Entri yang Diunggulkan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI ANTAR SANTRI PON-PES RAUDLATUL ULUM I (Kajian Sosiolinguistik)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1                    Bentuk-bentuk Alih Kode Bentuk alih kode bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia yang ditemukan berupa kalimat antara lain kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru dan kalimat berita. 4.1.1         Alih Kode Kalimat Berita Alih kode struktur kalimat berita pada penelitian ini terdiri atas beberapa jenis  kalimat,  antara lain struktur kalimat aktif dan pasif. Struktur kalimat berita yang berbentuk kalimat aktif dan pasif banyak ditemui dalam percakapan yang   dilakukan antara petugas jam belajar pesantren dengan santri di waktu jam belajar berlangsung. Hal tersebut dapat diamati berikut ini: (4. 1 .1/ Ak.1) Santri           : Untuk pembacaan . Ustadzah    : Sudah? Kalo sudah sekarang, jelaskan tentan...

Hukum Progresif dan Hukum Perkawinan Islam (bag 2)

Asas hukum Perkawinan Islam
A.                     Asas Hukum Islam
Hukum Islam sebagaimana hukum­hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang­tiang pokoknya.[1] Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga asas:[2]
1.                  ‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan).

Haraj  menurut  bahasa  Arab  adalah  sempit.  Banyak  dalil­dalil  yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala:



Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS al­Baqarah [2]: 285).



“...dan Dia sekali­kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS al­Hajj [22]: 78).


dan membuang dari mereka beban­beban dan belenggu­belenggu yang ada pada mereka ”(QS al­A’raaf [7]: 157)
Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban­beban  yang  berat  yang  dipikulkan  kepada  Bani  Israil.  Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong   anggota   badan   yang   melakukan   kesalahan,   membuang   atau menggunting kain yang kena najis. Dan hadits Nabi :

Artinya: ”Aku diutus dengan agama yang ringan”
Menurut Yusuf al­Qaradhawi,[3] memudahkan adalah manhaj al­Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. Beliau memerintahkan  mereka  untuk  mengikutinya.  Baik  individu  maupun  jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembitra bukan ketakutan, dan taatlah  bukan berselisih”.
Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah   bersabda,Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.[4]
Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad, mereka pun sering membetulkan muamalah  manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidah­kaidah syariat, seperti al­dharurat tubih al­mahzhurat (keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang), al­hajah tunazzil manzilah al­dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al­ dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al­‘adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al­masyaqqqah tajlib al­taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah­kaidah lainnya yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks­ teks dan hukum­hukum syariat.[5]
Salah satu contoh bahwa Rasulullah saw mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau memperhatikan karakter orang­orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah saw bersabda   kepadanya, “Biarkanlah   mereka   wahai   Umar”. (Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah”.[6]
Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al­Ilm, dan Imam Nawawi dalam mukadimah kitab al­Majmu’ dari Imam Sufyan bin Said al­Tsauri, yang menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, “Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”[7] Kita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan  agamanya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kedua hal itu, atau salah satunya, maka bisa saja ia memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya itu melanggar dalil­dalil syari’at yang qath’i dan muhkamat serta kaidah­kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.[8]
Yusuf  al­Qaradhawi  mengatakan  bahwa  maksud  dari  kemudahan  itu mengandung beberapa perkara:[9]
a.              Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah.
b.             Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan.
c.              Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati­hati di zaman kita hidup masa kini.
Al­Qaradhawi berkata “Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada saya dan saya  akan  selalu  komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu’ (cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok).” Jika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati­hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati­hati. Alasan dan hujjahnya ialah perkataan Aisyah, “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di  antara  keduanya  selama  itu tidak mengandung dosa.” Siapa pun yang belajar fikih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al­ Qaradhawi), dia  akan  mendapatkan  bahwa  fikih  yang  mereka  ambil umumnya mengarah kepada fikih yang lebih mudah, sedangkan fikih setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati­hatian.
d.             Membatasi dalam masalah­masalah yang wajib dan yang haram.
e.              Memebaskan diri dari fanatisme mazhab.
f.              Kemudahan dalam semua masalah.
Terkait dengan prinsip  ini, dalam  kaidah  fikih  terdapat kaidah  yang berbunyi al­masyaqqah tajlib al­taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan  besarnya  perhatian  syariat  pada  bentuk­bentuk  kemudahan  dan keringanan hukum. Bahkan al­Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah swt.[10]
Petunjuk dari kaidah ini adalah segala kesukaran dan kesulitan yang tidak dapat dihindari oleh manusia akan diberikan keringanan oleh Tuhan. Di samping itu kaidah ini menjadi sumber adanya bermacam­macam rukhsah dalam melaksanakan tuntunan syariat.[11]
Selain  itu,  terdapat  kaidah  lain  yang  secara  substansial  mempunyai kemiripan  dengan  kaidah  al­masyaqqah  tajlib  al­taysir,  yaitu  kaidah  yang berbunyi al­dlarar yuzalu (kerusakan harus dihilangkan). Inti dari kaidah ini adalah bagian dari upaya syariat dalam menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan memberi kemudahan bagi kaum muslimin.  Ciri kemudahan yang dikandung kaidah al­masyaqqah tajlibu al­taysir adalah upaya merengkuh nilai­nilai maslahat yang menjadi inti dari kaidah al­dlarar yuzalu.[12]
2.                  Taqlil al­Taklif (Menyedikitkan Beban)[13]

Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya beban mengakibatkan kesempitan. Orang yang menyibukkan diri terhadap al­Qur’an untuk melihat perintah­perintah dan larangan­larangan yang di dalamnya niscaya dapat  menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah banyak  perincian­perinciannya  sehingga  banyaknya  itu  tidak  menimbulkan kesulitan terhadap orang­orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat al­Maidah:


“Hai orang­orang yang beriman,  janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal­hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika  kamu  menanyakan  di  waktu  Al  Quran  itu  diturunkan,  niscaya  akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal­hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS al­Maidah [5]: 101).
Masalah­masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya. Seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya. Mereka boleh memilih  dalam  melakukannya  atau  meninggalkannya.  Sebagian  daripadanya adalah sabda beliau saw dikala ditanya tentang haji: apakah setiap tahun? Maka beliau bersabda:

Artinya: “Seandainya saya berkata ‘ya’, niscaya haji itu wajib. Biarkanlah saya tentang sesuatu yang saya tinggalkan darimu. Maka sesungguhnya rusaknya orang­orang  yang  sebelummu  adalah  karena  banyaknya  pertanyaan  dan penyelisihan mereka kepada nabi­nabi mereka.” Sabda beliau menunjukkan atas ta’wil ini:

Artinya: “Sebesar­besar dosa orang muslim terhadap muslim lain adalah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka, maka sesuatu itu diharamkan karena pertanyaannya.”

Artinya: “ Sesungguhnya Allah memfardhukan beberapa fardhu maka janganlah kamu menyia­nyiakannya. Dia membatasi batas­batas maka janganlah kamu melampauinya. Dia mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu melanggarnya, dan mendiamkan sesuatu sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari­carinya.

3.                       Berangsur­angsur mendatangkan hukum.

            Dalam  menetapkan  suatu  hukum,  hendaknya  tidak  dilakukan  secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui  tujuan dari hal  tersebut, namun masyarakat akan  mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.[14]

Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dnyatakan bahwa “suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih­lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi  yang ada”. Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah­tengah mereka.[15] Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidak senangan manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al­Qur’an diturunkan berangsur­angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiap­siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.[16]
Berangsur­angsur mendatangkan hukum, artinya Allah dalam menda-tangkan hukum­hukumnya  tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hukum dilarangnya orang meminum khamer dan main judi. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamer dan main judi, maka turun firman Allah:[17]


"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (Q.S. Al­Baqarah :219). Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya.

Belakangan  diturunkan  pula  satu  ayat  yang  berarti  melarang  orang mengerjakan shalat di kala mabuk yang bunyinya :


"Hai orang­orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. "(Q.S. An­ Nisaa : 43). Kemudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yyang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya :

"Hai orang­orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan­perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  Sesungguhnya  syaitan  itu  bermaksud  hendak  menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)."(Q.S. Al­Maidah : 90­91).
Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar­benar oleh segenap orang yang beriman.
4.                       Memperhatikan Kemaslahatan Manusia
Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam­-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hukum memperhatikan kemaslahatan masing­-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan­kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.[18]
Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika  dalam  suatu  kejadian  ada  nash  khususnya,  maka  Umar  harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan   satu   keputusan   hanya   karena   menurutnya   hal   itu   ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim.[19] Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada kepu-tusan­keputusan tasyri’ yang umum.
Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan ­mengatakan bahwa itu adalah maslahat­, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain.[20]
5.                       Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih­ melebihi  karena  kebangsaan,  karena  keturunan,  karena  harta  atau  karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang­undang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha Adil adalah sama.[21] Nabi bersabda:

Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad saw   menyuruh   agar   tangan   perempuan   itu   dipotong.   Tetapi   kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,’Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla’. Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.’ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang mulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman­Nya, andaikata  Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.’ Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).[22]
B.                     Asas­asas dalam Undang­undang Perkawinan
Asas­asas hukum perkawinan sebagaimana diutarakan oleh Arso Sosroatmodjo  dan  Wasit  Aulawi  adalah (1)  asas  sukarela; (2)  partisipasi keluarga; (3) perceraian dipersulit; (4) poligami dibatasi dengan ketat; (5) kematangan calon mempelai; (6) memperbaiki derajat kaum wanita.[23]
1.                  Asas Sukarela
Dalam bab I Pasal 1 Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing­masing maupun kepercayaannya. Sehubungan dengan hal tersebut di  atas,  agar  perkawinan  terlaksana  dengan  baik,  maka  perkawinan  yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[24]
Menurut hukum Islam, perkawinan merupakan akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon suami isteri. Karena pihak wanita   tidak   langsung   melaksanakan   ijab (penawaran  tanggung  jawab), disyaratkan izin atau persetujuannya sebelum perkawinan dilangsungkan. Adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksakan kemauannya tanpa persetujuan yang bersangkutan (wanita). Di masa lampau banyak sekali para gadis yang dipaksa kawin, hal ini dikarenakan para pemaksa itu berpedoman pada adanya istilah wali mujbir yang dapat memaksa gadis menikahi laki­laki yang tidak disukainya. Oleh karena itu, hal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah penzaliman yang (mungkin) tidak sengaja dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.[25]
Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa benar­benar dilarang Undang­undang Perkawinan. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya.[26]
2.                  Asas Partisipasi Keluarga
Karena perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut, meskipun kedua mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Keluarga dari  masing­masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Hal ini sesuai dengan sifat dan   kepribadian   bangsa   Indonesia   yang   penuh   etika   sopan   santun   dan religius.[27]
Sehubungan dengan asas kesukarelaan, maka kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami­isteri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kerelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadits Nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas.[28]
Partisipasi keluarga yang diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian, diharapkan dapat terjalin hubungan sillaturrahim antarkeluarga pihak mempelai. Melibatkan kedua belah pihak dalam hal ini dengan suatu harapan pula agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu supaya dapat mengadakan rumah tangganya dengan baik dan benar sesuai dengan norma­norma yang berlaku. Banyak dijumpai pasangan muda yang bangunan rumah tangganya goyah, dalam hal ini partisipasi keluarga sangat diharapkan  untuk  berpartisipasi  aktif  supaya  rumah  tangga  tersebut  dapat dipertahankan. Sehubungan dengan hal ini, maka kawin lari sangat tidak disetujui oleh Undang­undang Perkawinan ini.
3.                  Perceraian Dipersulit
Undang­Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  berusaha semaksimal  mungkin  untuk  mengendalikan  dan  menekan  angka  perceraian kepada titik terendah. Disadari bahwa jika perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang­wenang dapat mengakibatkan kehancuran tidak hanya bagi suami isteri tapi juga kepada anak­anak mereka.[29]
Penggunaan hak cerai dengan sewenang­wenang dengan dalih bahwa perceraian  itu  hak  suami  harus  segera  dihilangkan.  Hak  cerai  tidak  hanya dipegang suami saja, karena isteri pun dapat menggugat suami untuk meminta cerai apabila ada hal­hal yang menurut keyakinannya menjadikan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi.[30]
4.                  Poligami Dibatasi dengan Ketat
Perkawinan  menurut  Undang­Undang  ini  adalah  bersifat  monogami, namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya serta memenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan undang­undang[31].
5.                  Kematangan Calon Mempelai
Sehubungan dengan asas ini, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata­mata didasarkan agar kedua mempelai  dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan yang mereka langsungkan itu dari perkawinan yang telah mencapai batas umur maupun rohani. Tujuan  perkawinan  adalah  untuk  mewujudkan  rumah  tangga  bahagia  dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah daru Tuhan Yang Maha Kuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik.[32]
6.                  Memperbaiki Derajat Kaum Wanita
Di dalam Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat   ketentuan­ketentuan   yang   bertujuan   untuk   melindungi   maupun memperbaiki derajat kaum wanita. Dalam Undang­undang Perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan kedudukan suami seimbang dengan hak dan   kedudukan   isteri   dalam   kehidupan   keluarga   dan   pergaulan   hidup bermasyarakat.karena  kedudukannya  sama,  terdapat  kemitraan (partnership) antara  suami  dan  isteri.
Sebagai  contoh, dalam Undang­undang Perkawinan terdapat ketentuan tentang harta bersama suami isteri. Yang dimaksud dengan harta bersama ialah harta benda atau harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, tanpa mempersoalkan atas nama siapa di antara suami isteri harta bersama itu terdaftar atau tertulis.[33] Selain masalah harta bersama, terdapat ketentuan­ketentuan lain dalam undang­undang Perkawinan yang pada hakikatnya melindungi kaum wanita (seperti aturan perceraian dan izin poligami).
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,[34] asas perkawinan menurut Undang­Undang  Nomor 1  Tahun 1974 tentang  Perkawinan  jika disederhanakan ada enam, yaitu:
a.              Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b.             Sahnya  perkawinan  sangat  tergantung  pada  kekuatan  pada  ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing­masing.
c.              Asas monogami.
d.             Calon suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya.
e.              Mempersulit terjadinya perceraian.
f.              Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

Asas pertama dan keempat dapat dilihat rujukannya pada surah ar­Rum ayat 21. 

