Asas hukum Perkawinan
Islam
A.
Asas
Hukum Islam
Hukum Islam
sebagaimana hukumhukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan
suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung
kepada asas dan tiangtiang pokoknya.
Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga
asas:
1.
‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).
Haraj menurut bahasa
Arab adalah sempit.
Banyak dalildalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini
didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah
Ta’ala:
“ Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS
alBaqarah [2]: 285).
“...dan Dia
sekalikali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS
alHajj [22]: 78).
“ dan membuang dari mereka bebanbeban dan
belenggubelenggu yang ada pada mereka ”(QS alA’raaf
[7]: 157)
Maksudnya: dalam
syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi bebanbeban yang
berat yang dipikulkan
kepada Bani Israil.
Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan
kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar
diat, memotong anggota badan
yang melakukan kesalahan,
membuang atau menggunting kain
yang kena najis. Dan hadits Nabi :
Artinya: ”Aku diutus
dengan agama yang ringan”
Menurut Yusuf
alQaradhawi,
memudahkan adalah manhaj alQur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh
Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan
mereka untuk mengikutinya.
Baik individu maupun
jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau
mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembitra
bukan ketakutan, dan taatlah bukan
berselisih”.
Hal yang beliau
wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas
meriwayatkan bahwa Nabi pernah
bersabda,“Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan jangan
ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan
dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.
Ulama sering
menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad,
mereka pun sering membetulkan muamalah
manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada
kaidahkaidah syariat, seperti aldharurat tubih almahzhurat (keadaan darurat
membolehkan hal yang terlarang), alhajah tunazzil manzilah aldharurah (kebutuhan
mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al dharar yuzal (darurat harus
dihilangkan), al‘adah muhakkamah (adat menjadi hukum), almasyaqqqah tajlib
altaysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidahkaidah lainnya yang
dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks teks dan hukumhukum syariat.
Salah satu
contoh bahwa Rasulullah saw mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau
memperhatikan karakter orangorang Ethiopia yang senang menari dan bermain.
Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid
beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah saw
bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka
wahai Umar”. (Muttafaq alaih).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah”.
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam alIlm, dan Imam Nawawi dalam
mukadimah kitab alMajmu’ dari Imam Sufyan bin Said alTsauri, yang menjadi
imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang
sangat agung, “Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang
memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”
Kita harus memperhatikan
perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai
kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan
orang yang tidak memiliki kedua hal itu, atau salah satunya, maka bisa saja ia
memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga
tindakannya itu melanggar dalildalil syari’at yang qath’i dan muhkamat serta
kaidahkaidahnya.
Hal ini tentunya tidak dapat diterima
oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.
Yusuf alQaradhawi
mengatakan bahwa maksud
dari kemudahan itu mengandung beberapa perkara:
a.
Memperhatikan
sisi keringanan atau rukhshah.
b.
Memperhatikan
kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
c.
Memilih
yang paling mudah dan bukan yang paling hatihati di zaman kita hidup masa
kini.
AlQaradhawi berkata “Manhaj yang menjadi
pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada saya dan saya akan
selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa
dan pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu’ (cabang) dan
tegas dalam masalah yang ushul (pokok).” Jika dalam satu masalah terdapat dua
pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya
penuh kehatihatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya
bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil
yang paling hatihati. Alasan dan hujjahnya ialah perkataan Aisyah, “Tidaklah
Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di antara
keduanya selama itu tidak mengandung dosa.” Siapa pun yang belajar
fikih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al Qaradhawi), dia akan
mendapatkan bahwa fikih
yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fikih yang
lebih mudah, sedangkan fikih setelah sahabat lebih cenderung kepada
kehatihatian.
d.
Membatasi
dalam masalahmasalah yang wajib dan yang haram.
e.
Memebaskan
diri dari fanatisme mazhab.
f.
Kemudahan
dalam semua masalah.
Terkait dengan
prinsip ini, dalam kaidah
fikih terdapat kaidah yang berbunyi almasyaqqah tajlib altaysir
(kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan
yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan
sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan
besarnya perhatian syariat
pada bentukbentuk kemudahan
dan keringanan hukum. Bahkan alSya’bi pernah menyatakan, jika seorang
muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia
memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah
swt.
