Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

Hukum Progresif dan Hukum Perkawinan Islam (bag 1)

Asas Hukum Progresif dan Hukum Perkawinan Islam
Menurut Satjipto Rahardjo[1], pembahasan mengenai asas hukum adalah membicarakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, dan tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum adalah landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum selalu bisa dikembalikan kepada asasasas tersebut. Menurut Paton sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo[2], asas hukum adalah sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturanperaturan belaka.
Hukum memiliki titik pandang dan akan bertolak dari situ pula. Dalam hukum titik pandang itu terdapat pada asas hukum. Asas hukum bukanlah peraturan seperti pasal-pasal, undang-undang, namun sebagaimana dikatakan Scholten, hukum tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas. Asas hukum menjadikan hukum lebih dari sekedar peraturan yang dibuat dengan sengaja dan rasional, tetapi juga suatu dokumen moraletis.
Asas hokum memang tidak tampil sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi lebih sebagai kaidah (norm) di belakang peraturan. Aturan itu rasional, sedangkan kaidah memiliki kandungan moral dan bersifat etis. Asas hukum menjelaskan dan memberi ratio legis mengapa harus ada aturan. Ia menjadi penghubung antara peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan etis masyarakatnya[3].
1.                       Karakteristik dan Akar Pemikiran Gagasan Hukum Progresif
a.             Karakteristik hukum progresif
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti “panta rei” (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum yang memiliki karaktersistiknya sendiri, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini[4].
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik, atau keyakinan dasar ini tidak melihat hokum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat peraturan hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skemaskema yang telah dibuat oleh hukum[5].
Lin Yu Tang, seorang intelektual China yang lama bermukim di Amerika telah membedakan penempatan rasionalitas hukum modern, dan mengingatkan ada tujuan yang lebih besar dan karena itu kita perlu lebih berhatihati dalam melaksanakan sistem yang rasional itu. Apabila tujuan lebih besar itu tidak disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga masyarakat (manusia) bias menjadi sakit dan tidak bahagia[6].
Menurut Satjipto Rahardjo, para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai penyelenggaraan hukum yang progresif[7]. Sebagai contoh adalah dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana (SPP), meskipun sudah ada perundangundangan yang mengaturnya, misalnya tentang penyidikan dan sebagainya, tetap diperlukan pembinaan kultur dari para pelaku penyelenggara SPP tersebut. Disarankan oleh Satjipto Rahardjo, agar setiap kali menjalankan tugas, polisi maupun jaksa mengajukan pertanyaan di dalam hatinya: Penyidikan untuk siapa?; Penuntutan untuk siapa? Fungsi dari pertanyaan itu adalah untuk menghilangkan pengkotakan tugas dan mengutamakan pengabdian kepada masyarakat. Bukan polisi untuk polisi dan jaksa untuk jaksa, melainkan polisi dan jaksa untuk mengabdi dan melayani untuk masyarakat. Itulah kepentingan yang tertinggi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, dan keluaran yang diharapkan dari SPP[8].
Manusia atau perbuatan manusia selalu merupakan suatu yang memiliki keunikan. Kendati demikian, karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam hukum. Di sini hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal ditekan tombolnya saja, ibarat mesin otomat (subsumtie automat). Sementara itu hokum harus bekerja dengan rumusanrumusan hukum dalam perundangundangan, yang telah menyempitkan atau mereduksi manusia yang unik itu ke dalam skema atau standar tertentu[9]. Oleh sebab itulah muncul kritik dan keluhan seperti dilontarkan oleh Bernard Tanya, Daniel Lev dan Karolus Kopong Medan. Daripada menimbulkan ketertiban dan keteraturan, hukum nasional justru menjadi beban bagi kehidupan lokal, demikian menurut Bernard.[10]
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undangundang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.[11]
Ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah ke dalam perundang-undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif. Dalam lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta kalimat dan akhirnya menjadi undang-undang[12].
Namun, menurut Satjipto Rahardjo, pengalaman di lapangan menunjukkan betapa kompleksnya masalah dan bekerjanya hukum. Hukum tidak selalu sejelas, segampang, dan sesederhana seperti dibayangkan orang, kendati dikatakan, hukumnya sudah jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran. Undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin akan ditidurkan (statutory dormancy) atau dikesampingkan (desuetudo)[13].
