hajetteh ro, nguca’eh kraconan (paling Cuma sakit perut biasa, pengen buang airt besar aja, bilangnya keracunan segala)” Ejek nyai kepada kiyai.
            Suasana hening terus melebur dalam larutnya malam. Nah,,,,! Saat itu kejadian-kejadian aneh muncul silih berganti. Mulai dari kyai yang tak sudi lagi ngobrol dengan mereka berdua. Hal ini dia anggap aneh karena biasanya kyai dan nyai asyik ngobrol dan dongeng kesana-kemari. Mulai dari masalah pesantren, rumah tangga beliau berdua, dan lain-lain.
Keanehan-keanehan berikutnya adalah suhu dingin merayap di tubuh beliau mulai ujung kepala sampai ujung kaki, kucing-kucing yang tak kunjung menghentikan pertikaian mereka diatas genting ndalem, yang pada akhirnya genting-genting pesantren pun pecah akibat ulah jail kucing itu. Satu lagi hal aneh yang membuat jantung ini berdebar lebih kuat dari biasanya adalah satu dari dua ayam yang ada di depan ndalem terus menerus berteriak seakan minta tolong karena ketakutan.
            Lagi-lagi nyai iseng dan memberanikan diri untuk tetap ngobrol. Di sela-sela obrolannya, sesekali nyai bertanya “bindereh anapah sokonah sampian mik cek celleppah? (guz, kenapa kaki jenengan kok dingin sekali rasanya)”. Serasa pertanyaan yang tiada guna menurutnya. Karena kiyai tak mau menjawab pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya tak di sangka, kyai pun mulai angkat bicara dari sekian lama beliau terdiam kaku membisu.
            “Dul tang beden cek cuwelleppah, pola labengeh bik kakeh tak e totop gellek (Dul, tubuhku sungguh amat dingin rasanya, apa mungkin pintunya lupa gak kamu tutup tadi)? Tanya kyai dengan nada rendah berseru pada Abdul.
            “lastareh kiyai, ken lakar bedennah panjenengan cek celleppah sarah (sudah kyai, emang tubuh jnengan terbungkus oleh suhu dingin luar biasa)”. Jawab Abdul sembari meyakinkan beliau.
            Suara teriakan ayam yang tak kunjung sirna dari pendengaran telinga, memaksa kiyai menyuruhnya tuk sesekali melihat ada apa gerangan yang membuat ayam tersebut terus menyerukan kokoknya????. Dengan disertai rasa bimbang dan penasaran dia memberanikan diri tuk menghampiri ayam itu. Dengan yakin dan mantab pada Allah akhirnya dia membaca sholawat nariyah berharap ayam itu tenang dan tidak ribut lagi. Alhamdulillah dengan pertolongan Alloh akhirnya ayam itu sudi dan bersedia menghentikan teriakannya. Tanpa berlama-lama dia pun kembali ke ndalem tuk meneruskan aktifitasnya memijat sang maha guru. Sesampainya dia di hadapan kiya dan nyai, beliau berdua langsung bertanya:
            “arapah ajemmeh loh (kenapa dengan ayam itu loh)?” Tanya mereka dengan nada tegang.
            “korang oning, padahal tadek panapah nikah (kurang tahu, padahal tidak ada apa-apa yang mengganggunya)” jawab Abdul dengan ekspresi dahi mengkerut.
            Dengan bergulirnya waktu, hingga pada akhirnya kiyai memberi dia minyak kayu putih dan menyuruhnya tuk meneteskannya di punggung beliau dengan rata. Setelah dia teteskan dengan rata kemudian dia memijat kembali.
            Di tengah-tengah dia dan nyai memijat, kiyai mengalami sesak yang luar biasa dan tak mampu bicara. Dia dan Nyai yang tegang dan kaget melihat beliau yang tak mampu menghembuskan nafasnya secara lancar dan normal, sontak mereka pun berteriak dan memanggil-manggil nama beliau.
            “kiyai,,, kyai,,, kyai,,,,????” 
seruan kita tak dijawab. Dengan suara terbata-bata nyai menyuruh dia tuk membangunkan Gus Nasihul Anam[3]. Tanpa banyak berfikir, langkah kakinya pun berlari kencang menuju kamar-kamar gus dan neng tuk membangunkan mereka. Tak lupa, dia juga berlari menuju halaman ndalem dan berteriak, memanggil  seluruh santri tuk segera bergegas ke ndalem. Layaknya tim PMR, mereka secara spontan langsung berlarian menuju dan membanjiri serta memenuhi setiap sudut ruangan yang ada di ndalem.
            Deraian air mata tak terbendung lagi membasahi setiap pipi merona santriwan, santriwati dan keluarga ndalem yang saat itu mengetahui bahwa kondisi romo kyai kritis. Gus Shafiyulloh yang juga panik melihat kejadian pilu itu, segera menghidupkan mobil untuk segera mengantarkan ayahnya menuju Puskesmas desa sebelah. Dengan rintihan-rintihan suara sedih yang tak beraturan,  ndalem yang awalnya sunyi menjadi bergemuruh.
            Dengan kencang mobil pun melaju dan membawa romo kiyai ke rumah sakit. Ada beberapa santri yang ikut didalamnya tiada henti-hentinya membaca lantunan ayat-ayat suci, seraya beraharap kiyai cepat sembuh dan pulih seperti sediakala. Sesampainya di Puskesmas, dokter langsung memeriksa kondisi romo kiyai yang tak berdaya itu. Dan akhirnya dokter itu mengatakan kepada mereka para santri dan keluarga yang ikut serta bahwa romo kiyai telah meninggal dunia. Spontan suara tangisan pecah, berhamburan, serta berserakan tak tertata setelah mendengar ucapan dokter itu.
            Dengan rasa penuh penasaran dan jiwa yang senantiasa terselimuti rasa cemas, Abdul pun memberanikan diri tuk mendekati tubuh kyai demi memastikan kondisi beliau. Dia lihat dada yang tak lagi kembang kempis, dan hanya terdiam di tempat. Dia sentuh kulit di bawah hidung beliau, berharap hembusan angin di sana. Tapi kenyataan kembali berbicara “Hampa”.  Ya... tiada hembusan angin sama sekali yang dapat jemarinya rasakan. Inna lillahi Wa inna Ilaihi Roji’un... Kyai Mustain telah meninggal dunia.
Sementara jarum jam dinding pun terdiam layu diantara angka 11 dan 12, seakan juga turut menjadi saksi bisu telah kembalinya sang inspirator penjara suci menghadap Allah Robbul Izzati.





[1] Abdus Sholeh (salah satu santri terdekat kiyai)
[2] Putra Ke-3 Pasangan KH Mustain dan Nyai Farhanah
[3] Putra Pertama Pasangan KH Mustain dan Nyai Farhanah

Comments

  1. Wuihh... blog ini baru ketemu. Mantap! Saya harap konsisten menulis, Rik. Blog ini sudah masuk radar saya....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA