Asas Hukum Progresif dan Hukum
Perkawinan Islam
Menurut
Satjipto Rahardjo,
pembahasan mengenai asas hukum adalah membicarakan unsur yang penting dan pokok dari
peraturan hukum, dan tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa asas hukum
merupakan jantung dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum adalah landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa setiap
peraturan hukum selalu bisa dikembalikan kepada asasasas tersebut.
Menurut Paton sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo,
asas hukum adalah sarana
yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga
menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturanperaturan belaka.
Hukum memiliki
titik pandang dan akan bertolak dari situ pula. Dalam hukum titik pandang itu
terdapat pada asas hukum. Asas hukum bukanlah peraturan seperti pasal-pasal, undang-undang, namun
sebagaimana dikatakan Scholten, hukum tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas. Asas hukum
menjadikan hukum lebih dari sekedar peraturan yang dibuat dengan sengaja
dan rasional, tetapi juga suatu dokumen moraletis.
Asas hokum memang tidak
tampil sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi lebih sebagai kaidah (norm)
di belakang peraturan. Aturan itu rasional, sedangkan kaidah memiliki
kandungan moral dan bersifat etis. Asas hukum menjelaskan dan memberi ratio
legis mengapa harus ada aturan. Ia menjadi penghubung antara peraturan
hukum dan cita-
cita sosial serta pandangan etis masyarakatnya.
1.
Karakteristik
dan Akar Pemikiran Gagasan Hukum Progresif
a.
Karakteristik
hukum progresif
Hukum progresif
melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti “panta
rei” (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Apabila orang
berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum yang
memiliki karaktersistiknya sendiri, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk manusia”.
Pegangan, optik, atau keyakinan dasar ini tidak melihat hokum sebagai
sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat
peraturan hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya.
Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan
pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu
akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam
skemaskema yang telah dibuat oleh hukum.
Lin Yu Tang,
seorang intelektual China yang lama bermukim di Amerika telah membedakan
penempatan rasionalitas hukum modern, dan mengingatkan ada tujuan yang lebih
besar dan karena itu kita perlu lebih berhatihati dalam melaksanakan
sistem yang rasional itu. Apabila tujuan lebih besar itu tidak disadari, maka
hukum akan menjadi kering sehingga masyarakat (manusia) bias menjadi sakit
dan tidak bahagia.
Menurut Satjipto Rahardjo, para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya
senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia. Inilah
yang juga disebut sebagai penyelenggaraan hukum yang progresif
. Sebagai contoh adalah dalam penyelenggaraan
Sistem Peradilan Pidana (SPP), meskipun sudah ada perundangundangan yang
mengaturnya, misalnya tentang penyidikan dan sebagainya, tetap diperlukan
pembinaan kultur dari para pelaku penyelenggara SPP tersebut. Disarankan oleh
Satjipto Rahardjo, agar setiap kali menjalankan tugas, polisi maupun jaksa
mengajukan pertanyaan di dalam hatinya: Penyidikan untuk siapa?
; Penuntutan untuk siapa? Fungsi dari pertanyaan itu adalah
untuk menghilangkan pengkotakan tugas dan mengutamakan pengabdian
kepada masyarakat. Bukan polisi untuk polisi dan jaksa untuk jaksa,
melainkan polisi dan jaksa untuk mengabdi dan melayani untuk masyarakat.
Itulah kepentingan yang tertinggi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan,
dan keluaran yang diharapkan dari SPP.
Manusia atau
perbuatan manusia selalu merupakan suatu yang memiliki keunikan. Kendati
demikian, karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam hukum. Di sini
hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal ditekan tombolnya saja, ibarat
mesin otomat (subsumtie automat). Sementara itu hokum harus bekerja
dengan rumusanrumusan hukum dalam perundangundangan, yang telah
menyempitkan atau mereduksi manusia yang unik itu ke dalam skema atau standar
tertentu. Oleh sebab
itulah muncul kritik dan keluhan seperti dilontarkan oleh Bernard Tanya,
Daniel Lev dan Karolus Kopong Medan. Daripada menimbulkan ketertiban dan
keteraturan, hukum nasional justru menjadi beban bagi kehidupan lokal, demikian
menurut Bernard.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang
sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur
untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang
demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sekali
undangundang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat
banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.
Ada hal lain yang
berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut,
yaitu berkaitan dengan perumusan-
perumusan masalah ke dalam perundang-
undangan. Substansi undang-
undang itu berangkat dari gagasan tertentu
dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau
badan legislatif. Dalam lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan
dalam kata serta kalimat dan akhirnya menjadi undang-
undang.
Namun, menurut
Satjipto Rahardjo, pengalaman di lapangan menunjukkan betapa kompleksnya
masalah dan bekerjanya hukum. Hukum tidak selalu sejelas, segampang, dan
sesederhana seperti dibayangkan orang, kendati dikatakan, hukumnya sudah
jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran.
Undang-
undang yang dirasakan
tidak adil oleh masyarakat mungkin akan ditidurkan (statutory dormancy) atau
dikesampingkan (desuetudo).
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat
dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan
itu dibuat.
Misalnya, badan legislatif membuat
peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu
sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum
dalam menerapkan peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi
karena peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh
sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan
oleh penegak hukum. Dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-
undang mengeluarkan peraturan yang
meewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis
tanaman tertentu. Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan
perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan
dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan
terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk
menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan. Bertindak
demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa.
Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum menyerah pada perlawanan
rakyat, yang berarti penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.
Hukum itu cacat
sejak ia diundangkan atau dilahirkan. Banyak faktor yang turut ambil
bagian dalam melahirkan keadaan cacat tersebut. Lebih daripada itu, hukum itu juga
bisa bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber bagi kejahatan. Kelalaian atau
ketidak seksamaan mengatur masyarakat yang begitu majemuk, seperti
Indonesia ini, sangat berpotensi menimbulkan pengaturan yang krimonogenik
tersebut. Sekalipun legislatif bermaksud baik, tetapi karena kurang cermat
memahami keanekaragaman sosial dan budaya di Indonesia, maka produk yang
dihasilkanya bisa menimbulkan persoalan besar pada waktu diterapkan di salah satu
bagian dari negeri ini.
Uraian di atas
menegaskan, bahwa membaca undangundang bukan sekedar mengeja kalimat dalam undangundang, melainkan
memberi makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hukum adalah hal
yang tidak sederhana, karena teks undangundang yang secara eksplisit
mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun, masih saja bisa diberi makna lain.
Penerapan hukum yang meniru cara kerja mesin, tidak memedulikan risikorisiko yang muncul dari
peraturan yang buruk itu.
Selain itu, status
quo juga berhubungan erat dengan sistem hukum yang dominan digunakan.
Menurut Satjipto Rahardjo, sistem hukum yang dominan yang dipakai di dunia
(khususnya di Indonesia) sangan eurosentris karena system hukum itu
tumbuh dan berkembang dalam habitat dan lingkungan Eropa. Tipe hukum itu
menyebar ke seluruh dunia. Penyebaran itu secara fisik berupa penerimaan
hukum yang berasal dari Barat di atas sistem yang selama ini digunakan oleh
masyarakat setempat. Hal itu menyiratkan pengunggulan system hukum tertentu
(Barat) di atas hukum lokal. Hukum progresif tidak hanya berbicara pada
hukum saja, namun juga dikaitkan dengan habitat sosial di tempat hukum itu
berada. Alasan yang digunakan adalah bahwa sistem hokum merupakan bentuk khas
dari kehidupan sosial di situ (a peculiar form of social life).
Ketiga, apabila diakui, bahwa
peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat dan risiko
sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara kita berhukum sebaiknya juga
mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan
hukum tertulis tersebut.
Secara ekstrem kita tidak
dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum, yang
tertulis itu. Menyerah bulatbulat seperti itu adalah sama dengan membiarkan
diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-
benar berisi gagasan
asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang memiliki
resiko bersifat kriminogen. Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo, cara berhukum yang lebih baik
dan sehat, dalam keadaan seperti itu, adalah memberikan peluang untuk melakukan
pembebasan dari hukum formal.
Karakteristik
yang kuat dari hukum progresif adalah wataknya sebagai “hukum yang membebaskan”.
Dengan watak pembebasan itu, hukum progresif sangat peka terhadap
perubahan dan ide perubahan serta berkeinginan kuat untuk menjadikan hukum
agar bersifat protagonis. Untuk
menunjang pemikiran hukum progresif, diperlukan semangat pembebasan untuk melihat
kekurangan dan kegagalan hukum dalam fungsinya untuk memberikan
perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
Sekarang
tersedia prosedur yang mengutarakan penafsiran yang berbeda terhadap suatu
teks undang-
undang, yaitu melalui
apa yang dikenal sebagai judicial review. Tetapi, yang
dibicarakan di sini bersifat lebih mendasar dan filosofis, yaitu
pengakuan terhadap sahnya penafsiran yang berbeda-
beda mengenai teks hukum. Hak untuk menafsirkan atau
membebaskan diri dari perintah hukum didasari oleh pendapat, bahwa perumusan suatu gagasan
ke dalam peraturan tertulis, belum tentu benarbenar mampu mewadahi gagasan orisinal tersebut.
Penafsiran
tidak dapat dianggap sebagai hal yang bisa dikesampingkan dalam ilmu
hukum. Hukum tidak dapat berjalan tanpa penafsiran, karena hokum membutuhkan
pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum (legistation) adalah satu hal, dan menafsirkan hukum
adalah hal lain yang menjadai keharusan setelah hukum itu dibuat. Dalam
persepektif hukum progresif, penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks
peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harfiah saja.
Dengan cara seperti itu, hukum menjadi progresif karena dapat melayani masyarakatnya.
Karena hukum telah melayani masyarakatnya maka ia telah melayani kehidupan
masa kini dan oleh karena itu hukum menjadi bersifat progresif.
Hukum progresif
dan penafsiran progresif berpegang pada paradigma
hukum untuk manusia. Manusia di sini adalah
simbol bagi kenyataan dan dinamika kehidupan. Karena hukum berfungsi untuk memandu dan
melayani masyarakat, maka diperlukan keseimbangan antara statika dan dinamika
atau antara peraturan dan –menurut istilah Satjipto Rahardjo—“jalan yang
terbuka”. Hukum
progresif berbagi pendapat dengan pikiranpikiran yang pernah ada dalam
sejarah hukum, seperti historis dengan tokohnya Savigny, realis (Amerika,
Eropa), sosiologis dengan tokoh seperti Pound, Ehrlich, Black, dan hukum
responsif milik
Nonet dan
Selznick. Sekalian alam pemikiran hokum tersebut pada dasarnya
menerima penafsiran hukum sebagai penghubung antara undang-
undang yang statis
dengan masa kini dan masa depan yang dinamis. Jika hukum telah mampu
menjalankan fungsinya untuk memandu dan melayani masyarakat, maka ia akan
dicari oleh masyarakat. Maka hukum itu tidak boleh terlalu terikat ke masa
lalu saja, tetapi ia juga harus melihat ke masa kini dan masa depan. Itulah hakikat dari
hukum progresif dan penafsiran hukum yang progresif. Kecuali alasan
tersebut, seperti dalam kasus diktum Renner,
maka teks hukum itu juga bisa tertinggal oleh perkembangan atau dinamika dalam masyarakat.
Diktum Renner menegaskan, bahwa hukum itu tidak berjalan dan berkembang
mengikuti logika saja, tetapi juga unsur atau pertimbangan kemanfaatan
social (reasonableness).
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku
manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral dengan paham, bahwa hukum itu
hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi
terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada
teks formal suatu peraturan. Di atas sudah diuraikan betapa besar risiko yang
dihadapi apabila kita menyerah sepenuhnya kepada peraturan. Cara berhukum melalui
teks tidak selalu menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan yang
dikehendaki teks. Ironisnya tidak jarang teks hukum berubah fungsi, yaitu
dari menghendaki orang untuk mematuhinya menjadi suatu panduan untuk
melakukan perbuatan yang menyimpang dengan selamat. Sebelum seorang koruptor
melakukan korupsi, ia terlebih dahulu dapat mempelajari dengan cermat seluk-
beluk undang-
undang tentang
korupsi, sehingga ia dapat menemukan celah hukum untuk meloloskan
diri. Ini termasuk varian mengenai cara berhukum melalui teks, yaitu
secara sadar melakukan penyimpangan terhadap teks hokum atau menyelundupi undang-
undang.