Petunjuk dari
kaidah ini adalah segala kesukaran dan kesulitan yang tidak dapat dihindari
oleh manusia akan diberikan keringanan oleh Tuhan. Di samping itu kaidah ini
menjadi sumber adanya bermacammacam rukhsah dalam melaksanakan
tuntunan syariat.
Selain itu, terdapat
kaidah lain yang secara substansial
mempunyai kemiripan dengan kaidah
almasyaqqah tajlib altaysir,
yaitu kaidah yang berbunyi aldlarar yuzalu (kerusakan
harus dihilangkan).
Inti dari kaidah ini adalah bagian
dari upaya syariat dalam menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan
memberi kemudahan bagi kaum muslimin.
Ciri kemudahan yang dikandung kaidah almasyaqqah tajlibu altaysir
adalah upaya merengkuh nilainilai maslahat yang menjadi inti dari kaidah
aldlarar yuzalu.
2.
Taqlil
alTaklif (Menyedikitkan Beban)
Menyedikitkan
beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama),
karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang
menyibukkan diri terhadap alQur’an untuk melihat perintahperintah dan
laranganlarangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena
dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas
dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak
perincianperinciannya
sehingga banyaknya itu
tidak menimbulkan kesulitan
terhadap orangorang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian
dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat
alMaidah:
“Hai orangorang yang
beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) halhal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu
dan jika kamu menanyakan
di waktu Al
Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang halhal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS alMaidah [5]: 101).
Masalahmasalah
yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni
didiamkan pengharamannya. Seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya. Mereka
boleh memilih dalam melakukannya
atau meninggalkannya. Sebagian
daripadanya adalah sabda beliau saw dikala ditanya tentang haji: apakah setiap
tahun? Maka beliau bersabda:
Artinya:
“Seandainya saya berkata ‘ya’, niscaya haji itu wajib. Biarkanlah saya tentang
sesuatu yang saya tinggalkan darimu. Maka sesungguhnya rusaknya
orangorang yang sebelummu
adalah karena banyaknya
pertanyaan dan penyelisihan
mereka kepada nabinabi mereka.” Sabda beliau menunjukkan atas ta’wil ini:
Artinya:
“Sebesarbesar dosa orang muslim terhadap muslim lain adalah orang yang
menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka, maka sesuatu itu
diharamkan karena pertanyaannya.”
Artinya: “ Sesungguhnya Allah memfardhukan beberapa fardhu maka janganlah kamu menyianyiakannya. Dia membatasi batasbatas maka janganlah kamu melampauinya. Dia mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu melanggarnya, dan mendiamkan sesuatu sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencaricarinya.
3. Berangsurangsur mendatangkan hukum.
Dalam menetapkan suatu hukum, hendaknya tidak dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dnyatakan bahwa “suatu masyarakat (tradisional
atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada
sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya,
lebihlebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada”.
Masyarakat
senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengahtengah mereka.
Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidak senangan manusia untuk menghadapi
perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi
mereka, alQur’an diturunkan berangsurangsur, surat demi surat dan ayat demi
ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara
demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong
ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan menerima
ketentuan baru.


Berangsurangsur
mendatangkan hukum, artinya Allah dalam menda-tangkan hukumhukumnya tidak
dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hukum
dilarangnya orang meminum khamer dan main judi. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang
hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamer dan main
judi, maka turun firman Allah:
"Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
(Q.S. AlBaqarah :219). Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang
terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah
terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa
bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya.
Belakangan diturunkan
pula satu ayat
yang berarti melarang
orang mengerjakan shalat di kala mabuk yang bunyinya :
"Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. "(Q.S. An Nisaa : 43). Kemudian pada suatu saat diturunkan
pula ayat yyang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang
bunyinya :
"Hai orangorang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)."(Q.S. AlMaidah : 9091).
Barulah dengan
ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti
supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benarbenar oleh segenap orang yang
beriman.
4.
Memperhatikan
Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh
dunia. Maka tentulah pembina hukum memperhatikan kemaslahatan masing-masing
mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya.
Jika kemaslahatankemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat
itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak
kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang
kecil.[18]
Dalam masa
kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar
tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan
dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika
dalam suatu kejadian
ada nash khususnya,
maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat
membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua
sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan
satu keputusan hanya
karena menurutnya hal
itu ada kemaslahatannya, dan
dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim. Umar
selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di
samping ia juga selalu berpegangan pada kepu-
tusankeputusan tasyri’
yang umum.
Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu
Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu
dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa
mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain.
5.
Mewujudkan
Keadilan yang Merata.
Manusia di
dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena
kebangsaan, karena keturunan,
karena harta atau
karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari
jeratan undangundang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan
Allah Hakim yang Maha Adil adalah sama.
Nabi bersabda:
Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada
seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi
Muhammad saw menyuruh agar
tangan perempuan itu dipotong.
Tetapi kemudian keluarganya
datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin
Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,’Hai Usamah, aku
tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla’.
Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.’ Sesungguhnya kehancuran
generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri,
maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka
menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam
genggamanNya, andaikata Fatimah putri Muhammad
mencuri, niscaya aku potong tangannya.’ Dengan demikian maka tangan
perempuan mahzumah itu dipotong. (HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
B.
Asasasas
dalam Undangundang Perkawinan
Asasasas hukum perkawinan sebagaimana diutarakan oleh Arso Sosroatmodjo dan
Wasit Aulawi adalah (1) asas
sukarela; (2) partisipasi keluarga; (3) perceraian
dipersulit; (4) poligami dibatasi dengan ketat; (5) kematangan
calon mempelai; (6) memperbaiki derajat kaum wanita.
1.
Asas
Sukarela
Dalam bab I
Pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila
dilakukan menurut hukum agama masingmasing maupun kepercayaannya. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, agar
perkawinan terlaksana dengan baik,
maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai.
Menurut hukum
Islam, perkawinan merupakan akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan
kedua belah pihak calon suami isteri. Karena pihak wanita tidak
langsung melaksanakan ijab (penawaran tanggung
jawab), disyaratkan izin atau persetujuannya sebelum perkawinan
dilangsungkan. Adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga
(yang melaksanakan ijab) memaksakan kemauannya tanpa persetujuan yang bersangkutan
(wanita). Di masa lampau banyak sekali para gadis yang dipaksa kawin, hal ini
dikarenakan para pemaksa itu berpedoman pada adanya istilah wali mujbir yang
dapat memaksa gadis menikahi lakilaki yang tidak disukainya. Oleh karena itu,
hal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah penzaliman yang (mungkin) tidak
sengaja dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.
Sesuai dengan
prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa benarbenar dilarang Undangundang
Perkawinan. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk
melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunyai suatu
kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai
dengan hukum agama dan kepercayaannya.
2.
Asas
Partisipasi Keluarga
Karena
perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka
partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan
tersebut, meskipun kedua mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan
hidupnya. Keluarga dari masingmasing
pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Hal ini
sesuai dengan sifat dan
kepribadian bangsa Indonesia
yang penuh etika
sopan santun dan religius.
Sehubungan
dengan asas kesukarelaan, maka kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat
antara kedua calon suamiisteri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah
pihak. Kerelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi
asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadits Nabi, asas ini dinyatakan dengan
tegas.
Partisipasi
keluarga yang diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal pelaksanaan
perkawinan. Dengan demikian, diharapkan dapat terjalin hubungan sillaturrahim
antarkeluarga pihak mempelai. Melibatkan kedua belah pihak dalam hal ini dengan
suatu harapan pula agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya
dapat mengadakan rumah tangganya dengan baik dan benar sesuai dengan
normanorma yang berlaku. Banyak dijumpai pasangan muda yang bangunan rumah
tangganya goyah, dalam hal ini partisipasi keluarga sangat diharapkan untuk
berpartisipasi aktif supaya
rumah tangga tersebut
dapat dipertahankan. Sehubungan dengan hal ini, maka kawin lari sangat
tidak disetujui oleh Undangundang Perkawinan ini.
3.
Perceraian
Dipersulit
UndangUndang Nomor
1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berusaha semaksimal mungkin
untuk mengendalikan dan
menekan angka perceraian kepada titik terendah. Disadari
bahwa jika perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenangwenang dapat
mengakibatkan kehancuran tidak hanya bagi suami isteri tapi juga kepada
anakanak mereka.
Penggunaan hak
cerai dengan sewenangwenang dengan dalih bahwa perceraian itu
hak suami harus
segera dihilangkan. Hak
cerai tidak hanya dipegang suami saja, karena isteri pun
dapat menggugat suami untuk meminta cerai apabila ada halhal yang menurut
keyakinannya menjadikan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi.