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.[14]
Hukum itu cacat sejak ia diundangkan atau dilahirkan. Banyak faktor yang turut ambil bagian dalam melahirkan keadaan cacat tersebut. Lebih daripada itu, hukum itu juga bisa bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber bagi kejahatan. Kelalaian atau ketidak seksamaan mengatur masyarakat yang begitu majemuk, seperti Indonesia ini, sangat berpotensi menimbulkan pengaturan yang krimonogenik tersebut. Sekalipun legislatif bermaksud baik, tetapi karena kurang cermat memahami keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia, maka produk yang dihasilkanya bisa menimbulkan persoalan besar pada waktu diterapkan di salah satu bagian dari negeri ini.[15]
Uraian di atas menegaskan, bahwa membaca undangundang bukan sekedar mengeja kalimat dalam undangundang, melainkan memberi makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hukum adalah hal yang tidak sederhana, karena teks undangundang yang secara eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun, masih saja bisa diberi makna lain. Penerapan hukum yang meniru cara kerja mesin, tidak memedulikan risikorisiko yang muncul dari peraturan yang buruk itu.[16]
Selain itu, status quo juga berhubungan erat dengan sistem hukum yang dominan digunakan. Menurut Satjipto Rahardjo, sistem hukum yang dominan yang dipakai di dunia (khususnya di Indonesia) sangan eurosentris karena system hukum itu tumbuh dan berkembang dalam habitat dan lingkungan Eropa. Tipe hukum itu menyebar ke seluruh dunia. Penyebaran itu secara fisik berupa penerimaan hukum yang berasal dari Barat di atas sistem yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat. Hal itu menyiratkan pengunggulan system hukum tertentu (Barat) di atas hukum lokal. Hukum progresif tidak hanya berbicara pada hukum saja, namun juga dikaitkan dengan habitat sosial di tempat hukum itu berada. Alasan yang digunakan adalah bahwa sistem hokum merupakan bentuk khas dari kehidupan sosial di situ (a peculiar form of social life).[17]
Ketiga, apabila diakui, bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat dan risiko sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut. Secara ekstrem kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum, yang tertulis itu. Menyerah bulatbulat seperti itu adalah sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang memiliki resiko bersifat kriminogen.[18] Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo, cara berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam keadaan seperti itu, adalah memberikan peluang untuk melakukan pembebasan dari hukum formal.[19]
Karakteristik yang kuat dari hukum progresif adalah wataknya sebagai “hukum yang membebaskan”. Dengan watak pembebasan itu, hukum progresif sangat peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta berkeinginan kuat untuk menjadikan hukum agar bersifat protagonis.[20] Untuk menunjang pemikiran hukum progresif, diperlukan semangat pembebasan untuk melihat kekurangan dan kegagalan hukum dalam fungsinya untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.[21]
Sekarang tersedia prosedur yang mengutarakan penafsiran yang berbeda terhadap suatu teks undang-undang, yaitu melalui apa yang dikenal sebagai judicial review. Tetapi, yang dibicarakan di sini bersifat lebih mendasar dan filosofis, yaitu pengakuan terhadap sahnya penafsiran yang berbeda-beda mengenai teks hukum. Hak untuk menafsirkan atau membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat, bahwa perumusan suatu gagasan ke dalam peraturan tertulis, belum tentu benarbenar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.[22]
Penafsiran tidak dapat dianggap sebagai hal yang bisa dikesampingkan dalam ilmu hukum. Hukum tidak dapat berjalan tanpa penafsiran, karena hokum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi.  Membuat hukum (legistation) adalah satu hal, dan menafsirkan hukum adalah hal lain yang menjadai keharusan setelah hukum itu dibuat[23]. Dalam persepektif hukum progresif, penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harfiah saja. Dengan cara seperti itu, hukum menjadi progresif karena dapat melayani masyarakatnya. Karena hukum telah melayani masyarakatnya maka ia telah melayani kehidupan masa kini dan oleh karena itu hukum menjadi bersifat progresif.[24]
Hukum progresif dan penafsiran progresif berpegang pada paradigma hukum untuk manusia. Manusia di sini adalah simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Karena hukum berfungsi untuk memandu dan melayani masyarakat, maka diperlukan keseimbangan antara statika dan dinamika atau antara peraturan dan –menurut istilah Satjipto Rahardjo—“jalan yang terbuka”. [25] Hukum progresif berbagi pendapat dengan pikiranpikiran yang pernah ada dalam sejarah hukum, seperti historis dengan tokohnya Savigny, realis (Amerika, Eropa), sosiologis dengan tokoh seperti Pound, Ehrlich, Black, dan hukum responsif milik
Nonet dan Selznick. Sekalian alam pemikiran hokum tersebut pada dasarnya menerima penafsiran hukum sebagai penghubung antara undang-undang yang statis dengan masa kini dan masa depan yang dinamis. Jika hukum telah mampu menjalankan fungsinya untuk memandu dan melayani masyarakat, maka ia akan dicari oleh masyarakat. Maka hukum itu tidak boleh terlalu terikat ke masa lalu saja, tetapi ia juga harus melihat ke masa kini dan masa depan. Itulah hakikat dari hukum progresif dan penafsiran hukum yang progresif.[26] Kecuali alasan tersebut, seperti dalam kasus diktum Renner[27], maka teks hukum itu juga bisa tertinggal oleh perkembangan atau dinamika dalam masyarakat. Diktum Renner menegaskan, bahwa hukum itu tidak berjalan dan berkembang mengikuti logika saja, tetapi juga unsur atau pertimbangan kemanfaatan social (reasonableness).