Untuk dapat melihat perilaku manusia sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan
untuk mengubah konsep mengenai hukum yang selama ini digunakan, yaitu tidak
hanya mengenai peraturan (
rule) tetapi juga perilaku (
behavior).
Selama konsep yang dipakai adalah bahwa hukum adalah peraturan
semata maka sulit untuk dipahami bahwa hukum itu juga muncul dari perilaku
manusia.
Menurut Satjipto Rahardjo,
perilaku manusia didorong oleh kepentingan, dan kepentingan itu
berbedabeda bagi setiap orang, sehingga kita dihadapkan kepada pilihan-
pilihan.
Dengan demikian menjalankan hukum adalah suatu pilihan, bukan
pekerjaan otomatis. Hukum yang canggih sekalipun tidak dapat mengontrol
penggunaan hukum menurut kemauan yang melakukannya. Maka hukum yang
dijalankan pun tergantung dari sudut masuknya suatu kepentingan. Orang yang berperilaku baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik pula,
begitu pula sebaliknya, hukum akan menjadi alat untuk melakukan kejahatan jika dijalankan
oleh orang yang berperilaku jahat.
Perilaku manusia
yang memiliki sifat-
sifat alami dan fitri itulah yang menjadi landasan kuat bagi keberlangsungan
kehidupan bersama manusia. Sesungguhnya sifat-
sifat itu tidak hanya menjadi landasan hukum, melainkan jugan institut
lain, seperti ekonomi dan politik. Strukturisasi keduanya tidak menghilangkan
perilaku baku manusia. Dalam bernegara hukum dan berhukum, pada akhirnya
masyarakat akan kembali bersandar pada perilaku mereka. Perilaku tersebut
tersimpulkan dalam cara hidup kita sehari-
hari. Menjalani kehidupan dengan baik adalah landasan
fundamental dari hukum.
b.
Akar
gagasan hukum progresif
Sebagaimana
disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa menurut Satjipto Rahardjo,
gagasan hukum progrsif berbagi pendapat dengan pemikiranpemikiran hukum yang
pernah ada. Secara lebih rinci, Mahmud Kusumaberdasarkan
tulisan Satjipto Rahardjo dalam pidato tertulis untuk mengakhiri jabatan guru
besarnya dan sebuah makalah yang disampaikan dalam sebuah acara jumpa almuni
PDIH Undip Semarang tahun 2004, menyebutkan bahwa ada beberapa pemikiran hukum
maupun pemikir hukum yang mempengaruhi gagasan hukum progresif. Di antara filsuf hukum maupun aliran yang
mempengaruhi hukum progresif adalah Charles Sampford, Philippe Nonet dan Philip
Selznick, aliran Legal Realism dan Freirechtslehre, Roscoe Pound, aliran
Intersessenjurisprudenz, Hans Kelsen, dan aliran Critical Legal Studies (CLS).
Penjelasan
mengenai beberapa aliran dan pemikir hukum di atas hanya dicantumkan beberapa
saja yang dinilai
cukup berpengaruh dan
sepanjang referensi yang dapat dijangkau.
1.
Charles
Samford
Charles
Sampford mengatakan bahwa tidak mungkin untuk mengatakan bahwa sistem hukum
yang penuh dengan ketidakteraturan sebagai “ketertiban yang sempurna”, maka
pendapat Sampford yang terkenal adalah “hukum itu penuh dengan
ketidakteraturan” (the disorder of law). Adanya kepastian hukum sebenarnya
adalah bertolak dari kepentingan dari para profesional hukum agar mereka dapat
bekerja dengan tenang tanpa adanya kekacauan. Menurut Sampford, kepastian
hukum adalah sebuah keyakinan yang dipaksakan, bukan merupakan keadaan yang
sebenarnya. Orang ingin melihat bahwa kepastian hukum itu ada, sehingga
sesungguhnya ia lebih merupakan suatu ilusi dan imajinasi daripada kenyataan.
Sampford mengatakan bahwa hukum dapat juga muncul
dalam situasi yang fluid (cair) sehingga memunculkan teori chaos dalam hukum
yang akan muncul apabila keadaan
sosial sedang mengalami
malle (keadaan cair/fluid
sehingga tidak memiliki format formal
atau sturktur yang pasti dan kaku).
Masyarakat
senantiasa berada dalam jalinan hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak
sistematis, faktisitas hukum dalam kenyataanya dalam keadaan cair, sehingga
keteraturan hanya ada dalam anganangan.
2.
Philippe
Nonet dan Philip Selznick
Mereka
mengajukan tiga keadaan pokok menngenai hokum dasar masyarakat,
yaitu:
a)
Hukum
regresif; hukum sebagai alat kekuasaan refresif, hukum tunduk pada politik kekuasaan,
ketidaktaatan dipandang sebagai ketidak setiaan, mempertahankan status quo
penguasa.
b)
Hukum otonom; hokum sebagai
pranata yang mampu menetralisir/ menjinakkan represif dan melindungi integritas
hukum itu sendiri. Tujuan hukum adalah legitimasi, hukum merdeka dari politik
dan terdapat pemisahan kekuasaan timbulnya kritisme hukum.
c)
Hukum responsif;
hukum sebagai suatu
sarana respon terhadap ketentuanketentuan sosial dan
aspirasi masyarakat. Tujuan hukum dalam kompetisi, legitimasi terletak pada
keadilan subtantif, terhadap inteegasi antara politik dan hukum.
Menurut Nonet dan Selznick, dalam perspektif hukum responsif, hukum
yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan
prosedural. Hukum yang baik harus mampu dan juga adil: hukum yang seperti itu
seyogyanya mampu mengetahui keinginan publik dan punya komitmen untuk
tercapainya keadilan substantif.
Di bagian lain juga disebutkan bahwa “lembaga responsif menganggap
tekanantekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk
melakukan koreksi diri”.
3.
Legal
Realism dan Freirechtslehre
Tokoh yang
terkenal dari aliran legal realism adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes,
Jerome Frank dan Karl Llewellyn. Menurut mereka, hakim lebih layak disebut
sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan
pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.
Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut menurut Holmes
adalah bahwa kehidupan
hukum tidak pernah menurut logika, melainkan merupakan pengalaman, yakni
pengalaman yang isinya harus dilukiskan oleh sosiologi hukum.
Pengalaman bukan saja melingkupi peristiwa keinderaan dan bukan kelakuan
yang lahir saja, melainkan juga
lambanglambang serta arti
rohani yang mengilhami
kelakuan sosial.
Diktum Holmes yang terkenal adalah “The life of the law has not been logic, but
experience”. Dengan kalimat tersebut, menurut Satjipto Rahardjo, Holmes
menempatkan dirinya pada barisan pemikir hukum yang tidak bertolak dari kredo
“peraturan dan logika”, melainkan pengalaman.
Pokokpokok pendekatan kaum realis antara lain: hukum adalah alat untuk
mencapai tuuantujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum
yang berubahubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
Freirechtslehre
(Aliran Hukum Bebas) adalah aliran yang muncul di Jerman. Aliran ini
berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang undang saja, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit, sehingga peristiwaperistiwa
berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, penemuan hukum bebas bukanlah peradilan
tidak terikat pada undangundang. Hanya saja, undangundang bukan
merupakan peranan utama,
tetapi sebagai alat
bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut
hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undangundang.
4.
Roscoe
Pound
Menurut Pound,
hukum harus dipandang
sebagai suatu institusi kemasyarakatan yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhankebutuhan sosial, dan sudah menjadi
tugas hukum untuk
mengembangkan suatu kerangka
agar kebutuhankebutuhan sosial dapat terpenuhi. Selain itu, dianjurkan
oleh Pound untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum
ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan
sesuai dengan
polapola perikalakuan.
Roscoe Pound
mengemukakan konsep “hukum sebagai alat merekayasa masyarakat” (law as a tool of
social engineering). Menurut Satjipto Rahardjo, pendapat ini dilontarkan bukan atas dasar
paham positivistis yang menekankan hukum (law)
sebagai peraturan perundangundangan termasuk
kebijakan pemerintah, namun makna “law” dalam pengertian “law as a tool
of social engineering”, adalah
hukum yang dibuat oleh hakim atau yang lebih dikenal dengan istilah putusan
hakim atau Judge Made Law karena hukum yang demikian diproduk oleh negara yang
mempraktikkan Common Law System.
5.
