SANG
INSPIRATOR PENJARA SUCI TELAH PERGI TUK
SELAMANYA
(Ahmad
Romansyah)
Malam itu adalah malam minggu (Malming) yang hening
bagi kami Semua selaku anak pesantren. Malam minggu yang takkan pernah
terlupakan dalam benak masing-masing Santri Pondok Pesantren Raudlatul
Mubtadiin (PPRM). Keheningan malam yang sontak menjadi kelam berkelabu namun bergemuruh. Ya,,,,,,,!!!
Tiada lain hal itu karena kami ditinggalkan oleh kiyai (pengasuh; istilah bapak
dalam pesantren) kami untuk selamanya. Beliau menghadap Kehadirah Allah Rabbil
izzati.
Jarum jam Berputar lelah mengelilingi angka-angka
dan menunjukkan pada kami sudah jam 22.30
WIB. Saat itu Abdul
tengah berada di depan kamar dalam keadaan sesendenan leyeh-leyeh pada dinding
seraya membaca Burdah (semacam
rangkaian kata yang berisi pujian untuk baginda Rasulullah). Salah satu santri
muncul tiba-tiba dan mengagetkan Abdul dengan teriakannya.
“Pak,,,!!!” begitulah dia memanggil Abdul dengan nada serius dan muka
tegang.
“Yeh, Bedeh Apah ( ada apa) bang?”
Jawab Abdul,
kaget.
“Sampean e panggil (anda di panggil) kiyai
pak”. Dia menjawab pertanyaan
Abdul.
“Setiah tah (sekarang)?” Abdul lanjut bertanya sembari
memperjelas.
“enggi (ya) pak” Dia berusaha meyakinkan Abdul.
“iye engko’ dessa’ah marenah, engko’ gi’
asalennah ( ya saya kesana setelah
ini, saya masih mau pakai sarung dulu)”. Jawab Abdul tuk memenuhi panggilan
sang romo kiyai
Tanpa pikir panjang, Abdul langsung bergegas menuju ndalemb (istilah untuk rumah Guru).
Meskipun pikiran Abdul berkecamuk dan diliputi pertanyaan serius “ ada apa ini? Tak biasanya kiyai memanggilku
larut malam seperti ini” hati
Abdul gundah dan terus bertanya-tanya.
Tak terasa langkah kaki Abdul telah mengantarkan sampai di hadapan beliau.
Rasa kaget tiba-tiba mendekap saat Abdul bersuan dengan beliau, Maha Guru di
pesantren.
“Dennak dul, pecet agi engko’
(kesini dul,
tolong pijatkan tubuhku)” begitulah kiyai memanggil nama Abdul seraya
menyuruhnya.
“ enggi (ya)” jawab Abdul patuh sambil
menundukkan kepala.
Seperti biasa, kiyai memanggil Abdul
untuk memijat beliau. Meskipun pada malam itu dia sempat heran. Satu
pemandangan aneh dan langka bagi kedua bola matanya, Abdul melihat kaos yang
dipakai oleh beliau basah kuyup oleh keringat yang terus menerus keluar dari
pori-pori kulit beliau. Bak sumber mata air yang terus memaksa agar air tetap
keluar dari dalam dirinya. Sementara beliau tetap terdiam kaku dan lesu tanpa bersedia ngobrol
dengannya.
Waktu terus bergulir, jam dinding
pun tertawa dan memberi isyarat bahwa jarum jam telah menusuk angka 11.
Akhirnya beliau besedia angkat bicara juga.
“Tang tenga cek sake’eh loh
setiah (punggungku sakit sekali malam ini)” seru kyai pada Abdul dengan
nada datar dan wajah tanpa ekspresi. Sementara keringat beliau masih bersikukuh
untuk tetap mengalir deras dari wajah, tubuh dan kaki beliau. Lantas kiyai
melanjutkan seruannya. “pola sengko’ ken keraconan loh?, tang pello
agili teros (apa mungkin saya keracunan ya? Keringatku mengalir terus), ya
Alloh,,,,,,,,!”. Mendengar seruannya itu, hati Abdul serasa terpukul oleh
gada yang terbuat dari baja. Dia yakin bukan hanya dia, santri lain pun akan
merasakan hal yang sama saat mengetahui kalau guru atau kiyainya merintih mengalami rasa sakit
yang luar biasa.