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Di atas sudah diuraikan betapa besar risiko yang dihadapi apabila kita menyerah sepenuhnya kepada peraturan.[28] Cara berhukum melalui teks tidak selalu menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan yang dikehendaki teks. Ironisnya tidak jarang teks hukum berubah fungsi, yaitu dari menghendaki orang untuk mematuhinya menjadi suatu panduan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dengan selamat. Sebelum seorang koruptor melakukan korupsi, ia terlebih dahulu dapat mempelajari dengan cermat seluk-beluk undang-undang tentang korupsi, sehingga ia dapat menemukan celah hukum untuk meloloskan diri. Ini termasuk varian mengenai cara berhukum melalui teks, yaitu secara sadar melakukan penyimpangan terhadap teks hokum atau menyelundupi undang-undang.[29]
Untuk dapat melihat perilaku manusia sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep mengenai hukum yang selama ini digunakan, yaitu tidak hanya mengenai peraturan (rule) tetapi juga perilaku (behavior). Selama konsep yang dipakai adalah bahwa hukum adalah peraturan semata maka sulit untuk dipahami bahwa hukum itu juga muncul dari perilaku manusia.[30] Menurut Satjipto Rahardjo[31], perilaku manusia didorong oleh kepentingan, dan kepentingan itu berbedabeda bagi setiap orang, sehingga kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan.
Dengan demikian menjalankan hukum adalah suatu pilihan, bukan pekerjaan otomatis. Hukum yang canggih sekalipun tidak dapat mengontrol penggunaan hukum menurut kemauan yang melakukannya. Maka hukum yang dijalankan pun tergantung dari sudut masuknya suatu kepentingan. Orang yang berperilaku baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik pula, begitu pula sebaliknya, hukum akan menjadi alat untuk melakukan kejahatan jika dijalankan oleh orang yang berperilaku jahat. Perilaku manusia yang memiliki sifat-sifat alami dan fitri itulah yang menjadi landasan kuat bagi keberlangsungan kehidupan bersama manusia. Sesungguhnya sifat-sifat itu tidak hanya menjadi landasan hukum, melainkan jugan institut lain, seperti ekonomi dan politik. Strukturisasi keduanya tidak menghilangkan perilaku baku manusia. Dalam bernegara hukum dan berhukum, pada akhirnya masyarakat akan kembali bersandar pada perilaku mereka. Perilaku tersebut tersimpulkan dalam cara hidup kita sehari-hari. Menjalani kehidupan dengan baik adalah landasan fundamental dari hukum.[32]
b.             Akar gagasan hukum progresif
Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa menurut Satjipto Rahardjo, gagasan hukum progrsif berbagi pendapat dengan pemikiran­pemikiran hukum yang pernah ada. Secara lebih rinci, Mahmud Kusuma[33]berdasarkan tulisan Satjipto Rahardjo dalam pidato tertulis untuk mengakhiri jabatan guru besarnya dan sebuah makalah yang disampaikan dalam sebuah acara jumpa almuni PDIH Undip Semarang tahun 2004, menyebutkan bahwa ada beberapa pemikiran hukum maupun pemikir hukum yang mempengaruhi gagasan hukum progresif.  Di antara filsuf hukum maupun aliran yang mempengaruhi hukum progresif adalah Charles Sampford, Philippe Nonet dan Philip Selznick, aliran Legal Realism dan Freirechtslehre, Roscoe Pound, aliran Intersessenjurisprudenz, Hans Kelsen, dan aliran Critical Legal Studies (CLS).