4.
Poligami
Dibatasi dengan Ketat
Perkawinan menurut
UndangUndang ini adalah
bersifat monogami, namun demikian
beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan
dengan agama yang dianutnya serta memenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu
yang ditetapkan undangundang.
5.
Kematangan
Calon Mempelai
Sehubungan
dengan asas ini, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah
pelaksanaannya. Pencegahan ini sematamata didasarkan agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan
yang mereka langsungkan itu dari perkawinan yang telah mencapai batas umur
maupun rohani. Tujuan perkawinan adalah
untuk mewujudkan rumah
tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun
dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah daru Tuhan
Yang Maha Kuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan umur perkawinan,
kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana
tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik.
6.
Memperbaiki
Derajat Kaum Wanita
Di dalam UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat
ketentuanketentuan yang bertujuan
untuk melindungi maupun memperbaiki derajat kaum wanita.
Dalam Undangundang Perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan
kedudukan suami seimbang dengan hak dan
kedudukan isteri dalam
kehidupan keluarga dan
pergaulan hidup bermasyarakat.karena kedudukannya
sama, terdapat kemitraan (partnership) antara suami
dan isteri.
Sebagai contoh, dalam Undangundang Perkawinan terdapat
ketentuan tentang harta bersama suami isteri. Yang dimaksud dengan harta
bersama ialah harta benda atau harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan,
tanpa mempersoalkan atas nama siapa di antara suami isteri harta bersama itu
terdaftar atau tertulis.
Selain masalah harta bersama, terdapat ketentuanketentuan lain dalam
undangundang Perkawinan yang pada hakikatnya melindungi kaum wanita (seperti
aturan perceraian dan izin poligami).
Menurut Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, asas
perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jika disederhanakan ada enam, yaitu:
a.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b.
Sahnya perkawinan
sangat tergantung pada
kekuatan pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan
masingmasing.
c.
Asas
monogami.
d.
Calon
suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya.
e.
Mempersulit
terjadinya perceraian.
f.
Hak dan
kedudukan suami isteri adalah seimbang.
Asas pertama dan keempat dapat dilihat rujukannya pada surah arRum ayat
21.
“Dan di
antara tandatanda kekuasaanNya
ialah dia menciptakan untukmu isteriisteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benarbenar terdapat tandatanda bagi kaum yang
berfikir”. (QS AlRum {30}: 21).
Prinsip kedua
adalah sudah sangat jelas bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan
tuntunan yang terdapat dalah alQur’an maupun Hadist. Prinsip ketiga dapat
dilihat dalam surah anNisaa’ ayat 3.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya (QS: alNisaa {4}: 3).
Asas kelima
sesuai dengan Hadist Nabi yang berbunyi:
|
|
|
|
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: Perbuatan halal yang sangat
dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak” (HR Abu Daud dan Hakim dan sisahkan
olehnya).
Asas keenam
sejalan dengan firman Allah pada surah anNisaa ayat 32:
|
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
lakilaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
(QS alNisaa {4}: 32).
Asas-asas di
atas sesungguhnya bermuara pada satu asas dasar, yaitu membentuk keluarga yang
bahagia yang dalam bahasa Islam disebut keluarga sakinah. Menurt Asaf A.A Pyzee
ada tiga aspek yang dikandung dalam sebuah perkawinan, yaitu:
Pertama, dari sisi
hukum, perkawinan bukan
hanya sekedar untuk keabsahan melakukan persetubuhan,
tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih luhur
karena memang perkawinan itu dipandang sebagai sebuah persetujuan perikatan
atau kontrak.
Kedua, secara sosial, perkawinan berfungsi untuk mengangkat derajat
seorang wanita menjadi
lebih tinggi di masyarakat
dari sebelum ia melangsungkan perkawinan.
Ketiga,
perkawinan dari sudut pandang agama merupakan suatu hal yang sakral. Oleh
karena itu, perkawinan itu harus dilaksanakan oleh orangorang suci (matang
secara fisik dan jiwa) agar tujuan dari perkawinan itu dapaat tercapai.
Lebih penting dari
itu, perkawinan adalah langkah
awal untuk membentuk keluarga sakinah sebagai asas
masyarakat yang baik.
Comments
Post a Comment