“Dan  di  antara  tanda­tanda  kekuasaan­Nya  ialah  dia  menciptakan untukmu isteri­isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan­Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar­benar terdapat tanda­tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS Al­Rum {30}: 21).

Prinsip kedua adalah sudah sangat jelas bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan tuntunan yang terdapat dalah al­Qur’an maupun Hadist. Prinsip ketiga dapat dilihat dalam surah an­Nisaa’ ayat 3.

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak­hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita­wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak­ budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS: al­Nisaa {4}: 3).

Asas kelima sesuai dengan Hadist Nabi yang berbunyi:
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak” (HR Abu Daud dan Hakim dan sisahkan olehnya). 

Asas keenam sejalan dengan firman Allah pada surah an­Nisaa ayat 32:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki­laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia­Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS al­Nisaa {4}: 32). 


Asas­-asas di atas sesungguhnya bermuara pada satu asas dasar, yaitu membentuk keluarga yang bahagia yang dalam bahasa Islam disebut keluarga sakinah. Menurt Asaf A.A Pyzee ada tiga aspek yang dikandung dalam sebuah perkawinan, yaitu[35]:
Pertama,  dari  sisi  hukum,  perkawinan  bukan  hanya  sekedar  untuk keabsahan melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih luhur karena memang perkawinan itu dipandang sebagai sebuah persetujuan perikatan atau kontrak.
Kedua, secara sosial, perkawinan berfungsi untuk mengangkat derajat seorang   wanita   menjadi   lebih   tinggi di   masyarakat   dari   sebelum   ia melangsungkan perkawinan.
Ketiga, perkawinan dari sudut pandang agama merupakan suatu hal yang sakral. Oleh karena itu, perkawinan itu harus dilaksanakan oleh orang­orang suci (matang secara fisik dan jiwa) agar tujuan dari perkawinan itu dapaat tercapai. Lebih  penting  dari  itu, perkawinan  adalah  langkah  awal  untuk  membentuk keluarga sakinah sebagai asas masyarakat yang baik.





[1] T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet 1;2001), 58.
[2] Hudari Bik, Tarikh al­Tasyri’ al­Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, (Darul Ihya; 1980), 31­39.
[3] Yusuf al­Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari’ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, (Jakarta: Pustaka al­Kautsar, cet 1; 2007), 158.
[4] Ibid.
[5] Ibid, 158­159.
[6] Yusuf al­Qaradhawi, “Taisir al­Fiqh li al­Muslim al­Mua’shir fi Dahu al­Qur’an wa as­ Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al­Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, ( cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,2002), 20.
[7] Ibid, 21.
[8] Ibid.
[9] Ishom Talimah, al­Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fikih Yusuf al­ Qaradhawi, (Jakarta: Pustaka al­Kautsar, cet 1; 2001), 94­95.
[10] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual Buku Satu (Cet 2; Khalista: Surabaya, 2006), 177.
[11] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar­dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Cet 3; Al­ Ma’arif: Bandung, 1993), 504.
[12] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Op. Cit., 213.
[13] Hudari Bik, Op. Cit., 35­37.
[14] Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., (Cet 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1996),107­108.
[15] Fathuddrrhman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet 2; 1997),69.
[16] Ibid, 70.
[17] Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al­Qur’an dan As­Sunnah,( Jakarta: PT.Midas Surya,1993), 230.
[18] T.M Hasbi Ash Shiddieqy,, Op. Cit., 66.
[19] Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al­Khathab fi al­Tasyrii’, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al­Kathab, (Jakarta: Khalifa, cet 1; 2005), 480.
[20] Ibid.
[21] T.M Hasbi Ash Shiddieqy,, Op. Cit., 68­69.
[22] Sayyid Sabiq, Fiqh al­Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar al­Fikr, 1983), 413.
[23] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet 3; Jakarta: Kencana, 2006),  53.
[24] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet 1; Jakarta: Kencana, 2006), 6.
[25] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Cet 2; Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002), 10.
[26] Abdul Manan, Op.  Cit., 7.
[27] Ibid.
[28] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Cet 6; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 139.
[29] Abdul Manan, Op. Cit, 8.
[30] Ibid, 8­9.
[31] Ibid, 9.
[32] Ibid, 11.
[33] Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Peradilan Agama, Op. Cit.,45­47.
[34] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., 53­55.
[35] Ibid, 57.

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH TEATRIKAL PUISI "KARAWANG-BEKASI" KARYA CHAIRIL ANWAR

NASKAH TEATRIKAL PUISI (Dialog Bukit Kamboja)

PUISI TENTANG GURU/KIYAI: SANG LENTERA