Penjelasan mengenai beberapa aliran dan pemikir hukum di atas hanya dicantumkan  beberapa  saja  yang  dinilai  cukup  berpengaruh  dan  sepanjang referensi yang dapat dijangkau.
1.        Charles Samford
Charles Sampford mengatakan bahwa tidak mungkin untuk mengatakan bahwa sistem hukum yang penuh dengan ketidakteraturan sebagai “ketertiban yang sempurna”, maka pendapat Sampford yang terkenal adalah “hukum itu penuh dengan ketidakteraturan” (the disorder of law). Adanya kepastian hukum sebenarnya adalah bertolak dari kepentingan dari para profesional hukum agar mereka dapat bekerja dengan tenang tanpa adanya kekacauan. Menurut Sampford, kepastian hukum adalah sebuah keyakinan yang dipaksakan, bukan merupakan keadaan yang sebenarnya. Orang ingin melihat bahwa kepastian hukum itu ada, sehingga sesungguhnya ia lebih merupakan suatu ilusi dan imajinasi daripada kenyataan[34].
Sampford mengatakan bahwa hukum dapat juga muncul dalam situasi yang fluid (cair) sehingga memunculkan teori chaos dalam hukum yang akan muncul  apabila  keadaan  sosial  sedang  mengalami  malle (keadaan  cair/fluid sehingga tidak memiliki  format formal atau sturktur  yang pasti dan  kaku). Masyarakat senantiasa berada dalam jalinan hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis, faktisitas hukum dalam kenyataanya dalam keadaan cair, sehingga keteraturan hanya ada dalam angan­angan.[35]
2.        Philippe Nonet dan Philip Selznick
Mereka mengajukan tiga keadaan pokok menngenai hokum dasar masyarakat, yaitu:
a)      Hukum regresif; hukum sebagai alat kekuasaan refresif, hukum tunduk pada politik kekuasaan, ketidaktaatan dipandang sebagai ketidak setiaan, mempertahankan status quo penguasa.
b)      Hukum otonom; hokum sebagai pranata yang mampu menetralisir/ menjinakkan represif dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Tujuan hukum adalah legitimasi, hukum merdeka dari politik dan terdapat pemisahan kekuasaan timbulnya kritisme hukum.
c)      Hukum   responsif;   hukum   sebagai   suatu   sarana   respon   terhadap ketentuan­ketentuan sosial dan aspirasi masyarakat. Tujuan hukum dalam kompetisi, legitimasi terletak pada keadilan subtantif, terhadap inteegasi antara politik dan hukum.[36]
Menurut Nonet dan Selznick, dalam perspektif hukum responsif, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus mampu dan juga adil: hukum yang seperti itu seyogyanya mampu mengetahui keinginan publik dan punya komitmen untuk tercapainya keadilan substantif.[37] Di bagian lain juga disebutkan bahwa “lembaga responsif menganggap tekanan­tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri”.[38]
3.        Legal Realism dan Freirechtslehre
Tokoh yang terkenal dari aliran legal realism adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn. Menurut mereka, hakim lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan. Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.[39]
Lebih  lanjut menurut Holmes adalah  bahwa  kehidupan  hukum tidak pernah menurut logika, melainkan merupakan pengalaman, yakni pengalaman yang isinya harus dilukiskan oleh sosiologi hukum. Pengalaman bukan saja melingkupi peristiwa keinderaan dan bukan kelakuan yang lahir saja, melainkan juga  lambang­lambang  serta arti rohani  yang  mengilhami  kelakuan sosial.[40] Diktum Holmes yang terkenal adalah “The life of the law has not been logic, but experience”. Dengan kalimat tersebut, menurut Satjipto Rahardjo, Holmes menempatkan dirinya pada barisan pemikir hukum yang tidak bertolak dari kredo “peraturan dan logika”, melainkan pengalaman.[41]
Pokok­pokok pendekatan kaum realis antara lain: hukum adalah alat untuk mencapai tuuan­tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah­ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.[42] Freirechtslehre       (Aliran Hukum Bebas) adalah  aliran yang muncul di Jerman. Aliran ini berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang­ undang saja, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit, sehingga peristiwa­peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim[43]. Menurut Sudikno Mertokusumo[44] sebagaimana dikutip Darji Darmodiharjo dan Shidarta, penemuan hukum bebas bukanlah peradilan tidak terikat pada undang­undang. Hanya saja, undang­undang bukan merupakan   peranan   utama,  tetapi  sebagai   alat   bantu   untuk  memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang­undang.