Tak mampu membendung rasa sakit yang
luar biasa, kiyai pun membangunkan nyai (istilah ibu dalam pesantren/isti
kiyai) yang saat itu tertidur lelap dalam kamarnya. Maksud beliau membangunkan
nyai hanya agar nyai memberikannya semangko’ air kelapa. Hal ini karena kyai
meyakini bahwa sakit yang beliau derita karena keracunan. Konon katanya air
kelapa itu dapat menghempaskan racun yang masuk dan bersemayam dalam tubuh.
Sementara nyai menyediakan semangkok air kelapa bersama Gus Shofiyulloh
di dapur, kyai menyuruh Abdul untuk menyudahi pijatannya. Lantas kiyai berdiri
dan melangkahkan kakinya menuju ruangan terbuka di depan pondok putri. Sungguh
tak di sangka kiyai yang tadinya berseru menyatakan rasa sakit yang beliau rasakan,
sekarang beliau lari-lari kecil mengelilingi ruangan terbuka itu.
Berselang sekitar lima menit,
semangkok air kelapa pun siap dihidangkan. Dengan lahap dan tergesa-gesa beliau
meminumya. Maklum mungkin beliau ingin segera menyegarkan tubuhnya yang tadinya
terlihat letih-lesu tak berdaya. Setelah itu kiyai memerintahkan Abdul dan nyai
untuk memijat beliau kembali. Semboyongan, kami pun berjalan menuju ruang
tengah. Meski suasana agak kacau balau menurutnya, karena kondisi kiyai yang
tak kunjung membaik. Sesekali nyai masih mengajak bercanda mesra dengan kiyai. Maklum, karena beliau berdua saling mencintai. Laksana
bulan dan bintang yang saling melengkapi.
“heeeh
paleng ken sakek tabuk terro hajetteh ro, nguca’eh kraconan (paling Cuma sakit
perut biasa, pengen buang airt besar aja, bilangnya keracunan segala)” Ejek
nyai kepada kiyai.
Suasana
hening terus melebur dalam larutnya malam. Nah,,,,! Saat itu kejadian-kejadian
aneh muncul silih berganti. Mulai dari kyai yang tak sudi lagi ngobrol dengan
mereka berdua. Hal ini dia anggap aneh karena biasanya kyai dan nyai asyik ngobrol
dan dongeng kesana-kemari. Mulai dari masalah pesantren, rumah tangga beliau
berdua,
dan lain-lain.
Keanehan-keanehan
berikutnya adalah suhu dingin merayap di tubuh beliau mulai ujung kepala sampai
ujung kaki, kucing-kucing yang tak kunjung menghentikan pertikaian mereka
diatas genting ndalem, yang pada akhirnya genting-genting pesantren pun pecah
akibat ulah jail kucing itu. Satu lagi hal aneh yang membuat jantung
ini berdebar lebih kuat dari biasanya adalah satu dari dua ayam yang ada di
depan ndalem terus menerus berteriak seakan minta tolong karena ketakutan.
Lagi-lagi nyai iseng dan
memberanikan diri untuk tetap ngobrol. Di sela-sela obrolannya, sesekali nyai
bertanya “bindereh anapah sokonah sampian mik cek celleppah? (guz, kenapa kaki
jenengan kok dingin sekali rasanya)”. Serasa pertanyaan yang tiada guna
menurutnya. Karena kiyai tak mau menjawab pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya
tak di sangka, kyai pun mulai angkat bicara dari sekian lama beliau terdiam
kaku membisu.
“Dul tang beden cek
cuwelleppah, pola labengeh bik kakeh tak e totop gellek (Dul, tubuhku sungguh amat
dingin rasanya, apa mungkin pintunya lupa gak kamu tutup tadi)?” Tanya kyai dengan nada rendah berseru
pada Abdul.
“lastareh kiyai, ken lakar
bedennah panjenengan cek celleppah sarah (sudah kyai, emang tubuh jnengan
terbungkus oleh suhu dingin luar biasa)”. Jawab Abdul sembari meyakinkan
beliau.
Suara teriakan ayam yang tak kunjung
sirna dari pendengaran telinga, memaksa kiyai menyuruhnya tuk sesekali melihat
ada apa gerangan yang membuat ayam tersebut terus menyerukan kokoknya????.