Heck
Menurut Heck,
hakim hendaknya tidak hanya mengandalkan logika saja dan hanya menaruh
perhatian pada katakata atau perintah dalam undangundang, namun ia
juga harus mengerti
keinginan pembuat undang
undang dan mengungkapkan
penilaianpenilaian hukum, juga untuk halhal yang tidak diatur secara khusus
oleh pembuat undangundang.
6.
Roberto
M. Unger
Unger adalah
tokoh utama dari aliran Critical Legal Studies (CLS). Aliran ini secara resmi
lahir pada tahun 1977 dalam konferensi yang terkenal di University of
Wisconsin, Medison, USA. Namun embrio pemikirannya telah ada sejak tahun
1960an seirama dengan pergerakan hak asasi manusia dan Perang Vietnam ketika
itu. Konferensi itu kemudian diikuti oleh konfrensi yang serupa di beberapa
negara Eropa, seperti Critical Legal Conference (Inggris) dan Critigue du Droit
(Perancis). Konferrensikonferensi itu menghasilkan kesimpulan yang serupa,
yaitu bahwa perlu reorientasi baru dalam hukum dan perlu berpikir secara
berbeda dengan aliran hukum ortodoks yang sedang diterapkan saat itu, gerakan
tersebut yang kemudian melahirkan Critical Legal Studies itu.
Menurut Munir Fuady, CLS memiliki
beberapa pikiran pokok, yaitu:
a)
Pemikiran
bahwa struktur hukum lebih merupakan pemihakan apakah kepada kepentingan
pribadi atau kepada kepentingan orang lain.
b)
Pemikiran
bahwa aturan hukum lebih merupakan pemihakan pada kekuasaan dan kekayaan,
dengan menindas kaum miskin, kaum tertekan, kelas pekerja, wanita, dan golongan
minoritas.
c)
Pemikiran
bahwa hukum bukan merupakan penyelesaian yang baik atas sengketa hukum yang ada.
d)
Logika dan
struktur hukum memihak pada kepentingan kelas yang berkuasa.
e)
Hukum melegitimasi
dan melanggengkan ketidak adilan dalam masyarakat, yaitu ketidak adilan dalam bidang
ekonomi, politik, kebudayaaan dan socialpsychology.
f)
Hukum
identik dengan politik sehingga hukum tidak pernah netral atau bebas nilai.
g)
Penalaran
hukum dikembangkan atas dasar hubungan kekuasaan yang tidak simetris dalam
masyarakat.
h)
Para
pengikut aliran CLS menggunakan hukum sebagai alat untuk menghilangkan dominasi
hierarkis secara terstruktur dalam masyarakat yang sudah maju.
Menurut
penulis, hukum progresif juga bebagi pemikiran dengan mazhab utilitarianisme
dengan tokoh utamanya yaitu Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf Von
Jhering. Aliran ini meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini
diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruk atau adil
tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah
hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia.
Dalam kesimpulannya, Mahmud Kusuma mengatakan bahwa keterkaitan
antara paradigma hukum progresif dengan Charles Sampfor adalah terletak pada
anggapan bahwa struktur hukum adalah cair. Begitu pula dengan pemikiran hukum
responsif dari Nonet dan Selznick yang mengatakan tujuan hukum yang
berada di luar
dirinya. Paradigma hukum
progresif ingin menempatkan
kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.
Cara pandang
yang serupa dengan hukum progresif juga muncul dari Legal Realism dan
Freirechtslehre yang samasama memberikan porsi peranan yang besar kepada
pengadilan (hakim) untuk mencapai tujuantujuan sosial yang tidak hanya terfokus pada undangundang saja. Pandangan yang
sama juga diperlihatkan oleh
Roscoe Pound yang menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses,
yang sebenarnya juga menjadi landasan berpikir hukum progresif.
Menurut Mahmud Kusuma
orientasi tesebut dilanjutkan
dengan pemikiran Heck yang mengatakan bahwa hakim tidak bisa dibiarkan
hanya untuk melakukan konstruksi logis dalam membuat putusan.
Kemudian hukum progresif berjalan
seirama dengan pemikiran Roberto M. Unger adalah terletak pada substansi kritiknya
terhadap tipe hukum liberal yang bebas nilai. Sebagai tambahan dari penulis,
gagasan hukum progresif juga sejalan dengan aliran utilitarianisme yang memiliki
pandangan bahwa hukum harus bertujuan untuk kebahagiaan manusia.
Comments
Post a Comment