NASKAH TEATRIKAL PUISI “DIALOG BUKIT KAMBOJA” KARYA
D. ZAWAWI IMRON
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan
tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan
langit lelah
Seorang Nenek, pandangannya tua
memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di
kubur itu.
SEORANG PEMUDA TENGAH DUDUK DI DEPAN
MAKAM AYAHNYA. BERZIARAH. LAMA-KELAMAAN DATANG SEORANG NENEK DENGAN SOROT MATA
PENUH CEMBURU BERTANYA PADA PEMUDA ITU.
Nenek: siapakah engkau wahai anak muda? Mengapa
engkau duduk di sini?
Pemuda: aku anak almarhum.
PIPI KERIPUT ITU MENYIMPAN BEKAS
SAYATAN WAKTU
Nenek: Lewat berpuluh kemarau telah kubersihkan kubur di
depanmu karena kuanggap kubur anakku.
Pemuda: tetap diam dengan senyum tipis di bibirmya.
HENING MERANGKAK LAMBAT BAGAI LANGKAH SIPUT TANPA
SEBUAH SEBAB SENYUMNYA LALU MEREKAH SEPERTI PUISI MEKAR PADA LEMBAR BUNGA BASAH
Nenek: Anakku mati di medan laga, dahulu saat Bung Tomo
mengibas bendera dengan takbir. Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar
merah. Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap. Bahkan pada bercak darah
yang hampir lenyap. Jadi di lembah membias rasa syukur, pada hijau ladang
sayur, karena laut bebas debur. Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke
mana. Tak kutemu. Tak ada yang tahu. Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan
terimakasih atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati. Kubur ini memadailah,
untuk mewakilinya.
Pemuda: Tapi ayahku sepi pahlawan. Tutur orang terdekat,
saat ia wafat jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat. Tapi ia tetap
ayahku. Tapi ia bukan anakmu
Nenek: Apa salahnya kalau sesekali kubur ayahmu kujadikan
alamat rindu. Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh dendamku
kepada musuh jadi luruh.
SORE BERANGKAT KE DALAM REMANG. KE KELEPAK KELELAWAR
Pemuda: Hormatku padamu, Nenek! Karena engkau menyimpan
rahasia wangi tanahku, tolong beri aku apa saja, kata atau senjata!
Nenek: Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma
minta: Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing. Jangan sembilu, atau yang
membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak mereka berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga
ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
Oleh Ahmad Darik
Menurut Saya bagus, dan saya pernah menggunakan puisi itu langsung di pantau oleh pak ahmad darik
ReplyDelete#siswakls8,1819