Faktor-faktor yang Mendorong Ahli Waris Mengundurkan Diri
1.
Faktor Yuridis
Mengundurkan diri dalam menerima warisan
merupakan pernyataan yang diadakan
oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan
memberikan suatu prestasi, baik prestasi
tersebut berasal dari harta milik orang yang mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal
dibagikan
Kewajiban bagi pewaris untuk mewariskan hartanya
kepada para ahli waris,
dan ahli
waris berkawajiban juga untuk membagi harta peninggalan tersebut kepada
ahli
waris yang sudah ditentukan dan apabila ada salah satu ahli waris mundur maka
dilakukan
perjanjian damai.
a.
Ijtihad
Kata Ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari
kata jahada artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam
berusaha.Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar
yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang
memenuhi syarat untuk merumuskan garis
hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum
Islam.Ijtihad adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena
pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikannya dari masa ke masa.
Karena umat Islam dan umat
Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan
masyarakat.Dalam masyarakat yang berkembang itu senantiasa muncul
masalah-masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya.
Dalam masyarakat Indonesia berkembang bermacam
ragam aliran yang berkenan
denagn fiqih. Ada beberapa mazhab yang memberi pengaruh besar terhadap umat Islam, mazhab adalah “ hasil ijtihad
seorang imam (mujtahid mutlak Musqil)tentang
hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath.
Dikalangan umat Islam ada
empat mazhab yang paling terkenal yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Syafi’I dan mazhab Hambali. Selain empat mazhab tersebut ada banyak mazhab lain
seperti Hasan Basri, Ats-Tsaury, Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Abi Laila, Al-Auza ‘iy,
Al-Laitsi, Ibnu Hasm, At- Thabary, Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah84. Dan
dikalangan sahabat Nabi adalah Ali bin Abi
Thalib, Abdulullah Bin Abbas, Zaid Bin Tsabit, dan Abdullah ibnu Mas’ud.
Pada zaman keemasan dinasti Abbasiyah (750 M),
hukum waris Islam berkembang
pesat dan mencapai puncaknya, sehingga tersebar ke seluruh dunia Islam pada waktu itu. Umat Islam yang berpegang
kepada ajaran hukum waris Islam mazhab
Safi’i, ada yang berpegang pada mazhab Maliki da nada juga yang menuruti mazhab Hanafi, mazhab Hanafi pada mulanya
sangat berkembang deseluruh dunia Islam
karena pengaruh kekuasaan Imam Abu Hanifah sebagai Hakim Besar di Bagdad, sehingga para khalifah Abbasiyah
mengutamakan mazhab Hanafi dalam lapangan
pengadilan di seluruh kerajaannya. Dan akhirnya ada yang berpegang kepada mazhab Hambali yang dianut oleh umat
Islam di Palestina dan sekarang diakui
secara resmi di kerajaan Saudi Arabia dan termasuk dikalangan umat Islam diseluruh dunia.
Keempat mazhab tersebut di
atas diakui oleh golongan Ahlusunnah, karena di dalam mazhab yang empat itu
hanya terdapat perbedaan paham masalah furu’ dan tidak dalam pokok agama. Pengunduran
diri dalam bagian warisan merupakan hasil Ijtihad
(atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Atsar tersebut berbunyi :
“dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan
kepadanya, dari amru bin Dinar dari Ibnu Abbas, dari salah seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk
berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah
delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.
Adapun riwayat dari
Abdurrahman bin ‘Auf yang terjadi takharuj ada juga terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Warisan Mesir yang tercantum di dialam pasal 48, yang
dijelaskan tentang defenisi takharuj dan bentuk-bentuknya serta cara
pembagiannya harta pusaka tersebut.
Dari atsar sahabat
tersebut, dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip
musyawarah dan damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf
dengan cara salah seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima
harta warisan suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan
puluh tiga ribu dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham. Istri
(janda) almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4 orang, dan salah seorang di
antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag menyatakan mengundurkan diri dari
bagian yang seharusnyaa diterima dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Bagian
Thumadhir adalah 1/8 atau 1/32 dari keseluruhan
harta warisan pewaris. Bagian tersebut dinilai dengan uang sejumlah 80 dirham atau ada yang menyatakan 83 dinar.
Selain atsar sabahat,
dasar hukum Al-takharruj adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah
jual beli dan tukar menukar atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga
sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan, perjanjian pembagian harta warisan
dengan metode Takharruj hukumnya boleh.
Jadi, Takharuj adalah pembagian harta
warisan secara damai dengan prinsip musyawarah.
Pembagian harta warisan dengan metode tersebut, para ahli warislah yang berperan dan berpengarauh dalam
menentukan, baik cara pembagiannya maupun
besar bagian para ahli waris.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini dapat
saja keluar dari ketentuan pembagian
harta warisan yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw., namun atas dasar kesepakatan
dan kerelaan antara para ahli waris untuk
kemaslahatan para ahli waris.
b.
Kompilasi
Hukum Islam
Mengenai waris diatur pula didalam Kompilasi
Hukum Islam.Tentang waris diatur
dalam pasal 171 sampai dengan pasal 193.Dalam Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan juga mengatur tentang
kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya
harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih mawaris. Kompilasi
Hukum Islam juga menyatakan tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk
namun atas dasar kerelaan bersama.
Mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan
dalam Kompilasi Hukum Islam
diatur dalam pasal 183, menyatakan bahwa “Para ahli waris sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadarinya”.tentang
usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda
dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama.
Sementara dalam pasal 188 disebutkan bahwa para
ahli waris baik secara bersama-sama
atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada diantara ahli waris yang
tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian harta warisan.
Kompilasai Hukum Islam menjelaskan bahwa dengan
perjanjian dan perdamaian dilakukan pembagian harta warisan, dengan
kesepakatan semua keluarga dan
kesepakan para ahli waris yang lain. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa kewajiban ahli pewaris adalah:
a)
Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman
jenazah selesai
b)
Menyelesaikan baik utang-utang berupa
pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih hutang
c)
Menyelesaikan wasiat pewaris
d)
Membagi harta warisan di antara ahli waris yang
berhak.
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
2.
Faktor Sejarah
Masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah
yang penuh dengan kezaliman,
dimana pada saat itu umat Islam tidak bernafas lega.Bahkan hanya seperti sebuah alat yang dipergunakan pemiliknya dengan
sekehendak hati.Ketika dating dengan
panji-panjian yang putih. Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri umat Islam melalui pemberian kembali
akan hak-haknya untuk melaksanakan
warisan, juga membagikan kepada ahli waris yang sudah ditetapkan dalam Agama Islam.
Bagian ahli waris yang
sudah ditetapkan dengan ketentuan bagian ahli waris dalam waris Islam ialah
bagian untuk seorang ahli waris sering tidak tetap, berubah-ubah menurut
keadaan ahli waris, maka hal ini perlu diperhatikan sepenuhnya agar tidak
terjadi kekeliruan dalam membagi harta warisan. Apabila para ahli waris mengadakan
perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli waris dari haknya atas
bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta warisan dengan imbalan
menerima sejumlah sejumlah uang, disebut dengan takharuj atau tashaluh.
Sebelum Agama Islam diturunkan di Arab, orang-orang Arab jahiliyah pada masa
itu adalah salah satu bangsa yang suka mengembara dan berperang, kehidupan
mereka sedikit banyaknya tergantung kepada hasil buruan dan rampasan perang
dari bangsa yang dapat ditaklukkannya, serta hasil dari perniagaan mereka.
Dalam bidang mu’amalat dan
harta pusaka mereka berpegang teguh kepada warisan yang ditinggalkan nenek
moyang mereka, yang terdapat ketentuan bahwa anak-anak yang belum dewasa dan
perempuan tidak boleh mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang telah
meninggal, karena mereka beranggapan bahwa anak-anak yang belum dewasa dan
perempuan tidak pantas untuk jadi ahli waris.
Adapun hijrah dan mukhahkhah
itu sebagai sebab untuk mendapatkan pusaka, ialah karena pada waktu itu
kaum muslimin sangat sedikit, sedangkan musuh sangat banyak untuk memperteguh
dan mengabadikan persaudaraan antara kaum mujahirin dan anshar, maka Nabi
Muhammad saw membuat ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab
untuk saling mempusakai.
Menurut Islam salah
seorang Mujahirin bila meninggal di Madinah akan dipusakai oleh sahabatnya yang
turut hijrah, sedang bagi yang enggan hijrah tidak boleh mempusakai, tetapi
bila mujahirin tersebut tidak mempusakai ahli waris yang turut hijrah, maka
harta peninggalannya dipusakai oleh saudaranya. Dari golongan anshar yang menjadi wali (ahli waris) oleh ikatan
Al-Muakhkhah (persaudaraan).
3.
Faktor Filosofi
Tujuan syara’ secara umum dalam menetapkan
hukum-hukum Allah adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di akhirat (kekal) kelak.
Salah satu bidang hukum Islam yang termasuk
dalam muamalat ‘am adalah ahwal al-syakhsiyah, yakni hukum yang menyangkut dan mengatur tentang masalah
keluarga. Secara garis besar hukum Islam terbagi
kepada, fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat, puasa, haji, nazar, danm sebagainya yang bertujuan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan semuanya,
seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lai, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun
kemasyarakatan.