4.        Roscoe Pound
Menurut   Pound,   hukum   harus   dipandang   sebagai   suatu   institusi kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan­kebutuhan sosial, dan sudah  menjadi  tugas  hukum  untuk  mengembangkan  suatu  kerangka  agar kebutuhan­kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Selain itu, dianjurkan oleh Pound untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola­pola perikalakuan[45].
Roscoe Pound mengemukakan konsep “hukum sebagai alat merekayasa masyarakat” (law as a tool of social engineering). Menurut Satjipto Rahardjo, pendapat ini dilontarkan bukan atas dasar paham positivistis yang menekankan hukum (law)   sebagai   peraturan   perundang­undangan   termasuk   kebijakan pemerintah, namun makna “law” dalam pengertian “law as a tool of social  engineering”, adalah hukum yang dibuat oleh hakim atau yang lebih dikenal dengan istilah putusan hakim atau Judge Made Law karena hukum yang demikian diproduk oleh negara yang mempraktikkan Common Law System.[46]
5.        Heck
Menurut Heck, hakim hendaknya tidak hanya mengandalkan logika saja dan hanya menaruh perhatian pada kata­kata atau perintah dalam undang­undang, namun   ia   juga   harus   mengerti   keinginan   pembuat  undang   undang   dan mengungkapkan penilaian­penilaian hukum, juga untuk hal­hal yang tidak diatur secara khusus oleh pembuat undang­undang.[47]
6.           Roberto M. Unger
Unger adalah tokoh utama dari aliran Critical Legal Studies (CLS). Aliran ini secara resmi lahir pada tahun 1977 dalam konferensi yang terkenal di University of Wisconsin, Medison, USA. Namun embrio pemikirannya telah ada sejak tahun 1960­an seirama dengan pergerakan hak asasi manusia dan Perang Vietnam ketika itu. Konferensi itu kemudian diikuti oleh konfrensi yang serupa di beberapa negara Eropa, seperti Critical Legal Conference (Inggris) dan Critigue du Droit (Perancis). Konferrensi­konferensi itu menghasilkan kesimpulan yang serupa, yaitu bahwa perlu reorientasi baru dalam hukum dan perlu berpikir secara berbeda dengan aliran hukum ortodoks yang sedang diterapkan saat itu, gerakan tersebut yang kemudian melahirkan Critical Legal Studies itu.[48] Menurut Munir Fuady,[49] CLS memiliki beberapa pikiran pokok, yaitu:
a)             Pemikiran bahwa struktur hukum lebih merupakan pemihakan apakah kepada kepentingan pribadi atau kepada kepentingan orang lain.
b)             Pemikiran bahwa aturan hukum lebih merupakan pemihakan pada kekuasaan dan kekayaan, dengan menindas kaum miskin, kaum tertekan, kelas pekerja, wanita, dan golongan minoritas.
c)             Pemikiran bahwa hukum bukan merupakan penyelesaian yang baik  atas sengketa hukum yang ada.
d)            Logika dan struktur hukum memihak pada kepentingan kelas yang berkuasa.
e)             Hukum melegitimasi dan melanggengkan ketidak adilan dalam masyarakat, yaitu ketidak adilan dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaaan dan social­psychology.
f)              Hukum identik dengan politik sehingga hukum tidak pernah netral atau bebas nilai.
g)             Penalaran hukum dikembangkan atas dasar hubungan kekuasaan yang tidak simetris dalam masyarakat.
h)             Para pengikut aliran CLS menggunakan hukum sebagai alat untuk menghilangkan dominasi hierarkis secara terstruktur dalam masyarakat yang sudah maju.
Menurut penulis, hukum progresif juga bebagi pemikiran dengan mazhab utilitarianisme dengan tokoh utamanya yaitu Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf Von Jhering. Aliran   ini   meletakkan   kemanfaatan   sebagai   tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruk atau  adil  tidaknya   suatu   hukum,  bergantung  kepada  apakah  hukum   itu memberikan kebahagiaan kepada manusia[50].