Dengan disertai rasa bimbang dan penasaran dia memberanikan diri tuk
menghampiri ayam itu. Dengan yakin dan mantab pada Allah akhirnya dia membaca
sholawat nariyah berharap ayam itu tenang dan tidak ribut lagi. Alhamdulillah
dengan pertolongan Alloh akhirnya ayam itu sudi dan bersedia menghentikan teriakannya.
Tanpa berlama-lama dia pun kembali ke ndalem tuk meneruskan aktifitasnya
memijat sang maha guru. Sesampainya dia di hadapan kiya dan nyai, beliau berdua langsung bertanya:
“arapah ajemmeh loh (kenapa
dengan ayam itu loh)?” Tanya mereka dengan nada tegang.
“korang oning, padahal tadek
panapah nikah (kurang tahu, padahal tidak ada apa-apa yang mengganggunya)” jawab Abdul dengan ekspresi dahi mengkerut.
Dengan bergulirnya waktu, hingga
pada akhirnya kiyai memberi dia minyak kayu putih dan menyuruhnya tuk
meneteskannya di punggung beliau dengan rata. Setelah dia teteskan dengan rata
kemudian dia memijat kembali.
Di tengah-tengah dia dan nyai
memijat, kiyai mengalami sesak yang luar biasa dan tak mampu bicara. Dia dan
Nyai yang tegang dan kaget melihat beliau yang tak mampu menghembuskan nafasnya secara lancar
dan normal, sontak mereka
pun berteriak
dan memanggil-manggil nama beliau.
“kiyai,,, kyai,,, kyai,,,,????”
seruan
kita tak dijawab. Dengan
suara terbata-bata nyai menyuruh dia tuk membangunkan Gus Nasihul Anam.
Tanpa banyak berfikir, langkah kakinya pun berlari kencang menuju kamar-kamar
gus dan neng tuk membangunkan mereka. Tak lupa, dia juga berlari menuju halaman
ndalem dan berteriak, memanggil seluruh
santri tuk segera bergegas ke ndalem. Layaknya tim PMR, mereka secara spontan
langsung berlarian menuju dan membanjiri serta memenuhi setiap sudut ruangan
yang ada di ndalem.
Deraian air mata tak terbendung lagi
membasahi setiap pipi merona santriwan,
santriwati dan keluarga ndalem yang saat itu mengetahui bahwa
kondisi romo kyai kritis. Gus Shafiyulloh
yang juga panik melihat
kejadian pilu itu, segera menghidupkan mobil untuk segera mengantarkan ayahnya
menuju Puskesmas desa sebelah. Dengan rintihan-rintihan suara sedih yang tak
beraturan, ndalem yang awalnya sunyi
menjadi bergemuruh.
Dengan kencang mobil pun melaju dan
membawa romo kiyai ke rumah sakit. Ada beberapa santri yang ikut didalamnya
tiada henti-hentinya membaca lantunan ayat-ayat suci, seraya beraharap kiyai
cepat sembuh dan pulih seperti sediakala. Sesampainya di Puskesmas, dokter
langsung memeriksa kondisi romo kiyai yang tak berdaya itu. Dan akhirnya dokter
itu mengatakan kepada mereka para santri dan keluarga yang ikut serta bahwa
romo kiyai telah meninggal dunia. Spontan suara tangisan pecah, berhamburan, serta berserakan tak tertata setelah
mendengar ucapan dokter itu.
Dengan
rasa penuh penasaran dan jiwa yang senantiasa terselimuti rasa cemas, Abdul
pun memberanikan diri tuk mendekati tubuh kyai demi
memastikan kondisi beliau. Dia lihat dada yang tak lagi kembang kempis, dan hanya terdiam
di tempat. Dia
sentuh kulit di bawah hidung beliau, berharap hembusan angin di sana. Tapi
kenyataan kembali berbicara “Hampa”.
Ya... tiada hembusan angin sama sekali yang dapat jemarinya rasakan. Inna lillahi Wa inna Ilaihi Roji’un...
Kyai Mustain telah meninggal dunia.
Sementara jarum jam
dinding pun terdiam layu diantara angka 11 dan 12, seakan juga turut menjadi
saksi bisu telah kembalinya sang inspirator penjara suci menghadap Allah Robbul Izzati.
Wuihh... blog ini baru ketemu. Mantap! Saya harap konsisten menulis, Rik. Blog ini sudah masuk radar saya....
ReplyDelete