Islam mengatur tentang
melaksanakan syariat yang ditunjukkan oleh nas-nas yang sarih adalah keharusan. Oleh
sebab itu pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam bersifat wajib. Maka
dari itu pengetahuan tentang waris Islam mutlak diperlukan, pengetahuan tentang asal, harta
bersama, harta keluarga, utang pribadi dan
hutang bersama diperlukan untuk keperluan tersebut. Pelaksanaan pembagian warisan kepada ahli
waris dilakukan dengan cara dan teknik yang memungkinkan semua harta
peninggalan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad
yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid, pelaksanaan pembagian warisan
itu harus sesuai dengan asas-asas kewarisan Islam.
Disamping saudara
laki-lakinya, perempuan berhak memperoleh bagian dari warisan orang tuannya,
dan meskipun berbeda, perbedaanya ditentukan menurut kedudukan kekeluargaan
saudara laki-lakidan saudara perempuan. Ia juga memperoleh bagian dari warisan suami,
anak-anak, dan keluarga dekat lainnya. Demikian juga dengan penghasilan yang diperoleh
dengan usaha sendiri tidak bisa
diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang yang kasar.
4.
Faktor Sosiologi
Secara sosiologi diakui bahwa masyarakat
senantiasa mengalamai perubahan sosial.
Perubahan suatu masyarakat dapat dipenuhi oleh pola pikir dan tata nilai yang ada pada mereka, semakin maju cara berfikir
suatu masyarakat akan semakin terbuka pula
peluang untuk menerima peluang ilmu pengetahuan. Bagi umat
Islam beragama, khususnya umat Islam kenyataan ini dapat menimbulkan suatu
problem terutama apabila suatu kegiatan dihubungkan dengan norma-norma
agama.Akibatnya diperlukan pemecahan atas masalah-masalah tersebut.
Hukum Islam universal sehingga ia mengatur
segala aspek kehidupan manusia.
Namun bagaimana pun ia tidak terlepas dari pengaruh budaya atau adat dari satu daerah tertentu dimana hukum Islam itu
berkembang. Oleh karenanya ia perlu mengembangkan
pemahaman yang melihat kepada alternatif-alternatif (solosi) yang diyakini merupakan tujuan dari hukum Islam
dalam merealisasikan kemaslahatan hidup di
dunia dan akhirat.
Ahli waris yang mengundurkan diri bisa
mengadakan persetujuan damai dengan
dengan ahli waris lainnya, bahwa bahagiannya diserahkan kepada salah satu ahli waris lain, dengan ketentuan bahwa dia
cukup menerima uang sebagian dari harta bagian
ia. Musyawarah adalah salah satu bagian dari prinsip waris Islam yang berperan
sebagai media dalam mencapai tujuan pembagian warisan sangat dikedepankan terutama dalam pembagian warisan.
Nilai-niali hukum Islam tidak lepas dari
prinsip penerapan yang dianutnya, serta
tujuan hukum Islam itu sendiri. Salah satu prinsip dimaksud adalah penggunaan norma adat sebagai salah satu pertimbangan
dalam menetapkan hukum. Dalam penerapan
hukum Islam selalu memperhatikan adat istiadat setempat untuk dijadikan standar norma yang harus diikuti dan ditaati
oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Pada dasarnya hukum waris merupakan salah satu
dasar syari’at dalam agama Islam.
Namun pada perkembangannya (salah satunya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim), syari’at ini
lama-kelamaan menjadi adat dalam sebuah keluarga
di hampir seluruh daerah Indonesia.Mengenai waris di Aceh merupakan tradisi yang sangat dijunjung dan dihormati
dalam sebuah keluarga, oleh karena itu kalau
ada sebuah keluarga yang ingin membagikan harta peninggalan atau harta warisannya harus kesepakatan bersama antara
para ahli warisnya.
Pembagian waris didalam keluarga terutama di
Aceh sering dilakukan dengan cara
musyawarah antara keluarga dan para ahli waris, sekirannya ada salah satu keluarga yang menyatakan akan mengundurkan diri
atau menolak bagian warisan tersebut
tidak menjadi pokok masalah selama ahli waris yang lain setuju dan sepakat untuk memberikan bagian warisan tersebut kepada
ahli waris atau keluarga yang lain pantas
menerima bagian warisan tersebut. Tidak jarang ada dalam sebuah keluarga tersebut yang ahli warisnya mengundurkan diri
dan memberikan bagian warisannya kepada
saudara perempuannya yang masih melanjuti pendidikan yang layak untuk dibantu dari segi ekonomi.