Dalam kesimpulannya, Mahmud Kusuma[51] mengatakan bahwa keterkaitan antara paradigma hukum progresif dengan Charles Sampfor adalah terletak pada anggapan bahwa struktur hukum adalah cair. Begitu pula dengan pemikiran hukum responsif dari Nonet dan Selznick yang mengatakan tujuan hukum   yang   berada   di   luar   dirinya.   Paradigma   hukum   progresif   ingin menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.
Cara pandang yang serupa dengan hukum progresif juga muncul dari Legal Realism dan Freirechtslehre yang sama­sama memberikan porsi peranan yang besar kepada pengadilan (hakim) untuk mencapai tujuan­tujuan sosial yang tidak  hanya terfokus pada undang­undang  saja. Pandangan  yang  sama  juga diperlihatkan oleh Roscoe Pound yang menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses, yang sebenarnya juga menjadi landasan berpikir hukum progresif.  
Menurut   Mahmud   Kusuma[52] orientasi   tesebut   dilanjutkan   dengan pemikiran Heck yang mengatakan bahwa hakim tidak bisa dibiarkan hanya untuk melakukan konstruksi logis dalam membuat putusan. Kemudian hukum progresif berjalan  seirama dengan  pemikiran  Roberto M. Unger  adalah terletak pada substansi kritiknya terhadap tipe hukum liberal yang bebas nilai. Sebagai tambahan dari penulis, gagasan hukum progresif juga sejalan dengan aliran utilitarianisme yang memiliki pandangan bahwa hukum harus bertujuan untuk kebahagiaan manusia.




[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Cet 6; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), 45.
[2] Ibid.
[3] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban (Jakarta: UKI Press, 2006), 124129.
[4] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Cet 2; Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2008), 139
[5] Ibid.
[6] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Ed, I Gede A.B Wiranata, Joni Emirzon, dan FirmanMuntaqo, (Cet 2; Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2007), 1112.
[7] Ibid
[8] Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia (Cet 1; Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2002), 221222.
[9] Biarkan Hukum Mengalir,Op. Cit., 139140.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 140141.
[13] Membedah Hukum Progresif, Op. Cit., 96.
[14] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Cet 1; Yogyakarta:Genta Pubishing, 2009), 25.
[15] Biarkan Hukum Mengalir,Op. Cit., 141142.
[16] Ibid, 142.
[17] Satjipto Rahardjo, Lapisanlapisan dalam Studi Hukum (Cet 1; Malang: Bayumedia Publishing, 2009), 105107.
[18] Biarkan Hukum Mengalir,Op. Cit., 142.
[19] Ibid.
[20] Lapisanlapisan dalam Studi Hukum, Op. Cit., 82.
[21] Ibid, 88.
[22] Biarkan Hukum Mengalir, Op. Cit., 143.
[23] Hukum dalam Jagat Ketertiban, Op. Cit., 168.
[24] Ibid, 172.
[25] Ibid, 176.
[26] Ibid, 177.
[27] Diktum (pernyataan) Karl Renner berbunyi "the development of the law gradually work out what is socially reasonable". Ibid, 47.
[28] Ibid, 144.
[29] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku (Cet 1; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), 71.
[30] Ibid, 20.
[31] Ibid, 160.
[32] Ibid, 169­170.
[33] Mahmud Kusuma, Op. Cit.,  27­28.
[34] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Op. Cit., 79.
[35] Lihat, Mahmud Kusuma, Op. Cit, 29.
[36] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum (Cet 1; Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 62.
[37] Philippe Nonet dan Philip Selznick, “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Hukum Responsif (Cet 2; Bandung: Nusamedia, 2008), 84.
[38] Ibid, 87.
[39] H.R. Otje Salman S., Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamia Masalah) (Cet 1; Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 73.
[40] Saifullah, Op. Cit., 51.
[41] Satjipto Rahardjo.,Biarkan Hukum Mengalir, Op. Cit., 100.
[42] Otje Salman, Op. Cit., 73.
[43] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok­pokok Filsafat Hukum (Cet 7; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 149.
[44] Ibid.
[45] Otje Salman, Op. Cit, 72­73. Lihat pula Saifullah, Op. Cit., 51.
[46] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Op. Cit.,165­166.
[47] Mahmud Kusuma, Op. Cit., 37.
[48] Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern (Cet 1; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), 128­129.
[49] Ibid, 137.
[50] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit., 117
[51] Mahmud Kusuma, Op. Cit., 64.
[52] Ibid.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA