Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

Hukum Kewarisan "Faktor-faktor yang Mendorong Ahli Waris Mengundurkan Diri"



Faktor-faktor yang Mendorong Ahli Waris Mengundurkan Diri
1.                       Faktor Yuridis
Mengundurkan diri dalam menerima warisan merupakan pernyataan yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagikan
Kewajiban bagi pewaris untuk mewariskan hartanya kepada para ahli waris,
dan ahli waris berkawajiban juga untuk membagi harta peninggalan tersebut kepada
ahli waris yang sudah ditentukan dan apabila ada salah satu ahli waris mundur maka
dilakukan perjanjian damai.
a.             Ijtihad
Kata Ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari kata jahada artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha.Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum Islam.Ijtihad adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikannya dari masa ke masa.
Karena umat Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan masyarakat.Dalam masyarakat yang berkembang itu senantiasa muncul masalah-masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya.[1]
Dalam masyarakat Indonesia berkembang bermacam ragam aliran yang berkenan denagn fiqih. Ada beberapa mazhab yang memberi pengaruh besar terhadap umat Islam, mazhab adalah “ hasil ijtihad seorang imam (mujtahid mutlak Musqil)tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath[2].
Dikalangan umat Islam ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’I dan mazhab Hambali. Selain empat mazhab tersebut ada banyak mazhab lain seperti Hasan Basri, Ats-Tsaury, Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Abi Laila, Al-Auza ‘iy, Al-Laitsi, Ibnu Hasm, At- Thabary, Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah84. Dan dikalangan sahabat Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Abdulullah Bin Abbas, Zaid Bin Tsabit, dan Abdullah ibnu Mas’ud.
Pada zaman keemasan dinasti Abbasiyah (750 M), hukum waris Islam berkembang pesat dan mencapai puncaknya, sehingga tersebar ke seluruh dunia Islam pada waktu itu. Umat Islam yang berpegang kepada ajaran hukum waris Islam mazhab Safi’i, ada yang berpegang pada mazhab Maliki da nada juga yang menuruti mazhab Hanafi, mazhab Hanafi pada mulanya sangat berkembang deseluruh dunia Islam karena pengaruh kekuasaan Imam Abu Hanifah sebagai Hakim Besar di Bagdad, sehingga para khalifah Abbasiyah mengutamakan mazhab Hanafi dalam lapangan pengadilan di seluruh kerajaannya. Dan akhirnya ada yang berpegang kepada mazhab Hambali yang dianut oleh umat Islam di Palestina dan sekarang diakui secara resmi di kerajaan Saudi Arabia dan termasuk dikalangan umat Islam diseluruh dunia[3].
Keempat mazhab tersebut di atas diakui oleh golongan Ahlusunnah, karena di dalam mazhab yang empat itu hanya terdapat perbedaan paham masalah furu’ dan tidak dalam pokok agama[4]. Pengunduran diri dalam bagian warisan merupakan hasil Ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Atsar tersebut berbunyi : “dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan kepadanya, dari amru bin Dinar dari Ibnu Abbas, dari salah seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan[5].
Adapun riwayat dari Abdurrahman bin ‘Auf yang terjadi takharuj ada juga terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir yang tercantum di dialam pasal 48, yang dijelaskan tentang defenisi takharuj dan bentuk-bentuknya serta cara pembagiannya harta pusaka tersebut.
Dari atsar sahabat tersebut, dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip musyawarah dan damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima harta warisan suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan puluh tiga ribu dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham. Istri (janda) almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4 orang, dan salah seorang di antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag menyatakan mengundurkan diri dari bagian yang seharusnyaa diterima dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Bagian Thumadhir adalah 1/8 atau 1/32 dari keseluruhan harta warisan pewaris. Bagian tersebut dinilai dengan uang sejumlah 80 dirham atau ada yang menyatakan 83 dinar[6].
Selain atsar sabahat, dasar hukum Al-takharruj adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan, perjanjian pembagian harta warisan dengan metode Takharruj hukumnya boleh.
Jadi, Takharuj adalah pembagian harta warisan secara damai dengan prinsip musyawarah. Pembagian harta warisan dengan metode tersebut, para ahli warislah yang berperan dan berpengarauh dalam menentukan, baik cara pembagiannya maupun besar bagian para ahli waris.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini dapat saja keluar dari ketentuan pembagian harta warisan yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw., namun atas dasar kesepakatan dan kerelaan antara para ahli waris untuk kemaslahatan para ahli waris.
b.             Kompilasi Hukum Islam
Mengenai waris diatur pula didalam Kompilasi Hukum Islam.Tentang waris diatur dalam pasal 171 sampai dengan pasal 193.Dalam Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan juga mengatur tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih mawaris. Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama.
Mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 183, menyatakan bahwa “Para ahli waris sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadarinya”.tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama.
Sementara dalam pasal 188 disebutkan bahwa para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.
Kompilasai Hukum Islam menjelaskan bahwa dengan perjanjian dan perdamaian dilakukan pembagian harta warisan, dengan kesepakatan semua keluarga dan kesepakan para ahli waris yang lain. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa kewajiban ahli pewaris adalah:
a)         Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b)        Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih hutang
c)         Menyelesaikan wasiat pewaris
d)        Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
2.                       Faktor Sejarah
Masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kezaliman, dimana pada saat itu umat Islam tidak bernafas lega.Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati.Ketika dating dengan panji-panjian yang putih. Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri umat Islam melalui pemberian kembali akan hak-haknya untuk melaksanakan warisan, juga membagikan kepada ahli waris yang sudah ditetapkan dalam Agama Islam.
Bagian ahli waris yang sudah ditetapkan dengan ketentuan bagian ahli waris dalam waris Islam ialah bagian untuk seorang ahli waris sering tidak tetap, berubah-ubah menurut keadaan ahli waris, maka hal ini perlu diperhatikan sepenuhnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam membagi harta warisan. Apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli waris dari haknya atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta warisan dengan imbalan menerima sejumlah sejumlah uang, disebut dengan takharuj atau tashaluh[7]. Sebelum Agama Islam diturunkan di Arab, orang-orang Arab jahiliyah pada masa itu adalah salah satu bangsa yang suka mengembara dan berperang, kehidupan mereka sedikit banyaknya tergantung kepada hasil buruan dan rampasan perang dari bangsa yang dapat ditaklukkannya, serta hasil dari perniagaan mereka.
Dalam bidang mu’amalat dan harta pusaka mereka berpegang teguh kepada warisan yang ditinggalkan nenek moyang mereka, yang terdapat ketentuan bahwa anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak boleh mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal, karena mereka beranggapan bahwa anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak pantas untuk jadi ahli waris[8].
Adapun hijrah dan mukhahkhah itu sebagai sebab untuk mendapatkan pusaka, ialah karena pada waktu itu kaum muslimin sangat sedikit, sedangkan musuh sangat banyak untuk memperteguh dan mengabadikan persaudaraan antara kaum mujahirin dan anshar, maka Nabi Muhammad saw membuat ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mempusakai.
Menurut Islam salah seorang Mujahirin bila meninggal di Madinah akan dipusakai oleh sahabatnya yang turut hijrah, sedang bagi yang enggan hijrah tidak boleh mempusakai, tetapi bila mujahirin tersebut tidak mempusakai ahli waris yang turut hijrah, maka harta peninggalannya dipusakai oleh saudaranya. Dari golongan anshar yang menjadi wali (ahli waris) oleh ikatan Al-Muakhkhah (persaudaraan)[9].
3.                       Faktor Filosofi
Tujuan syara’ secara umum dalam menetapkan hukum-hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di akhirat (kekal) kelak. Salah satu bidang hukum Islam yang termasuk dalam muamalat ‘am adalah ahwal al-syakhsiyah, yakni hukum yang menyangkut dan mengatur tentang masalah keluarga. Secara garis besar hukum Islam terbagi kepada, fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, danm sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lai, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Islam mengatur tentang melaksanakan syariat yang ditunjukkan oleh nas-nas yang sarih adalah keharusan[10]. Oleh sebab itu pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam bersifat wajib. Maka dari itu pengetahuan tentang waris Islam mutlak diperlukan, pengetahuan tentang asal, harta bersama, harta keluarga, utang pribadi dan hutang bersama diperlukan untuk keperluan tersebut. Pelaksanaan pembagian warisan kepada ahli waris dilakukan dengan cara dan teknik yang memungkinkan semua harta peninggalan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid, pelaksanaan pembagian warisan itu harus sesuai dengan asas-asas kewarisan Islam[11].
Disamping saudara laki-lakinya, perempuan berhak memperoleh bagian dari warisan orang tuannya, dan meskipun berbeda, perbedaanya ditentukan menurut kedudukan kekeluargaan saudara laki-lakidan saudara perempuan. Ia juga memperoleh bagian dari warisan suami, anak-anak, dan keluarga dekat lainnya. Demikian juga dengan penghasilan yang diperoleh dengan usaha sendiri tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang yang kasar[12].
4.                       Faktor Sosiologi
Secara sosiologi diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalamai perubahan sosial. Perubahan suatu masyarakat dapat dipenuhi oleh pola pikir dan tata nilai yang ada pada mereka, semakin maju cara berfikir suatu masyarakat akan semakin terbuka pula peluang untuk menerima peluang ilmu pengetahuan. Bagi umat Islam beragama, khususnya umat Islam kenyataan ini dapat menimbulkan suatu problem terutama apabila suatu kegiatan dihubungkan dengan norma-norma agama.Akibatnya diperlukan pemecahan atas masalah-masalah tersebut.
Hukum Islam universal sehingga ia mengatur segala aspek kehidupan manusia. Namun bagaimana pun ia tidak terlepas dari pengaruh budaya atau adat dari satu daerah tertentu dimana hukum Islam itu berkembang. Oleh karenanya ia perlu mengembangkan pemahaman yang melihat kepada alternatif-alternatif (solosi) yang diyakini merupakan tujuan dari hukum Islam dalam merealisasikan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat[13].
Ahli waris yang mengundurkan diri bisa mengadakan persetujuan damai dengan dengan ahli waris lainnya, bahwa bahagiannya diserahkan kepada salah satu ahli waris lain, dengan ketentuan bahwa dia cukup menerima uang sebagian dari harta bagian ia. Musyawarah adalah salah satu bagian dari prinsip waris Islam[14] yang berperan sebagai media dalam mencapai tujuan pembagian warisan sangat dikedepankan terutama dalam pembagian warisan.
Nilai-niali hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Salah satu prinsip dimaksud adalah penggunaan norma adat sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum. Dalam penerapan hukum Islam selalu memperhatikan adat istiadat setempat untuk dijadikan standar norma yang harus diikuti dan ditaati oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits[15].
Pada dasarnya hukum waris merupakan salah satu dasar syari’at dalam agama Islam. Namun pada perkembangannya (salah satunya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim), syari’at ini lama-kelamaan menjadi adat dalam sebuah keluarga di hampir seluruh daerah Indonesia.Mengenai waris di Aceh merupakan tradisi yang sangat dijunjung dan dihormati dalam sebuah keluarga, oleh karena itu kalau ada sebuah keluarga yang ingin membagikan harta peninggalan atau harta warisannya harus kesepakatan bersama antara para ahli warisnya.
Pembagian waris didalam keluarga terutama di Aceh sering dilakukan dengan cara musyawarah antara keluarga dan para ahli waris, sekirannya ada salah satu keluarga yang menyatakan akan mengundurkan diri atau menolak bagian warisan tersebut tidak menjadi pokok masalah selama ahli waris yang lain setuju dan sepakat untuk memberikan bagian warisan tersebut kepada ahli waris atau keluarga yang lain pantas menerima bagian warisan tersebut. Tidak jarang ada dalam sebuah keluarga tersebut yang ahli warisnya mengundurkan diri dan memberikan bagian warisannya kepada saudara perempuannya yang masih melanjuti pendidikan yang layak untuk dibantu dari segi ekonomi.
Waris adalah suatu yang wajib untuk dibagikan, bentuk dan jumlahnya itu tergantung seberapa banyak harta yang ditinggalkan oleh si yang meninggalkan harta. Misalnya ada suatu daerah yang meninggalkan harta warisan berupa rumah dan tanah 300 m2, dan mempunyai ahli warisnya adalah seorang ibu, lima orang anak perempuan, dan lima orang anak laki-laki. Bagian dari lima anak perempuan dan lima orang anak lak-laki tersebut semuanya mengundurkan diri dan melimpahkan harta yang berbentuk rumah dan tanah tersebut kepada ibu kandung mereka, maka sertifikat rumah dan tanah dibalik nama atas nama ibu kandung mereka. Selain itu ada juga dari keluarga yang lain meninggal seorang ayah dan meninggalkan seorang istri, dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Harta yang ditinggalkan adalah sebuah rumah dan uang berjumlah 20 juta, jadi salah satu ahli waris anak laki-laki yang pertama mengundurkan diri dari bagian warisannya dan memberikan bagiannya kepada saudara perempuannya, karena untuk biaya pendidikannya selama sekolah.
Bagi pihak keluarga pembagian warisan bisa berpengaruh dengan tingkat ekonomi, karena kalau ada salah satu keluarga yang membutuhkan biaya hidup atau biaya pendidikan keluarga tersebut tidak sungkan-sungkan untuk membantu keuangan saudara yang lain begitu juga dengan bagian warisan yang sudah dibagikan bisa diberikan kepada saudara yang masih membutuh kannya.