Waris adalah suatu yang wajib untuk dibagikan,
bentuk dan jumlahnya itu tergantung
seberapa banyak harta yang ditinggalkan oleh si yang meninggalkan harta. Misalnya ada suatu daerah yang meninggalkan
harta warisan berupa rumah dan tanah 300 m2, dan mempunyai ahli warisnya adalah seorang
ibu, lima orang anak perempuan,
dan lima orang anak laki-laki. Bagian dari lima anak perempuan dan lima orang anak lak-laki tersebut semuanya
mengundurkan diri dan melimpahkan harta yang
berbentuk rumah dan tanah tersebut kepada ibu kandung mereka, maka sertifikat rumah dan tanah dibalik nama atas
nama ibu kandung mereka. Selain itu ada juga
dari keluarga yang lain meninggal seorang ayah dan meninggalkan seorang istri, dua orang anak laki-laki dan satu orang
anak perempuan. Harta yang ditinggalkan
adalah sebuah rumah dan uang berjumlah 20 juta, jadi salah satu ahli waris anak laki-laki yang pertama mengundurkan
diri dari bagian warisannya dan memberikan
bagiannya kepada saudara perempuannya, karena untuk biaya pendidikannya selama sekolah.
Bagi pihak keluarga
pembagian warisan bisa berpengaruh dengan tingkat ekonomi, karena kalau ada
salah satu keluarga yang membutuhkan biaya hidup atau biaya pendidikan keluarga
tersebut tidak sungkan-sungkan untuk membantu keuangan saudara yang lain begitu
juga dengan bagian warisan yang sudah dibagikan bisa diberikan kepada saudara
yang masih membutuh kannya.
Aceh mempunyai banyak
suku, seperti Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan
Tamiang.Tentu hal ini perlu dikaji oleh generasi penerus secara kritis tentang
alas an atau sebab-musababnya dan referensi dari adat istiadat itu sendiri,
terlebih para generasi muda di era globalisasi yang mewarisi dan kewajiban untuk
melestarikannya. Melihat situasi histori, keberagaman dan aspek masyarakat Aceh
yang seratus persen memeluk Islam, menimbulkan implementasi hukum Islam dalam pelaksanaan adat istiadat dalam
masyarakatAceh, terlebih dalam masalah adat pembagian
warisan.
Adat istiadat merupakan
seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam
kehidupan masyarakat Aceh perilaku-perilaku (adat) dari suatu masyarakat yang
ada dalam pergaulannya dianggap baik dan bermanfaat bagi golongannya yang
dilakukan kembali secara berulang-ulang, akan menjadi suatu adat kebiasaan pada
masyarakat tertentu. Adat ini lambat laun akan menjadi norma hokum yang tidak
tertulis, yang menjadi norma hukum bukan karena ditetapkan melainkan karena terulang-terulang
sehingga ia bersumber bukan dari atas (penguasa) melainkan dari bawah
(masyarakat sendiri).
Namun demikian syaria’t waris didalam Islam
memiliki hikmah yang cukup besar,
Ilmu yang paling mulia dan utama.Hanya dengan ilmu itulah seseorang bias memberikan konstribusi secara optimal untuk
kebaikan dirinya dan sesama muslim. Ilmu Agama
memiliki kapasitas ilmiah di bidang ilmu-ilmu Islam, khususnya syari’at, bisa
menempatkan pada posisi tertinggi dibandingkan pengenalan terhadap disiplin
ilmu lainnya, oleh sebab itu Nabi saw menegaskan : “ barang siapa yang Allah
inginkan menjadi baik, niscaya Allah jadikan sebagai orang yang berpengetahuan
di bidang agama. Dan pengetahuan itu didapat dengan dipelajar.
Ilmu waris atau faraidh
termasuk jajaran ilmu syari’at yang memiliki kedudukan tinggi, ilmu yang
menangani tentang waris ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang Allah sendiri
berkenan menjelaskan pembagiannya secara tegas. Allah sendiri juga menjelaskan
hukum-hukumnya dalam kitab-Nya, secara langsung, tanpa perantara malaikat atau
Nabi.Hal itulah yang menguatkan bahwa ilmu faraidh adalah ilmu yang amat
mulia.
Belakangan ini
kecendrungan umat Islam, termasuk di Indonesia, dalam mempelajari ilmu cukup
menggeliat.Kesadaran itu mau tidak mau harus diberi jalan semudah mungkin,
menuju capaian tingkat kecerdasan ilmiah Islam yang baik. Waris Islam yang diundangkan oleh Islam terdapat dua
macam perbaikan yaitu:
a.
Islam mengikutsertakan kaum perempuan sebagai
ahli waris seperti laki-laki.
b.
Islam membagi harta warisan kepada segenap ahli
waris secara propolsional,
berbeda dengan undang-undang barat yang menyerahkan seluruh harta warisan kepada laki-laki tertua.
Waris Islam banyak hal yang mengatur apapun
yang diperlukan dalam kewarisan,
baik itu pembagiannya, mengundurkan diri dlam menerima bagian warisan, maupun pelaksanaan pembagian harta
warisan tersebut.
Silakan klik link Download-nya bagi yang berminat
Comments
Post a Comment