Aceh mempunyai banyak suku, seperti Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang.Tentu hal ini perlu dikaji oleh generasi penerus secara kritis tentang alas an atau sebab-musababnya dan referensi dari adat istiadat itu sendiri, terlebih para generasi muda di era globalisasi yang mewarisi dan kewajiban untuk melestarikannya. Melihat situasi histori, keberagaman dan aspek masyarakat Aceh yang seratus persen memeluk Islam, menimbulkan implementasi hukum Islam dalam pelaksanaan adat istiadat dalam masyarakatAceh, terlebih dalam masalah adat pembagian warisan.
Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh perilaku-perilaku (adat) dari suatu masyarakat yang ada dalam pergaulannya dianggap baik dan bermanfaat bagi golongannya yang dilakukan kembali secara berulang-ulang, akan menjadi suatu adat kebiasaan pada masyarakat tertentu. Adat ini lambat laun akan menjadi norma hokum yang tidak tertulis, yang menjadi norma hukum bukan karena ditetapkan melainkan karena terulang-terulang sehingga ia bersumber bukan dari atas (penguasa) melainkan dari bawah (masyarakat sendiri).
Namun demikian syaria’t waris didalam Islam memiliki hikmah yang cukup besar, Ilmu yang paling mulia dan utama.Hanya dengan ilmu itulah seseorang bias memberikan konstribusi secara optimal untuk kebaikan dirinya dan sesama muslim. Ilmu Agama memiliki kapasitas ilmiah di bidang ilmu-ilmu Islam, khususnya syari’at, bisa menempatkan pada posisi tertinggi dibandingkan pengenalan terhadap disiplin ilmu lainnya, oleh sebab itu Nabi saw menegaskan : “ barang siapa yang Allah inginkan menjadi baik, niscaya Allah jadikan sebagai orang yang berpengetahuan di bidang agama. Dan pengetahuan itu didapat dengan dipelajar[16].
Ilmu waris atau faraidh termasuk jajaran ilmu syari’at yang memiliki kedudukan tinggi, ilmu yang menangani tentang waris ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang Allah sendiri berkenan menjelaskan pembagiannya secara tegas. Allah sendiri juga menjelaskan hukum-hukumnya dalam kitab-Nya, secara langsung, tanpa perantara malaikat atau Nabi.Hal itulah yang menguatkan bahwa ilmu faraidh adalah ilmu yang amat mulia[17].
Belakangan ini kecendrungan umat Islam, termasuk di Indonesia, dalam mempelajari ilmu cukup menggeliat.Kesadaran itu mau tidak mau harus diberi jalan semudah mungkin, menuju capaian tingkat kecerdasan ilmiah Islam yang baik. Waris Islam yang diundangkan oleh Islam terdapat dua macam perbaikan yaitu[18]:
a.              Islam mengikutsertakan kaum perempuan sebagai ahli waris seperti laki-laki.
b.             Islam membagi harta warisan kepada segenap ahli waris secara propolsional, berbeda dengan undang-undang barat yang menyerahkan seluruh harta warisan kepada laki-laki tertua.
Waris Islam banyak hal yang mengatur apapun yang diperlukan dalam kewarisan, baik itu pembagiannya, mengundurkan diri dlam menerima bagian warisan, maupun pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut.

Silakan klik link Download-nya bagi yang berminat


[1] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia,(Jakarta : UI-Press, 1990), hal 217
[2] Ali Hasan,Perbandingan Mazhab Fiqih,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997), hal 1
[3] Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, (Bandung: Bina Pustaka, 1984), hal 7
[4] Ibid
[5] http://blogspot.com//al-takharuj-pembagian warisan. Diakses tanggal 10 Nopember 2016.
[6] http;//media.isnet.org-Islam-Waris-Taakharruj-html-2013-11. Diakses tanggal 10 Nopember 2016.
[7] Ahmad Azhar Basyir,Hukum Waris, (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta,2001) hal 103.
[8] Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan : Fakultas Hukum, Universitas Darma Wangsa) hal, 94
[9] Ibid
[10] Otje, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung :PT.Refika Aditama, 2006) hal, 3
[11] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta : Rajawali Press, 2000), hal 280
[12] Adang Affandi, Islam Konsepsi dan Sejarah, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2005) hal, 440-444
[13] Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994) hal, 117
[14] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta Academia + Tazzafa, 2004) hal 131
[15] Rusjdi Ali Muhammad, Dedi Sumardi, Kearifan Tradisonal Lokal: Penyerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Adat Aceh,(Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2001) hal 39
[16] Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo : Rumah Dzikir, 2006), hal, 15
[17] Ibid, hal, 16
[18] Ibid, hal, 21

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA